Share

Mengusir

TERNYATA IBUKU TAK IKUT LIBURAN#6

POV Morgan.

Entah sudah jam berapa sekarang, aku terbangun karena suara gedoran pintu yang sangat bising. Mungkin, tubuhku terlalu lelah dan tidur setelah sholat subuh. Aku tidur di atas kasur lipat yang sengaja ku gelar di kamar ibu, takut ibu butuh bantuan makanya aku memutuskan untuk menemaninya tidur.

"Siapa yang berteriak di luar?" tanya ibu. Ia masih terbaring lemas, aku buru-buru melihat jam yang ada di ponsel.

"Ya, Allah sudah pukul empat sore. Bu, maafkan Morgan, ibu pasti lapar," ucapku, tanpa memperdulikan siapa yang berteriak di luar.

"Ibu sudah makan, bubur instan sehat yang kamu pesankan tadi malam, ibu memakan itu lalu minum obat. Ibu gak tega bangunin kamu, ibu tau kamu pasti capek banget," sahut ibu, syukurlah. Aku mengelus dada lega.

"Sepertinya itu suara mertuamu, cepat bukakan pintu," ucap ibu, ia bangun lalu bersandar pada sandaran ranjang.

"Sebentar Bu, Morgan gosok gigi dan cuci muka dulu," pintaku.

"Bu Halimah, buka pintunya!" teriak mertuaku. Ah, masa bodo lebih penting buang air dulu daripada membukakan pintu untuk mereka.

Aku santai saja, meski kudengar di luar sangat gaduh. Setelah cuci muka aku merebus mie instan dan mengisi perut yang kosong, lanjut mencuci bekasnya yang kotor dan ngeteh sebentar.

"Apa orangnya gak ada? Kenapa dari tadi gak ada yang bukain pintu. Bu Halimah, Hoy! Buka pintunya." Gedoran pintu sangat keras, terpaksa aku berjalan menuju daun pintu, takut saja jika nanti pintu rumahku menjadi rusak gara-gara mereka gedor terus. Kan, sayang!

"Ada apa, Bu?" tanyaku melongok, aku hanya membuka pintu sedikit.

"Eh, Morgan. Kamu sudah pulang." Mertuaku mengulas senyum, tiba-tiba saja teriakkannya tadi berubah menjadi kata yang halus.

"Ibu hanya khawatir saja, kenapa tadi lama sekali pintunya baru dibuka. Takut ibumu kenapa-kenapa." Cih! Pandai sekali mereka bermuka dua, aku jadi pulang mendadak itu memang karena ibuku kenapa-kenapa. Kalian tahu? Bathinku.

"Eh, Nasya, Reihan. Salim dulu sama mas kalian, kamu juga Tari Salim dulu sama suamimu." Ibu mertua menyenggol lengan Tari.

"Gak perlu, tanganku kotor," ucapku, ya, aku hanya malas meladeni mereka.

"Oh, iya. Itu kenapa baju-baju ibu, dimasukkan oleh ibumu ke dalam karung. Terus diletakkan di depan teras, memangnya ibumu mau mengusir kami?" tanyanya. Bagus, aku suka mereka bertanya seperti itni.

"Bukan ibuku, tapi aku," sahutku dengan santai.

"Maksudnya kamu yang meletakkan baju kami?" tanyanya mengernyit.

"Ya, dan aku juga yang ingin mengusir kalian," sahutku dengan lantang.

"Maksud kamu apa, Morgan. Kamu mengusir mertuamu sendiri?" tanyanya terkejut.

"Bukannya kalian punya rumah sendiri, kenapa tidak pulang saja ke rumah kalian. Aku pikir, kalian gak mau berlama-lama tinggal di sini, bukannya Tari bilang kalian hanya ingin menginap beberapa Minggu. Kurasa kalian tinggal di sini sudah hampir tiga bulan. Jadi, sekarang adalah waktunya yang tepat untuk kalian pulang ke rumah kalian sendiri," ujarku. 

"Kamu mengusir kami?!" Kulihat dada mertua sudah kembang kempis, sepertinya sedang bergemuruh penuh emosi.

"Iya. Harus berapa kali kujelaskan," sahutku dengan santai.

"Kamu jangan kurang ajar! Aku ini mertuamu." Ia menaikan telunjuk di depan wajahku.

"Aku tau ibu mertuaku, tapi rumahku bukan tempat penampungan yang harus menampung kalian. Lagian, kalian itu tidak miskin, masih punya rumah bukan? Jadi, kembali saja ke rumah kalian."

"Mas, apa-apaan kamu. Aku sudah menjaga ibumu dengan baik, tapi begini kamu memperlakukan ibuku?" Akhirnya Tari berujar, memang ini yang aku tunggu.

"Dengan baik? Asal kamu tau, aku tak akan pulang ke Indonesia jika keadaan ibuku baik-baik saja! Dan teganya kamu berbohong padaku bahwa ibuku yang ingin berliburan, tapi nyatanya, ibuku kalian tinggalkan sendiri dan pingsan di rumah ini. Kamu itu benar-benar keterlaluan!" Aku menggebrak daun pintu membuat mereka terkejut.

"Ibumu yang tak mau ikut, kami sudah mengajaknya," alibi mertua.

"Kalian pikir aku bo-doh! Mana ada orang mau tinggal sendirian tanpa ada uang pegangan dan regulator kompor gas dalam keadaan tercabut. Siapa yang mau cari mati seperti itu, ha? Belum lagi kalian terlalu tega meninggalkan rumah dalam keadaan berantakan! Kalian pikir ibuku itu pembantu? Seenaknya kalian perlakukan seperti itu!" Aku berteriak di depan mereka semua, membuat mereka tersentak.

"Aduh-aduh, Morgan. Ibu kamu itu lebay, mending ibumu saja yang kamu pulangkan ke kampung biar masalah ini tidak berlarut-larut," ucap mertua.

"Jangan bermimpi!" Sekarang ibu, Nasya dan Reihan pergi dari sini. Jangan pernah menginap lagi di rumah ini," ucapku dengan tegas.

"Heh! Dasar menantu durhaka! Pasti ibu kamu kan, yang sudah meracuni pikiranmu. Mana dia? Biar aku yang berbicara dengannya." Mertua ingin memaksa masuk, tapi aku menahan tubuhnya.

"Jangan pernah menyentuh ibuku, atau akan berurusan denganku! Dan jangan pernah masuk lagi ke dalam rumahku, karena aku tidak akan menerima ibu untuk menginjakkan kaki di rumah ini lagi," ucapku menahannya.

"Mas, jangan perlakukan ibuku seperti itu. Kamu pikir kamu siapa? Kalau mau bertarung ayo!" Reihan mengancam, bocah kelas tiga SMP itu bahkan mempunyai nyali yang tinggi.

"Aku bukan pengecut yang hobbynya tawuran, aku juga bukan anak jalanan yang gak punya pendidikan. Selagi kecil ibuku mengajariku tata Krama, tapi, tata Krama mengajariku untuk mempertahankan kehormatan ibuku. Jika ibuku sudah diperlakukan dengan sewenang-wenang, siapapun mereka pasti akan kuhadapi," ujarku dengan rahang yang mulai mengeras.

"Halah! Ibu kampungan seperti itu saja dibanggakan." Nasya berujar dengan sinis.

"Setidaknya ibuku yang kampungan itu tidak menjadi benalu dan parasit di hidup orang lain. Tidak menumpang enak pada orang lain dan memeras hasil jerih payah orang lain, ibuku yang kampungan itu sudah bekerja keras dalam memberiku nafkah dan menyekolahkanku sehingga aku bisa sesukses sekarang. Lalu, kalian apa? Apa yang sudah kalian lakukan untukku sehingga kalian merasa berhak untuk menghardik ibuku, ha?! Apa?!" tanyaku dengan kasar, membuat Nasya ciut.

"Gak usah belagu, baru juga menjadi seorang manager sudah songong," cetus mertua.

"Ya, dan orang songong inilah yang sudah membiayai kehidupan kalian. Tidak malu, ya, setelah banyak memakan uangku lalu mengataiku?" tanyaku dan mertua tersentak.

"Aku tidak pernah meminta padamu, aku hanya meminta pada anakku."

"Dan anakmu itu selalu meminta uang padaku dengan cara mengkambing hitamkan nama ibuku, sekarang belang kalian sudah ku ketahui. Alasan apa lagi yang akan kalian buat untuk memerasku?"

"Pulang kalian sekarang juga!" usirku.

"Mas, jangan usir keluargaku seperti ini," pinta Tari.

"Kenapa? Kamu juga mau ikut diusir? Baiklah, aku akan mengemaskan pakaianmu kalau kamu juga ingin enyah dari rumah ini." Mata Tari membeliak, dia pikir aku mau mempertahankannya. Aku sengaja mengusir keluarganya terlebih dahulu, karena ingin memberi pelajaran yang setimpal dulu pada Tari atas kebohongannya.

Akan kubuat dia merasakan, apa yang ibuku rasakan. Diperlakukan seperti babu dan tidak dihargai di rumahnya sendiri, siap-siap saja Tari, kamu memilih pergi atau tetap tinggal. Sama saja, kamu juga pasti akan menderita.

Ini baru permulaan.

___________________________

Jangan lupa tekan love, subcribe dan tinggalkan komen ya? Makasih.☺️☺️☺️☺️🍔🍔🍔🍔

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Desa Kroya
keren ......
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status