Share

Kecelakaan

Dia baik dan hebat. Aku ingin seperti dirinya.

Bisikan hati Prisha mengalun di alam khayali tatkala meninggalkan ruang poli umum puskesmas kecamatan.

Usianya waktu itu baru 14 tahun dan belum pernah mengenal cinta pertama. Hatinya begitu gelisah. Antara senang, cemas, dan bingung. Jantung berdebar-debar setiap mengingat tatap mata, senyum, dan suara pak dokter.

Ia hanya ingat namanya Gavin, berikut mata abu-abunya yang menawan dan menawarkan misteri. Namun, bukan semata itu yang membuatnya kagum, melainkan sikap pak dokter yang penuh perhatian dalam melakukan pemeriksaan. Jiwa gadisnya merasa tersanjung. Apalagi ketika teringat, dokter itu sebelumnya telah membalut luka dan menolongnya bangkit ketika jatuh dari sepeda.

Sejak kecil, Prisha menyukai hal-hal yang berkaitan dengan medis. Hadiah mainan dokter-dokteran dari neneknya, saat ia berusia enam tahun, masih disimpannya sampai sekarang.

Ketika menginjak kelas IV SD, Prisha didaulat sebagai dokter cilik di sekolah. Ia bertahan menjadi koordinator UKS, membantu guru pembina UKS, sampai dirinya lulus SD. Lalu, saat melanjutkan sekolah ke pesantren, ia didaulat sebagai koordinator divisi kesehatan dalam kepengurusan asrama. Padahal baru mondok tingkat pertama. Sebab, telah menguasai dasar-dasar ilmu kesehatan, pengobatan, dan perawatan sederhana. Keahlian itu dipelajari dari neneknya yang pensiunan perawat.

Dapat dibayangkan betapa senang hatinya saat berjumpa dokter betulan. Soal ganteng itu relatif. Prisha lebih tertarik pada snelli, stetoskop, dan gaya bertanya pak dokter.

"Mendengar pake stetoskop itu, disebut teknik auskultasi, kan, Dok?" tanya Prisha, begitu pak dokter mengalungkan kembali stetoskopnya usai memeriksa.

"Bener. Eh, kok, kamu tau? Pinter," puji Dokter Gavin.

Mata Prisha berbinar-binar. "Nenekku perawat."

"MasyaAllah. Hebat. Nenekmu yang ngajarin? Atau hanya gegara kebanyakan nonton drakor?" canda pak dokter, ringan.

Prisha cemberut. "Aku fokus belajar, gak suka drakoran."

"Wow ...." Dokter Gavin bertepuk tangan. "Kamu betul-betul langka. Biasanya remaja seusiamu hobi drakoran dan ...." Mata abu-abunya bergulir mengamati Prisha dari atas ke bawah. "Tergila-gila fashion. Tapi, kulihat, kamu beda, Sha."

Panggilan "Sha" biasanya hanya Prisha terima dari orang-orang terdekatnya. Pak dokter memanggilnya demikian, seolah-olah telah mengenalnya cukup lama. Membuatnya berdebar.

"Auskultasi itu proses mendengarkan suara tubuh, supaya kita bisa membedakan mana yang normal, mana yang tidak. Yang didengar itu jantung, paru-paru, dan sistem pencernaan."

"Oh, kukira hanya jantung yang bersuara. Bagaimana bunyi paru-paru dan sistem pencernaan, ya?" Mata Prisha berbinar-binar ingin tahu. "Aku ingin sekali mempelajarinya. Apakah kita akan bisa menebak penyakit orang hanya lewat suara tubuhnya?"

"Lebih tepatnya, mendiagnosa. Suara sistem organ tubuh hanya salah satu faktor untuk diagnosa penyakit seseorang. Banyak pemeriksaan lain yang dibutuhkan untuk memutuskan seseorang menderita penyakit apa. Proses pemeriksaan disebut anamnesa."

"Oh, ini menarik!"

Dokter Gavin melepaskan kaca mata. Bening bola mata keabu-abuannya tampak beriak seolah tersenyum. Prisha mendesir ketika mendapati bayang-bayang wajahnya jatuh di retina mata pak dokter.

"Kamu bisa sering datang ke sini untuk belajar. Aku akan mengajarimu dasar-dasar anamnesa dengan senang hati. Itu pun kalau kamu berkenan."

Prisha nyaris melonjak kegirangan. Senyum manisnya merekah. "Tentu saja, Dok. Aku akan ke sini tiap jumat, saat libur pondok."

"Tapi ...." Keraguan membayang di wajah tampan si dokter muda. "Apakah boleh?" Tatapannya penuh selidik. "Aku nggak ngerti batasan interaksi, sejauh mana diperbolehkan. Kamu lebih paham."

"Pengobatan, pengajaran, jual beli, atau hal-hal penting lainnya, diperbolehkan asalkan tidak berkhalwat dan ikhtilat." Penuh semangat, Prisha menjelaskan. Sama sekali tidak sungkan. Pada dasarnya, ia bukan gadis pemalu. "Aku akan mengajari dokter soal itu!"

"...."

Pertemanan mereka terjalin sejak saat itu. Seminggu sekali mereka bertemu demi kepentingan belajar. Prisha tidak sendirian, selalu mengajak teman. Keterampilan medisnya meningkat pesat. Tak hanya Dokter Gavin, para perawat puskesmas pun ikut mengajari gadis yang kritis dan energik itu. Mereka menyukai Prisha yang percaya diri dan supel, serta rajin membantu bersih-bersih atau terlibat kegiatan puskesmas, setiap kali ada waktu.

Sayang sekali, semua berlangsung hanya enam bulan. Dokter Gavin pergi melanjutkan pendidikan dokter spesialis ke luar negeri. Prisha merasa kehilangan seorang idola sekaligus kakak. Ada rasa tak ingin berpisah.

Sejak saat itu, tekad menjadi dokter kian mengental dalam dirinya. Bukan semata passion yang menjadi tujuannya, tetapi karena keinginan kuat untuk berada di dunia yang sama dengan Gavin.

Dalam diari, ia tuliskan segala kenangan dan pelajaran dari Dokter Gavin. Ditutup dengan kalimat penuh tekad seorang gadis remaja yang polos.

Dokter Gavin, suatu saat nanti, aku akan membuatmu bangga.

Hari demi hari, Prisha mengukir rindu. Meski makin lama, detail wajah tampan Gavin memudar dari ingatan, seiring banyaknya aktivitas yang ia lakukan. Namun, ilmu yang diajarkan, tak lekang dari benaknya.

Tujuh tahun kemudian, saat Prisha menginjak masa koas tingkat satu di kampus kedokteran, ia mengalami momen tak terduga. Pangkal dari segala persoalan yang membelit hidupnya hari ini.

***

Malam itu akhir minggu. Seperti biasa, Prisha bermaksud mengunjungi ibunya di kompleks perumahan yang terkenal sebagai tempat eksklusif hiburan malam plus plus.

Ia turun dari taksi online ke pinggir jalan raya, tepat di depan kompleks perumahan. Sengaja Prisha tidak minta diantarkan sopir taksi ke dalam karena ingin membelikan camilan buat ibunya di minimarket depan kompleks.

Sekonyong-konyong, bunyi decitan tajam dari rem mobil, pekak membelah udara kosong. Hanya berselang satu detik, suara benturan keras terdengar membahana.

Prisha baru satu langkah dari pinggir jalan tatkala peristiwa tabrakan terjadi di seberang tempatnya berdiri.

Sebuah mobil jeep hitam mulanya mengebut di luar jalur. Tiba-tiba mobil tersebut menabrak sebuah mobil metalic mewah. Sopir mobil metalic berusaha menghindar dengan menginjak rem dan banting setir ke marka jalan. Namun, terlambat. Jeep hitam menyerbu deras hingga membentur mobil metalic sampai terbalik.

Usai menabrak, mobil jeep hitam melaju dengan kecepatan tinggi, kabur meninggalkan korbannya.

Prisha terpekik kaget. Refleks gadis itu berlari kencang mendatangi lokasi. Dalam waktu singkat, TKP dipenuhi kerumunan. Beberapa orang bekerja sama mengeluarkan penumpang mobil yang luka-luka.

Prisha memburu ke korban kecelakaan. Si korban ternyata seorang pria muda berpakaian kasual yang wajah dan kepalanya berlumuran darah.

“Tolong!” teriak Prisha ke arah semua orang, sebelum melakukan pemeriksaan.

Dua orang mendekat, ingin membantu.

“Hubungi 119!” seru Prisha.

Salah satu dari dua orang yang coba membantu, gegas menekan nomor 119 di ponselnya.

"Pak, Pak, apa bisa denger suara saya?" Prisha setengah berteriak dekat telinga korban.

Pria muda itu membuka matanya perlahan. Pandangannya kabur, tapi masih mampu menangkap siluet gadis berkerudung. "Siapa ...."

"Alhamdulillah, Bapak masih sadar!"

"Pusing ...." keluh si korban sambil mengangkat tangannya, hendak menyentuh kepala.

Rasa iba, mendorong insting Prisha bergerak menyambut tangan pria itu.

"Zikir, Pak. Tenang, yaa .... Sebentar lagi pertolongan datang."

Pria itu menggenggam lemah jemari Prisha, lalu lunglai seiring kelopak mata yang tertutup.

"Pak, Pak, bangun, Pak!" Prisha berseru cemas, lalu menepuk-nepuk bahu si korban. Namun, pria muda itu bergeming, kehilangan kesadaran.

Begitu mengecek pernapasan dan denyut nadi, Prisha menemukan kondisi kritis. Pernapasan tidak terdeteksi dan denyut nadi tidak teraba.

Rasa kemanusiaan dan kode etik sebagai dokter, mendorong Prisha meneruskan tindakan pertolongan pertama pada korban, dengan teknik RJP atau resusitasi jantung paru. Walaupun baru koas tingkat pertama, sedikit banyak Prisha sudah belajar teknik itu.

Beberapa menit kemudian, sirene ambulans berkelindan dengan sirene mobil polisi, mengaung gaduh, membuat jantung berdegup tegang dan meningkatkan kecemasan.

Namun, Prisha justru lega mendengar suara tersebut. Tim medis dari unit 119 berdatangan mendekat.

Salah satu dokter wanita yang menjadi bagian tim medis, segera membantu Prisha. Ia memeriksa denyut nadi karotis di leher kiri korban.

"Saya udah melakukan RJP, mungkin sekitar sepuluh menit," lapor Prisha, sambil tetap melakukan kompresi dada.

"Bagus, Dek!" puji si dokter, terlihat lega. "Kamu berhasil mempertahankan sirkulasi darah dengan memacu jantungnya. Andai telat sedikit saja, korban bisa tewas seketika! Denyut nadinya sudah teraba, tapi masih lemah," ungkapnya seraya memasang masker oksigen ke wajah korban. Lalu, memompakan oksigen lewat ambubag.

Prisha menghentikan tindakan. Demi meyakinkan diri, ia memeriksa ulang denyut nadi di pergelangan tangan korban. Denyut nasi itu terasa, tapi cepat dan lemah.

"Ikutlah! Kamu saksi korban!" instruksi kepala unit 119 kepada Prisha, saat melakukan evakuasi korban ke mobil ambulans.

Prisha mematuhinya. Ia ikut duduk di ambulans, mendampingi korban.

Elektrode EKG langsung dipasang ke dada korban, tersambung ke layar monitor. Terlihat gambaran listrik jantung serapat rumput, yang dalam hitungan detik mendadak membentuk garis lurus.

"RJP!" seru ketua tim 119.

Tim medis gegas melakukan resusitasi. Berlangsung sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Prisha tak lepas mengamati tata laksana gawat darurat, yang sebenarnya juga baru dipelajarinya. Ia paham gentingnya keadaan korban. Harapannya, resusitasi berhasil memicu denyut jantung yang terhenti akibat kecelakaan yang menimpa korban.

Besar sekali bahayanya jika jantung sampai gagal berdenyut. Risikonya adalah kegagalan distribusi darah yang memasok nutrisi dan oksigen ke seluruh tubuh. Akibatnya, bakal terjadi malfungsi organ tubuh. Yang paling berbahaya adalah ketika otak sampai kekurangan oksigen lebih dari tiga menit. Sel-sel saraf akan hangus dan gagal fungsi. Jika terlambat ditangani, ada kemungkinan nyawa pasien tak tertolong, koma berkepanjangan, atau lumpuh.

"Adakah identitas korban?" Salah satu dokter anggota tim medis, bertanya sambil memompakan oksigen melalui ambubag ke masker oksigen korban.

Perawat yang bertugas mengontrol hemodinamik melalui layar monitor, menoleh pada Prisha. Gadis itu menggeleng, tanda tak tahu. Wajah korban sukar dikenali karena berlepotan darah. Agaknya gara-gara terbentur dasbor mobil.

"Cek dompet atau tasnya!" perintah dokter, tak sabar.

Tak ada tas kecil atau apa pun yang melekat di tubuh korban. Prisha berinisiatif merogoh saku celananya. Ia menemukan ponsel dan dompet.

"Hubungi keluarganya!" perintah dokter lagi.

Prisha mengecek isi dompet dan menemukan KTP. Ia terpaku begitu mendeteksi nama korban.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status