Aku menatap tangannya yang menggenggam tanganku. Aku tahu Elena peduli, tapi aku tidak butuh ini sekarang.
Perlahan, aku menarik tanganku. "Elena, aku menghargai niat baikmu."Elena menatapku dalam diam, lalu tersenyum kecil. "Aku mengerti. Tapi Mas, kalau suatu hari kamu sadar, aku harap kamu ingat, masih ada tempat untukmu kembali. Aku masih di sini, Mas. Menunggumu."Aku menatapnya dalam. Kasihan juga kekasihku ini. Entah kenapa Elena berubah jadi lembut begini, padahal terakhir ketemu Elena terus marah-marah.Elena lalu berdiri, merapikan tasnya, lalu tersenyum padaku. "Sekarang, pulanglah, Mas. Istirahatlah dulu. Jangan terlalu keras pada diri sendiri. Aku pulang dulu ya, aku tetap cinta sama kamu, apapun yang terjadi."Aku hanya bisa diam saat dia pergi meninggalkan kafe.***Hari-hari berlalu, aku memutuskan beristirahat tidak melakukan pencarian, meski Papa mendesakku agar terus mencari Cahaya."Pa, akuAku terdiam. Aku tahu dia tidak main-main. “Baik, Pak. Saya akan segera mengatasi masalah ini,” jawabku tegas. Kaivan mengangguk kecil, lalu menggeser berkas di depannya. “Saya ingin laporan lengkap tentang strategi pemulihan cabang ini dalam waktu satu minggu. Jangan buat saya kecewa, Pak Angkasa.” “Baik, Pak.” Rapat berakhir dengan suasana yang cukup tegang. Semua orang keluar dengan wajah serius, termasuk Elena yang sempat melirikku dengan ragu sebelum akhirnya pergi. Aku tetap duduk di kursiku, mencoba menenangkan diri. Aku tahu masalah perusahaan ini sudah mendesak, tapi bagaimana aku bisa fokus kalau pikiranku terus memikirkan Cahaya? Aku menghela napas panjang. Aku harus menyelesaikan semuanya satu per satu. Aku kembali ke ruanganku setelah rapat selesai. Pikiranku masih berkecamuk. Baru saja aku duduk, pintu ruanganku diketuk pelan.
Bab 13Aku mengemudikan mobil dengan sisa tenaga yang kupunya. Mataku sedikit berkunang-kunang karena lebam di wajahku, sementara dadaku masih terasa nyeri akibat pukulan tadi. Aku menggertakkan gigi, menahan amarah yang belum juga reda.Begitu tiba di rumah, aku turun dengan langkah gontai. Argh sial sekali, ayah mertuaku sendiri yang memukuliku.Namun, baru saja aku menghempaskan tubuh ke tempat tidur, ponselku kembali bergetar. Dengan malas, aku meraihnya dan melihat nama yang tertera di layar: Pak Surya--Sekretaris Kantor Pusat.Aku langsung terduduk, mengusap wajahku yang masih terasa perih sebelum akhirnya mengangkat panggilan itu."Halo?""Pak Angkasa, Anda baik-baik saja?" Suara sekretaris terdengar sedikit ragu.Aku mengerutkan kening. "Ya, Pak. Ada apa?" tanyaku, mencoba terdengar profesional meskipun suaraku sedikit serak."Setelah kami amati beberapa minggu terakhir ini, sepertinya ada masalah dengan
Aku menatap tangannya yang menggenggam tanganku. Aku tahu Elena peduli, tapi aku tidak butuh ini sekarang.Perlahan, aku menarik tanganku. "Elena, aku menghargai niat baikmu."Elena menatapku dalam diam, lalu tersenyum kecil. "Aku mengerti. Tapi Mas, kalau suatu hari kamu sadar, aku harap kamu ingat, masih ada tempat untukmu kembali. Aku masih di sini, Mas. Menunggumu."Aku menatapnya dalam. Kasihan juga kekasihku ini. Entah kenapa Elena berubah jadi lembut begini, padahal terakhir ketemu Elena terus marah-marah.Elena lalu berdiri, merapikan tasnya, lalu tersenyum padaku. "Sekarang, pulanglah, Mas. Istirahatlah dulu. Jangan terlalu keras pada diri sendiri. Aku pulang dulu ya, aku tetap cinta sama kamu, apapun yang terjadi."Aku hanya bisa diam saat dia pergi meninggalkan kafe.***Hari-hari berlalu, aku memutuskan beristirahat tidak melakukan pencarian, meski Papa mendesakku agar terus mencari Cahaya."Pa, aku
Bab 12Aku langsung berdiri. "Di mana alamatnya?! Tolong beri tahu saya!"Suara di telepon menyebutkan alamat. Entah kenapa mendengarnya jantungku terasa berbunga-bunga. Tanpa berpikir panjang, aku langsung menghubungi Papa."Hallo Papa! Aku dapat informasi!""Apa?" "Ada yang melihat Cahaya di pinggiran kota!""Cepat susul dia! Bawa Cahaya pulang.""Baik, Pa, aku akan ke lokasi sekarang!"Tanpa membuang waktu, aku mengambil kunci mobil dan berlari keluar menuju tempat parkir.Aku tidak peduli seberapa jauh atau seberapa buruk kondisiku sekarang. Aku hanya ingin menemukan Cahaya. Aku menginjak pedal gas lebih dalam, membuat mobil melaju lebih cepat di jalan yang sepi. Malam sudah larut, tapi aku tidak peduli. Aku hanya ingin menemukan Cahaya secepat mungkin.Saat tiba di alamat yang disebutkan, aku langsung keluar dari mobil dan berdiri di depan kompleks kos-kosan kecil. Aku
"Kos-kosan punya kenalan. Tempatnya bersih, cukup nyaman buat istirahat. Aku udah ngobrol sama pemiliknya, dia bisa kasih harga murah, dan kalau kamu belum ada uang, bisa bayar belakangan."Cahaya menatapnya, bingung. "Kenapa kamu repot-repot nolongin aku?"Alam menatap lurus ke matanya. "Aku cuma nggak tega, Cahaya. Kamu hamil besar, sendirian, dan nggak punya tujuan. Aku bukan orang kaya, tapi kalau bisa bantu meskipun sedikit, kenapa nggak?"Cahaya menggigit bibir, hatinya berkecamuk. Sejak ia pergi dari rumah tadi pagi, ia tidak pernah membayangkan akan bertemu seseorang seperti Alam—orang asing yang dengan tulus mau membantunya tanpa pamrih.Perawat datang lagi dan mulai melepaskan infusnya. "Baik, Bu Cahaya, kalau sudah siap, nanti bisa langsung ke meja administrasi untuk penyelesaian berkas."Setelah perawat pergi, Alam berdiri. "Ayo, aku temenin ke luar."Mereka berjalan perlahan keluar dari ruang perawatan, menuju meja a
Bab 11Cahaya masih menggeleng lemah, tetap bersikeras. "Aku nggak mau ke rumah sakit…"Alam menghela napas panjang. "Bukan rumah sakit, kita ke puskesmas aja. Deket dari sini.""Tapi aku nggak mau berhutang…" suara Cahaya nyaris tak terdengar.Alam menatapnya dengan serius. "Siapa yang bilang kamu harus bayar? Di puskesmas nggak semahal rumah sakit. Yang penting kamu dan bayi kamu selamat."Namun, Cahaya tetap diam, menggigit bibirnya, menahan rasa sakit yang semakin menjadi-jadi. Alam mengumpat pelan. Melihat Cahaya yang makin pucat dan tubuhnya mulai gemetar, ia tahu tak bisa terus membujuknya dengan kata-kata.Tanpa pikir panjang, Alam langsung berdiri dan menoleh ke sekeliling. Ia melihat beberapa ibu pedagang kaki lima yang tengah duduk di bangku dekat warung, serta beberapa juru parkir yang tengah bersandar di bawah pohon."Ibu! Pak! Tolong bantu saya!" serunya lantang.Beberapa orang langsung menoleh. Se