Se connecter"Dia benar-benar tidak pulang ...." Alea menggumam pelan sambil memandangi halaman kediaman Ares yang luas.
Lily yang melihat majikannya tengah berdiri di ambang pintu utama dengan baju tidur berbahan satin berwarna soft pink, sontak berlari menghampiri dengan panik. "Nyonya Alea kenapa berdiri di sana? Nanti masuk angin ...," ucap pelayan cantik itu membuat Alea menoleh gelagapan. "Hah? Tidak apa-apa ... aku hanya bosan di dalam," jawab Alea kikuk. "Tunggu sebentar, Nyonya!" pinta perempuan berseragam hitam putih itu sebelum kemudian berlari memasuki kamar Alea. Beberapa saat kemudian, Lily kembali dengan luaran pakaian yang tengah Alea kenakan. Saat ini, perempuan itu memang mengenakan baju tidur bahan satin bermodel terusan sebawah lutut. Sedangkan yang Lily bawa adalah jubahnya yang memiliki lengan panjang dan lebar serta bagian bawah yang longgar juga menjuntai sampai kaki. "Tolong pakai ini, Nyonya ...," pinta si pelayan berambut sebahu yang diiyakan saja oleh Alea. Setelah mengenakan luaran jubah tidur itu, Alea mengajak Lily untuk keluar menuju halaman rumah guna mencari udara segar. Mereka pun duduk di bangku halaman yang sekitarnya dipenuhi tanaman bunga hias persis taman pribadi. "Apa Nyonya kesepian karena Tuan Ares belum pulang?" tanya Lily hati-hati. "Tidak. Dia bilang hari ini akan menginap di rumah orangtuanya," sanggah Alea cepat. Lily hanya mengangguk pelan. Begitu melirik pada pergelangan sang majikan yang masih diperban karena perempuan itu mencoba melenyapkan dirinya sendiri beberapa waktu lalu, Lily diam-diam meringis kasihan. "Saya paham kalau Nyonya tidak bahagia menikah dengan Tuan Ares. Tapi kalau boleh saya memberi saran, jangan melukai diri Anda sendiri lagi. Orang lain pasti akan melakukannya, Nyonya tidak perlu melakukan itu juga ...," ucap Lily lembut sambil menarik tangan berbalut kasa milik Alea. "Maaf. Aku hanya ... bingung? Aku merasa putus asa. Berhari-hari aku terkurung di sini, dan yang dilakukannya hanya menikmati tubuhku tanpa seizinku." Perlahan, Alea mulai bercerita sambil memandangi jemari lentik Lily yang mengusap-usap pergelangannya lembut. "Aku merasa kotor. Aku merasa tidak punya pilihan selain mati daripada hidup seperti ini. Apalagi setelah mendengar pelayan yang lain membicarakanku dan memandangku begitu rendah." Penjelasan Alea seketika membuat tubuh Lily menegang kaku. Ternyata, Alea mendengar gunjingan pelayan-pelayan itu tentangnya. Pantas saja Alea semakin merasa buruk dan begitu terluka. Bahkan sampai membuat sang majikan berusaha mengakhiri hidupnya. "Nyonya tidak serendah itu, aku tahu. Jangan bilang begitu ...," bantah Lily sambil kali ini mengusap punggung sempit Alea lembut. Menyadari ada seseorang yang membelanya, bibir Alea justru semakin melengkung sedih. Perempuan yang jarang menangis itu bahkan kini mulai meneteskan air mata. "Kenapa kau baik padaku? Kita belum lama saling mengenal ...," tanya Alea terharu sekaligus merasa bersyukur. "Karena aku mengerti perasaanmu, Nyonya. Kau juga orang baik. Kenapa aku harus jahat padamu?" sahut Lily sambil memberikan majikannya sebuah pelukan hangat. Pelukan yang tentu saja disambut Alea dengan rengkuhan tak kalah erat. "Tolong jadilah temanku, Lily ...," pinta Alea di sela pelukan mereka. Lily mengangguk senang. "Tentu saja. Nyonya tidak perlu meminta ...." ***** "Kenapa dia tidur di sini?" Ares mengernyit heran mendapati sang istri yang pagi ini terlelap di sofa ruang tengah. Perempuan itu berbaring menyamping dengan tubuh berbalut selimut menghadap televisi. Apa Alea ketiduran saat sedang menonton? Tapi, bukankah di kamar juga ada televisi? "Hei, bangunlah!" Ares menendang-nendang kaki Alea dengan kakinya sendiri. Tidak butuh waktu lama, perempuan itu berjingkat kaget dan terbangun. Alea bahkan langsung terduduk begitu melihat kehadiran suaminya. Seolah Ares adalah monster berbahaya yang bisa menerkamnya kapan saja. "Kenapa tidur di luar?" tanya Ares begitu Alea masih tampak linglung dan berusaha mengumpulkan nyawa. "Tadi malam aku menonton dengan Lily. Lalu sepertinya ketiduran," jawab Alea jujur sambil mengucek matanya yang masih setengah mengantuk. "Kau sepertinya dekat dengan Lily," komentar Ares yang tidak ditanggapi Alea. Karena jika dia menjawab iya, bisa saja Ares tiba-tiba memecat perempuan itu karena tidak suka Alea punya teman di rumah ini. Ares yang malah mengira istrinya masih linglung karena baru bangun, tentu saja tidak protes karena dicueki. "Oh iya, ada posisi kosong sebagai sekretaris pribadiku. Kau tidak mau bekerja di kantor pusat saja? Satu kantor denganku?" tanya Ares menawarkan begitu teringat sekretarisnya yang baru beberapa hari lalu resign. "Sekretaris pribadimu?" tanya Alea terdengar ragu. "Iya. Bukankah di perusahaan sebelumnya kau juga bekerja sebagai sekretaris?" jawab dan tanya Ares memastikan. Alea mengangguk pelan. "Nah, berarti bagus. Kau cocok di posisi itu karena punya pengalaman," sahut Ares cepat. Alea cemberut sambil menunduk. Ingin menyahut tapi takut Ares yang pagi ini terdengar dalam suasana hati yang bagus malah berubah murka. "Kenapa wajahmu tidak senang begitu? Kau tetap mau jadi tim humas?" Namun sepertinya, Ares mulai mengenal setiap gerak - gerik dan ekspresi sang istri. "Iyaa ... kalau boleh." Alea menyahut takut tanpa berani mendongak menatap suaminya. "Kenapa? Kalau alasanmu bagus, aku izinkan kau mau di mana saja." Ares bertanya penasaran sambil duduk pada sofa di hadapan Alea. Melihat pria itu yang menunggu jawabannya sambil bersedekap dada, Alea pun meringis kian gugup. "Lupakan saja lah!" sahut perempuan itu kikuk. "Tidak bisa. Aku sudah terlanjur penasaran." Ares menyahut cepat. "Jelaskan! Kenapa kau tidak mau jadi sekretaris pribadiku?" sambung pria itu cepat sambil menatap lurus ke netra biru terang Alea. Alea memainkan perban di pergelangan tangannya sambil menunduk dalam. "Aku bekerja supaya tidak sering bertemu denganmu. Jadi untuk apa aku bekerja sebagai sekretaris pribadimu?" jawab Alea lirih. "Di rumah aku sudah jadi seperti budakmu. Aku tidak mau di luar rumah juga melakukan itu. Aku ingin suasana yang baru ...." Sejenak, Ares terdiam mendengar jawaban cukup berani perempuan itu. "Jadi, kau tidak suka terlalu sering bertemu denganku?" tanya Ares malah mempertegas. Dan anggukan Alea lagi-lagi membuat pria berahang tegas itu kehilangan kata-kata. "Aku takut padamu. Jadi aku tidak nyaman kalau kita harus menghabiskan waktu bersama seharian penuh ...," jawab Alea kelewat jujur. Menyadari Ares yang masih tidak menyahut sama sekali, Alea pikir suaminya marah. Maka, perempuan berambut hitam legam itu pun semakin berucap panik. "Maaf ... aku tidak bermaksud menolak tawaranmu. Tapi aku benar-benar tidak nyaman ...." Sadar Ares yang terus diam, Alea pun memberanikan diri untuk mendongak. Lalu, saat menemukan wajah datar suaminya, perempuan itu pun diam-diam menghela lega. Sepertinya Ares tidak marah. "Baiklah, tetaplah di tim humas. Hari ini kau bisa mulai bekerja." Ares menjawab datar sambil mengeluarkan dompet dari saku celana. Berikutnya, pria itu melempar sebuah kartu berwarna hitam ke pangkuan Alea. "Pakai itu untuk membeli apa pun yang kau butuhkan. Beli juga pakaian untuk kerja." Ares menginfokan sebelum perempuan itu bertanya. "Aku punya banyak baju kerja di rumah Mama," sahut Alea cepat. "Beli yang baru dan layak. Ingat, kau menantu keluarga Zelardo. Jangan mempermalukanku!" peringat Ares sebelum kemudian bangkit berdiri dan pergi. Pria bernetra cokelat itu mengunci pintu begitu sampai kamarnya. Kamar yang jelas saja terpisah dengan kamar istrinya. Pria itu diam-diam kesal dengan alasan yang ia sendiri tidak mengerti. Mengetahui Alea yang takut bahkan tidak nyaman berada di dekatnya membuat ego Ares merasa terluka. "Apa hebatnya Matheo sampai dia begitu pasrah dan nyaman diajak kabur oleh pria si*lan itu?!" gumam Ares ketus. "Aku suaminya. Bagaimana pun, seharusnya dia merasa nyaman saat bersamaku! Bukan dengan pria lain!" "Aku tidak semenyeramkan itu untuk ditakuti ....""Nyonya, Tuan Ares pulang!" Alea yang sore itu mendapat informasi dari sang pelayan sontak menoleh terkejut. Perempuan yang tengah berkutat di dapur itu sontak menghentikan kegiatan kemudian mencuci tangan."Kenapa cepat sekali? Bukankah seharusnya dia pulang minggu depan?" gumam Alea bingung.Sebelum pertanyaannya sempat terjawab oleh spekulasi yang berkeliaran di kepala, suara derap langkah yang memasuki dapur membuyarkan isi kepala Alea. Di ambang pintu dapur, Ares sejenak terpaku menyadari kehadiran istrinya yang masih mengenakan pakaian kerja formal berbalut apron; pertanda perempuan itu tengah memasak."Kenapa sudah pulang?" tanya Alea spontan.Ares melangkah menuju kulkas kemudian membukanya tanpa suara. Pria itu bahkan mengambil gelas di rak perabot dekat Alea kemudian menuangkan sebotol air dingin ke dalam gelas. Tampak tidak berniat menjawab pertanyaan istrinya sama sekali.Alea yang tidak suka diabaikan tentu saja memegangi lengan kekar suaminya yang menggenggam gelas. "Ap
"Dia pikir aku peduli?!"Alea memaki sambil menghempaskan tubuh di atas ranjang king size kamarnya. Begitu ucapan Aluna kembali melintas di benak, perempuan itu sontak berbaring tengkurap dan berteriak sebal. Dari gelagatnya saja, seluruh benda mati dalam kamar luas itu pun tahu Alea tengah berbohong pada dirinya sendiri.Sejujurnya, ia lebih dari peduli. Ia sangat memikirkan ucapan Aluna tadi."Bukankah semalam suamimu menginap di rumahku?" Pertanyaan bernada penuh ejekan itu lagi-lagi melintas di benaknya.Dan Alea sama sekali tidak mengerti kenapa sekarang dia merasa begitu murka."Ares sialan! Kau pikir aku peduli dengan siapa saja kau tidur?" gumam perempuan itu sambil meremas bantal yang berhasil tangannya gapai."Aku punya kekasih. Jika ingin, aku juga bisa tidur dengan pria lain!" maki Alea sambil bangkit dan berlalu menuju kamar mandi.Sepertinya ia harus menyegarkan pikiran. Supaya bayangan Ares dan Aluna yang memadu kasih di kepala segera enyah.Siapa peduli Ares berbohong
"Hari ini ada syuting film artis agensi kita di dekat kantor. Ada yang mau pergi menonton?" Pak Tama bertanya pada timnya yang sore ini terlihat merapikan meja, bersiap-siap untuk pulang."Aku mau pergi!" Aira, salah satu karyawan magang berponi rata menyahut antusias.Perempuan itu bahkan mengangkat tangan kelewat tinggi, membuat Alea dan Rindi terkekeh geli dengan tingkahnya."Kalian pergilah, aku masih ada urusan dengan tim pemasaran." Bu Naya selaku kepala tim humas pamit dan berlalu keluar ruangan."Aku juga akan ikut menemani Aira," sahut Rindi sambil merangkul karyawan magang yang lebih muda darinya tersebut."Kak Alea, kau juga ikut, ya?" ajak Aira semangat yang tentu saja diangguki Alea tak kalah antusias.Setidaknya ia tidak pulang cepat hari ini. Lagipula, Ares juga sedang di luar negeri. Perempuan itu bisa bermain sesuka hati sampai kapan pun. Apalagi sekarang ia sudah punya supir pribadi.Setelah Pak Tama pamit sambil menitipkan beberapa berkas padanya, ketiga perempuan d
"Ares ...."Panggilan dari ambang pintu membuat pria yang malam ini mengenakan pakaian kerja lengkap perlahan menoleh. Begitu mendapati presensi sang istri dengan pakaian yang lebih rapi darinya, Ares sontak menyunggingkan senyum.Senyum yang diam-diam membuat Alea menunduk gugup.Di ambang pintu ruang kerja Ares yang berada di lantai dua, Alea berdiri dengan setelan kemeja putih ketat serta rok selutut. Tampak normal sebenarnya, tapi mengingat apa yang akan mereka lakukan malam ini, membuat penampilan perempuan itu terlihat berbeda.Tidak seperti hari biasanya, lipstick perempuan itu bahkan berwarna merah menyala. Sedang rambutnya terkuncir satu cukup tinggi. Jangan lupakan buah dada Alea yang tampak seolah akan meledak keluar dari kancing kemejanya yang ketat.Rok hitam yang sama sempit itu bahkan membuat lekuk pinggul istrinya terlihat jelas. Dengan pakaian serapi itu, Ares bahkan bisa membayangkan tubuh telan jang Alea di balik pakaian."Pakaiannya terlalu kecil ...," komentar Ale
"Aku sudah siap!"Ares menatap tajam perempuan yang baru saja tiba di hadapannya dengan antusias. Lengkap beserta setelan kemeja biru muda dipadu rok span berwarna putih setinggi lutut."Kau mau bekerja atau menggoda pria?!" tanya Ares sinis sambil bersedekap dada.Alea memandangi penampilannya dari atas sampai bawah. "Apakah ini terlalu terbuka? Biasanya aku memakai pakaian seperti ini saat bekerja ...." Perempuan yang hari ini mengikat rambutnya tinggi menggumam bingung.Ares mendengkus namun tak ayal bangkit dan segera merangkul pinggang ramping sang istri. "Sudahlah, lupakan saja!" sahutnya kemudian menggiring Alea keluar rumah.Setelah keduanya pergi dengan mobil hitam metalic milik Ares, Alea terus tersenyum sepanjang perjalanan menuju kantor. Ares yang menyadari itu kali ini tidak berminat merecoki."Berarti kantorku dan kantormu berbeda lokasi, kan?" tanya Alea memastikan."Iya. Tenang saja, jaraknya sekitar satu koma dua kilometer dari kantor pusat. Aku tidak sering mengunjun
"Dia benar-benar tidak pulang ...." Alea menggumam pelan sambil memandangi halaman kediaman Ares yang luas.Lily yang melihat majikannya tengah berdiri di ambang pintu utama dengan baju tidur berbahan satin berwarna soft pink, sontak berlari menghampiri dengan panik."Nyonya Alea kenapa berdiri di sana? Nanti masuk angin ...," ucap pelayan cantik itu membuat Alea menoleh gelagapan."Hah? Tidak apa-apa ... aku hanya bosan di dalam," jawab Alea kikuk."Tunggu sebentar, Nyonya!" pinta perempuan berseragam hitam putih itu sebelum kemudian berlari memasuki kamar Alea.Beberapa saat kemudian, Lily kembali dengan luaran pakaian yang tengah Alea kenakan. Saat ini, perempuan itu memang mengenakan baju tidur bahan satin bermodel terusan sebawah lutut. Sedangkan yang Lily bawa adalah jubahnya yang memiliki lengan panjang dan lebar serta bagian bawah yang longgar juga menjuntai sampai kaki."Tolong pakai ini, Nyonya ...," pinta si pelayan berambut sebahu yang diiyakan saja oleh Alea.Setelah meng







