Share

Tak Lagi Berharap
Tak Lagi Berharap
Author: Yeya

Bab 1

Author: Yeya
Saat dokter ke-99 menegaskan bahwa aku tidak akan pernah bisa hamil seumur hidup, suamiku meninggalkanku tanpa ragu.

Aku mengejarnya sampai ke kantornya. Dari balik pintu, aku mendengar suara orang berhubungan intim.

"Vio, lahirkan anak untukku dan jadi istriku, ya?"

Tanganku yang hendak mengetuk pintu, terkulai lemas begitu mendengar kalimat Rendra itu.

Setiba di rumah, aku menurunkan semua foto pernikahan kami. Pandanganku tanpa sengaja jatuh pada sebuah buku harian suamiku yang sudah lama tidak pernah disentuhnya.

Aku yang penuh amarah, menulis empat kata di atasnya: [Rendra, hubungan kita berakhir!]

Tiba-tiba, muncul kalimat lain tepat di bawah tulisanku: [Siapa kamu? Kenapa kamu menulis di buku harianku?]

Aku terlalu dikuasai emosi, sampai lupa takut. Aku pun membalas: [Aku Citra. Karena kamu nggak mencintaiku.]

Huruf demi huruf meloncat keluar: [Kamu Citra?]

[Nggak mungkin. Sebenarnya kamu siapa?]

[Kenapa kamu bisa muncul di buku harianku?]

Tiga pertanyaan muncul berturut-turut.

Aku terkejut, lalu spontan melemparkan buku itu.

Dua menit kemudian, aku menggapai kembali buku itu setelah tenang.

Aku menatap tulisan di atas, lalu membalas: [Ini buku harianmu? Siapa kamu?]

Jawabannya muncul: [Aku Rendra.]

Dua kata itu tertulis rapi.

Tanganku sontak bergetar.

Apakah penulis itu Rendra di usia tujuh belas?

Sebelum aku mencerna situasi ini, barisan kalimat lain pun muncul. Orang di sana bertanya dengan gelisah: [Kamu belum menjawabku! Sebenarnya siapa kamu?]

Aku buru-buru menjawab di bawah: [Aku Citra di usia tiga puluh.]

Lalu kutambahkan: [Kamu akan mengkhianatiku di masa depan. Jadi, kamu di usia tujuh belas tolong jangan mendekatiku.]

Tidak ada balasan lagi di buku harian itu.

Sampai sepuluh detik kemudian, ujung pena bergerak bagai torehan pisau yang menyobek kertas. Dua kata muncul di atasnya: [Nggak mungkin!]

Aku seakan bisa melihat sosok Rendra di usia tujuh belas yang tampak marah, dan mengulang sumpah yang akan dia ingkar di masa depan.

Cinta Rendra di saat itu sangat murni dan penuh tekad kuat. Dia tentu tidak bisa membayangkan bahwa dirinya akan menjadi sekejam dan sedingin itu di usia tiga puluh.

Ketika aku hendak membalas, pintu rumah tiba-tiba terbuka. Angin malam masuk, meniup halaman buku hingga terbalik.

Aku menutup buku harian itu. Rendra yang berusia tiga puluh tahun masuk dan sibuk mengobrak-abrik laci.

Dulu, setiap kali dia pulang, dia akan memelukku dari belakang dan mengecup lembut rambutku seperti seekor kucing.

Setiap kali aku menghindarinya, dia akan mendekat, lalu membisikkan kata-kata yang membuatku tersipu.

Namun, dia yang sekarang bahkan enggan memandangku lebih dari setengah detik.

Setelah hampir sepuluh menit mencari, dia masih tidak menemukan barang yang diinginkan. Dia lalu bertanya dengan nada jengkel.

"Apa kamu melihat pusaka Keluarga Baskara?" tanya Rendra.

"Anak dalam kandungan Vio itu anak laki-laki. Pusaka keluarga selalu diwariskan pada putra sulung," lanjut Rendra.

Hatiku merasa sakit.

Aku masih ingat, di hari pernikahan kami, Rendra menyerahkan pusaka itu ke tanganku di hadapan semua tamu dan memintaku untuk menyimpannya.

Saat itu, adik laki-laki Rendra sangat tidak puas. Dia berkata, "Kak, pusaka keluarga harus diwariskan ke setiap generasi. Semua orang tahu kakak ipar nggak bisa mengandung, gimana bisa dia menerima pusaka Keluarga Baskara?"

Sejak kecelakaan tiga belas tahun lalu, tubuhku terluka dan aku tidak bisa mengandung.

Tidak ada yang berani membicarakan hal ini di depan Rendra, tetapi tidak disangka, adiknya malah mengatakannya di depan para tamu saat pernikahan mereka.

Suasana di tempat berubah canggung.

Tatapan semua orang berfokus padaku.

Rendra menggenggam erat tanganku, menampar adiknya, lalu berkata dengan tegas, "Meski Citra nggak bisa melahirkan, tetap hanya dia yang layak menjaga pusaka Keluarga Baskara!"

Saat itu, aku bersyukur telah menikahi pria yang tepat.

Selama lima tahun ini, aku selalu menjaga pusaka itu dengan hati-hati.

Namun, sekarang dia malah mengingkari janji sendiri.

Aku membuka laci di hadapanku, lalu mengeluarkan sebuah giok bertuliskan Sehat Selalu.

Rendra segera merebutnya dan tersenyum puas. "Akhirnya ketemu. Kalau Vio memakai ini, dia dan anakku pasti akan sehat selalu," ujar Rendra.

Baru setelah itu, dia menatapku sejenak. Rasa dingin di matanya tidak disembunyikan sama sekali.

"Pusaka ini memang seharusnya diwariskan turun-temurun. Kini Vio mengandung anakku, jadi pusaka ini harus diberi ke dia," ucap Rendra.

"Aku pergi dulu, aku mau menemui Vio. Setelah itu, aku akan pulang dan merayakan peringatan pernikahan kita bersamamu," lanjut Rendra.

Setiba di pintu, langkahnya tiba-tiba berhenti. Dia menoleh kepadaku dengan tatapan iba.

"Tenang saja. Meski Vio melahirkan anak laki-laki, kamu tetap istriku," ujar Rendra.

Memberi sayang setelah menyakitiku adalah kebiasaan Rendra dalam beberapa tahun terakhir.

Aku hanya bisa tersenyum kecut, menatap dia pergi dengan senang

Dia bilang aku istrinya, tetapi dia malah memiliki anak dengan wanita lain.

Aku kembali membuka buku harian. Di sana, muncul kalimat baru: [Karena menunggu jawabanmu terlalu lama, aku kehilangan posisi di belakangnya.]

Aku segera mengambil foto kelulusan kami dan menemukan bahwa posisi Rendra di usia tujuh belas dalam foto itu benar-benar telah berubah.

Aku menatap buku harian itu dengan kejut. Jari-jariku bergetar hebat.

Apakah Rendra yang menulis buku harian itu benar-benar bisa mengubah masa depan?
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tak Lagi Berharap   Bab 8

    Viona berontak sekuat tenaga sambil berteriak histeris, "Rendra, kamu nggak bisa memperlakukanku seperti ini! Nggak boleh!""Dulu jelas-jelas kamu yang datang mencariku. Kamu bilang Citra mandul, menikahinya adalah kesalahan terbesar dalam hidupmu!""Kamu bilang selama aku bisa memberimu anak, kamu akan menikahiku. Kamu menipuku dengan janji manis!""Rendra, aku benci padamu! Aku benci!"Mendengar Viona membongkar semua rahasia, tatapan Rendra berubah menjadi kelam. Dia berteriak keras, "Tutup mulutnya!"Seorang pengawal segera menutup mulut Viona, sementara yang lain mengangkat kakinya. Dengan cepat, mereka menyeretnya keluar.Jeritan Viona perlahan menjauh, hingga akhirnya hilang sama sekali. Ekspresi Rendra berubah-ubah, dia berkata dengan canggung, "Citra, jangan percaya omongannya. Dia cuma mau merusak hubungan kita.""Sekarang aku sudah benar-benar menyingkirkannya. Nggak ada lagi yang bisa merusak hubungan kita.""Citra, ikut aku pulang, ya?" Rendra mengulurkan tangan, tatapann

  • Tak Lagi Berharap   Bab 7

    Aku menghapus semua kontak Rendra dari ponselku, lalu menyewa sebuah kamar.Sejak menikah dengannya, aku tidak pernah bekerja. Kini, bukan hal yang mudah bagiku untuk mencari pekerjaan.Untungnya, sahabatku punya perusahaan. Dia memberiku jabatan yang ringan. "Citra, kalau sudah di perusahaanku, kamu cukup kerja dengan tenang," ucap sahabatku.Dia melanjutkan, "Kalau ada yang berani mengganggumu, bilang saja, biar aku yang turun tangan."Setelah berkata begitu, dia menyodorkan segelas kopi hangat untukku. Senyumnya sangat tulus."Terima kasih," kataku.Dia tertawa, lalu berkata, "Kita sahabat, kamu nggak perlu begitu segan."Kupikir setelah perceraian, hidupku akhirnya bisa tenang. Namun, tidak kusangka, keesokan harinya, Viona justru datang mengamuk ke perusahaan sahabatku."Citra, dasar pembunuh! Kembalikan anakku!" teriak Viona.Rambut Viona berantakan, wajahnya pucat pasi, dia benar-benar terlihat seperti orang gila. Begitu melihatku, dia langsung melemparkan tas ke arahku.Aku tid

  • Tak Lagi Berharap   Bab 6

    Aku berusaha sekuat tenaga menarik koper dari genggaman Rendra.Namun, kekuatannya jauh lebih besar dariku. Bagaimanapun aku berusaha, koper itu tidak berpindah.Akhirnya aku melepaskannya begitu saja, lalu berbalik pergi.Rendra berjalan maju untuk menarik lenganku, lalu bertanya dengan tegas, "Kamu mau ke mana?""Rendra!" bentakku.Aku menepis tangannya dengan sekuat tenaga, lalu memelototinya dengan tajam. "Aku sudah bercerai denganmu seperti yang kamu mau. Mulai sekarang, kamu bisa hidup mesra dengan Viona. Nggak ada yang akan mengganggu kalian."Aku bertanya lagi, "Kamu masih mau apa dariku?"Ada seberkas rasa bersalah melintas di mata Rendra, membuat aura dominannya meredup.Ketika dia menatapku, tatapannya berubah lebih lembut. "Citra, bisakah kita duduk dan bicara baik-baik?" tanya Rendra."Maaf, aku nggak punya waktu," jawabku.Selesai berkata, aku pun berbalik pergi.Biarpun tanpa koper, aku tetap harus meninggalkan rumah yang sudah lama membuatku muak.Rendra mengejarku dan

  • Tak Lagi Berharap   Bab 5

    "Ka … kamu …."Rendra di usia tiga puluh terkejut menatap pemuda di hadapannya yang berwajah sama persis dengan dirinya, hanya saja lebih muda. Tubuhnya terpaku seolah disambar petir, tangannya bahkan tidak mampu menggenggam pisau.Pisau steik jatuh ke lantai dan menimbulkan dentang nyaring.Rendra terhuyung lalu terjatuh ke kursi. Wajahnya pucat, kedua mata kosong tidak berfokus.Di saat itu, Rendra di usia tujuh belas menoleh ke arahku, lalu tersenyum dan berkata, "Citra, sudah kubilang, aku akan melindungimu …."Sebelum dia sempat menyelesaikan kalimatnya, sosoknya perlahan menghilang seperti asap tipis.Aku juga merasa terkejut dan terpaku di tempat.Hanya Viona yang menjerit ketakutan, "Rendra! Tanganmu! Kenapa di telapak tanganmu ada bekas luka?"Suara itu seketika membuat Rendra di usia tiga puluh tersadar. Dia buru-buru menunduk, menatap telapak tangannya.Pupil Rendra mendadak mengecil karena kaget. Tubuhnya bergetar hebat, napasnya tercekat.Beberapa detik kemudian, dia mengg

  • Tak Lagi Berharap   Bab 4

    Setiba di kafe, aku melihat Rendra sedang menyuapi tar telur ke mulut Viona.Saat Viona melihatku, dia tersenyum seolah menantang. "Citra, lihatlah Rendra yang keras kepala ini, dia terus mau menyuapku," kata Viona."Awalnya aku mau pergi menemuimu sendiri, tapi sejak hamil, aku sulit bergerak. Jadi Rendra memintamu yang datang," lanjut Viona.Dia menambahkan lagi, "Ah, maaf ya, aku lupa kamu nggak pernah hamil, jadi mungkin kamu nggak tahu betapa sulitnya mengandung itu."Aku yang dulu pasti akan marah saat mendengar kalimat seperti itu.Namun, aku tidak lagi menghiraukannya sekarang.Aku menoleh ke Rendra, lalu bertanya dengan datar, "Ada urusan apa?"Rendra menyuapkan tar telur terakhir ke mulut Viona, lalu mengusap sudut bibirnya dengan lembut. Tatapannya penuh kasih sayang.Namun, ketika menoleh padaku, tatapan itu langsung berubah dingin. "Citra, mari kita bercerai," ujar Rendra. "Anak di kandungan Vio akan segera lahir. Sebagai ayah, aku nggak bisa membiarkan dia diejek oleh or

  • Tak Lagi Berharap   Bab 3

    Bekas luka yang menemaniku selama tiga belas tahun tiba-tiba hilang.Air mataku langsung mengalir.Kubuka kembali buku harian itu. Di sana muncul kalimat baru, tulisannya miring dan tidak teratur, seolah-olah penulisnya tidak bertenaga.[Citra, aku berhasil menyelamatkanmu.]Setelah emosiku tenang, aku pun membalas.[Itu memang seharusnya kamu lakukan.]Kalau bukan karena rasa sukanya.Kalau bukan karena cinta yang kelak akan dia khianati.Aku tidak akan pernah diserang oleh Viona sampai akhirnya kehilangan organ terpenting seorang wanita.Rendra di usia tiga puluh malah memiliki anak dengan wanita yang menghancurkanku dan menyakitiku sekali lagi.Tulisan baru kembali muncul di buku harian itu. Tulisannya kurang jelas, seakan ditulis dengan penuh kesakitan.[Citra, ada hal lain yang bisa kulakukan untukmu?]Saat Rendra di usia tujuh belas menuliskan tanda tanya, aku segera membalas: [Sudah kubilang, pergilah dari hidupku.][Menghilanglah dari pandanganku. Jangan jadikan cintamu saat in

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status