Share

Bab 2

Author: Yeya
Sebelum sempat aku mencerna, sebaris kalimat baru muncul di atas buku harian itu lagi: [Kalau kamu benar-benar Citra, coba beri tahu di foto kelulusan itu, aku berdiri di posisi mana?]

Aku segera membalas: [Kamu berdiri tepat di belakang Viona.]

Tidak ada balasan lagi di buku harian itu.

Satu menit berlalu tanpa jawaban. Aku pun menggenggam pena erat-erat, menuliskan kalimat lain.

[Rendra, kumohon pergilah dari hidupku.]

[Kenapa? Kalau kamu benar-benar Citra, memangnya kamu nggak tahu aku menyukaimu?]

Tanda tanya di ujung kalimat itu digoreskan begitu kuat hingga menembus kertas.

Aku membalas: [Suka? Karena rasa sukamu itulah, sehari setelah foto kelulusan, aku ditusuk oleh orang utusan Viona. Rahimku terluka, aku nggak bisa mengandung seumur hidup!]

[Tapi di usia tiga puluh, kamu malah membuat Viona mengandung anakmu!]

Setiap aku menulis satu kata, kenangan lama kembali menyayat benakku.

Aku pernah mencoba melupakan kenangan ini, tetapi di setiap malam-malam panjang, ingatan itu selalu menggangguku hingga aku tidak bisa tidur.

Masa lalu itu telah menjadi mimpi buruk yang tidak pernah bisa kulupakan.

Tiga belas tahun lalu, Viona meminta Rendra berdiri di belakangnya saat foto kelulusan. Namun, Rendra menolak.

Dia memilih berdiri di belakangku. Dia bilang tidak hanya saat itu, tetapi kelak saat foto pernikahan kami, dia juga akan berdampingan denganku.

Kalimat sederhana itu membuatku tersipu.

Keesokan harinya, Viona yang cemburu menyuruh sekelompok preman menghadangku di gang sempit.

Rendra datang terlambat. Saat melihatku yang sudah berlumuran darah, dia menangis histeris karena ketakutan.

Dia menggendongku berlari ke rumah sakit seperti orang gila. Matanya merah, dia terus memohon kepada dokter untuk menyelamatkanku.

Sayangnya, semuanya sudah terlambat. Rahimku rusak parah, aku tidak akan bisa mengandung selamanya.

Rendra memelukku sambil menangis. Dia bersumpah akan mencintaiku seumur hidup dan tidak akan pernah membiarkanku terluka lagi.

Namun, aku tidak menyangka dia justru berselingkuh dengan Viona yang menghancurkan hidupku. Bahkan, memiliki anak dengannya.

[Rendra, berjanjilah padaku. Kalau kamu benar-benar menyukaiku, pergilah dari hidupku.]

[Makin jauh, makin baik! Janji, ya?]

[Anggap saja ini permohonanku.]

Setelah menunggu lama dan masih tidak mendapat balasan, aku memeluk buku harian itu sambil meringkuk di lantai hingga akhirnya tertidur.

Dalam mimpi, aku melihat Rendra yang berusia tujuh belas berlari panik di gang gelap.

Dia tampak panik dan cemas

Saat itu juga, aku tiba-tiba terbangun karena kedinginan. Kulihat malam sudah larut.

Rendra di usia tiga puluh tidak pulang sepanjang malam, bahkan tidak ada satu pun telepon atau pesan darinya.

Sementara itu, status WhatsApp Viona diperbarui setiap sepuluh menit. Total sudah ada tiga puluh status yang diunggah.

Status pertama adalah video Rendra mengenakan pusaka Keluarga Baskara ke lehernya.

Status kedua adalah Rendra yang meniup sup ayam untuk Viona, kemudian menyuapnya.

Status ketiga adalah Rendra sedang menyandarkan kepalanya ke perut Viona untuk mendengar gerakan janin. Wajahnya tampak bahagia sekali.

Di bawah setiap unggahan status itu, dipenuhi tombol suka dan ucapan selamat dari teman-teman mereka.

[Selamat Pak Rendra telah menjadi ayah baru.]

[Sudah kubilang Rendra nggak akan terus menunggu Citra yang nggak bisa mengandung itu. Dulu kalian masih nggak percaya padaku.]

[Citra mana pantas jadi istri Pak Rendra? Viona dan Pak Rendra baru pasangan yang serasi.]

Rendra memberi tanda suka di setiap unggahan.

Mungkin dia juga berpikir begitu.

Setelah berhenti melihat status WhatsApp, aku berbaring di atas sofa. Kepalaku terasa pusing, dan akhirnya aku tertidur.

Di dalam mimpi, Rendra di usia tujuh belas akhirnya berhasil keluar dari gang.

Dia melihatku digebuk oleh segerombolan preman. Viona di usia tujuh belas mengeluarkan sebuah pisau, kemudian menghunuskan pisau ke perutku.

"Citra!" teriak Rendra.

Sesaat kemudian, Rendra berlari maju dengan mata yang merah.

Targetnya adalah pemimpin preman itu. Tangannya meraih batu bata, lalu menghantamkan batu itu berkali-kali ke kepala pemimpin preman.

Preman lainnya maju dan menusuk Rendra berkali-kali.

Rendra tidak peduli, dia menggenggam erat batu bata di tangannya yang berlumuran darah. Dengan sisa tenaga, dia menghantam batu itu ke kepala pemimpin preman hingga kepalanya bocor, lalu berteriak kepada preman lainnya dengan wajah bengis.

"Kalau kalian nggak takut mati, ayo maju ke sini!" teriak Rendra.

Para preman terkejut oleh aura nekatnya, mereka kabur terbirit-birit.

Setelah mereka menghilang dari gang, Rendra akhirnya tidak tahan lagi dan jatuh di depanku.

Kami bertatapan, matanya penuh tekad. Dia tersenyum dengan bangga sambil berkata, "Citra, sudah kubilang aku akan melindungimu dan aku menepatinya."

Aku berteriak, "Rendra! Aku nggak butuh perlindunganmu!"

"Pergilah dari hidupku!"

Aku meneriaki namanya. Saat aku terbangun, air mata telah membasahi wajahku.

Aku duduk di sofa dan menarik napas dengan buru-buru. Tubuhku gemetar, entah karena dingin atau ketakutan.

Aku menunduk, melihat buku harian di pelukanku. Pikiranku agak kacau, aku tidak bisa membedakan apakah itu mimpi atau ingatan dari kenyataan yang telah terjadi.

Kutarik bajuku dan meraba perutku dengan kedua tangan. Seketika tubuhku menjadi kaku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tak Lagi Berharap   Bab 8

    Viona berontak sekuat tenaga sambil berteriak histeris, "Rendra, kamu nggak bisa memperlakukanku seperti ini! Nggak boleh!""Dulu jelas-jelas kamu yang datang mencariku. Kamu bilang Citra mandul, menikahinya adalah kesalahan terbesar dalam hidupmu!""Kamu bilang selama aku bisa memberimu anak, kamu akan menikahiku. Kamu menipuku dengan janji manis!""Rendra, aku benci padamu! Aku benci!"Mendengar Viona membongkar semua rahasia, tatapan Rendra berubah menjadi kelam. Dia berteriak keras, "Tutup mulutnya!"Seorang pengawal segera menutup mulut Viona, sementara yang lain mengangkat kakinya. Dengan cepat, mereka menyeretnya keluar.Jeritan Viona perlahan menjauh, hingga akhirnya hilang sama sekali. Ekspresi Rendra berubah-ubah, dia berkata dengan canggung, "Citra, jangan percaya omongannya. Dia cuma mau merusak hubungan kita.""Sekarang aku sudah benar-benar menyingkirkannya. Nggak ada lagi yang bisa merusak hubungan kita.""Citra, ikut aku pulang, ya?" Rendra mengulurkan tangan, tatapann

  • Tak Lagi Berharap   Bab 7

    Aku menghapus semua kontak Rendra dari ponselku, lalu menyewa sebuah kamar.Sejak menikah dengannya, aku tidak pernah bekerja. Kini, bukan hal yang mudah bagiku untuk mencari pekerjaan.Untungnya, sahabatku punya perusahaan. Dia memberiku jabatan yang ringan. "Citra, kalau sudah di perusahaanku, kamu cukup kerja dengan tenang," ucap sahabatku.Dia melanjutkan, "Kalau ada yang berani mengganggumu, bilang saja, biar aku yang turun tangan."Setelah berkata begitu, dia menyodorkan segelas kopi hangat untukku. Senyumnya sangat tulus."Terima kasih," kataku.Dia tertawa, lalu berkata, "Kita sahabat, kamu nggak perlu begitu segan."Kupikir setelah perceraian, hidupku akhirnya bisa tenang. Namun, tidak kusangka, keesokan harinya, Viona justru datang mengamuk ke perusahaan sahabatku."Citra, dasar pembunuh! Kembalikan anakku!" teriak Viona.Rambut Viona berantakan, wajahnya pucat pasi, dia benar-benar terlihat seperti orang gila. Begitu melihatku, dia langsung melemparkan tas ke arahku.Aku tid

  • Tak Lagi Berharap   Bab 6

    Aku berusaha sekuat tenaga menarik koper dari genggaman Rendra.Namun, kekuatannya jauh lebih besar dariku. Bagaimanapun aku berusaha, koper itu tidak berpindah.Akhirnya aku melepaskannya begitu saja, lalu berbalik pergi.Rendra berjalan maju untuk menarik lenganku, lalu bertanya dengan tegas, "Kamu mau ke mana?""Rendra!" bentakku.Aku menepis tangannya dengan sekuat tenaga, lalu memelototinya dengan tajam. "Aku sudah bercerai denganmu seperti yang kamu mau. Mulai sekarang, kamu bisa hidup mesra dengan Viona. Nggak ada yang akan mengganggu kalian."Aku bertanya lagi, "Kamu masih mau apa dariku?"Ada seberkas rasa bersalah melintas di mata Rendra, membuat aura dominannya meredup.Ketika dia menatapku, tatapannya berubah lebih lembut. "Citra, bisakah kita duduk dan bicara baik-baik?" tanya Rendra."Maaf, aku nggak punya waktu," jawabku.Selesai berkata, aku pun berbalik pergi.Biarpun tanpa koper, aku tetap harus meninggalkan rumah yang sudah lama membuatku muak.Rendra mengejarku dan

  • Tak Lagi Berharap   Bab 5

    "Ka … kamu …."Rendra di usia tiga puluh terkejut menatap pemuda di hadapannya yang berwajah sama persis dengan dirinya, hanya saja lebih muda. Tubuhnya terpaku seolah disambar petir, tangannya bahkan tidak mampu menggenggam pisau.Pisau steik jatuh ke lantai dan menimbulkan dentang nyaring.Rendra terhuyung lalu terjatuh ke kursi. Wajahnya pucat, kedua mata kosong tidak berfokus.Di saat itu, Rendra di usia tujuh belas menoleh ke arahku, lalu tersenyum dan berkata, "Citra, sudah kubilang, aku akan melindungimu …."Sebelum dia sempat menyelesaikan kalimatnya, sosoknya perlahan menghilang seperti asap tipis.Aku juga merasa terkejut dan terpaku di tempat.Hanya Viona yang menjerit ketakutan, "Rendra! Tanganmu! Kenapa di telapak tanganmu ada bekas luka?"Suara itu seketika membuat Rendra di usia tiga puluh tersadar. Dia buru-buru menunduk, menatap telapak tangannya.Pupil Rendra mendadak mengecil karena kaget. Tubuhnya bergetar hebat, napasnya tercekat.Beberapa detik kemudian, dia mengg

  • Tak Lagi Berharap   Bab 4

    Setiba di kafe, aku melihat Rendra sedang menyuapi tar telur ke mulut Viona.Saat Viona melihatku, dia tersenyum seolah menantang. "Citra, lihatlah Rendra yang keras kepala ini, dia terus mau menyuapku," kata Viona."Awalnya aku mau pergi menemuimu sendiri, tapi sejak hamil, aku sulit bergerak. Jadi Rendra memintamu yang datang," lanjut Viona.Dia menambahkan lagi, "Ah, maaf ya, aku lupa kamu nggak pernah hamil, jadi mungkin kamu nggak tahu betapa sulitnya mengandung itu."Aku yang dulu pasti akan marah saat mendengar kalimat seperti itu.Namun, aku tidak lagi menghiraukannya sekarang.Aku menoleh ke Rendra, lalu bertanya dengan datar, "Ada urusan apa?"Rendra menyuapkan tar telur terakhir ke mulut Viona, lalu mengusap sudut bibirnya dengan lembut. Tatapannya penuh kasih sayang.Namun, ketika menoleh padaku, tatapan itu langsung berubah dingin. "Citra, mari kita bercerai," ujar Rendra. "Anak di kandungan Vio akan segera lahir. Sebagai ayah, aku nggak bisa membiarkan dia diejek oleh or

  • Tak Lagi Berharap   Bab 3

    Bekas luka yang menemaniku selama tiga belas tahun tiba-tiba hilang.Air mataku langsung mengalir.Kubuka kembali buku harian itu. Di sana muncul kalimat baru, tulisannya miring dan tidak teratur, seolah-olah penulisnya tidak bertenaga.[Citra, aku berhasil menyelamatkanmu.]Setelah emosiku tenang, aku pun membalas.[Itu memang seharusnya kamu lakukan.]Kalau bukan karena rasa sukanya.Kalau bukan karena cinta yang kelak akan dia khianati.Aku tidak akan pernah diserang oleh Viona sampai akhirnya kehilangan organ terpenting seorang wanita.Rendra di usia tiga puluh malah memiliki anak dengan wanita yang menghancurkanku dan menyakitiku sekali lagi.Tulisan baru kembali muncul di buku harian itu. Tulisannya kurang jelas, seakan ditulis dengan penuh kesakitan.[Citra, ada hal lain yang bisa kulakukan untukmu?]Saat Rendra di usia tujuh belas menuliskan tanda tanya, aku segera membalas: [Sudah kubilang, pergilah dari hidupku.][Menghilanglah dari pandanganku. Jangan jadikan cintamu saat in

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status