Beranda / Rumah Tangga / Mencari Istriku di Masa Lalu / Bab 7 - Pasien dari Masa Depan

Share

Bab 7 - Pasien dari Masa Depan

Penulis: Sofia Saarah
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-21 10:15:13

Shaz masih terduduk di tangga, wajahnya tertutup tangan. Pikirannya kacau. Nafasnya pendek. Dadanya sesak.

Ia mendongak perlahan, matanya memindai ruang tamu. Pandangannya jatuh pada kalender duduk di atas meja sudut. Tangannya bergerak cepat meraihnya.

Maret 2017.

Tertulis jelas. Tanpa belas kasihan.

Shaz menatap tanggal itu lama-lama. “Ini... nyata?” gumamnya lemas.

Di atas sofa, Afzal sedang duduk santai sambil memainkan sendok teh di gelas chai-nya. Ia menoleh sambil mengangkat alis. “Bibi... aku rasa dia benar-benar depresi.”

Mami yang baru kembali dari dapur mengangguk pelan, sambil membawa sepiring samosa. “Kau benar, Afzal. Matanya kosong. Tatapannya... seperti habis diputusin dua kali oleh wanita yang sama.”

“Tapi aku nggak diputusin!” Shaz berdiri. “Aku... aku menikah!”

Afzal menyipitkan mata. “Waduh, parah. Sudah delusi. Parah banget.”

Shaz memijat pelipisnya. Suasana di rumah makin suram—dan lucu sekaligus tragis.

Pintu depan terbuka. Seorang pria berwibawa masuk dengan seragam kantor rapi dan tas kerja kulit di tangan.

Shaz memutar badan cepat. “Baba?”

Pria itu menatapnya sekilas dan tersenyum. “Kau sudah bangun, Shaz?”

Shaz mendekat. “Tunggu… kau baru pulang kerja? Tapi bukankah... Baba sudah pensiun tahun lalu?”

Pria itu menghentak kaki pelan. “Apa kau ini sudah gila?! Pensiunku masih enam tahun lagi!”

Afzal berdiri, meletakkan gelasnya ke meja. “Sepertinya putra kesayanganmu ini harus dibawa ke psikiater.”

“Kenapa?” Tanya Baba serius.

“Dia delusi,kalau tidak di tangani, nanti dia mengaku menikah dengan Ratu Inggris.”

Shaz membeku. “Kalian ini serius?!”

Mami meletakkan samosa di meja, mendekat ke Shaz dengan wajah khawatir. Ia menyentuh lengannya lembut.

“Shaz, Nak… berusahalah melupakan wanita itu. Dia tidak baik untukmu. Dia membuatmu seperti ini.”

Shaz menggeleng cepat. “Bukan, Mami. Dia itu istriku. Kami hanya... salah paham saja.”

“Sudah, sudah… jangan paksakan ingatan yang nggak pernah ada.”

“Mami, aku membicarakan Alysaa. Istriku.”

“Sejak kapan kau menikah?”

Shaz menatap semua wajah yang kini berdiri mematung di hadapannya. Dengan suara pelan, ia menjawab.

“12 Desember 2025.”

Semua terdiam.

Afzal perlahan mengambil samosa, menggigitnya... lalu berhenti mengunyah.

Mami menatap Baba, Baba menatap Afzal, Afzal menatap langit-langit.

“Kau benar?” bisik Baba. “Ini sudah stadium akhir.”

Shaz menepuk dahinya. “Oh Tuhan…”

“Shaz,” suara Mami lembut tapi tegas. “Kau naik ke kamar. Sekarang. Istirahat.”

“Aku baik-baik saja!” teriak Shaz, frustasi.

“Nanti kita ke psikiater.”

“Apa?! Mami... maksudmu serius?”

“Kau bersiap sekarang.”

“Afzal!” Afzal menoleh cepat.

“Iya, Bibi?”

“Kau ikut denganku ke psikiater.”

“Dengan senang hati, Bibi. Aku juga penasaran apa diagnosanya. Bisa jadi ‘Sindrom Suami Masa Depan’. Langka.”

Shaz memandang mereka satu per satu. “Kalian ini kenapa sih!”

Ia mendesah berat, menutup wajahnya lagi.

Ini bukan mimpi. Ini bukan lelucon.

Tapi kenapa rasanya seperti terjebak di sitkom India versi Islamik?!

Dan untuk pertama kalinya...

Shaz mulai meragukan dirinya sendiri.

Apakah ia benar-benar kembali ke masa lalu?

Atau semua ini hanya... imajinasi seorang pria depresi yang kehilangan istrinya, bahkan sebelum sempat benar-benar memilikinya?

Satu jam kemudian...

Sebuah mobil sedan tua warna abu-abu berhenti di depan sebuah gedung kecil bertuliskan

“MindBloom – Klinik Psikologi & Psikiatri Keluarga”

Shaz turun dari mobil dengan langkah malas. Di belakangnya, Mami sibuk menata kerudungnya, sementara Afzal... asyik selfie dengan filter monyet.

“Ini benar-benar mimpi buruk,” gumam Shaz sambil melirik plang klinik.

“Kau harus bicara, Nak. Jangan diam terus,” bisik Mami sambil menepuk punggungnya.

“Bibi, tenang. Kalau dia mengaku alien dari planet Mars pun, kita terima,” tambah Afzal santai.

Di dalam ruangan, seorang perempuan berkacamata dengan rambut dicepol rapi duduk di balik meja kayu minimalis. Namanya Dr. Naina Aziz, psikiater muda yang tenang tapi tegas. Ia menatap Shaz dengan senyum lembut.

“Baik, Tuan Shaz, mari kita mulai sesi pertama kita,” katanya.

Shaz duduk gelisah, tangannya menyatu di pangkuan. Mami dan Afzal duduk di belakang, siap-siap jadi saksi hidup.

Dr. Naina membuka catatan di tabletnya. “Saya mendapat informasi dari ibu Anda bahwa Anda mengalami delusi terkait waktu dan hubungan pernikahan?”

“Delusi?” Shaz mendengus. “Aku tidak delusi. Aku menikah tujuh bulan lalu. Istriku bernama Alysaa. Kami tinggal di Doha, Qatar.”

Dr. Naina menulis sesuatu.

“Dan sekarang Anda merasa... waktu telah mundur?”

Shaz mengangguk. “Iya. Aku bangun di rumah lamaku. Di India. Tahun 2017. Padahal terakhir aku tertidur itu di Doha, tahun 2025.”

Afzal berbisik ke Mami. “Setidaknya dia tidak mengaku Iron Man.”

Mami menyikutnya diam-diam.

Dr. Naina mencondongkan tubuh ke depan. “Apakah Anda merasa kebingungan, gelisah, atau ketakutan akhir-akhir ini?”

Shaz terdiam. “Ya. Tapi siapa yang tidak? Aku dipisahkan dari istriku, dan semua orang menganggap aku gila.”

“Bagaimana hubungan Anda dengan... istri Anda, Alysaa?”

Shaz menunduk. “Rumit. Kami bertengkar... sebelum aku bangun di sini. Tapi aku tahu dia mencintaiku. Dan aku mencintainya.”

Dr. Naina mengangguk, menulis cepat. “Shaz, apa yang Anda alami bisa saja tergolong sebagai bentuk dissociative episode. Ini semacam reaksi psikis ekstrem terhadap stres berat atau trauma emosional yang belum terselesaikan.”

Mami memegang dada. “Ya Allah...”

“Tenang, Bibi. Ini bukan kerasukan,” Afzal menambahkan.

Shaz mengernyit. “Jadi kau pikir... aku halu karena stres?”

“Bukan halusinasi,” jawab Naina sabar. “Tapi bisa jadi alam bawah sadar Anda menciptakan skenario ‘pelarian’ untuk memberi Anda kesempatan... mengulang sesuatu yang belum tuntas.”

Shaz terdiam. Jantungnya berdetak lebih cepat.

Kesempatan mengulang...?

Naina tersenyum. “Biasanya, orang yang mengalami ini diberi terapi integrasi realita. Tapi dalam kasusmu... entah kenapa, aku merasa... kau sangat yakin semua ini nyata.”

Shaz menatapnya. “Karena memang nyata.”

Afzal mengangkat tangan. “Dokter, pertanyaan penting, kalau dia dari masa depan, dia pasti tahu hasil Piala Dunia tahun depan. Boleh saya taruhan nggak?”

“Afzal!” bentak Mami pelan.

Dr. Naina terkekeh kecil, tak bisa menahan tawa. “Keluarga Anda... seru sekali.”

Sesi berlangsung sekitar empat puluh menit. Saat mereka keluar dari ruangan, Mami tampak masih bingung, Afzal malah selfie di depan logo klinik, dan Shaz... mulai berpikir.

Di tengah segala kegilaan ini mungkin, mungkin saja ini bukan kutukan.

Tapi peluang.

Peluang yang hanya datang sekali seumur hidup.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Mencari Istriku di Masa Lalu   Bab 46 - Bunga Lili yang Berguguran

    Langkah Raheem tergesa, mengikuti Shaz yang terus melangkah menjauh dari rumah besar itu. Napasnya masih belum teratur, pikirannya belum pulih dari ketegangan barusan.“Raheem!”Sebuah suara memanggilnya dari belakang.Ia menoleh cepat.Seorang perempuan berdiri di antara para tamu. Kebaya warna lilac yang ia kenakan terlihat kontras dengan rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai. Mata bulatnya memandang penuh harap, dan seulas senyum lembut tersungging di bibirnya.“Raheem, ini aku. Kau masih ingat?”Raheem mengernyit. Matanya menyipit, mencoba mengingat. “Kau… temannya Alysaa?”Perempuan itu terkekeh. “Iya. Aku Maya. Kita pernah bertemu di Malaysia. Kau dan Shaz mengantar kami kebandara, kau ingat?”“Oh, ya! Aku ingat sekarang,” Raheem mengangguk pelan, nada suaranya mulai hangat. “Yang satu lagi, ke mana?”“Radya? Dia masih di dalam, bersama tamu-tamu yang lainnya.” Maya melirik ke arah rumah.Ada jeda hening sejenak. Keduanya saling menatap, seperti mencoba menyesuaikan diri dal

  • Mencari Istriku di Masa Lalu   Bab 45 - Pergilah !

    Langkah kaki Shaz terdengar pelan di sepanjang sisi rumah besar itu. Jalan setapak kecil yang sempit dan ditumbuhi kembang sepatu mengantarnya ke area belakang—halaman terbuka dengan pohon mangga besar di sudutnya.Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat sebagian acara di dalam. Hiasan pita dan bunga-bunga melambai ditiup angin, tamu-tamu bersorak kecil saat hidangan mulai disajikan. Tapi telinganya hanya menangkap satu pertanyaan yang berdengung keras dalam benaknya:“Apakah aku sudah terlambat?”Ia menepis keraguan, memantapkan langkah secepat mungkin—seperti pria yang mengejar takdirnya yang hendak direbut dunia.“Shaz, tunggu!” seru Raheem dari belakang, menarik lengannya. “Apa kau yakin ini cara yang tepat?”Shaz menatapnya dengan mata yang berapi. “Kalau aku pergi sekarang, aku akan menyesal seumur hidup.”Beberapa tamu menoleh. Bisik-bisik mulai terdengar dari berbagai sudut.“Siapa itu?”“Tampaknya bukan dari pihak keluarga…”“Tapi… tampan sekali, ya?”Seorang pria paruh baya b

  • Mencari Istriku di Masa Lalu   Bab 44 - Lamaran

    Shaz menarik napas lega... tapi hanya sedetik. Hinggga tiba seseorang lewat—seorang tetangga wanita berusia sekitar empat puluhan, membawa tas plastik berisi sayuran. Ia menatap mobil-mobil itu dan berseru dengan suara cukup keras.“Wah, udah dateng ya? Banyak banget mobilnya. Lamaran besar, ya, Bu Sari?”Ibu warung—Bu Sari—menoleh cepat.“Lamaran?”“Iya, katanya calon mantu Pak Ardan datang hari ini. Dari Kota Bandung, atau mana, saya lupa.”Shaz tak mengerti semua kata itu, hanya frasa: “lamaran”.Tapi cukup. Itu kata yang menghantam kepalanya seperti batu.Ia langsung membuka G****e Translate dan mengetik dengan cepat.“Maaf, ini hari lamaran? Lamaran siapa?”Ibu Sari membaca, ragu sejenak… lalu menatap Shaz lebih lama. Kerutan di wajahnya tampak berubah jadi empati yang dalam.“Kata tetangga barusan sih… anak Pak Ardan yang mau dilamar. Cantik sekali lho. Rombongan mobil mewah itu ternyata rombongan calon pengantin pria"Shaz menunduk. Udara terasa tipis. Botol air mineral dalam ta

  • Mencari Istriku di Masa Lalu   Bab 43 - Kenangan Masa Depan

    Mobil berwarna hitam metalik melaju pelan melewati jalanan yang meliuk di kaki pegunungan. Aroma khas daun teh yang lembap memenuhi udara, sementara hamparan kebun menghijau di kedua sisi, seolah ikut menyambut dua pria asing yang tengah membawa misi dari masa lalu.Di balik kemudi, Shaz menggenggam setir dengan kedua tangan. Tatapannya fokus, namun hati dan pikirannya masih jauh, tertinggal di tempat bernama ketakutan. Ia hampir tak mengucapkan sepatah kata pun sejak keluar dari hotel pagi itu. Hanya suara GPS dan hembusan napas panjang yang memenuhi kabin.Raheem, duduk di kursi penumpang dengan pandangan tak kalah tegang, sesekali melirik ke arah luar jendela. “Tempat ini… terasa seperti perhentian terakhir, ya?”Shaz mengangguk sekali. “Kalau kita salah alamat, aku nggak tahu lagi harus kemana.”Angin tipis pegunungan berembus lewat celah kaca, namun suasana di dalam mobil tetap terasa pengap. Shaz memegang setir erat-erat, seolah jalan yang ia tempuh kali ini adalah jalan satu-sa

  • Mencari Istriku di Masa Lalu   Bab 42 - Menuju Rumah Mertua

    Kafe itu masih sama.Aroma kopi hangat masih menguar dari mesin espresso di balik meja kasir. Tapi bagi Shaz, tempat itu seperti lukisan lama yang warnanya memudar—masih familiar, tapi tak lagi menyimpan kehangatan.Ia berdiri di depan meja pemesanan. Matanya menelusuri wajah-wajah barista yang sibuk. Tak satu pun yang ia kenali.“Bahkan semesta seperti menutup semuanya dariku,” gumamnya lirih. “Karyawan yang dulu memberi tahu tempat tinggal Alysaa… tidak ada.”Shaz melangkah pelan ke arah kursi pojok yang pernah ia duduki saat pertama kali datang ke Bandung bersama Raheem. Kursi itu masih di sana. Sunyi. Seolah menunggu luka lama untuk duduk kembali.Raheem mendekat, membawakan dua gelas kopi dan sepiring kue kecil.“Sudah, duduklah. Kita pikirkan lagi. Mungkin ada petunjuk lain,” ujarnya sambil menyodorkan gelas kopi ke Shaz.Shaz mengambilnya tanpa banyak bicara. Cairan hangat itu menyentuh bibirnya, tapi tak menyentuh hatinya.“Kau tahu kontaknya Maya atau Radya?” tanyanya pelan,

  • Mencari Istriku di Masa Lalu   Bab 41 - Terlambat

    Bandara Kuala Lumpur dipenuhi suara langkah tergesa, pengumuman keberangkatan, dan aroma kopi dari kios di sepanjang terminal. Tapi tak satu pun dari itu menyentuh kesadaran Shaz. Ia duduk di kursi tunggu dengan punggung membungkuk, tangan terkepal, dan mata tak lepas dari layar ponsel yang kosong dari notifikasi.Raheem duduk di sebelahnya, menatap sahabatnya dengan raut prihatin. Bahkan ia tak perlu bertanya untuk tahu bahwa Shaz sedang mencoba menahan napas yang sejak lama terasa menggantung.“Raheem,” gumam Shaz pelan, “nomormu masih diblokir?”Raheem menggeleng pelan. “Iya, Shaz. Dia benar-benar... menghilang.”Shaz memejamkan mata. Wajah Alysaa—matanya yang jernih, bibir ranumnya—terus muncul di bayangannya. Tapi kali ini, senyumnya menjauh. Buram. Terhapus perlahan.“Bagaimana kalau… dia sedang hamil?” suaranya terdengar rapuh.Raheem menghela napas. “Kalau dia yakin hamil, mungkin dia nggak akan segan buat cari kamu. Tapi kalau dia yakin tidak…” Ia menatap Shaz dengan sorot la

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status