Mendengar namanya dipanggil, Risa berusaha untuk bangun, tapi kakinya benar-benar tidak bisa digerakkan. Lantas ia pun memberanikan diri meminta bantuan Adi untuk membuka pintu dan melihat siapa yang ada di luar kamar.
“Maaf, bisa tolong lihat siapa yang ada di luar. Karena kakiku nggak bisa digerakkan,” ucap Risa dengan suara lemah dan nyaris tak terdengar oleh Adi.
“Berani sekali kamu memberi perintah padaku. Memangnya siapa kamu, hah?” bentak Adi sambil menatap Risa dengan tatapan tajam seperti elang yang siap menerkam mangsanya.
“Aku minta maaf, tapi jika aku yang membuka pintunya, nanti mereka akan bertanya soal kakiku ini,” ujar Risa sambil menatap ke arah lututnya yang memar.
“Apa? Jadi kakinya benar-benar sakit? Apa itu karena tadi aku mendorongnya terlalu kuat?” Adi bergumam pelan, tapi masih bisa mendengar oleh telinga Risa.
Pria itu tampak memikirkan sesuatu, kemudian berjalan mendekati Risa dan mencengkram bahu istrinya dengan sangat kuat.
“Akh!” Risa menjerit saat kuku-kuku jari Adi terasa menancap di pundaknya. “Ka-kamu mau ngapain?” tanyanya dengan wajah pucat pasi, takut jika Adi akan melakukan sesuatu yang buruk lagi padanya.
“Dengar, ya! Kamu tutup mulut rapat-rapat dan jangan katakan apapun pada orang yang ada di rumah ini. Kalau kamu berani buka mulut soal apa yang terjadi di kamar ini. Kamu akan menerima akibatnya!” ancam Adi sambil melempar bantal ke wajah Risa, lalu ia berjalan ke arah pintu.
“Ya Tuhan … tolong berikan hamba kesabaran yang lebih luas lagi,” ucap Risa sambil menyeka kasar air mata yang sudah menetes tanpa diminta.
“Adi, di mana Risa? Kenapa kamu yang buka pintunya? Risa baik-baik saja, ‘kan?” Terdengar suara seseorang menanyakan keberadaan Risa.
“Mama, ngapain Mama datang ke sini? Risa lagi di kamar mandi,” jawab Adi berbohong.
“Oh, Mama cuma mau bicara dengan Risa sebentar. Mama tunggu dia di dalam, ya?” Ibu Airin ingin menerobos masuk ke dalam kamar, tapi langsung dicegah oleh Adi.
“Mama, please! Adi capek banget. Bisa nggak, urusannya besok pagi saja?” Adi mencoba mengalihkan perhatian ibunya.
"Yah … padahal Mama cuma mau bicara sebentar sama istrimu. Ya sudahlah, besok saja Mama bicara sama dia. Maaf, ya, Mama ganggu kalian. Selamat beristirahat,” ucap Ibu Airin sambil tersenyum.
Setelah ibunya pergi dari, Adi buru-buru menutup pintu dan tak lupa menguncinya.
“Huuh … untung saja Mama tidak memaksa masuk. Jika tidak, aku nggak tau apa yang akan Mama lakukan.” Adi bicara sendiri, lalu naik ke tempat tidur.
Sementara Risa tampak melamun sambil menatap ke arah tempat tidur. “Kalau Mama Airin bertanya soal kakiku ini, aku harus jawab apa, ya? Aku nggak mau sampai dia mengetahui apa yang telah dilakukan putranya padaku,” gumamnya dengan sangat pelan.
Risa berusaha untuk memejamkan mata, tapi rasanya sangat sulit. Badannya terasa sakit dan dia juga merasa kedinginan. Sepertinya Adi sengaja membuat suhu ruangan itu menjadi sangat dingin, tapi Risa tidak boleh menggunakan selimut.
Risa pun tidur dengan meringkuk menahan rasa sakit dan dingin yang luar biasa. Hingga tanpa sadar, ia akhirnya tertidur dengan posisi seperti itu.
***
Pagi telah menjelang, cahaya matahari masuk melalui sela-sela jendela kamar. Burung-burung berkicauan menyambut indahnya pagi hari. Risa langsung terbangun saat cahaya terang itu menyilaukan matanya. Ia melihat ke arah tempat tidur, ternyata Adi masih terlelap dalam mimpi indahnya.
Kemudian Risa bergerak menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Dengan langkah tertatih ia akhirnya sampai di tempat tujuan. Setelah membersihkan diri, Risa keluar dari kamar mandi dengan berpegang pada tembok karena menahan rasa nyeri pada kakinya.
Suara ketukan pintu mengalihkan perhatian wanita cantik itu, ia berusaha melangkah menuju pintu kamar untuk melihat siapa yang ada di sana.
Saat pintu terbuka, Ibu Airin berdiri menatapnya dengan senyum yang menghiasi wajah cantiknya. Meskipun telah berumur, tapi Ibu Airin masih terlihat sangat cantik di usianya yang hampir setengah abad.
“Pagi, Sayang. Sudah bangun? Mana Adi?” tanya Ibu Airin.
“Pagi, Ma. Dia masih tidur,” jawab Risa.
“Kebiasaan itu. Kalau nggak dibangunin, dia nggak akan bangun seharian. Kamu tolong bangunkan dia, ya, Mama tunggu di meja makan.” Ibu Airin mengelus lembut pipi sang menantu sebelum beliau meninggalkan kamar putranya.
Risa berbalik badan dan melangkahkan kakinya menuju tempat tidur. Tangannya gemetar saat ingin membangunkan suaminya yang masih bergulung di balik selimut tebal, ia takut jika pria itu akan melakukan hal yang sama seperti semalam.
“Aku harus bagaimana supaya dia bangun tanpa aku sentuh,” ucap Risa sambil terus menatap ke arah tempat tidur.
Wanita itu tampak mondar-mandir di samping tempat tidur, tangannya terasa berat untuk menyentuh laki-laki yang telah sah menjadi suaminya. Ia berpikir cukup keras untuk menemukan cara membangunkan Adi dengan cara tidak menyentuhnya.
“Ngapain kamu di sana? Kayak cacing kepanasan.” Suara bariton seseorang seketika mengejutkan Risa.
“Itu, hm. Tadi aku disuruh sama Mama untuk membangunkan kamu, tapi aku tidak berani,” jawab Risa dengan lembut.
“Tidak perlu! Saya tidak butuh bantuan apapun dari kamu!” sentak Adi sambil berlalu ke kamar mandi.
Risa menghela napas panjang sambil menatap punggung suaminya yang telah menghilang di balik pintu kamar mandi. Saat Adi sedang mandi, Risa berinisiatif menyiapkan pakaian kantor untuk suaminya.
Diletakkannya pakaian tersebut di atas tempat tidur yang telah dirapikan sebelumnya, lalu ia keluar dari kamar dengan langkah tertatih-tatih. Kakinya masih terasa sakit, tapi ia paksakan supaya orang-orang tidak curiga dan mengetahui apa yang terjadi padanya semalam.
“Pagi, Nyonya Muda.” Bi Ratih tersenyum ramah menyambut istri tuan mudanya.
“Pagi juga, Bi.” Risa pun membalas sapaan dengan senyum ramah.
“Risa, ayo duduk sini!” pinta Pak Arya sambil menunjuk satu kursi di hadapannya.
“Iya, Pa.” Risa melangkah menuju meja makan.
“Apa Adi belum bangun juga, Sayang?” tanya Ibu Airin.
“Sudah, Ma, tapi dia lagi di kamar mandi. Tadi dia memintaku untuk menunggu di meja makan,” ujar Risa berbohong.
“Benarkah? Ya sudah. Kita tunggu saja,” kata Pak Arya sambil tersenyum kecil.
Tak lama kemudian, Adi tampak berjalan menuruni anak tangga dengan mengenakan pakaian kantor yang telah Risa siapkan. Melihat hal itu, tentu saja Risa merasa sangat senang. Buat Risa, itu sudah lebih dari cukup karena bisa dihargai oleh suaminya.
“Pagi, Pa, Ma.” Adi menyapa kedua orang tuanya sambil menarik satu kursi.
“Pagi, Di. Gimana tidurnya tadi malam? Pasti nyenyak dong, ya? Karena sudah ada temannya,” ledek Pak Arya sambil menatap Adi.
“Tentu saja, Pa.” Adi menjawab dengan santai. Iya, dia memang tidur sangat nyenyak tadi malam, tapi tidak dengan Risa.
“Baguslah. Semoga cepat berhasil kerja keras kalian,” ujar Papa Arya sambil tersenyum.
Risa mengerti apa maksud ucapan Pak Arya, tapi ia hanya bisa menanggapi dengan senyum getir. Sementara Adi sampai tersedak minuman setelah mendengar ucapan ayahnya.
“Uhuk-uhuk!” Adi terbatuk karena kaget mendengar apa yang baru saja diucapkan oleh ayahnya.
“Pelan-pelan, Di. Papa baru ngomong gitu aja, kamu udah kaget begini.” Ibu Airin memberikan tisu pada Adi.
“Apa-apaan sih, Ma. Adi gak kaget karena itu,” jawab Adi sambil mengelap mulutnya dengan tisu.
“Jangan bohong, Di. Papa juga pernah mengalami hal seperti yang kamu alami sekarang,” ujar Pak Arya. Beliau terus saja menggoda putranya. Sementara Risa merasa tidak nyaman dengan keadaan ini.
“Pa, Ma, Adi mau bicara serius.” Adi menatap ayah dan ibunya secara bergantian sebelum mengutarakan apa yang akan disampaikannya.
“Ada apa?” tanya Ibu Airin.
“Mulai besok, aku akan pindah ke apartemen. Aku ingin hidup mandiri, Pa, Ma. Mama bisa datang ke sana kapan saja Mama mau,” kata Adi.
Prang!
Suara sendok beradu dengan piring. Bu Airin kaget setelah mendengar pernyataan Adi yang ingin pindah ke apartemen. Pun demikian dengan Pak Arya. Beliau merasa keberatan, tapi ia akan menerima jika memang itu sudah menjadi keputusan putranya.
Sementara Risa hanya bisa diam mendengar perkataan Adi. Pikirannya pun melayang seketika, membayangkan apa yang akan dilakukan pria itu padanya setelah mereka tinggal berdua.
Risa merasa, Adi sengaja membawanya pergi dari rumah itu agar apa yang dilakukannya tidak diketahui oleh orang lain, terutama kedua orang tuanya. Namun, di satu sisi, Risa juga merasa senang jika mereka tinggal terpisah. Dengan begitu, ia tidak harus membohongi ibu mertuanya yang sudah ia anggap seperti ibu kandungnya.
Ibu Airin terlalu baik untuk dibohongi, sehingga dengan jauh dari beliau bisa membuat Risa merasa lebih tenang dan tidak perlu merasa bersalah lagi.
“Pindah? Kenapa cepat sekali, Di? Mama masih ingin bersama Risa,” ucap Ibu Airin dengan sendu, matanya pun sudah berkaca-kaca.
“Ma, biarkan mereka menentukan jalan hidup mereka sendiri. Adi sudah dewasa, dia bisa melakukan tanggung jawabnya dengan baik.” Pak Arya berbicara mengelus lengan istrinya yang terlihat sedih.
“Tapi, Pa. Apa Adi nggak bisa membiarkan Risa di sini dulu? Setidaknya satu minggu ini,” tawar Bu Airin. Besar harapannya supaya Adi mau merubah keputusannya.
“Maaf, Ma. Tapi Mama tau sendiri kalau aku sudah membuat keputusan, maka itulah yang akan terjadi!” ujar Adi seraya menatap ibunya.
“Ya sudah, terserah kamu!” Ibu Airin berdiri dari tempat duduknya dan segera pergi meninggalkan meja makan.
“Mama, sarapannya dihabiskan dulu.” Pak Arya mencoba membujuk istrinya.
“Nafsu makan Mama sudah hilang,” jawab Ibu Airin sambil berlari menaiki tangga.
Suasana di meja makan menjadi hening seketika. Mereka bertiga pun melanjutkan sarapan tanpa Bu Airin. Pak Arya juga tidak menghabiskan makanannya, beliau segera menyusul istrinya ke kamar. Di meja makan saat ini hanya tinggal sepasang suami istri yang tampak saling diam satu sama lain. Setelah selesai sarapan, Adi langsung pergi ke kantor. Risa ikut mengantar sampai ke teras depan sambil membawa tas kerja suaminya. Ada rasa aneh yang dirasakan wanita itu saat ini, ia merasa menjadi istri sesungguhnya hanya karena perubahan sikap Adi. Pagi ini sikap Adi memang berbeda dari tadi malam. Pria itu mau menggunakan pakaian yang Risa siapkan, sekarang ia juga mengizinkan istrinya untuk ikut mengantar sampai ke mobil. Hal sekecil itu saja sudah membuat Risa bahagia. Namun, sepertinya itu hanya berlaku di depan kedua orang tuanya.“Sini tas-nya!” pinta Adi dengan nada ketus, ia juga mengambil paksa tas kerjanya yang ada di tangan Risa.“Maaf,” ucap Risa dengan wajah tertunduk. Baru saja mera
“Maaf, Ma, Apa Risa boleh menemui Mama Yulia?” tanya Risa dengan ragu-ragu. Ia takut jika ada perjanjian antara ibu kandung dan ibu mertuanya yang tidak ia ketahui. “Tentu saja boleh, kamu bahkan tidak perlu minta izin untuk bertemu sama dia. Pergilah! Mama akan suruh sopir untuk mengantar kamu ke sana,” kata Ibu Airin sambil mengelus pundak Risa. “Tidak perlu, Ma. Risa bisa naik taksi,” tolak Risa, tapi Ibu Airin tetap memaksa. “Kamu harus pergi sama sopir. Jika tidak, maka Mama tidak akan mengizinkan kamu pergi.” Ibu Airin mencubit gemas pipi menantunya. “Baiklah, Ma. Terima kasih atas semua kebaikan Mama,” ucap Risa dengan senyum tulus. “Tidak perlu berterima kasih, tapi maaf, ya, Mama tidak bisa ikut. Sampaikan salam Mama sama Mama kamu,” ujar Ibu Airin. “Iya, Ma. Nanti Risa sampaikan,” jawab Risa, lalu ia pergi ke kamar untuk mengambil tasnya. Risa pulang ke kontrakannya untuk yang pertama kali setelah ia menikah. Pernikahannya baru berjalan tiga hari. Seharusnya di usi
Setelah puas menumpahkan kesedihannya, Risa segera beranjak dari tempat tidur lalu masuk ke kamar mandi. Lima menit kemudian ia keluar dari kamar mandi dengan wajah yang lebih segar. Risa mencuci muka agar tak terlihat seperti habis menangis, ia tidak ingin terlihat sedih di depan ibunya. Risa keluar kamar lalu pergi ke dapur untuk menemui ibunya, tapi seseorang yang dicarinya tidak ada di sana. “Mama di mana?” gumamnya.“Risa, ada apa?” Bu Yulia tiba-tiba muncul di belakang Risa.“Mama, bikin kaget aja. Risa mau pamit pulang, Ma. Risa mau beres-beres pakaian yang akan dibawa ke apartemen.” Risa mengambil segelas air lalu menenggaknya hingga habis.“Ya sudah, kamu hati-hati. Ingat, jangan mengeluh apapun. Itu demi masa depan kamu. Bersabarlah,” ucap Bu Yulia sambil memeluk putrinya dengan erat.Risa mengangguk seraya mengulas senyum. “Iya, Ma. Risa pulang dulu, ya. Mama harus jaga kesehatan. Kalau ada apa-apa, jangan dipendam sendiri. Risa akan selalu ada untuk Mama,” ujar Risa seray
Risa sedikit terkejut mendengar suara seseorang yang tiba-tiba memanggilnya, lalu ia menoleh ke arah orang itu sambil mengulas senyum. “Mama,” ucapnya.Ibu Airin menghampiri menantunya saat melihat wanita itu tengah sibuk menyajikan makanan ke dalam piring.“Risa, kamu ngapain pagi-pagi sudah ada di dapur?” tanya Ibu Airin. “Risa buatkan ini untuk Mama dan Papa, semoga saja makanan hasil masakan Risa cocok di lidah Mama dan Papa.” Risa menyerahkan piring yang berisi makanan kepada ibu mertuanya. “Wah … sepertinya enak. Ayo kita makan sama-sama! Mama ingin makan sepiring berdua sama kamu,” ujar Ibu Airin dengan semangat. “Papa nggak bisa ikut sarapan karena dia nggak ada di rumah,” lanjutnya.Risa terharu mendengar ajakan ibu mertuanya. Ia sangat bersyukur bisa mendapatkan ibu mertua yang sangat baik seperti Ibu Airin. “Tapi, Ma.” Risa berusaha menolak karena merasa sungkan. Ibu mertuanya itu adalah seorang nyonya besar, ia merasa tidak pantas makan sepiring dengan wanita terhormat
Setelah merapikan semua barang-barang di kamar Risa, Mia melanjutkan pekerjaan di kamarnya sendiri. Ia juga menata baju-bajunya ke dalam lemari. Setelah selesai berbenah, mereka berdua pergi ke dapur untuk melihat apa yang bisa dimasak untuk makan siang.“Nyonya, kulkasnya masih kosong. Kita pesan makanan saja, ya,” kata Mia mengusulkan.“Nggak usah, Mbak. Bagaimana kalau kita beli bahan mentahnya saja? Masih lama juga waktu makan siang. Nanti kalau Pak Adi pulang tidak ada makanan, ‘kan, nggak enak,” ucap Risa. Ia sengaja memanggil Adi dengan sebutan ‘pak’ di depan asisten rumah tangga supaya terdengar lebih sopan.“Baiklah, Nyonya Muda. Saya akan minta Pak Dodi pergi berbelanja ke supermarket,” ujar Mia.“Tidak usah, Mbak. Supermarketnya cuma di bawah, ‘kan? Bar saya saja yang pergi,” pungkas Risa sambil menyambar tas di atas tempat tidur.“Jangan, Nyonya Muda. Anda tidak boleh melakukan apapun, itu perintah Nyonya Besar.” Mia langsung menahan tangan Risa.“Mbak Mia, di sini tidak
Seorang suami yang seharusnya menjaga kehormatan dan harga diri seorang istri di depan laki-laki lain, tetapi Adi justru melakukan hal sebaliknya. Ia sendiri malah membiarkan laki-laki lain menawar istrinya seperti barang dagangan dan dengan mudahnya ia memberikan istrinya pada laki-laki itu.Risa terus menangis di dalam kamar sambil memeluk foto almarhum ayahnya, hanya dengan cara itu yang bisa membuat perasaannya sedikit lebih tenang saat menghadapi masalah. Pada saat mengingat almarhum ayahnya, Risa selalu mencoba untuk tetap bersabar dan menerima kenyataan bahwa ia harus kuat menghadapi semuanya.“Papa, berikan hatimu padaku agar aku bisa belajar bagaimana Papa menghadapi masalah tanpa sedikitpun mengeluh.” Risa mengelus foto almarhum ayahnya, kemudian diletakkannya kembali ke dalam laci meja.Ia beranjak dari tempat tidur lalu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah selesai mandi, Risa langsung mengerjakan shalat maghrib. Ternyata sudah cukup lama ia mengurung diri
Bola mata Risa membulat sempurna begitu melihat siapa yang sedang bersama Adi di sofa. Wanita yang tak sengaja ditabraknya saat di mal beberapa yang lalu, sekarang ada di apartemen suaminya. Risa menatap Adi untuk menunggu penjelasannya, tetapi laki-laki itu hanya diam seribu bahasa. Ia tidak mengatakan apapun pada Risa atas apa yang diperbuatnya saat ini dan siapa wanita yang sedang bersamanya itu.“Kenapa wanita sialan ini ada di apartemen kamu, Beb?” tanya wanita itu dengan mengarahkan telunjuknya pada Risa. Ia bergelayut manja di lengan Adi.“Kamu kenal sama dia? Bagaimana bisa?” Adi balik bertanya pada wanita itu.“Iya, Beb. Tadi dia yang menabrakku di mal,” ujar wanita itu dengan nada yang dibuat manja. Sebagai sesama perempuan, Risa bahkan merasa malu melihat tingkahnya yang seperti itu.“Kamu pergi keluar? Sama siapa?” teriak Adi dengan emosi sambil menatap Risa dengan tajam.“Maaf, Tuan Muda. Saya yang mengajak Nyonya Mu ….” Mia belum menyelesaikan ucapannya, tetapi Adi sud
Seminggu telah berlalu, kini usia pernikahan Risa dan Adi sudah memasuki minggu kedua. Tidak ada yang berubah dalam kisah rumah tangga mereka, semua masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Mereka berdua memang tinggal satu atap, tetapi dibatasi oleh dinding yang sangat kokoh. Risa bahkan tidak diizinkan menginjak kakinya ke dalam kamar pria itu.Hari ini adalah awal pekan, Adi telah pergi ke kantor pagi-pagi sekali. Risa juga sudah memutuskan untuk kembali mengajar meskipun sebenarnya ia masih diberikan waktu cuti oleh kepala sekolah, tetapi ia merasa bosan dengan hanya berdiam diri di apartemen, makanya ia memutuskan untuk kembali mengajar. Risa juga sudah mengatakan hal itu kepada Adi, meskipun pria itu tidak memberikan tanggapan apapun, tetapi ia juga tidak melarang istrinya. “Mbak Mia, aku berangkat kerja, ya. Mbak nggak apa-apa kalau saya tinggal sendiri?” tanya Risa, ia merasa tidak enak meninggalkan Mia sendirian di apartemen.“Iya, Nyonya Muda, tidak apa-apa. Nyonya berangk