"Iiiih kamu nyebelin deh Ra. Besok aku balik ke kota aja lah!" Cebiknya.
Ibuku hanya tersenyum saja melihat kami berdua."Nanti aja ya Ren ngobrolnya, ibu mau berangkat dulu, udah kesiangan ini," ibuku berucap dan langsung menepuk pundak ku sebagai kode untuk segera berangkat."Kenapa Reni tadi?" Tanya ibu."Kepo Bu dia, mau tahu kenapa Nara sama Deva putus," jawabku. Dan ibu pun hanya meng OH ria.Setelah sampai di pasar, aku membantu ibu untuk menata barang dagangan. Hingar bingar hiruk pikuk para manusia berlalu lalang didepan kami. Karena lapak sayur ibu berada di ujung jalan masuk pasar, tak ayal pembeli ibu kadang memang terlalu banyak yang mengantri. Mereka lebih mencari yang dekat dan strategis tidak harus jauh-jauh masuk ke dalam pasar.Saat hari mulai terang, kulihat Reni datang."Hei cantiiik," sapanya."Eh ngapain kamu sampai pasar? Nanti alergi loh," jawabku bercanda."Ini, disuruh ibu buat beli ikan, tapi nggak jago nawar. Temeni bentar ya Ra?" Pintanya."Boleh kan budhe, hanya sebentar aja," rengeknya pada ibuku. Dan ibu langsung saja mengiyakannya tanpa bertanya dulu padaku. Memang dasar kutu kupret ini anak. Karena Reni terus merengek, akhirnya aku menemaninya juga berjalan ke los ikan.Tidak mau membuang banyak waktu, Aku langsung mengajak nya ke penjual ikan langganan ibu. Karena setiap harinya aku selalu kesini, banyak dari mereka yang sudah mengenaliku. Biasanya aku akan mendatangi Bu Iroh langganan ibuku, tapi Reni mengajakku untuk berbelok ke lapak sebelah karena penjualnya adalah seorang lelaki yang cukup tampan."Berapa sekilo mas?" Tanyaku pada mas Jaman."Dua puluh lima aja Ra, nih mas tambahin anaknya. Tapi tinggalin nomer wa ya," ucap mas jaman berkelakar."Aduh mas, minta nomer wa kok modalnya anakan ikan. Yang agak keren dong, misal emaknya ikan se'empangnya gitu!" Tukas Reni yang kemudian mengundang gelak tawa dari penjual-penjual lain yang ada di sekitarnya. Alhasil mas Jaman pun hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal."Mau kemana lagi nih nona?" Tanyaku pada Reni."Eeehm, sayurnya belakangan aja deh ya, kan belinya di Budhe Wati juga" jawabnya."Sekarang temenin makan bakso yuk Ra, aku deh yang bayarin," Tanpa menunggu jawaban dariku, Reni langsung saja menarik tanganku ini dengan eratnya. Hingga akhirnya kami berdua sampai di penjual bakso yang sangat enak di sekitar pasar ini. Penjual bakso langganan ku dan Deva...... Ah sudahlah lupakan!"Kang, bakso komplit yang baksonya segede bola voli dua ya bang!" Reni memesan baksonya. Lagi dan lagi, ocehannya itu bisa membuatku tertawa, mana ada yang segede bola voli, terus kebayang nggak mulutnya selebar apa. Aku hanya bisa menepuk jidat karena kekonyolannya itu."Nara""Hem"Dia memulai obrolan saat kami sedang enak-enaknya makan bakso."Ra, apa kamu nggak pengen pertahankan hubungan kamu sama Deva to?" Tanya Reni a u a u dengan mulut masih penuh bakso yang masih panas."Udahlah Ren, nggak usah bahas Deva ataupun keluarganya lagi, cuma bikin sakit hati tok," jawabku."Perjuangin dong Ra, apa nggak sayang tiga tahun hubungan kalian kandas begitu aja?" Tukasnya hingga membuat kuah baksonya nyiprat."Ting" aku mulai meletakkan sendok."Huuuffh.... Apanya yang mau aku perjuangin Ren? Aku nggak mau maksain kehendak. Sekarang aku hanya memikirkan bagaimana aku dan ibu bisa bertahan untuk hidup. Deva... sudah aku anggap dia bukanlah jodoh untukku. Mungkin benar kata Bu Ratna kalau kami bukanlah makhluk yang diciptakan selevel dengannya," ujarku menjelaskan."Eh, opo kamu bilang? Lha nggak selevel gimana? Jangan mencoba untuk hilang ingatan Ra, siapa dia dulu nyaaaaa...""Klunting" sekarang gantian sendok ditangan Reni yang terjatuh. Dengan mulut ber bakso yang masih menganga lebar."Heh, kenapa kamu Ren? Itu bakso ditelan dulu lah". Seruku sambil menepuk pundaknya."I-itu bukannya Bu Ratna ya Rum" Reni menunjuk ke arah seorang wanita glamor dengan emas renteng-renteng di tangannya. Entah darimana wanita itu berasal, tapi yang aku tahu sekarang dia sedang menuju kemari.Semua penjual di pasar yang mengenal perempuan yang sekarang sering dipanggil dengan sebutan Bu lurah itu sudah sangat hafal dengan gaya dan penampilannya. Bu Ratna yang selalu memakai kalung, gelang, cincin layaknya toko emas berjalan itu, seringkali kena tegur kalau penampilannya itu norak. Tapi apakah dia peduli? Ah tentu saja tidak.Entah karena memang tatapan kami yang tak sengaja bertemu, ataukah Bu Ratna merasa kalau kami berdua sedang memperhatikannya, membuat ia datang mendekat ke arah meja yang kami tempati."Ra... Kinara.... Si toko emas berjalan kesini Ra" bisik Reni lirih sambil menyikut lenganku. Meskipun tanpa Reni memberitahu, akupun sudah tahu bahwa memang Bu Ratna sedang menuju kemari.Bu Ratna langsung berdiri dihadapanku sekarang. Dengan tatapan mata angkuhnya dia menatapku dan Reni bergantian. Seolah ia sedang melihat kuman atau bakteri yang sedang makan bakso."Oh, baguslah. Kebetulan kita ketemu disini Kinara. Kamu ngomong apa sama Deva kemarin? Sampai-sampai dia berani melawan orangtuanya sendiri?" Tanyanya.Meskipun suara Bu Ratna saat ini tidak terlalu keras, tetapi masih saja bisa di dengar oleh pengunjung lain yang ada di kedai bakso ini."Mohon maaf ibu, apa maksud ibu? Saya tidak mengerti bu?" Tanyaku balik kepada Bu Ratna. Karena memang sesungguhnya aku benar-benar tidak tahu apa yang sudah kukatakan pada mantan tunanganku itu. Aku pun merasa tidak mengatakan apa-apa selain putus."Halah!! Nggak usah berlagak bodoh kamu Nara!" Bodoh beneran baru tau rasa. Nggak usah pura-pura nggak tahu deh. Saya tahu kalau kamu sebenarnya nggak ikhlas kan kalau ditinggal sama Deva?" Sekarang nada Bu Ratna mulai meninggi."Kamu sengaja kan Ra menghasut Deva agar dia menolak perjodohan dengan wanita pilihan kami? Sadar diri kamu Kinara! Punya apa kamu untuk tetap bersaing ingin menjadi menantu saya?" Ucap Bu Ratna yang semakin menjadi-jadi."Ayok Ra, balas Ra, jangan diam aja Ra," batin Reni dan juga batin Mak author nya kompak. Sudah gemas sekali pengen gigit tuh mulut Bu Ratna."Nggak usah keras-keras Bu, nggak takut ibu kalau suaranya habis di pasar?" Jawabku yang entah mendapatkan keberanian darimana. Apa mungkin karena mendapat bisikan dari setannya mak author, ah entahlah. Tapi memang aku tidak suka jika diinjak-injak seperti ini."Saya benar-benar tidak merasa mempengaruhi Deva, saya juga tidak berbicara macam-macam sama Deva bu,""Saya akui saya memang tidak punya apa-apa Ibu Lurah yang terhormat. Karena semua orang tahu kalau yang seharusnya yang menjadi apa-apa untuk saya sudah ibu kuasai. Hampir separo lebih harta dari mendiang bapak saya dipinjam oleh ibu dan suami ibu untuk kampanye pencalonan lurah. Hingga akhirnya kini pak Rudi sudah sukses menjadi lurah. Dan sampai detik ini pun, kalian tidak pernah mengembalikannya barang sepeserpun kepada kami. Apa Bu lurah sudah lupa? Atau pura-pura lupa jika hutang itu harus dibayar? Atau ibu mau jika bapak akan menagihnya di akhirat nanti Bu?!"Dalam seketika saja wajah Bu Ratna langsung berubah menjadi merah padam saat aku mengungkit perihal hutangnya kepada mendiang bapakku, pak Budi. Sedangkan mata Reni berbinar-binar dengan senyum yang berusaha ditahannya. Dia pasti tidak mengira bahwa aku, seorang Kinara berani adu bicara sama Bu Ratna, seorang Bu Lurah."Plak!!! Lancang kamu!!!"94. Pulang KampungHari ini, saat Arjuna masih merebahkan diri di atas kasur di kamarnya, Nara datang dengan wajah murung dan sedikit ditekuk."Kenapa, Sayang? Apa ada sesuatu yang bikin hati istrinya Mas ini sedih? Kenapa mukanya cemberut kayak gitu?" tanya Juna saat Nara meletakkan pantatnya untuk duduk di sebelah Juna yang masih berbaring."Reni dan juga Bu Imah mau balik ke kampung besok pagi, Mas," jawab Nara dengan suara yang begitu lirih."Hmmm, nggak apa-apa, Sayang. Mereka juga pasti punya alasan sendiri kenapa mereka harus buru-buru pulang. Iya, kan? Lagipula, kita juga akan pulang kampung kok meskipun nggak bareng sama mereka. Kita juga masih bisa bertemu lagi nanti." Arjuna segera bangkit dari posisi rebahannya dan kemudian duduk sembari menatap wajah istrinya itu."Ya iya sih, Mas. Tapi ya bagaimana ya, Mas. Entah kenapa aku kalau nggak ada Reni berada ada yang kurang. Mas Juna sendiri tahu kan betapa dekatnya hubungan kami ini.""Iya, Mas tahu akan hal itu. Mas juga berd
Kinara merasa jika dirinya baru saja terlelap dan memejamkan mata, namun ia berusaha membuka kedua matanya yang masih terasa lengket dengan susah payah saat ia merasakan jika ada sesuatu yang menjalar menyentuh setiap permukaan kulitnya.Selimut tebal hotel cukup menghangatkan badan yang tersentuh belaian AC yang ada di dalam ruangan. Tapi entah kenapa Nara merasakan ada sesuatu yang terasa basah di kulitnya. Nara pada akhirnya memaksakan diri untuk membuka matanya lebar-lebar, ketika dirinya merasakan sesuatu yang begitu lembab dan kasar sedang menyapu kulit perutnya."Mas Juna, aah ...," ucap Nara yang terdengar seperti serupa bisikan. Dimana bisikan itu justru terdengar seperti candu bagi seorang Arjuna. Entah sudah pukul berapa saat ini, Nara sudah tak lagi sempat melirik ke arah dinding yang tertempel di dinding kamar saat Arjuna kembali mengarungi nirwana. Mereka berdua kembali mabuk kepayang berdua, menikmati indahnya bahtera asmara entah untuk yang ke berapa kalinya.Saat kees
Sah, Sah,Sah,Terdengar sorak sorai dari para tamu undangan yang menjadi saksi pernikahan Arjuna serta Kinara. Sorak sorai pun mengudara riuh setelah para gadis-gadis dan juga sepupu Arjuna saling bersahutan saat melihat prosesi penyematan cincin kawin di jari masing-masing."Cium ...! Cium ...! Cium ...!" teriak mereka setelahnya.Pada saat ini wajah Kinara terasa memanas. Meskipun mereka berdua sudah kerap kali melakukannya, namun tetap saja dirinya akan merasa malu jika melakukan hal tersebut di depan banyak orang seperti ini. Hingga pada akhirnya Arjuna hanya mendaratkan hidung dan juga bibirnya di kening Kinara. Gemuruh suara tepuk tangan serta siulan yang bersahut-sahutan panjang langsung terdengar memenuhi seluruh penjuru ruangan.Mereka merasakan kelegaan dan keharuan secara bersamaan. Kedua mata Nara mulai memburam dan berkabut karena dipenuhi oleh buliran-buliran hangat yang menumpuk di sepasang kelopak matanya yang begitu indah itu.Reni pun mulai maju ke depan untuk meng
Mereka semua sudah berkumpul pada saat ini di restoran hotel tersebut. Mereka makan dalam suasana yang tenang namun tetap membahagiakan. Setelah selesai dengan acara makan malamnya, seluruh anggota keluarga tidak langsung kembali ke kamar masing-masing. Melainkan semuanya pergi ke ballroom hotel di mana acara akad dan resepsi akan diselenggarakan esok hari. Ruangan yang begitu luas itu sudah di dekor dengan seindah mungkin dengan tema yang telah dipilih oleh pihak keluarga Arjuna sebelumnya.Meskipun Nara dan Juna tidak terlibat langsung dalam setiap persiapan pesta yang akan digelar esok hari, namun Nara sudah merasa sangat puas dengan kinerja dan segala persiapan yang telah dilakukan oleh keluarga Juna. Kinara merasa jika tidak ada sesuatupun yang kurang dari seluruh persiapan yang sudah dilakukan oleh ayah dan ibu mertuanya, serta kedua adik iparnya.Nara mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, kemudian dirinya menatap lurus ke arah meja akad yang dilengkapi dengan empat buah kur
90. Pucuk MonasPada saat ini acara fitting pakaian sudah selesai. Setelah semuanya telah mencoba busananya masing-masing, Arjuna mengajak mereka menuju ke salah satu gerai kopi yang cukup terkenal di mall tersebut. Sebuah gerai coffee shop bernuansa coklat kayu yang terlihat begitu estetik. Di coffe shop tersebut tak hanya menjual minuman, tapi juga beberapa croissant yang beraneka rupa."Mau pesan apa, Ra?" tanya Juna pada Nara."Cuma Nara, nih?" sahut Reni."Oh, ya. Kamu mau pesan apa, Ren?" tanya Juna kemudian pada Reni."Hmm, aku ngikut Mas Juna saja, wes. Terserah Mas Juna mau pesan apa asalkan tidak beracun. Kan Mas tahu kalau aku belum kawin," seloroh Reni saat mereka sudah berada di dalam barisan antrian untuk memesan."Kamu mau coba es krim kopi nggak?" Juna bertanya pada Nara yang berdiri di hadapannya."Enak nggak?""Enak sih menurut Mas. Juwita selalu pesan itu setiap kali datang ke tempat ini," jawab Juna."Ya deh, boleh. Aku juga nggak terlalu ngerti bahasa menunya. Jad
Semua orang yang sedang berada dan berkumpul bersama di ruang keluarga Pak Hasan yang terbilang luas itu, segera memalingkan wajah mereka ke arah sumber suara. Suara itu secara tiba-tiba saja datang dan memecah ketenangan.Sementara Nara tidak terlalu menghiraukan akan hal tersebut, karena karena ia dan adik perempuan Arjuna yang bernama Juwita sedang merapikan souvenir pernikahan yang baru datang diantar tadi sore."Maya ...!" Bu Laras melirik ke arah wanita yang tadi berbicara dengan penuh arti. Ia jelas-jelas merasakan tak enak hati atas sikap adik iparnya alias adik kandung dari papanya Arjuna itu terhadap Reni dan juga ibunya."Mbak Laras tidak perlu melihatku dengan tatapan seperti itu. Aku kan hanya berbicara tentang fakta, Mbak. Memangnya kalian mau jika pesta pernikahan Arjuna rusak hanya gara-gara ada yang merusak pemandangan mata?" Balas perempuan yang ternyata bernama Maya itu dengan nada yang ketus."Mbak Reni, tolong Mbak Reni jangan ambil hati ucapan dari Tante Maya, ya