Share

Penyelamatku

Perkataan anakku soal Maya masih terngiang di telingaku, apa benar dia serendah itu, kini aku menjadi semakin paranoid.

'Aaah ... Kenapa sekarang aku jadi mencurigai Maya, padahal aku masih ingat bagaimana beraninya dia menyelamatkanku dari seorang penodong, dia mengorbankan tangannya terluka cukup dalam terkena sabetan pisau sang penodong.'

#Flashback On

Siang itu aku baru saja mengambil uang di ATM, aku merasa ada pengendara motor yang mengikutiku.

Karena aku takut aku lajukan mobilku dengan kecepatan tinggi, aku pikir motor yang mengikutiku itu sudah jauh tertinggal.

Aku tengok ke belakang, tak ada siapapun orang mencurigakan di belakangku, akupun mengusap dada, karena lega.

'Syukurlah mereka sudah tidak ada.' Hatiku sedikit lega.

Aku berniat ke restoran yang biasa aku datangi untuk makan siang, kulihat parkirannya begitu sesak.

'Penuh amat, ini pas jam makan siang sih!' Aku putuskan untuk parkir di tempat lain, jaraknya cukup jauh, yah gak apalah, hanya berjarak sedikit menuju restoran itu, aku hanya harus berjalan kaki sedikit.

Ketika aku turun dari mobil, baru saja aku berjalan beberapa langkah, aku dihadang seorang pria berpakaian serba hitam.

'Ya ampun, apa ini orang yang tadi mengikutiku!' Aku merasa takut dan panik, takut yang aku pikirkan ini benar.

Lalu aku lihat ada seorang lagi berpakaian hitam duduk di sebuah motor tak jauh dari sana dan kuperhatikan secara seksama.

'Tuhaaan ... itu benar-benar mereka, jadi mereka mengikutiku sampai ke sini!' Detak jantungku semakin kencang saat laki-laki itu terus mendekat, aku mundur beberapa langkah.

Aku semakin takut, dia terus mendekat dengan tatapan jahatnya.

"Ma-mau apa kamu?" tanyaku gugup.

"Serahkan tas Anda, Nyonya! Kalau Anda mau selamat!" bentaknya sambil memberi kode pada pria yang ada di seberang sana untuk mengawasi situasi, pria itu hanya mengangkat jempolnya.

"Cepat, serahkan!" Dia mengeluarkan pisau belati di balik bajunya dan menodongkannya padaku.

Aku benar-benar sangat takut, sampai tubuh ini rasanya gemetar, apa jika aku serahkan tasku, aku tidak akan ditusuk, tapi dalam tasku ada banyak barang berharga, dompet dan ponsel dimana data-data penting ada di sana, apa aku harus menyerahkannya, aku sangat bimbang sekaligus sangat tegang.

"Nyonyaaaa ...! Ayo serahkan!" Dia menggertakku lagi sambil terus menodongkan pisau.

"Ba-baik! Ta-tapi tolong jangan ambil kartu identitas dan ponselnya!" ucapku gemetar tapi aku masih menggenggam tasku dengan erat.

"Aaaah ... banyak omong!" bentaknya hendak merebut tasku, tapi aku masih belum rela kehilangan tasku.

"Heeei ... jangan ambil tas Ibu itu!" Tiba-tiba terdengar teriakan keras dari seorang perempuan muda yang hendak menghampiri kami.

"Menyingkir kamu! Jangan ikut campur urusanku!" bentak penodong itu, tapi perempuan itu sepertinya tak takut mendengar gertakan penodong itu dia terus mendekat.

"Ini urusan akulah, karena kamu mau berbuat jahat sama Ibu itu!" jawabnya begitu lantang seperti tak ada rasa takut pada penodong itu.

Dengan beraninya perempuan itu mendekati kami dan merebut tas yang masih dalam rebutan kami berdua.

"Heeei ... kamu, kurang ajar!" Laki-laki itu itu terlihat murka tasku berhasil direbut perempuan muda itu.

Dengan muka sangarnya dia melayangkan pisaunya hendak merebut kembali tas milikku yang sudah ada di tangan perempuan itu.

Sreeeet ...! tangan perempuan itu tergores pisau belati milik sang penodong.

"Aaaaaw ...!" ringis wanita itu, menahan perih di tangannya.

Clak clak! tangan perempuan itu terluka dan mengeluarkan darah.

Aku spontan berteriak, "Toloooong ... toloooong!"

"Heeeeei ... ada apa itu?" tanya seorang pengendara motor kebetulan melintas dan melihat ke arah kami.

Penodong itu kian panik, aku sengaja berteriak lebih kencang. "Tolong Pak, teman saya di tusuk orang itu!" tunjukku pada penodong itu.

Lelaki berpakaian hitam seketika berlari menuju motor temannya yang bersiap tancap gas, begitu tahu kalau lelaki pengendara itu yang ternyata anggota polisi.

"Waaah ... gawat ini ... cabut Bro!" penodong itu pun kabur dengan temannya.

"Sudah Pak, gak usah dikejar! yang penting ini teman saya ini butuh segera pertolongan!" cegahku saat sang pengendara motor itu hendak mengejar sang penodong.

Aku tidak tega melihat perempuan yang sudah menolongku itu sudah banyak kehilangan darah, bahkan wajahnya memucat.

"Baiklah saya akan bantu mengangkat Mbak ini ke mobil!" pengendara yang baik hati itu pun mengangkat tubuh wanita muda yang telah menolongku itu ke dalam mobilku.

Aku dan suamiku mengucapkan banyak terima kasih atas pertolongannya dan mohon maaf karena telah membuat tangannya terluka.

"Tidak apa-apa Bu, sudah kewajiban kita untuk menolong sesama. Kalau bukan saya mungkin ada orang lain yang membantu Ibu. Kebetulan saja saya yang sedang melewati jalan itu, dan melihat Ibu sedang ditodong seorang penjahat," ucapnya sambil tersenyum tanpa beban.

"Maaf, kalau boleh tahu kamu tinggal di mana? Biar saya antar!" tawar Mas Firman.

"Saya tinggal di kostan Pak."

"Di sini tidak ada keluarga?"

"Keluarga saya jauh Pak, ada di kampung. Ada sih sepupu saya tinggal di Tangerang, tapi dia sedang di luar kota."

"Oooh ... gitu yah." Rasanya aku tidak tega meninggalkan dia sendiri di kostan dengan keadaan terluka seperti itu.

"Oooh ... gimana kalau kamu tinggal di rumah kami dulu, sampai lukanya sembuh," tawar Mas Firman lagi.

"Tidak usah Pak, saya takut merepotkan."

"Enggak kok, kami senang malah bisa membantu. Hmm ... maaf kita belum sempat berkenalan. Saya Arlita." Aku mengulurkan tanganku.

"Saya Maya, maaf saya gak bisa bersalaman." Maya susah payah mengangkat tangannya.

"Aduuuh .. maafkan saya, saya lupa tangan kamu lagi terluka." Aku merasa tidak enak pada Maya.

"Dan saya Firman!" Maya mengangguk sambil tersenyum menatap Mas Firman.

Sejak itulah Maya tinggal di rumah kami dan setelah sembuh aku menawarkannya pekerjaan sebagai pengasuh anakku.

#Flashback off

Aku menghela napas panjang, masih mengingat kejadian penodongan beberapa bulan yang lalu.

Kalau tidak ada Maya mungkin aku yang akan terluka. 'Aaaah ... mana mungkin dia seperti itu.' Tapi kenapa hatiku tetap saja merasa tidak tenang.

'Baiklah kalau begitu aku akan mengawasinya diam-diam!' gumamku.

******

Hari ini aku sengaja tidak ke restoran dulu, aku hanya akan di rumah.

Seperti biasa pagi itu Maya mengurus anakku dari menyiapkan pakaiannya dan peralatan sekolahnya juga sarapan paginya.

Tidak hal yang mencurigakan, bahkan dia bersikap biasa saja pada saat berhadapan dengan Mas Firman, dia hanya melayani Tita saja dengan baik.

"May, aku akan mengantar Tita hari ini! Kamu bukannya mau ngambil berkas yang saya minta! Jadi hari ini kamu boleh libur dulu!"

"Iya Bu?" Raut wajahnya terlihat senang, hari ini dia bisa terbebas dari tugasnya menjaga Tita hari ini. Dia pun beringsut ke kamarnya bersiap untuk pergi ke rumah saudaranya.

"Kenapa Pah, kayak orang bingung?" tanyaku pada suamiku yang pagi ini terlihat seperti kebingungan.

"Ini Jihan sekretarisku, meminta cuti bulan ini, dia mau menikah dan minta cuti selama sebulan, Mah. Dan aku tidak bisa menolak karena dia memang tidak pernah mengambil jatah cutinya selama ini. Aku bingung mencari penggantinya selama dia cuti!" tutur suamiku.

"Ooh ... gitu Pak. Iya sih memang susah apalagi hanya untuk satu bulan!"

Maya sepertinya mendengar percakapan kami, dia keluar dari kamarnya sambil menyeringai.

'Kenapa dia begitu senang mendengar percakapan kami?' Aku menatap curiga padanya.

-Bersambung-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status