Ria seketika lenyap bersama hilangnya sirine ambulans. Luka parah yang ditemukan di kaki Ria pastinya bukan sembarang pisau.“Gimana, gimana?” tanya beberapa pekerja kepada dua petugas keamanan dan seorang pelayan hotel yang baru tiba.“Enggak dapet orangnya. Kami udah kejar,” jawab mereka dengan napas yang terengah-engah.“Siapa yang tau kejadian sebetulnya?” tanya Dira. Amarah memenuhi dadanya. Kesal dan segera ingin menghajar, Dira tak kuasa untuk mendapatkan pelaku yang berani menyakiti rekannya Ria.“Saya Mba!” sahut si pelayan hotel. Ia pun mulai menceritakan kejadian yang ia alami.“Tadi saya ke lantai empat mau nganterin pesanan. Saya lihat teman Mba tadi ngikutin seseorang. Awalnya saya pikir dianya lagi mata-matai cowoknya. Nah, pas saya keluar kamar tamu saya lihat teman Mba lari gitu sambil minta bantuan untuk ngejar. Nah, saya bantu ngejar juga. Cowok yang dikejar masuk lift, sedangkan teman Mba naik tangga darurat. Kebeneran saya ikut juga dari belakang. Tapi lari teman
Langkah kaki terdengar, Dira yang merasa tersudut memilih untuk menuju balkon dan berdiri di sudut ruang. Tak lupa ia menutup pintu, namun keburu ketahuan jika harus menutup rapat. Tiada yang bisa ia lakukan, kecuali menahan napas yang terasa menyesakkan. Tak henti-hentinya Dira memaki dalam hati.“Sial, sial, sial! Dia pulak orangnya. Argh ... kenapa harus dia. Kalok tau dia ponakan Ibuk tau, enggak mau aku kawani malam ini. Aduh ... kalok udah kekgini cemana ya?” Dira terus menghardik dirinya sendiri. Ia merasa kesal karena tak percaya pada pendengaran. Sudah sedari awal ia sadar kalau suara pria itu sama dengan Daffin. Namun, tetap saja ia menepisnya. Hingga hari ini datang, Dira melihat sendiri Daffin menghampiri Bu Devi yang kini masih terbaring lemas.“Bibi, Daffin datang!” ucapnya sembari membelai lembut kepala wanita tua. “Daffin!” seru Devi yang tak menyangka akan kehadiran Daffin. Ucapan ini pun dibalas dengan kecupan di dahinya.“Bibi minum obat dulu ya. Maaf ... Daffin t
Senyum Daffin mengembang hingga sulit dikendalikan. Hatinya terlalu bahagia seakan Tuhan telah mengabulkan doanya. Terus berjalan tenang hingga lupa menyembunyikan wajahnya, Daffin mengabaikan tatapan banyak orang terhadap dirinya. Meski gosip miring terus saja datang, namun tak sedikit dari penggemarnya yang masih setia kepadanya.Wajah bahagia ini pun terbaca oleh sang Bibi yang kini terlihat lebih baik setelah meneguk obat.“Kamu bilang apa?” tanya sang Bibi.“Ah, Bibi bilang apa?” tanyanya yang ternyata tak menangkap apa yang dipertanyakan.Devi hanya bisa menggeleng dengan senyum bahagia.“Kamu pasti ketemu Dira kan?” tanya Bibi kembali.“Akhirnya Bi, akhirnya Daffin ketemu dia juga! huh! Bahagianya ... Daffin jadi menyesal baru bisa datang ke sini sekarang,” ungkapnya sembari membaringkan tubuh di atas ranjang. Bermanja ria meletakkan kepala di atas pangkuan sang Bibi.“Ehm, jadi kamu ke sini bukan untuk Bibi?” ucap Devi meledek. Tangannya terus saja membelai lembut rambut hitam
Selaku aparat, Ria mendapat perawatan yang mumpuni. Ia diminta beristirahat selama dua minggu lamanya. Terbaring tanpa harus melakukan apapun pastinya sangat membosankan. Namun, tidak dengan yang terlihat. Wajah Ria terlihat baik-baik saja saat ini. Ia menikmati istirahatnya dengan membaca banyak buku dan novel. Ditemani siaran TV dan makanan bergizi.“Hei! Berasa nginap di hotel ya? Ceria kali mukakmu itu. Yang aku pikirlah kau bosan terpenjara di sini. Ini lagi, buku dari mana semua ini. Apa sempat kau borong mall beli buku untuk dibaca di sini?” ledek Dira. Matanya menyolot sembari melirik ke arah Ria. Tak ketinggalan bibir yang menanjak tinggi karena dimonyongkan.“Hehehe, Dira. Makasih loh, udah mau datang! Kamu bawa apa itu?” jawab Ria. Ia terus saja melirik ke arah bungkusan yang dibawa Dira.“Alah, lupa pulak aku bawa makanan. Habisnya aku langsung ke sini. Baru nyampek tadi pagi pun,” ucap Dira sembari menepuk dahinya.“Oh ... jadi belum pulang ke mes?”“Belum. Oh ya ... aku
Baru kemarin Dira datang ke rumah mewah ini. Kali ini ia harus kembali datang dengan membawa satu tas penuh berisi baju miliknya.“Paok, emang paok kalilah kau, Dir! Kenapa pakek acara salah ngomong. Sok kebaekan mau ngawani Ibuk ini segala. Kalok udah gini kan, enggak mungkin jilat ludah. Huh! Tapi kenapa hatiku enggak sepenuhnya nolak ya. Jangan bilang karena aku pengen lihat anak sebijik itu lagi. Bukan, bukan, ini karena Ria dipindah tugaskan. Jadi daripada sendirian di rumah, mending aku tinggal di sini. Lah, emang kenapa kalok aku sendirian. Aku enggak cemen kali. Jangankan penjahat, setan jugak aku tangkap,” gerutu Dira sembari berdiri mematung di depan pagar.“Tapi tenang, kan aku di sini sementara. Cuman tiga bulan, itupun selama anak itu keluar kota. Seenggaknya selama di sini aku enggak ketemu dia. Ini semua karena aku enggak bisa nolak permintaan Buk Devi.”“Hai, selamat datang. Mari masuk!” pinta Daffin dengan senyum kebahagiaan.“Loh, bukannya kau ....”“Biar gua bantu b
Keinginan untuk menutup pintu kini beralih ingin membuka. Hasrat ingin buang air pun menjadi masalah. Tak ingin tinggal diam, mencoba mendobrak pintu dengan tubuhnya. Namun, tak sedikitpun pintu itu bergerak. Tak mau menyerah begitu saja, Dira kembali mendorong pintu lebih kuat, kali ini ia melangkah mundur terlebih dahulu agar dapat mendapatkan dorongan yang maksimal. Tetapi tetap saja pintu itu berdiri kokoh di hadapannya.“Sialan!” teriak Dira sembari melayangkan pukulan ke arah pintu. “Oke, tenang dulu Dir. Atur napas. Kumpulin tenaga dulu, baru coba lagi.”Dari luar pintu terdengar juga terjadi keributan. Terlihat Bu Devi dan Bu Minah menanti cemas di sana. Sedangkan Daffin baru saja tiba membawa seorang ahli kunci bersamanya.“Bapaknya udah coba dobrak ya sebelumnya?” tanya si tukang kunci. Matanya membulat menyala melihat engsel dalam pintu yang sedikit membengkok.“Belum kok, emang pintunya rada macet sih,” jelas Daffin yang tak kalah kaget melihatnya. Hanya bisa menggeleng se
Baru saja Dira menapakkan kaki di kantor, gawainya sudah berdering beberapa kali. Berisik dan membuat kesal, nomor tanpa nama itu terlihat memaksa.“Halo!” ucap Dira dengan nada kasarnya.“Kenapa kamu perginya buru-buru? Kamu belum sempat sarapan kan?” tanya seseorang yang tanpa disadari membuat Dira terdiam seakan tak percaya. Kembali menatap layar gawai guna memastikan siapa yang menghubungi, Dira hanya mampu menyahut, “Ini siapa?”“Suami kamu,” sahut pria yang ada dibalik gawai.“Apa?!” teriak Dira semakin tak percaya. “Anak sebijik ini yah! Masih pagi udah buat orang palak!” seru Dira dengan kedua mata membulat. Tanpa ragu Dira segera memutus panggilan secara sepihak. Kembali melanjutkan langkahnya dengan kaki menghentak bumi.Baru beberapa langkah gawai Dira kembali berdering.“Enggak ada nama lagi? Huh! Emang carik berantam anak sebijik ini!” ungkap Dira kesal.Tak ingin pekerjaannya terganggu akibat gawai yang terus berdering, Dira memutuskan menonaktifkan gawainya. Sudah cukup
“Hah! Enggak papalah ya aku bilang Mamak angkat. Jadi, kalok pun diperiksa kan emang Buk Devi udah aku anggap macam Mamakku. Kalok enggak, ya enggak mungkin aku terjebak di rumah itu.”Dira melewati ruang kesehatan, sambil melangkah pelan Dira melirik ke arah dalam. Ternyata tidak ada orang yang terbaring di sana.“Huh! Syukurlah dia udah sadar berarti. Tapi kebal jugak ya anak itu, bisa tahan bogemku. Kebanyakan orang yang kenak bogem mentahku pingsan lah.”Tak menyadari akan apa yang terjadi, Dira memutuskan untuk kembali ke ruangannya. Ia berniat mempelajari data yang baru saja ia terima. Sesaat pandangannya mengarah kepada meja yang ada di depannya saat hendak meneguk botol air.“Kemana anak itu yah? Harusnya kalok udah enakan dia balik ke mejanyalah.”Merasa curiga karena Tomi tak kunjung masuk ruangan, Dira memutuskan untuk bertanya dengan rekan seruangan.“Si Tomi ke mana ya?”“Tomi? Dibawa ke rumah sakit katanya. Habisnya dia enggak sadar-sadar,” jawab rekan Dira.“Nah, betolk