Satu bulan pasca meninggalnya Nesya, aku masih belum percaya dia akan pergi secepat ini. Kejadian tragis tepat di hari yang seharusnya menjadi hari pernikahan kami, ternyata telah menguak banyak sekali kejutan tentang keluarga mantan kekasihnya tersebut. Hans, pria yang aku kira kakak kandung Nesya ternyata hanyalah seorang anak angkat dari keluarga mereka. Pria itu telah lama menyimpan rasa kepada Nesya tetapi hanya bisa memendamnya karena status kakak adik yang mereka sandang. Sampai akhirnya kesempatan yang Hans nanti untuk mencurahkan rasa cintanya kepada sang adik tiba. Hans memanfaatkan kehancuran Nesya dengan meniduri wanita itu. Mereka terlibat hubungan tersembunyi hingga Nesya akhirnya diketahui keguguran dan depresi. Aku tidak pernah menyangka hidup Nesya akan berakhir di tangan kakak angkatnya sendiri. Ya, Hans yang telah memasukkan racun ke dalam minuman mantan kekasihku karena ia tidak terima Nesya masih terus mengharapkanku. Sungguh, sandiwara yang apik. Hans bertindak
Seharian ini, aku sama sekali tidak fokus pada pekerjaan. Perkataan Mama tentang acara lamaran nanti malam untuk Haifa, benar-benar membuat mood-ku menjadi buruk. Pada akhirnya, Mama mengundangku untuk datang ke sana menyaksikan acara tersebut. Namun, aku masih ragu untuk memenuhi undangan beliau. Aku belum siap untuk melihat kebahagiaan Haifa dengan pria lain. Egois memang. Akan tetapi, mau bagaimana lagi? Perasaan ini terlanjur tumbuh subur untuk mantan istriku itu. "Tunjukkan kalau kamu baik-baik saja dan ikut berbahagia untuknya."Kata-kata Mama tadi pagi terus terngiang di telinga ini. Ah, andai saja bisa semudah itu melakukannya, mungkin saja aku tidak akan sampai se-galau ini. Aku akan datang dengan wajah semringah dan mengucapkan selamat. Namun nyatanya, aku masih belum bisa se-ikhlas itu melepas Haifa untuk pria lain. Aku melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan. Sudah menunjukkan pukul sepuluh kurang lima menit. Aku harus menjemput Abyan di sekolahnya karena aku su
"Aku mengganggu kamu?"Aku bertanya ketika kami sudah duduk berhadapan. Haifa menggeleng sambil tersenyum. Aku menundukkan wajah karena kembali terpesona oleh senyuman manis itu. Duhai hati, tolong jangan buat aku lemah di hadapannya. "Sama sekali tidak menggangu kok, Mas. Kebetulan aku baru saja selesai makan siang. Mas sudah memesan makanan?" "Sudah." Aku mengangguk. "Sebenarnya, aku sengaja mengajakmu bertemu karena ingin menyerahkan ini."Aku mengambil paper bag yang kusimpan di kursi sebelah dan menyerahkannya kepada Haifa."Apa ini, Mas?" tanyanya sambil meneliti paper bag tersebut."Itu ... Kado pernikahan untuk kamu. Aku sengaja memberikannya sekarang karena kemungkinan besar, aku tidak bisa hadir di acara pernikahanmu nanti," terangku.Haifa sempat tertegun sebelum akhirnya menyimpan paper bag itu di atas pangkuannya."Kenapa Mas tidak bisa datang? Padahal aku berharap nanti Mas bisa hadir menjadi salah satu saksi."Aku menelan saliva. Tidak mungkin jika harus berkata juju
"Maaf, Mas. Saya gak sengaja."Untuk sesaat aku terpaku. Gadis di depanku gemetar ketakutan dengan kepala yang terus menunduk. Jilbab yang ia kenakan pun sudah tak beraturan hingga sebagian anak rambut mengintip keluar. Penampakan gadis ini benar-benar kacau. Rasa kesal yang tadi sempat singgah kini berubah menjadi rasa iba. Sepertinya, gadis ini sedang berada dalam kesulitan."Kamu kenapa ketakutan begitu? Dan ... kenapa malam-malam begini berkeliaran di luar?" tanyaku sambil terus memperhatikan gelagatnya."S-saya--""Itu dia! Hei, jangan lari!"Suara teriakan beberapa orang pria terdengar makin mendekat. Gadis di depanku tersentak dan gegas bersembunyi di belakang tubuhku. Aku makin merasa janggal. Sepertinya memang ada yang tidak beres pada gadis ini. "T-tolong saya, Mas. Mereka memaksa saya tapi saya tidak mau ikut," ucapnya tersendat. Belum sempat aku bicara, tiga orang pria tiba di depanku dengan seringai yang menakutkan. "Di sini kamu rupanya. Mau lari ke mana lagi, hah!" t
"Sani, apa yang kamu lakukan, Nak!" Pak Warman menegur anaknya yang masih tak sadar memelukku. Gadis berlesung pipi itu sontak melepas pelukannya. Ia terlihat gugup dan gelagapan, mungkin karena malu telah melakukan sesuatu yang tidak disadarinya. "M-maaf, Mas. Saya refleks karena terlalu senang.""Tidak apa. Saya maklum," ucapku sambil menahan geli. Gadis ini terlihat menggemaskan ketika pipinya merona karena malu."Nak Gani, maafkan atas kelancangan putri saya. Saya sangat berterima kasih karena Nak Gani sudah mau membantu kami. Saya janji akan mengganti uang Nak Gani meski dengan cara menyicil.""Tidak usah, Pak." Aku menolak dengan cepat. "Saya ikhlas berniat membantu, bukan memberi pinjaman. Bapak tidak perlu mengembalikan uang itu karena saya membantu Bapak dengan ikhlas," paparku. Mereka sedang mengalami kesusahan, mana mungkin aku tega menambah beban Bapak dan Anak itu."Saya jadi merasa tidak enak. Kalau memang begitu, izinkan saya membalas budi baik Nak Gani dengan cara ap
Kabar dari Mama tentang Haifa benar-benar membuatku gelisah. Tanpa pikir panjang, aku gegas mempersiapkan diri untuk pulang ke Jakarta. Aku ingin melihat kondisi Haifa yang kata Mama tidak sadarkan diri setelah mendengar kabar tentang Akram yang kemungkinan gugur saat bertugas di negara yang saat ini tengah rawan konflik. Memang belum ada konfirmasi lagi dari sana. Akan tetapi, keluarga tetap harus bersiap untuk menghadapi kemungkinan terburuk sekalipun."Mas jadi pulang ke Jakarta?"Sani yang tengah menungguku di teras rumah berdiri ketika melihatku membawa tas berisi pakaian. Wajah wanita itu ditekuk entah karena apa. Mungkin ia tidak rela aku meninggalkannya di sini. "Iya. Aku harus memastikan Haifa baik-baik saja. Aku juga khawatir pada Abyan karena bundanya tengah bersedih," jawabku sembari berjalan menuju mobil. Sani mengikutiku. Setelah memasukkan tas ke dalam bagasi mobil, aku menghampiri gadis itu yang tengah memperhatikan gerak gerik-ku."Aku berangkat dulu. Kamu jaga diri
Memilih antara Haifa dan Sani adalah hal yang paling sulit kulakukan. Kedua wanita itu mempunyai tempat tersendiri di hati ini. Namun, tentu saja aku tidak bisa merengkuh keduanya dalam satu waktu karena hal itu tidaklah mungkin bisa kulakukan. Akhirnya, di sini lah aku sekarang. Di rumah sakit bersama Abyan juga orang tuaku, menunggu Haifa yang sedang diperiksa. Untuk membantu Sani, aku sudah meminta salah satu anak buahku di sana untuk menemuinya ke rumah sakit dan menyelesaikan segala urusan di sana, termasuk soal biaya administrasi.Aku duduk dengan gelisah, takut terjadi sesuatu pada mantan istriku yang masih tidak sadarkan diri. Begitu berat cobaan yang Haifa hadapi selama ini. Ditinggalkan suami ketika seharusnya Mereka tengah menikmati suasana pengantin baru, pasti sangatlah menyesakkan. Memang, sudah menjadi resiko bagi istri seorang abdi negara yang harus siap dengan kemungkinan terburuk setiap suaminya berangkat bertugas. Namun, satu hal yang pasti, Akram gugur dalam keadaa
"Mas, aku harus bagaimana? Bapak ninggalin aku sendirian. Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain Bapak. Aku--"Sani terus meracau dalam pelukanku. Kudekap ia lebih erat, demi memberinya kekuatan setelah ayahnya meninggalkan gadis ini untuk selamanya. Ya, begitu aku dan Sani sampai di rumah, Pak Warman sudah tidak bernyawa. Sani sempat histeris dan mengguncang tubuh ayahnya dan dengan sigap aku menenangkan gadis itu. Entah karena kebetulan atau memang sudah takdir, dua wanita yang menempati posisi masing-masing di hati ini tengah berduka. Haifa ditinggalkan oleh suaminya dan Sani oleh sang ayah. Kini keduanya berada dalam kondisi berkabung. Akan tetapi, tentu saja aku tidak bisa memeluk Haifa ketika memberinya semangat karena entah mengapa, selalu terasa ada jarak yang membentang di antara aku dan dia. Meninggalkan Sani yang kini hidup sebatangkara bukanlah pilihan yang tepat. Apalagi Juragan Karta masih saja berusaha untuk menjadikan gadis itu istri ketiganya. Tidak ada pili