Share

Bab 2

Author: Nelda Friska
last update Last Updated: 2022-11-22 15:28:18

"Haifa ...."

"M-mas Gani."

Kami sama-sama terkejut. Untuk sejenak, dunia rasanya berhenti berputar. Aku dan Haifa masih saling tatap hingga akhirnya dia memutus kontak mata kami terlebih dahulu. Haifa berjalan ke arahku dan Bayu seraya menampilkan selarik senyum. Penampilannya tidak berubah. Haifa masih tetap terlihat bersahaja dengan gamis dan jilbab lebar yang ia kenakan. Pun dengan wajahnya yang tidak pernah mendapat sentuhan make up. Namun, ada yang berbeda. Haifa terlihat lebih kurus dari terakhir kali kami bertemu.

"Haifa, kamu--"

"Mas mau pesan berapa porsi?" tanyanya sama sekali tak menghiraukan diriku yang masih terkejut atas pertemuan kami. Haifa bersikap seolah-olah kami adalah dua orang asing yang tidak terikat dalam tali pernikahan. Tak sadar, tanganku mengepal di atas paha ketika mendapati dia yang menganggapku hanya sebagai seorang pembeli, bukan suami yang sudah lama tidak ia jumpai.

Bayu pun pasti sama terkejutnya denganku. Terbukti, bukannya menjawab pertanyaan Haifa, dia malah melirikku dan Haifa secara bergantian.

"Mas? Maaf kalau memang tidak jadi memesan, saya harus melayani pembeli yang lain."

"Kami pesan dua porsi," selaku cepat sebelum Haifa sempat menghindar. Untuk sementara, akan kubiarkan dia menjalani perannya sebagai penjual nasi uduk yang harus melayani pembeli dengan baik. Mungkin memang bukan saat yang tepat jika aku langsung mengajak Haifa berbicara tentang nasib pernikahan kami. Aku harus mencari waktu lain agar kami bisa berbicara berdua dengan kondisi yang sudah sama-sama siap.

Mata ini tak lepas dari setiap pergerakan istriku. Haifa nampak gugup, terbukti dengan tangannya yang terlihat gemetar ketika menuang nasi ke atas piring. Setelah kontak mata kami tadi, Haifa seperti enggan kembali bersitatap denganku.

Tiba-tiba saja hati ini terasa ngilu. Sebegitu bencinya-kah dia padaku? Mengingat, perlakuanku dulu yang tidak pernah bersikap layaknya seorang suami kepada istrinya. Jarak yang sengaja aku ciptakan membuat Haifa tidak bisa menembus dinding kokoh yang telah aku bangun di antara kami. Ya, aku memang sebejat itu. Namun, aku merasa perlu melakukannya karena aku tidak ingin Haifa berharap lebih dari pernikahan tanpa cinta ini.

"Silakan, Mas."

Haifa meletakkan dua porsi nasi uduk ke atas meja berukuran panjang yang terdapat di sebelah gerobaknya, disusul dengan dua gelas teh hangat yang ia sediakan juga. Setelahnya, ia kembali melayani pembeli yang memang lumayan banyak.

Satu suap nasi uduk yang masuk ke mulut ini susah payah aku telan. Rasanya ... masih tetap sama. Masakan Haifa memang selalu lezat dan terasa pas di lidah. Pantas saja jualannya terlihat laris karena pembeli masih mengantri mengelilingi gerobak milik istriku. Tak terasa, ada yang mengembun di kedua kelopak mata ini. Haifa harus berjualan nasi uduk untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tidak ada yang tahu bahwa dia adalah istri dari seorang pemilik perusahaan Kontraktor ternama di Jakarta. Terdengar miris memang. Akan tetapi, bukankah ini semua bukan salahku? Dia yang memilih pergi tanpa pamit bahkan sampai bertahun-tahun tanpa memberi kabar padaku. Andai saja aku mengetahui keberadaannya sejak dulu, tidak mungkin aku membiarkan Haifa hidup kesusahan apalagi sampai harus berjualan dengan membawa gerobak seperti ini.

"Lo masih mau di sini? Gue yakin kalian berdua harus bicara. Tapi kalau boleh gue kasih saran buat Lo, jangan ucapkan kata talak itu sekarang, bahkan kalau bisa pikirkan lagi keputusan Lo. Kasihan Haifa. Lo lihat sendiri bagaimana kehidupannya sekarang. Gue yakin Lo masih punya hati nurani untuk tidak menjatuhkan talak di pertemuan pertama kalian setelah bertahun-tahun terpisah." Bayu menepuk bahuku. "Lo yang bayar. Gue duluan ke Hotel," ucapnya sebelum pergi meninggalkanku yang kini termangu menimbang ucapannya barusan.

Haruskah aku menunda lagi? Bagaimana kalau setelah ini Haifa malah menghindar dan pergi lagi tanpa bisa kutemui?

Tak terasa mentari mulai merangkak naik. Aku masih duduk di bangku ini sembari menunggu Haifa selesai berjualan. Terlihat dia mulai membereskan peralatan dan bersiap untuk pulang. Dengan sigap, aku menghampirinya dan mengajaknya berbicara.

"Haifa, kita harus bicara," ucapku setelah berada di dekatnya.

"Iya, Mas. Aku sudah selesai. Sudah waktunya kita bicara." Tak kuduga, Haifa bisa bersikap tenang setelah tadi dia terlihat gugup. Aku mengikutinya duduk di bangku yang tadi kutempati bersama pembeli yang lain.

Haifa memejamkan mata. Entah apa yang tengah ia pikiran hingga akhirnya satu kalimat lolos dari bibirnya yang terlihat pucat.

"Silahkan Mas ucapakan talak sekarang. Aku sudah siap."

Aku terperangah, "Haifa ...."

"Dari dulu, Mas ingin mengucapkan itu kan? Maaf jika aku pergi tanpa pamit karena jujur waktu itu aku belum siap mendengarnya. Tapi sekarang, Mas tidak perlu khawatir aku akan mengulur waktu. Aku sudah sangat siap untuk mendengar kata talak dari Mas."

Tak sedikit pun keraguan yang aku lihat dari wajahnya. Haifa nampak sangat yakin atas keputusan berpisah yang sejak dulu memang aku inginkan. Akan tetapi mengingat ucapan Bayu, mengapa justru diri ini yang menjadi ragu?

"Haifa ...." Ah, lidah ini mendadak kelu.

"Mas--"

"Bunda!"

Aku dan Haifa terkesiap. Sontak kami menoleh ke arah bocah kecil yang dituntun oleh seorang wanita paruh baya. Wajah Haifa berubah tegang. Begitupun denganku setelah melihat wajah bocah kecil itu yang ternyata sangat mirip denganku.

"Bunda!" Teriaknya lagi saat dia hampir mendekat ke arah kami.

"I-iya, Sayang. Bunda di sini."

Aku melirik Haifa dan anak itu bergantian. Mata ini menyipit ketika melihat fokus anak itu yang hanya menatap ke satu arah dengan tangan yang bergerak seperti ingin menggapai sesuatu.

Satu pemikiran tiba-tiba terlintas dalam benak ini. Ya Tuhan! Jangan-jangan dia ... buta?

*

*

Bersambung.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Dyah Astri Andriyani
waaa....sex with no love, benar2 nggk mau rugi pokoknya si cowok,dah gitu siap2 nalak...hmmmm...enak bikinnya anak doang..
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Talak Yang Tertunda   Bab 34

    "Bunda!"Aku dan Haifa terperanjat. Kami sama-sama menjauhkan diri ketika suara Qinara terdengar begitu nyaring. Aku menghela napas kasar. Baru saja kami akan bermesraan, harus kembali ditunda karena teriakan putri kami. "Buka dulu pintunya. Aku mau pakai baju," bisik Haifa sambil terkekeh. "Gak jadi lagi?" Aku memasang raut sendu. "Ya ... habisnya gimana." Haifa menaikan sebelah alis. Ah, aku suka gayanya yang seperti itu. Ingin sekali aku menerkam dan memenjarakan tubuhnya, tetapi harus kutahan karena Qinara kembali berteriak memanggil bundanya. "Bunda!""Sebentar, Sayang!" Haifa menyahut. "Cepat buka pintunya, Mas. Kasian Qinara.""Iya, Sayang. Tapi nanti kalau Qinara sudah tidur, kita lanjut lagi, ya."Haifa mengangguk. Aku tersenyum lebar kemudian mencuri satu kecupan di pipinya yang merona. "Mas!""Hmm?""Pakai dulu bajunya!"Oh, ya Tuhan! Aku lupa sedang bertelanjang dada. Bergegas kukenakan lagi pakaian karena gedoran disertai teriakan dari luar makin mengencang. Membuk

  • Talak Yang Tertunda   Bab 33

    Kabar tentang Bu Wanti sangat membuat kami terkejut. Tanpa membuang waktu, hari itu juga kami berangkat ke Bogor untuk melihat keadaannya. Menurut cerita salah satu tetangga di sana, Bu Wanti terpeleset di kamar mandi hingga jatuh. Mungkin karena kondisinya yang sedang tidak enak badan, Bu Wanti kurang berhati-hati hingga terjadilah insiden itu. Kondisinya yang kritis membuat Ibu dari Akram itu tidak bisa bertahan lebih lama. Beliau meninggal setelah sebelumnya memberi amanat yang membuat kami terkejut. Beliau ingin mendonorkan matanya untuk Abyan sebagai ungkapan rasa sayang terakhir untuk putraku itu. Beruntung Bu Wanti sempat bertemu Dengan cucunya yang baru lahir ke dunia. Sebelum kabar ini kami dengar, Bu Wanti sempat datang ke rumah orang tuaku untuk menengok Qinara. Di sinilah kami sekarang. Di rumah sakit, menunggui Abyan yang sedang menjalani operasi. Menurut Dokter, kualitas mata Bu Wanti masih terbilang sehat dan bisa didonorkan. Tindakan operasi pun segera dilaksanakan s

  • Talak Yang Tertunda   Bab 32

    "Kamu yang sabar. Beri Haifa waktu untuk berpikir sebelum dia memutuskan mau menerima kamu atau tidak."Papa menepuk pundak ini kemudian duduk di sampingku. Pria yang baru saja menggendong cucu keduanya itu pasti memahami perasaanku saat ini. Sebenarnya tidak masalah jika Haifa meminta waktu untuk berpikir. Akan tetapi, entah mengapa diri ini begitu takut kehilangan dia untuk yang kedua kalinya. Aku tidak ingin lagi berpisah atau bahkan melihat Haifa bersanding dengan pria lain karena Haifa adalah satu-satunya wanita yang mampu membuatku sampai se-gila ini. "Ya, Pa. Aku paham dia masih ragu padaku. Aku akan berusaha sabar menunggu meski sebenarnya, aku takut dia akan menolakku karena ... ya, Papa pasti tahu alasannya."Papa mengangguk. "Ya, Papa tahu. Tidak mudah baginya menerima pria yang pernah menyakitinya," ujarnya membenarkan."Ngomong-ngomong, kondisi teman kamu bagaimana? Apa dia baik-baik saja?" Pertanyaan Papa membuatku hampir saja mengumpat. Aku melupakan Sani yang entah s

  • Talak Yang Tertunda   Bab 31

    "Gani, kamu mau ikut Papa atau tetap di sini?"Pertanyaan Papa menyadarkan aku dari keterpakuan. Kabar Haifa yang akan melahirkan membuatku bertambah tidak tenang. Andai saja bisa, aku ingin mendampingi dan memberinya dukungan hingga prosesnya lancar. Namun, teringat Sani yang masih ditangani, aku pun dilanda bimbang. Aku tidak mungkin meninggalkan Sani sendirian tanpa ada yang menungguinya. Apalagi, aku merasa harus bertanggung jawab karena secara tidak langsung, aku-lah penyebab Sani seperti ini. "Gani, kok malah melamun?""Eh, i-iya, Pa. Sebenarnya aku ingin ikut ke sana tapi temanku tidak ada yang menjaga. Nanti kalau aku sudah memastikan dia baik-baik saja, aku pasti menyusul Papa," jawabku akhirnya memilih memastikan kondisi Sani terlebih dahulu."Baiklah, kalau begitu Papa ke sana dulu.""Iya, Pa."Setelah kepergian Papa, aku kembali duduk di kursi tunggu dengan gelisah. Meski ragaku ada di sini, tetapi hati tetap memikirkan Haifa. Bagaimana perasaannya ketika melahirkan tanpa

  • Talak Yang Tertunda   Bab 30

    "Jangan becanda, Mas. Gak lucu!"Perkataan Haifa masih saja terngiang di telinga ini. Katanya, aku becanda? Apa dia sama sekali tidak melihat keseriusan di wajahku saat mengatakannya? Tangan ini memukul stir kemudi beberapa kali. Jujur saja, hati ini rasanya sakit saat mendengar Haifa justru menganggap pengakuanku sebagai sebuah lelucon. Dulu, aku memang pria brengsek yang telah tega menyakitinya. Namun setelah semua yang terjadi, aku selalu berusaha untuk memperbaiki diri agar bisa menjadi pria yang pantas untuk menjadi imam dari wanita seperti dirinya."Kenapa kamu gak ngerti juga, Fa. Aku itu mencintai kamu, bukan wanita lain." Lagi, tangan ini mendarat cukup kencang di atas stir kemudi.Setelah cukup lama berdiam diri di parkiran, aku menghidupkan mesin mobil untuk kembali ke kantor. Meski diri ini yakin tidak akan bisa fokus pada pekerjaan, tapi setidaknya aku sudah berusaha untuk tetap konsisten pada apa yang sudah menjadi tanggung jawabku.Benar saja, jangankan fokus, melihat

  • Talak Yang Tertunda   Bab 29

    "Tante Sani ini ... bukan calon istri Papa, kan?"Aku terperangah mendengar pertanyaan Abyan. Calon istri? Bagaimana mungkin putraku bisa menebak sampai sejauh itu? Aku melirik ke arah Haifa juga Mama dan Papa. Ketiga orang itu pun sepertinya sama terkejutnya denganku. Akhirnya, aku hanya bisa menghela napas sambil menggelengkan kepala."Kok Abyan ngomongnya gitu? Tante Sani ini cuma teman Papa. Dia datang ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Papa membawanya ke sini biar Opa sama Oma, terus Abyan juga gak salah paham. Abyan ngerti kan?"Anak itu terdiam cukup lama sebelum akhirnya mengangguk. Seulas senyum pun kembali mengembang di bibirnya. "Abyan kira, Papa gak pulang- pulang dan betah di sana karena ada Tante Sani. Biasanya kalau orang sampai lupa pulang itu karena ada sesuatu yang membuatnya betah dan ingin tinggal lebih lama. Iya kan, Oma?"Putraku ini memang anak yang cerdas. Pemikiran Abyan terbilang kritis untuk anak seusia dirinya. Meski dia baru bertemu dengan Sani sekarang,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status