"Haifa, dia ...."
Aku menelan ludah. Setelah jarak kami begitu dekat, wajah anak itu makin jelas mirip denganku. Mata ini menatap mereka. Ada yang berdesir hangat ketika melihat senyum ceria anak itu ketika berhasil menggapai tangan istriku."Kok Abyan ke sini? Kan tadi Bunda bilang tunggu saja di rumah." Haifa berjongkok, mensejajarkan diri dengan tinggi tubuh bocah yang ternyata bernama Abyan."Maaf, Bunda. Abyan jenuh kalau di rumah terus. Abyan mau bantuin Bunda jualan tapi ... sayangnya gak bisa," lirihnya di akhir kalimat.Dada ini berdenyut nyeri mendengar kalimat kekecewaan yang terlontar dari mulut Abyan. Manik matanya sudah berkaca. Anak itu pasti merasa sedih karena kondisinya yang tidak seperti anak yang lain."Gak papa, Sayang. Bunda kan sudah sering bilang kalau Bunda bisa jualan sendiri. Tugas Abyan itu belajar supaya jadi anak yang pintar."Hatiku terenyuh melihat interaksi Ibu dan anak itu. Setelah kuteliti lebih jelas, wajah anak itu memang mirip denganku. Ya Tuhan, mungkinkah dia?"Haifa. Mari kita bicara lagi. Masih banyak hal yang harus kamu jelaskan padaku. Tentang kepergianmu, alasannya, dan juga tentang ... Abyan.""Iya, Mas. Sebentar." Haifa kembali menoleh ke arah Abyan. "Abyan sama nenek dulu, ya. Bunda mau bicara sama Om.""Om? Om siapa, Bunda?""Om ini temannya Bunda. Sebentar ya, Nak. Bunda ada perlu sama Om. Bu, tolong bawa Abyan duduk di sana.""Baiklah, tapi jangan lama-lama. Kasihan Abyan kan baru sembuh."Haifa mengangguk ke arah wanita paruh baya itu. Kemudian, ia memberi isyarat kepadaku untuk duduk kembali di bangku tadi. Sedangkan Abyan dituntun ke arah bangku yang terletak di bawah pohon tak jauh dari kami."Silakan, Mas mau bertanya apa?" katanya setelah kami duduk bersebelahan."Oke, aku tidak ingin membuang waktu lagi. Kenapa kamu pergi tidak memberitahuku terlebih dahulu? Aku ini suamimu, Haifa. Apa begini sikap seorang istri yang menghormati suaminya? Pergi tanpa pamit, tak ada kabar dan menghilang. Apa kamu tahu bagaimana bingungnya aku mencarimu? Belum lagi Papa dan Mama yang terus saja menyalahkanku. Tidak bisakah kamu bersikap dewasa? Jangan kabur-kaburan sampai bertahun-tahun seperti ini!" cecarku yang merasa kesal atas sikap Haifa. Dia tidak tahu saja. Papa dan Mama hampir setiap hari menanyakan kabar tentang perkembangan pencarian menantunya padaku."Aku minta maaf karena telah membuat Mas kesusahan. Selama ini aku memang pergi ke Bogor dan menetap di sini. Untuk alasan kepergianku, bukankah tadi sudah aku jelaskan? Aku belum siap untuk mendengar kata talak dari Mas. Aku ...."Haifa tidak melanjutkan ucapannya. Manik mata perempuan yang masih berstatus istriku itu kini mengembun. Mungkinkah dia sedih karena aku terlalu menyudutkannya? Padahal, jika dipikir ulang, kejadian ini bukan sepenuhnya salah Haifa. Aku pun ikut andil dalam keputusan Haifa untuk memilih pergi karena malam itu aku telah melontarkan kata-kata kasar setelah kami ... Ya Tuhan! Aku baru ingat tentang kejadian malam itu. Apa jangan-jangan Abyan!Mata ini kembali meneliti wajah Abyan. Meski dari kejauhan, masih bisa aku lihat mata dan hidungnya yang mirip sekali denganku. Abyan adalah jelmaan seorang Gani ketika masih kecil. Diri ini makin yakin kalau Abyan itu adalah putraku."Apa Abyan itu anakku?"Haifa terbelalak. Tubuhnya bergerak gelisah dengan jemari yang saling meremas di atas paha wanita itu."Haifa, jawab aku! Apa karena kejadian malam itu kamu hamil?" cecarku lagi. "Jangan berbohong karena fakta yang ada di depan mata sudah sangat menjelaskan semuanya. Wajah Abyan sangat mirip denganku."Wajah wanita yang duduk di sebelahku makin menunduk. Kemudian, satu kali anggukan yang ia tunjukkan sebagai jawaban membuat seluruh persendianku seketika terasa lemas.Ingatan ini melayang ke masa di mana aku tak sengaja menyentuh Haifa. Aku yang pulang dalam keadaan mabuk melihat wajah Haifa menjelma menjadi Nesya. Diri ini tidak dapat mengendalikan nafsu hingga malam naas itu terjadi. Masih kuingat tangis pilu Haifa saat aku sadar telah merenggut kesuciannya. Aku mengumpat, bahkan menghinanya dengan kata-kata kasar yang pasti sangat menyakiti hati wanita itu. Namun anehnya, Haifa hanya diam tanpa membalas sedikitpun. Bahkan, Haifa masih bersikap baik kepadaku dengan menyiapkan sarapan dan pakaian ganti seperti biasanya. Kadang aku berpikir, terbuat dari apa hati perempuan ini? Kenapa dia masih bisa menampilkan senyum tulus ketika aku bersikap buruk kepadanya?"Jadi, itu benar? Abyan anakku?" lirihku dengan tubuh yang masih terasa lemas."Iya, Mas. Maaf telah menyembunyikannya darimu. Aku baru tahu kalau aku hamil setelah beberapa Minggu pergi dari rumah," terangnya.Kuusap wajahku dengan gusar, "Kamu egois, Haifa. Kalau kamu sadar saat itu tengah hamil, kenapa tidak kembali?" kejarku."Karena aku takut Mas tidak bisa menerima kehamilanku. Bukankah Mas tidak menginginkan aku? Maka bukan tidak mungkin Mas juga tidak menginginkan bayi yang sedang kukandung," jawabnya yang sukses menyentil diri ini. Apa yang ia katakan benar. Bahkan, aku tidak pernah bermimpi untuk mempunyai anak dari Haifa, apalagi dengan keadaan yang ... ah, dada ini terasa nyeri saat mengingat kondisi Abyan."Apa dia mempunyai gangguan penglihatan?" Aku memberanikan bertanya tentang hal yang pastinya cukup sensitif."I-iya. Abyan mempunyai gangguan penglihatan sejak lahir," lirihnya."Dengan kondisi anakmu yang seperti itu kamu masih nekat tidak pulang? Kalau kamu memberitahuku, setidaknya aku bisa membantu mencarikan donor mata untuknya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Papa dan Mama kalau mereka tahu bahwa cucunya--"Tenggorokan ini rasanya tercekat. Aku tidak mampu melanjutkan ucapan tentang kondisi Abyan."Buta?" Haifa memperjelas."Itulah salah satu alasan kenapa aku tidak pulang. Aku tidak ingin membuat Mas dan orang tua Mas malu karena kondisi Abyan. Biarlah aku merawat Abyan sendiri karena anak itu sudah terbiasa hidup hanya denganku.""Tapi aku ayahnya!" selaku dengan gusar. Ya, walau bagaimanapun kondisi anak itu, aku tetaplah ayahnya yang harus bertanggung jawab penuh atas dirinya.Kami sama-sama diam. Haifa tak lagi menjawab begitu pun dengan aku yang memilih menghentikan pertanyaan. Mata ini fokus menatap Abyan yang sedang berbincang dengan wanita paruh baya yang tadi ia sebut nenek. Meski memiliki kekurangan, tetapi wajah Abyan sangat sempurna. Ia memiliki garis wajah seperti diriku. Bukan bermaksud sombong. Namun setiap orang yang melihatku pasti akan mengatakan jika aku ini tampan, dan ternyata ketampananku ini diwarisi oleh putraku."Bolehkah aku berbicara dengannya?"Tiba-tiba saja satu keinginan muncul dalam diri ini. Aku ingin lebih dekat dengan Abyan dan mengakrabkan diri dengannya."Silakan kalau memang Mas bersedia."Tak ingin menyiakan kesempatan, aku bangkit dari duduk dan menghampiri Abyan yang tentu saja tidak menyadari kehadiranku. Setelah jarak kami begitu dekat, aku berjongkok di depan dia yang masih duduk di atas bangku."Hai. Nama kamu Abyan kan?" tanyaku sedikit gugup."Iya. Om siapa?" tanyanya dengan mata yang tetap fokus ke depan."Jangan panggil, Om. Panggil Papa." Namun sayang, kalimat itu hanya tertahan di tenggorokan. Ego ini melarang diriku untuk mengatakan siapa aku yang sebenarnya."Om, temannya Bunda kamu. Nama Om, Gani. Abyan suka es krim?""Suka, Om," jawabnya sambil mengangguk dan tersenyum."Mau beli?""Sebentar, Om. Abyan minta izin sama Bunda dulu."Tangan Abyan terulur seperti ingin menggapai sesuatu. "Bun, Bunda di sini kan? Abyan boleh beli es krim sama Om Gani?" tanyanya penuh harap."B-boleh, Sayang." Haifa menjawab sambil terisak lirih."Ayok, kita beli es krim di sana. Tapi Abyan sudah sarapan kan?""Sudah, Om.""Oke, ayok!"Aku membantu Abyan turun dari bangku yang ia duduki. Tangan mungilnya aku genggam untuk aku tuntun ke arah penjual es krim yang mangkal tidak jauh dari gerobak milik Haifa. Perasaan hangat seketika menjalar saat tangan kami bersentuhan."Tunggu, Om." Abyan tiba-tiba saja menarik tangannya dari genggamanku."Ada apa?" tanyaku bingung padahal kami sudah bersiap untuk melangkah."Gak usah saja, Om. Abyan takut nanti Om malu kalau jalan sama Abyan," lirihnya yang sukses membuat dada ini bak dihantam palu godam.**Bersambung."Bunda!"Aku dan Haifa terperanjat. Kami sama-sama menjauhkan diri ketika suara Qinara terdengar begitu nyaring. Aku menghela napas kasar. Baru saja kami akan bermesraan, harus kembali ditunda karena teriakan putri kami. "Buka dulu pintunya. Aku mau pakai baju," bisik Haifa sambil terkekeh. "Gak jadi lagi?" Aku memasang raut sendu. "Ya ... habisnya gimana." Haifa menaikan sebelah alis. Ah, aku suka gayanya yang seperti itu. Ingin sekali aku menerkam dan memenjarakan tubuhnya, tetapi harus kutahan karena Qinara kembali berteriak memanggil bundanya. "Bunda!""Sebentar, Sayang!" Haifa menyahut. "Cepat buka pintunya, Mas. Kasian Qinara.""Iya, Sayang. Tapi nanti kalau Qinara sudah tidur, kita lanjut lagi, ya."Haifa mengangguk. Aku tersenyum lebar kemudian mencuri satu kecupan di pipinya yang merona. "Mas!""Hmm?""Pakai dulu bajunya!"Oh, ya Tuhan! Aku lupa sedang bertelanjang dada. Bergegas kukenakan lagi pakaian karena gedoran disertai teriakan dari luar makin mengencang. Membuk
Kabar tentang Bu Wanti sangat membuat kami terkejut. Tanpa membuang waktu, hari itu juga kami berangkat ke Bogor untuk melihat keadaannya. Menurut cerita salah satu tetangga di sana, Bu Wanti terpeleset di kamar mandi hingga jatuh. Mungkin karena kondisinya yang sedang tidak enak badan, Bu Wanti kurang berhati-hati hingga terjadilah insiden itu. Kondisinya yang kritis membuat Ibu dari Akram itu tidak bisa bertahan lebih lama. Beliau meninggal setelah sebelumnya memberi amanat yang membuat kami terkejut. Beliau ingin mendonorkan matanya untuk Abyan sebagai ungkapan rasa sayang terakhir untuk putraku itu. Beruntung Bu Wanti sempat bertemu Dengan cucunya yang baru lahir ke dunia. Sebelum kabar ini kami dengar, Bu Wanti sempat datang ke rumah orang tuaku untuk menengok Qinara. Di sinilah kami sekarang. Di rumah sakit, menunggui Abyan yang sedang menjalani operasi. Menurut Dokter, kualitas mata Bu Wanti masih terbilang sehat dan bisa didonorkan. Tindakan operasi pun segera dilaksanakan s
"Kamu yang sabar. Beri Haifa waktu untuk berpikir sebelum dia memutuskan mau menerima kamu atau tidak."Papa menepuk pundak ini kemudian duduk di sampingku. Pria yang baru saja menggendong cucu keduanya itu pasti memahami perasaanku saat ini. Sebenarnya tidak masalah jika Haifa meminta waktu untuk berpikir. Akan tetapi, entah mengapa diri ini begitu takut kehilangan dia untuk yang kedua kalinya. Aku tidak ingin lagi berpisah atau bahkan melihat Haifa bersanding dengan pria lain karena Haifa adalah satu-satunya wanita yang mampu membuatku sampai se-gila ini. "Ya, Pa. Aku paham dia masih ragu padaku. Aku akan berusaha sabar menunggu meski sebenarnya, aku takut dia akan menolakku karena ... ya, Papa pasti tahu alasannya."Papa mengangguk. "Ya, Papa tahu. Tidak mudah baginya menerima pria yang pernah menyakitinya," ujarnya membenarkan."Ngomong-ngomong, kondisi teman kamu bagaimana? Apa dia baik-baik saja?" Pertanyaan Papa membuatku hampir saja mengumpat. Aku melupakan Sani yang entah s
"Gani, kamu mau ikut Papa atau tetap di sini?"Pertanyaan Papa menyadarkan aku dari keterpakuan. Kabar Haifa yang akan melahirkan membuatku bertambah tidak tenang. Andai saja bisa, aku ingin mendampingi dan memberinya dukungan hingga prosesnya lancar. Namun, teringat Sani yang masih ditangani, aku pun dilanda bimbang. Aku tidak mungkin meninggalkan Sani sendirian tanpa ada yang menungguinya. Apalagi, aku merasa harus bertanggung jawab karena secara tidak langsung, aku-lah penyebab Sani seperti ini. "Gani, kok malah melamun?""Eh, i-iya, Pa. Sebenarnya aku ingin ikut ke sana tapi temanku tidak ada yang menjaga. Nanti kalau aku sudah memastikan dia baik-baik saja, aku pasti menyusul Papa," jawabku akhirnya memilih memastikan kondisi Sani terlebih dahulu."Baiklah, kalau begitu Papa ke sana dulu.""Iya, Pa."Setelah kepergian Papa, aku kembali duduk di kursi tunggu dengan gelisah. Meski ragaku ada di sini, tetapi hati tetap memikirkan Haifa. Bagaimana perasaannya ketika melahirkan tanpa
"Jangan becanda, Mas. Gak lucu!"Perkataan Haifa masih saja terngiang di telinga ini. Katanya, aku becanda? Apa dia sama sekali tidak melihat keseriusan di wajahku saat mengatakannya? Tangan ini memukul stir kemudi beberapa kali. Jujur saja, hati ini rasanya sakit saat mendengar Haifa justru menganggap pengakuanku sebagai sebuah lelucon. Dulu, aku memang pria brengsek yang telah tega menyakitinya. Namun setelah semua yang terjadi, aku selalu berusaha untuk memperbaiki diri agar bisa menjadi pria yang pantas untuk menjadi imam dari wanita seperti dirinya."Kenapa kamu gak ngerti juga, Fa. Aku itu mencintai kamu, bukan wanita lain." Lagi, tangan ini mendarat cukup kencang di atas stir kemudi.Setelah cukup lama berdiam diri di parkiran, aku menghidupkan mesin mobil untuk kembali ke kantor. Meski diri ini yakin tidak akan bisa fokus pada pekerjaan, tapi setidaknya aku sudah berusaha untuk tetap konsisten pada apa yang sudah menjadi tanggung jawabku.Benar saja, jangankan fokus, melihat
"Tante Sani ini ... bukan calon istri Papa, kan?"Aku terperangah mendengar pertanyaan Abyan. Calon istri? Bagaimana mungkin putraku bisa menebak sampai sejauh itu? Aku melirik ke arah Haifa juga Mama dan Papa. Ketiga orang itu pun sepertinya sama terkejutnya denganku. Akhirnya, aku hanya bisa menghela napas sambil menggelengkan kepala."Kok Abyan ngomongnya gitu? Tante Sani ini cuma teman Papa. Dia datang ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Papa membawanya ke sini biar Opa sama Oma, terus Abyan juga gak salah paham. Abyan ngerti kan?"Anak itu terdiam cukup lama sebelum akhirnya mengangguk. Seulas senyum pun kembali mengembang di bibirnya. "Abyan kira, Papa gak pulang- pulang dan betah di sana karena ada Tante Sani. Biasanya kalau orang sampai lupa pulang itu karena ada sesuatu yang membuatnya betah dan ingin tinggal lebih lama. Iya kan, Oma?"Putraku ini memang anak yang cerdas. Pemikiran Abyan terbilang kritis untuk anak seusia dirinya. Meski dia baru bertemu dengan Sani sekarang,