"Mas, kami harus pulang. Kasihan Abyan baru sembuh dan dia harus banyak istirahat. Soal yang kita bahas tadi, Mas bisa menemuiku besok di sini. Mas tidak perlu merasa tidak enak. Aku benar-benar sudah siap untuk mendengar kata talak dari Mas." Haifa berujar lirih, mungkin ia tidak ingin pembicaraan kami sampai didengar Abyan.
Anak itu memilih menjauh dariku dan kembali menghampiri neneknya. Meski hati ini teramat kecewa, tetapi aku harus bisa mengerti akan keadaan Abyan. Putraku pasti merasa rendah diri karena keadaannya. Padahal, aku sangat ingin berlama-lama dengannya. Tidak bisa aku tepis perasaan haru ketika tangan ini berhasil menyentuh tangan mungilnya."Mau aku antar? Kasihan Abyan kalau harus berjalan kaki. Rumah kamu gak jauh dari sini kan?" tawarku."Lumayan jauh, tapi gak usah, Mas. Kami sudah terbiasa berjalan kaki," tolaknya."Aku permisi," imbuhnya sebelum aku sempat mencegah. Entah kenapa lidah ini selalu saja terasa kelu jika ingin menawarkan sesuatu untuk Haifa. Hingga tanpa sadar mereka sudah menjauh dari pandangan. Haifa mendorong gerobak dan di sampingnya, Abyan berjalan dituntun oleh wanita yang ia sebut Nenek. Sungguh pemandangan yang sangat menyedihkan. Istri dan anakku harus hidup sederhana sedangkan aku tinggal di rumah mewah dengan segala fasilitas yang lengkap.Tak terasa setetes bulir bening lolos dari netra ini. Rasanya, ingin aku mengejar mereka dan membawanya pulang ke Jakarta. Akan tetapi, lagi-lagi ego dalam diri menolak untuk melakukannya.Ponsel yang bergetar dalam saku celana mengalihkan fokus ini dari Haifa dan Abyan. Melihat nama Nesya yang tertera di layar membuatku menyadari sesuatu. Aku lupa belum menghubunginya sejak kemarin dan ia pasti akan merajuk karenanya."Hallo, Sayang."[Kamu ke mana saja? Kenapa dari kemarin gak menghubungi aku?]Nesya langsung mencecarku."Aku masih di Bogor. Maaf ya, semalam pulang dari rumahnya Andi aku langsung tidur. Cape banget."[Aku kangen, tahu! Kirain kamu nemu cewek cantik di sana terus lupa sama aku!]Nah kan, dia merajuk."Enggaklah. Ngapain nyari cewek lain kalau pacarku saja cantiknya kebangetan," godaku. Aku yakin, wajahnya di seberang sana kini pasti tengah merona.[Aish! Masih sempat-sempatnya menggombal! Oh ya. Lusa aku pulang. Kamu jadi pulang besok kan?]"Belum tahu." Aku menjawab ragu.[Kok gitu? Katanya di sana gak bakalan lama. Pokonya aku gak mau tahu. Kalau aku pulang nanti kamu sudah harus ada di Jakarta!]"Oke, nanti aku usahakan."[Ya sudah, aku tutup dulu teleponnya. Kamu di sana hati-hati ya. Jaga hati kamu dan jangan coba-coba melirik cewek lain! Love you.]"Love you too."Sambungan terputus. Mata ini kembali menoleh ke arah Haifa dan Abyan yang tengah berjalan menuju rumah mereka. Perasaan hampa seketika menyeruak ketika mendapati mereka sudah tidak ada di sana. Bayang kesedihan Abyan kembali melintas dalam ingatan. Putraku yang malang. Harus mengalami kecacatan dari lahir di tengah keadaan hidup yang penuh kesederhanaan. Tiba-tiba saja satu pemikiran terlintas dalam benak ini.Pernahkah Abyan bertanya tentang ayahnya?"Tunggu Papa siap, Nak. Papa pasti membawamu pulang ke Jakarta," gumamku sebelum beranjak dari tempat ini.🍁🍁🍁"Gan, sorry banget. Gue harus balik hari ini karena tiba-tiba saja Papa nyuruh gue pulang. Katanya ada yang urgent di perusahaan. Lo mau balik sama gue atau nanti saja?" Bayu bertanya sambil membereskan beberapa helai pakaian ke dalam tas miliknya.Harusnya memang aku pulang hari ini mengingat besok Nesya akan kembali dari Bali dan aku harus sudah berada di Jakarta. Namun entah mengapa seakan ada sesuatu yang menahanku agar lebih lama di sini. Selain karena urusanku dengan Haifa belum selesai, tak bisa kupungkiri hati ini merindukan Abyan. Ingin melihat kembali wajah bocah kecil itu saat tertawa, dan aku harap kali ini aku-lah alasan dia melakukannya."Gue pulang besok saja, Bay. Ada sesuatu yang harus gue urus di sini.""Soal Haifa? Lo belum menjatuhkan talak untuk dia kan?" tanyanya dengan mata yang memicing tajam."Belum. Entah kenapa tiba-tiba saja gue ragu. Gue--""Kenapa? Lo kasihan sama dia?" tebaknya."Salah satunya iya. Tapi ada sesuatu yang ternyata selama ini gue gak tahu dan ini sangat mengejutkan buat gue," terangku sambil menghela napas berat. Rasanya selalu sesak jika mengingat kondisi Abyan."Apa? Jangan bilang--""Gue punya anak dari Haifa.""What?!" Bayu memekik. "Lo serius?""Masalah kayak gini masa iya gue becanda, Bay. Gue juga baru tahu kemarin. Gak lama setelah Lo pulang, anak itu datang dan manggil Haifa dengan sebutan Bunda. Dan yang paling membuat gue makin merasa bersalah, ternyata dia ... dia cacat," lirihku seraya memejamkan mata. Buliran bening akhirnya menetes dari kedua netra ini."Dia buta, Bay. Anak gue buta." Aku tergugu.Usapan di bahu aku rasakan. Bayu duduk di sebelahku sambil berucap. "Lo yang sabar. Setelah Lo tahu kenyataan ini, apa Lo masih ingin menceraikan Haifa? Sadar, Gan. Jangan Lo buat kesalahan Lo sama dia makin bertambah banyak. Ingat, hukum tabur tuai itu ada. Jangan sampai lo menyesal setelah Haifa serta anak lo pergi makin jauh dan Lo gak bakal bisa menemui mereka lagi. Sudahi hubungan Lo dengan Nesya karena ada seseorang yang berhak atas cinta dan kasih sayang dari Lo selain pacar Lo itu. Ingat baik-baik pesan gue."Bayu menepuk bahu ini sebelum beranjak meninggalkanku yang masih termangu. Meninggalkan Nesya? Tentu saja tidak semudah itu. Namun, aku pun tidak ingin sampai kehilangan Abyan. Bisakah Nesya menerima kehadiran putraku dan menjadi ibu sambung yang baik untuk Abyan?Semoga saja.Akhirnya kuputuskan untuk menunda kepulangan ke Jakarta. Aku akan menemui Abyan untuk sekedar melepas rindu sebelum aku kembali meninggalkannya di sini.Pagi sekali aku sudah bersiap menuju tempat Haifa berjualan. Bayu sendiri sudah pulang setelah menyempatkan sarapan di Hotel terlebih dahulu. Senyum ini terus mengembang, mengingat sebentar lagi akan bertemu putraku. Kali ini aku bertekad untuk membujuk anak itu agar mau bermain denganku.Aku hampir sampai di lokasi tempat Haifa berjualan. Kupercepat langkah karena diri ini sudah tidak sabar. Namun, alangkah terkejutnya ketika aku melihat tempat itu ternyata kosong. Tidak ada gerobak milik Haifa yang mangkal di tempatnya. Ke mana dia? Apa mungkin Haifa pergi lagi karena tidak ingin bertemu denganku?"Maaf, Pak. Saya ingin menanyakan penjual nasi uduk yang biasanya mangkal di sini. Kenapa hari ini dia tidak jualan?" tanyaku kepada salah satu pedagang di sana."Haifa?""Betul.""Dia memang tidak jualan. Katanya semalam si Abyan demam lagi.""A-pa? Abyan sakit?" Aku mendadak cemas.**Bersambung.Pov Haifa"Fa, pria tadi itu beneran teman kamu? Kok Ibu baru melihatnya sekarang." Bu Wanti bertanya ketika kami tiba di rumah dan kini tengah duduk di kursi rotan yang berada di teras depan. Abyan sengaja aku suruh untuk beristirahat karena keadaannya yang belum pulih setelah kemarin putraku itu terserang demam. Bu Wanti sudah kuanggap seperti Ibu kandung sendiri. Pertama kali aku datang ke kota ini, dialah yang membantuku mencarikan kontrakan yang tidak jauh dari rumahnya. Wanita paruh baya itu adalah seorang janda dengan satu anak. Suaminya meninggal tiga tahun yang lalu karena penyakit jantung yang dideritanya. Hingga saat ini, Bu Wanti selalu ada jika aku sedang membutuhkan pertolongan. Termasuk menawarkan diri untuk menjaga dan mengantar Abyan ke sekolah ketika aku sedang berjualan. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Bu Wanti mengandalkan uang pensiun suaminya yang dulu bekerja sebagai Guru di Sekolah Menengah Atas. Ditambah kiriman dari putranya yang bekerja sebagai TNI yang
Aku berjalan tergesa di sepanjang koridor rumah sakit. Si pedagang yang aku tanyai, berbaik hati mengantarku ke kontrakan milik Haifa. Di sana aku pun diberitahu tentang rumah sakit tempat Abyan dirawat oleh pria paruh baya yang mengaku sebagai ketua RT setempat.Kamar Abyan berada di deretan ruang kelas 2. Aku bergegas ke sana, ingin segera memastikan bahwa keadaan putraku tidak separah yang kutakutkan. "Mas Gani?" Haifa terlihat terkejut melihat kedatanganku. Mata bulatnya makin melebar ketika aku bertanya tentang Abyan."Bagaimana kondisi Abyan?""Dari mana Mas tahu Abyan dirawat di sini?" Dia malah balik bertanya."Dari tetangga kamu. Bagaimana kondisinya sekarang?""Alhamdulillah sudah lebih baik. Panasnya juga sudah turun. Kemungkinan nanti siang bisa pulang," terangnya."Boleh ... aku melihatnya?" tanyaku ragu. "Hari ini kemungkinan aku akan pulang ke Jakarta. Aku ingin bertemu Abyan terlebih dahulu sebelum berangkat.""Boleh, Mas. Silakan. Tapi Abyan masih tidur."Haifa memb
Seharusnya, kini aku sudah berada di Jakarta dan tidur di ranjang empuk milikku, bukan meringkuk di atas karpet tipis seperti ini. Atau paling tidak, aku kembali ke Hotel supaya tidurku terasa lebih nyaman di sana. Bukan di sini, di rumah sempit yang hanya memiliki satu kamar.Ya, seharusnya memang seperti itu. Namun, entah mengapa hati ini rasanya berat untuk meninggalkan Haifa dan Abyan. Aku ingin membantu Haifa menjaga putra kami di saat tengah sakit. Hal yang seharusnya aku lakukan dari bertahun-tahun lalu. Haifa menolak ketika aku mengajaknya pulang ke Jakarta. Akan tetapi, bukan Gani namanya jika aku tidak bisa memaksa dia untuk ikut. Dengan status suami yang masih aku sandang, bisa kujadikan senjata untuk menekan wanita penurut seperti dia. Alhasil, Haifa bersedia ikut dengan catatan tidak ingin berlama-lama di Jakarta. Aku iya-kan saja, toh tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Aku sudah memutuskan untuk mempertemukan Haifa dan Abyan dengan orang tuaku. Mere
Setelah drama yang sempat terjadi karena Bu Wanti tidak mengizinkan Haifa dan Abyan ikut bersamaku ke Jakarta, akhirnya di sinilah kami sekarang. Di dalam mobil dengan aku dan Haifa yang duduk di depan dan Abyan di belakang. Haifa sempat menawarkan kepada putra kami untuk duduk di depan saja. Namun, jawaban yang Abyan berikan sangat menohok hingga membuat kami langsung terdiam."Percuma Abyan duduk di depan. Abyan kan gak bisa melihat apa pun," katanya dengan raut sedih yang sangat kentara.Aku dan Haifa saling pandang, kemudian larut dalam pikiran masing-masing. Kami sama-sama memilih diam hingga Abyan terlelap dengan sendirinya di bangku belakang. Di sepanjang perjalanan, pikiran ini terasa makin was-was. Aku memikirkan bagaimana reaksi Mama dan Papa saat aku pulang membawa Haifa dan Abyan. Dengan kondisi putraku yang seperti ini, akankah mereka bisa menerima cucunya? Belum lagi dengan Nesya yang pasti merasa syok setelah kuberitahu bahwa aku memiliki seorang anak dari Haifa. Enta
Aku duduk bersimpuh di depan Papa yang masih terlihat marah. Setelah dua kali pukulan yang ia layangkan di wajah ini, Papa duduk di sofa yang terdapat di ruang kerjanya. Dada Papa terlihat naik turun, pun dengan tangannya yang masih mengepal di atas paha pria yang masih terlihat gagah di usianya yang sudah setengah abad itu.Aku tidak mampu melawan atau membela diri. Aku cukup sadar bahwa semua yang terjadi memang salahku. Kepergian Haifa, kehadiran Abyan yang tidak diketahui olehku dan keluargaku, juga kemarahan Papa yang sepertinya sudah saatnya meledak setelah beberapa tahun ia menahan diri untuk tidak menghajar putranya ini. Papa memang hampir melayangkan tamparan beberapa kali ketika memergoki diriku bersama Nesya di kantor. Namun, pria yang sangat aku hormati itu mengurungkan niat dan berkata."Sejak kamu kecil, Papa tidak pernah satu kalipun memukulmu. Papa terlalu sayang padamu hingga apa saja yang kamu inginkan akan Papa kabulkan. Tapi Papa sadar ternyata cara Papa mendidik k
"Nes, kita sudahi saja hubungan ini. Aku mau kita putus."Nesya melepas pelukannya dari pinggang ini. Wanita yang sudah menjadi kekasihku selama empat tahun tersebut perlahan mundur seraya menggeleng lemah."Jangan becanda, Mas. Ini gak lucu." Nesya tersenyum sumbang."Aku tidak sedang becanda. Aku memang ingin mengakhiri hubungan kita.""Tapi kenapa?" Kini, nada suara Nesya mulai meninggi. "Aku ... aku sudah menemukan Haifa dan ternyata aku memiliki seorang anak darinya.""A-apa? Anak?" Nesya menggeleng tak percaya. "Gak mungkin. Bukannya kamu bilang selama pernikahan kalian, kamu tidak pernah menyentuhnya?""Aku memang tidak pernah menyentuh Haifa selain malam itu. Malam di mana aku pulang dalam keadaan mabuk dan melihat dia itu dirimu. Aku tidak pernah menyangka jika kejadian satu malam itu akan menumbuhkan benih di rahimnya. Anak itu sudah berusia hampir delapan tahun dan selama itu pula aku tidak mengetahui keberadaanya. Sebagai seorang ayah, aku sangat merasa bersalah. Aku ingi
"Bunda, ayok kita pulang."Lagi, Abyan merengek sambil mengguncang lengan Haifa. Aku tidak tahan lagi untuk memeluk putraku yang pasti tengah kecewa setelah mendengar perbincangan kami. Aku dekati dia dan duduk bersimpuh di depannya. Kutatap dia yang makin mengeratkan genggaman pada lengan bundanya."Nak, Papa minta maaf. Kemarin Papa belum bilang karena takut Abyan belum siap menerima Papa, bukan karena Papa malu mempunyai anak seperti Abyan," ucapku sembari berusaha meraih bahunya, tapi di luar dugaan, Abyan menepis tangan ini dengan sedikit kasar setelah berhasil memegangnya."Om pasti bohong. Om malu kan punya anak kayak Abyan?""Tidak, Nak, Papa sama sekali tidak malu." "Bunda, Abyan gak mau di sini. Abyan gak mau ketemu sama Om Gani lagi." Abyan terus merengek."Panggil, Papa, Nak. Jangan panggil Om." Aku tergugu. Rasanya sakit sekali mendapat penolakan dari putraku sendiri. "Haifa, tolong katakan pada Abyan kalau aku sangat menyayanginya." Aku memohon kepada Haifa yang sedari
Hening. Malam mulai merangkak naik dan waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Aku masih duduk di balkon kamar sembari menyesap sebatang rokok yang hampir habis. Mata ini tak jua terpejam padahal tubuh sangatlah lelah dan minta diistirahatkan. Bayang wajah Haifa dan Abyan terus memenuhi kepala ini. Penolakan dari keduanya membuatku seolah menjadi manusia tidak berguna. Tidak dibutuhkan dan tidak diinginkan.Apakah seperti ini yang dirasakan Haifa saat dulu aku menolak kehadirannya? Sakitnya tak bisa tergambar oleh kata-kata. Ah, mungkinkah ini yang dinamakan karma?Ponsel yang sedari tadi siang terus bergetar sama sekali tak kuhiraukan. Nama yang sama terus saja muncul di layar dan aku tidak berniat untuk mengangkatnya. Nesya, wanita itu pasti ingin menanyakan keputusanku tentang hubungan kami. Akan tetapi, aku sudah memutuskan untuk mengakhiri hubungan dengannya demi mendapatkan kembali hati istri dan anakku. Sesakit apa pun rasa ini karena harus berpisah dengan orang yang dici