Share

Bab 4

Author: Nelda Friska
last update Last Updated: 2022-11-22 15:31:29

"Mas, kami harus pulang. Kasihan Abyan baru sembuh dan dia harus banyak istirahat. Soal yang kita bahas tadi, Mas bisa menemuiku besok di sini. Mas tidak perlu merasa tidak enak. Aku benar-benar sudah siap untuk mendengar kata talak dari Mas." Haifa berujar lirih, mungkin ia tidak ingin pembicaraan kami sampai didengar Abyan.

Anak itu memilih menjauh dariku dan kembali menghampiri neneknya. Meski hati ini teramat kecewa, tetapi aku harus bisa mengerti akan keadaan Abyan. Putraku pasti merasa rendah diri karena keadaannya. Padahal, aku sangat ingin berlama-lama dengannya. Tidak bisa aku tepis perasaan haru ketika tangan ini berhasil menyentuh tangan mungilnya.

"Mau aku antar? Kasihan Abyan kalau harus berjalan kaki. Rumah kamu gak jauh dari sini kan?" tawarku.

"Lumayan jauh, tapi gak usah, Mas. Kami sudah terbiasa berjalan kaki," tolaknya.

"Aku permisi," imbuhnya sebelum aku sempat mencegah. Entah kenapa lidah ini selalu saja terasa kelu jika ingin menawarkan sesuatu untuk Haifa. Hingga tanpa sadar mereka sudah menjauh dari pandangan. Haifa mendorong gerobak dan di sampingnya, Abyan berjalan dituntun oleh wanita yang ia sebut Nenek. Sungguh pemandangan yang sangat menyedihkan. Istri dan anakku harus hidup sederhana sedangkan aku tinggal di rumah mewah dengan segala fasilitas yang lengkap.

Tak terasa setetes bulir bening lolos dari netra ini. Rasanya, ingin aku mengejar mereka dan membawanya pulang ke Jakarta. Akan tetapi, lagi-lagi ego dalam diri menolak untuk melakukannya.

Ponsel yang bergetar dalam saku celana mengalihkan fokus ini dari Haifa dan Abyan. Melihat nama Nesya yang tertera di layar membuatku menyadari sesuatu. Aku lupa belum menghubunginya sejak kemarin dan ia pasti akan merajuk karenanya.

"Hallo, Sayang."

[Kamu ke mana saja? Kenapa dari kemarin gak menghubungi aku?]

Nesya langsung mencecarku.

"Aku masih di Bogor. Maaf ya, semalam pulang dari rumahnya Andi aku langsung tidur. Cape banget."

[Aku kangen, tahu! Kirain kamu nemu cewek cantik di sana terus lupa sama aku!]

Nah kan, dia merajuk.

"Enggaklah. Ngapain nyari cewek lain kalau pacarku saja cantiknya kebangetan," godaku. Aku yakin, wajahnya di seberang sana kini pasti tengah merona.

[Aish! Masih sempat-sempatnya menggombal! Oh ya. Lusa aku pulang. Kamu jadi pulang besok kan?]

"Belum tahu." Aku menjawab ragu.

[Kok gitu? Katanya di sana gak bakalan lama. Pokonya aku gak mau tahu. Kalau aku pulang nanti kamu sudah harus ada di Jakarta!]

"Oke, nanti aku usahakan."

[Ya sudah, aku tutup dulu teleponnya. Kamu di sana hati-hati ya. Jaga hati kamu dan jangan coba-coba melirik cewek lain! Love you.]

"Love you too."

Sambungan terputus. Mata ini kembali menoleh ke arah Haifa dan Abyan yang tengah berjalan menuju rumah mereka. Perasaan hampa seketika menyeruak ketika mendapati mereka sudah tidak ada di sana. Bayang kesedihan Abyan kembali melintas dalam ingatan. Putraku yang malang. Harus mengalami kecacatan dari lahir di tengah keadaan hidup yang penuh kesederhanaan. Tiba-tiba saja satu pemikiran terlintas dalam benak ini.

Pernahkah Abyan bertanya tentang ayahnya?

"Tunggu Papa siap, Nak. Papa pasti membawamu pulang ke Jakarta," gumamku sebelum beranjak dari tempat ini.

🍁🍁🍁

"Gan, sorry banget. Gue harus balik hari ini karena tiba-tiba saja Papa nyuruh gue pulang. Katanya ada yang urgent di perusahaan. Lo mau balik sama gue atau nanti saja?" Bayu bertanya sambil membereskan beberapa helai pakaian ke dalam tas miliknya.

Harusnya memang aku pulang hari ini mengingat besok Nesya akan kembali dari Bali dan aku harus sudah berada di Jakarta. Namun entah mengapa seakan ada sesuatu yang menahanku agar lebih lama di sini. Selain karena urusanku dengan Haifa belum selesai, tak bisa kupungkiri hati ini merindukan Abyan. Ingin melihat kembali wajah bocah kecil itu saat tertawa, dan aku harap kali ini aku-lah alasan dia melakukannya.

"Gue pulang besok saja, Bay. Ada sesuatu yang harus gue urus di sini."

"Soal Haifa? Lo belum menjatuhkan talak untuk dia kan?" tanyanya dengan mata yang memicing tajam.

"Belum. Entah kenapa tiba-tiba saja gue ragu. Gue--"

"Kenapa? Lo kasihan sama dia?" tebaknya.

"Salah satunya iya. Tapi ada sesuatu yang ternyata selama ini gue gak tahu dan ini sangat mengejutkan buat gue," terangku sambil menghela napas berat. Rasanya selalu sesak jika mengingat kondisi Abyan.

"Apa? Jangan bilang--"

"Gue punya anak dari Haifa."

"What?!" Bayu memekik. "Lo serius?"

"Masalah kayak gini masa iya gue becanda, Bay. Gue juga baru tahu kemarin. Gak lama setelah Lo pulang, anak itu datang dan manggil Haifa dengan sebutan Bunda. Dan yang paling membuat gue makin merasa bersalah, ternyata dia ... dia cacat," lirihku seraya memejamkan mata. Buliran bening akhirnya menetes dari kedua netra ini.

"Dia buta, Bay. Anak gue buta." Aku tergugu.

Usapan di bahu aku rasakan. Bayu duduk di sebelahku sambil berucap. "Lo yang sabar. Setelah Lo tahu kenyataan ini, apa Lo masih ingin menceraikan Haifa? Sadar, Gan. Jangan Lo buat kesalahan Lo sama dia makin bertambah banyak. Ingat, hukum tabur tuai itu ada. Jangan sampai lo menyesal setelah Haifa serta anak lo pergi makin jauh dan Lo gak bakal bisa menemui mereka lagi. Sudahi hubungan Lo dengan Nesya karena ada seseorang yang berhak atas cinta dan kasih sayang dari Lo selain pacar Lo itu. Ingat baik-baik pesan gue."

Bayu menepuk bahu ini sebelum beranjak meninggalkanku yang masih termangu. Meninggalkan Nesya? Tentu saja tidak semudah itu. Namun, aku pun tidak ingin sampai kehilangan Abyan. Bisakah Nesya menerima kehadiran putraku dan menjadi ibu sambung yang baik untuk Abyan?

Semoga saja.

Akhirnya kuputuskan untuk menunda kepulangan ke Jakarta. Aku akan menemui Abyan untuk sekedar melepas rindu sebelum aku kembali meninggalkannya di sini.

Pagi sekali aku sudah bersiap menuju tempat Haifa berjualan. Bayu sendiri sudah pulang setelah menyempatkan sarapan di Hotel terlebih dahulu. Senyum ini terus mengembang, mengingat sebentar lagi akan bertemu putraku. Kali ini aku bertekad untuk membujuk anak itu agar mau bermain denganku.

Aku hampir sampai di lokasi tempat Haifa berjualan. Kupercepat langkah karena diri ini sudah tidak sabar. Namun, alangkah terkejutnya ketika aku melihat tempat itu ternyata kosong. Tidak ada gerobak milik Haifa yang mangkal di tempatnya. Ke mana dia? Apa mungkin Haifa pergi lagi karena tidak ingin bertemu denganku?

"Maaf, Pak. Saya ingin menanyakan penjual nasi uduk yang biasanya mangkal di sini. Kenapa hari ini dia tidak jualan?" tanyaku kepada salah satu pedagang di sana.

"Haifa?"

"Betul."

"Dia memang tidak jualan. Katanya semalam si Abyan demam lagi."

"A-pa? Abyan sakit?" Aku mendadak cemas.

*

*

Bersambung.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Talak Yang Tertunda   Bab 34

    "Bunda!"Aku dan Haifa terperanjat. Kami sama-sama menjauhkan diri ketika suara Qinara terdengar begitu nyaring. Aku menghela napas kasar. Baru saja kami akan bermesraan, harus kembali ditunda karena teriakan putri kami. "Buka dulu pintunya. Aku mau pakai baju," bisik Haifa sambil terkekeh. "Gak jadi lagi?" Aku memasang raut sendu. "Ya ... habisnya gimana." Haifa menaikan sebelah alis. Ah, aku suka gayanya yang seperti itu. Ingin sekali aku menerkam dan memenjarakan tubuhnya, tetapi harus kutahan karena Qinara kembali berteriak memanggil bundanya. "Bunda!""Sebentar, Sayang!" Haifa menyahut. "Cepat buka pintunya, Mas. Kasian Qinara.""Iya, Sayang. Tapi nanti kalau Qinara sudah tidur, kita lanjut lagi, ya."Haifa mengangguk. Aku tersenyum lebar kemudian mencuri satu kecupan di pipinya yang merona. "Mas!""Hmm?""Pakai dulu bajunya!"Oh, ya Tuhan! Aku lupa sedang bertelanjang dada. Bergegas kukenakan lagi pakaian karena gedoran disertai teriakan dari luar makin mengencang. Membuk

  • Talak Yang Tertunda   Bab 33

    Kabar tentang Bu Wanti sangat membuat kami terkejut. Tanpa membuang waktu, hari itu juga kami berangkat ke Bogor untuk melihat keadaannya. Menurut cerita salah satu tetangga di sana, Bu Wanti terpeleset di kamar mandi hingga jatuh. Mungkin karena kondisinya yang sedang tidak enak badan, Bu Wanti kurang berhati-hati hingga terjadilah insiden itu. Kondisinya yang kritis membuat Ibu dari Akram itu tidak bisa bertahan lebih lama. Beliau meninggal setelah sebelumnya memberi amanat yang membuat kami terkejut. Beliau ingin mendonorkan matanya untuk Abyan sebagai ungkapan rasa sayang terakhir untuk putraku itu. Beruntung Bu Wanti sempat bertemu Dengan cucunya yang baru lahir ke dunia. Sebelum kabar ini kami dengar, Bu Wanti sempat datang ke rumah orang tuaku untuk menengok Qinara. Di sinilah kami sekarang. Di rumah sakit, menunggui Abyan yang sedang menjalani operasi. Menurut Dokter, kualitas mata Bu Wanti masih terbilang sehat dan bisa didonorkan. Tindakan operasi pun segera dilaksanakan s

  • Talak Yang Tertunda   Bab 32

    "Kamu yang sabar. Beri Haifa waktu untuk berpikir sebelum dia memutuskan mau menerima kamu atau tidak."Papa menepuk pundak ini kemudian duduk di sampingku. Pria yang baru saja menggendong cucu keduanya itu pasti memahami perasaanku saat ini. Sebenarnya tidak masalah jika Haifa meminta waktu untuk berpikir. Akan tetapi, entah mengapa diri ini begitu takut kehilangan dia untuk yang kedua kalinya. Aku tidak ingin lagi berpisah atau bahkan melihat Haifa bersanding dengan pria lain karena Haifa adalah satu-satunya wanita yang mampu membuatku sampai se-gila ini. "Ya, Pa. Aku paham dia masih ragu padaku. Aku akan berusaha sabar menunggu meski sebenarnya, aku takut dia akan menolakku karena ... ya, Papa pasti tahu alasannya."Papa mengangguk. "Ya, Papa tahu. Tidak mudah baginya menerima pria yang pernah menyakitinya," ujarnya membenarkan."Ngomong-ngomong, kondisi teman kamu bagaimana? Apa dia baik-baik saja?" Pertanyaan Papa membuatku hampir saja mengumpat. Aku melupakan Sani yang entah s

  • Talak Yang Tertunda   Bab 31

    "Gani, kamu mau ikut Papa atau tetap di sini?"Pertanyaan Papa menyadarkan aku dari keterpakuan. Kabar Haifa yang akan melahirkan membuatku bertambah tidak tenang. Andai saja bisa, aku ingin mendampingi dan memberinya dukungan hingga prosesnya lancar. Namun, teringat Sani yang masih ditangani, aku pun dilanda bimbang. Aku tidak mungkin meninggalkan Sani sendirian tanpa ada yang menungguinya. Apalagi, aku merasa harus bertanggung jawab karena secara tidak langsung, aku-lah penyebab Sani seperti ini. "Gani, kok malah melamun?""Eh, i-iya, Pa. Sebenarnya aku ingin ikut ke sana tapi temanku tidak ada yang menjaga. Nanti kalau aku sudah memastikan dia baik-baik saja, aku pasti menyusul Papa," jawabku akhirnya memilih memastikan kondisi Sani terlebih dahulu."Baiklah, kalau begitu Papa ke sana dulu.""Iya, Pa."Setelah kepergian Papa, aku kembali duduk di kursi tunggu dengan gelisah. Meski ragaku ada di sini, tetapi hati tetap memikirkan Haifa. Bagaimana perasaannya ketika melahirkan tanpa

  • Talak Yang Tertunda   Bab 30

    "Jangan becanda, Mas. Gak lucu!"Perkataan Haifa masih saja terngiang di telinga ini. Katanya, aku becanda? Apa dia sama sekali tidak melihat keseriusan di wajahku saat mengatakannya? Tangan ini memukul stir kemudi beberapa kali. Jujur saja, hati ini rasanya sakit saat mendengar Haifa justru menganggap pengakuanku sebagai sebuah lelucon. Dulu, aku memang pria brengsek yang telah tega menyakitinya. Namun setelah semua yang terjadi, aku selalu berusaha untuk memperbaiki diri agar bisa menjadi pria yang pantas untuk menjadi imam dari wanita seperti dirinya."Kenapa kamu gak ngerti juga, Fa. Aku itu mencintai kamu, bukan wanita lain." Lagi, tangan ini mendarat cukup kencang di atas stir kemudi.Setelah cukup lama berdiam diri di parkiran, aku menghidupkan mesin mobil untuk kembali ke kantor. Meski diri ini yakin tidak akan bisa fokus pada pekerjaan, tapi setidaknya aku sudah berusaha untuk tetap konsisten pada apa yang sudah menjadi tanggung jawabku.Benar saja, jangankan fokus, melihat

  • Talak Yang Tertunda   Bab 29

    "Tante Sani ini ... bukan calon istri Papa, kan?"Aku terperangah mendengar pertanyaan Abyan. Calon istri? Bagaimana mungkin putraku bisa menebak sampai sejauh itu? Aku melirik ke arah Haifa juga Mama dan Papa. Ketiga orang itu pun sepertinya sama terkejutnya denganku. Akhirnya, aku hanya bisa menghela napas sambil menggelengkan kepala."Kok Abyan ngomongnya gitu? Tante Sani ini cuma teman Papa. Dia datang ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Papa membawanya ke sini biar Opa sama Oma, terus Abyan juga gak salah paham. Abyan ngerti kan?"Anak itu terdiam cukup lama sebelum akhirnya mengangguk. Seulas senyum pun kembali mengembang di bibirnya. "Abyan kira, Papa gak pulang- pulang dan betah di sana karena ada Tante Sani. Biasanya kalau orang sampai lupa pulang itu karena ada sesuatu yang membuatnya betah dan ingin tinggal lebih lama. Iya kan, Oma?"Putraku ini memang anak yang cerdas. Pemikiran Abyan terbilang kritis untuk anak seusia dirinya. Meski dia baru bertemu dengan Sani sekarang,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status