Share

Kenyataan Pahit

Setelah sepasang suami istri itu pergi. Lagi lagi Isma menampar Widuri. “Sudah untung kamu Ibu besarkan dan sekolahkan. Coba kamu hitung semua biaya yang telah Ibu keluarkan untuk mu, biaya 3 piring nasi sehari, minuman, sewa kamar mu, sekolah, uang jajanmu. Fikirkan itu semua. Dan beginilah caramu membalas itu semua,” ucap Isma sembari mengungkit apa yang telah di berikannya pada Widuri.

“Tetapi akukan anak Ibu? Bagaimana bisa Ibu menghitung itu semua. Apa Ibu lupa? Ibu tidak pernah sekalipun memberikan aku uang belanja, jika ayah memberiku sedikit uang Ibu pasti akan segera merampasnya dariku setelah ayah pergi. Dan jika Ibu membicarakan biaya sekolahku, dari SD aku selalu mendapatkan beasiswa. Bahkan Ibu tidak pernah mengeluarkan sepersenpun uang untuk biaya sekolahku. Dan jika ibu memperhitungkan makan, minum serta kamar tempat aku menginap bertahun –tahun, maka sepertinya juga sudah terbalas dengan keringatku menjadi pembantu di rumah ini. Maaf Ibu jika kamu menghitung bahkan aku juga mampu menghitungnya. Apa Ibu lupa aku juara matematika sekota madia,” ucap Widuri yang kemudian meninggalkan Ibunya dan berjalan menuju perkarangan samping melihat kain –kain yang terjemur setelah selesai di cucinya.

Sambil menarik satu persatu kain di jemuran Hati Widuri terus berkata. Tidak, aku tidak akan biarkan impianku terkubur hanya karena sebuah pernikahan yang tidak aku inginkan. Sudah cukup Ibu mengaturku seperti itu, sudah cukup Ibu menganggapku seperti sampah. Sekarang aku sudah dewasa, aku sudah bisa berdiri dengan kedua kakiku sendiri. Aku akan pergi dari rumah ini, aku akan kuliah. Tapi Ibu tidak usah khawatir, ketika aku berhasil nanti aku akan selamatkan ibu dan ayah di masa –masa tua kalian. Aku tidak akan seperti kacang lupa dengan kulitnya. Aku akan membayar rasa aman yang keluarga ini berikan padaku dari kehidupan keras di luar sana. Gumam Widuri tiada henti.

Lalu dari samping rumah terdengar Ayah masuk ke dalam rumah.

“Mana Widuri Isma?” tanya Ducan.

“Tidak tahu, dia berlari keluar setelah merasakan tamparanku,” ucap Isma yang masih berang.

“Sudahlah Isma. Cukupkan penderitaannya. Dari kecil tiada henti kamu menyiksanya, biarkan sekarang dia bahagia,” ucap Ducan. Sementara Widuri perlahan berjalan mendekati pintu, lalu Widuri bersandar di dinding luar untuk menguping pembicaraan Ibu dan Ayahnya.

“Apa kamu bilang? Aku Cuma berikan penderitaan padanya? Sudah syukur aku mau menerimanya di rumah ini. Bagaimana waktu bayi merah dulu aku menendangnya keluar. Tolong jangan paksa aku untuk menyukainya. Hatiku sudah terlalu kamu sakiti dengan kehadirannya,” ucap Isma lagi.

Apa yang sedang mereka bicarakan tentangku? Mengapa kehadiran aku dapat membuat Ibu yang tersakiti? Gumam Widuri.

“Sudahlah Isma, aku mohon jangan ungkit lagi masalah itu. Aku takut jika Widuri mendengarnya. Tolonglah terima dia, lagi pula ibunya sudah meningga sejak dia di lahirkan. Dan aku yang bersalah di sini, seharusnya kamu membenciku. Jangan lampiaskan sakit hatimu padanya,” ucap Ducan lagi.

Apa?  Aku bukan anak kandung ibu? Ibuku sudah meninggal? Ada apa sebenarnya ini? Apa yang mereka sembunyikan dariku? Inikah sebabnya ibu sangat tidak menganggapku ada? Air mata Widuri tdak terasa sudah deras mengalir membasahi pipinya.

Sementara Isma mengenang kejadian 18 tahun yang lalu.

[“Sayang. Apa kamu tidak pulang hari ini?”

“tidak aku sedang berada di luar kota, daganganku belum habis,”

“baiklah kalau begitu,”

Pagi itu Isma yang sedang kurang sehat terpaksa pergi sendiri ke rumah sakit untuk memerriksa kesehatannya, karena Ducan suaminya tidak bisa menemani.

Namun di rumah sakit, Isma bertemu dengan Ducan sedang menggandeng seorang wanita yang sedang hamil besar. Isma syok dan membuat kehilangan kesadarannya.

Setelah Isma pulih dan tersadar. Isma menyuruh Ducan untuk memilih dirinya atau wanita yang di gandeng Ducan saat itu. Namun Ducan lebih memilih wanita itu dari pada Isma dan berniat akan menceraikan Isma.

Dua bulan setelah kejadian itu, wanita yang sudah di nikahi sirih oleh Ducan melahirkan. Ketika melahirkan anaknya Melda, istri sirih Ducan mengalami pendarahan yang cukup hebat. Membuatnya kehilangan banyak darah dan tidak bisa di selamatkan. Melda meninggalkan seorang Putri yang di beri nama Widuri Annatasya.

Setelah Melda meninggal Ducan kembali pada Isma dan meminta untuk rujuk kembali. Mengingat Isma juga telah melahirkan seorang putri darah dagingnya. Isma menerima permintaan rujuk namun awalnya Isma tidak mau menerima putri dari selingkuhan suaminya itu. Berbagai upaya dilakukan Ducan untuk membujuk Isma, dan akhirnya Isma mau menerima Widuri tinggal bersamanya.]

Sejak saat itu Isma tidak pernah melupakan rasa bencinya pada Ibu Widuri, karena Ibu Widuri telah membuat Ducan meninggalkannya walau akhirnya Ducan kembali lagi ke pelukannya.

“Asal kamu ketahui rasa sakit ini tidak akan pernah hilang sampai kapanpun juga. Dan Widuri harus membayarnya dengan ini,” ucap Isma.

“Jadi? Ini yang membuat Ibu sangat membenciku? Ternyata aku bukan anak Ibu? Lalu jika aku bukan anak Ibu dan Ayah, anak siapa aku?” tanya Widuri yang kemudian mengatkan dirinya untuk masuk ke dalam Rumah.

“Wi... Widuri...,” ucap ayah.

“Anak siapa aku Ayah?” tanya Widuri histeris.

“Kamu anak Ayah sayang,” ucap Ducan mendekat sembari berusaha untuk menenang Widuri.

“Ya kamu adalah anak ayahmu, anak dari selingkuhan ayahmu. Anak dari seorang pelakor yang tidak lebih seperti pelacur yang kerjanya hanya menggoda suami orang dan menghandurkan rumah tangga orang,” teriak Isma pada Widuri.

“Sudah! Sudah cukup!” ucap Ducan menghentika liarnya ucapan Isma.

“Sekarang kamu tau Widuri? Ibumu itu adalah seorang pelacur. Ya seorang pelacur Widuri!” Isma Seakan tidak mau untuk menghentikan ucapannya itu.

“Sudah. Cukup Isma!” bentak Ducan.

“Asal kamu tahu, anak dari seorang pelacur sepertimu. Tidak pantas untuk di kasihani. Dan tidak pantas untuk hidup bahagia. Kamu nikmatilah karma yang ibumu lakukan itu!” teriak Isma terus menerus.

“Isma... Cukup Isma... Hentikan makianmu itu. Ahh... Jantungku,” ucap Ducan sembari memegangi dadanya. Tiba –tiba saja dadanya terasa sangat sakit. Membuat Ducan tersungkur ke lantai.

“Ayah... ayah... aku mohon bangunlah ayah,” ucap Widuri sambil berteriak.

“tolong... Tolong... tolong ayah Ibu. Aku mohon. Tolong! Siapa saja tolong aku!” teriak Widuri dengan terus terisak. Mendengar teriakan Widuri akhirnya beberapa tetangga dekat berdatangan kerumah Widuri.

“Widuri, ada apa ini? Ada apa dengan Pak Ducan?” tanya Pak Misno tetangga sebelah rumah Widuri.

“Tidak tau pak, tiba –tiba saja ayah mengatakan dadanya sakit. Lalu ayah jatuh dan pingsan. Aku mohon bantu aku untuk membawa ayah ke rumah sakit pak,” isyak Widuri memohon dengan lirih.

 Kemudian Pak Misno dan beberapa tetangga lainnya membawa Ducan ke rumah sakit dengan menggunakan angkot tetangga yang tingga di lorong sebelah.

^_^

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status