“Astaga! Dasar beruang kutub, nggak bisa lihat orang seneng,” gerutu Sisil sambil mengekori suaminya yang berjalan lebih dulu sambil menenteng kantung belanjaan.
Sisil masuk ke dalam mobil, lalu menutup pintu mobil dengan keras. Aldin segera melajukan kendaraannya dengan kecepatan sedang.
Mereka berdua hanyut dalam keheningan. Tidak ada yang mau memulai pembicaraan
‘Kalau sampai rumah, mau aku unjukin surat kesepakatan itu. Dia udah melanggarnya,’ batin Sisil.
“Status kamu itu masih istriku. Berprilaku yang baiklah jika di tempat umum, jangan mempermalukan suamimu.” Aldin memecah keheningan di antara mereka.
“Kamu itu masih suamiku di buku nikah, bersikaplah selayaknya seorang suami, Tidak membentak-bentak istrimu di depan umum,” balas Sisil sambil mencebikkan bibirnya. Kemudian menggeser duduknya membelakangi sang suami.
&nb
Satu minggu sudah mereka berada di rumah barunya. Kini Sisil sudah mulai bekerja dengan Gilang. Sejak ciuman panas itu, mereka tidak pernah bertegur sapa walaupun tinggal satu atap. Semakin ada jarak di antara mereka berdua. Tembok yang tinggi yang mereka bangun sendiri dengan ego masing-masing.Sisil merasa kecewa karena Aldin menciumnya bukan karena cinta, tapi hanya ingin menyakitinya. Sementara Aldin menyesali perbuatannya yang hampir saja merenggut kegadisan sang istri dengan cara paksa. Aldin menyadari kesalahannya karena sudah sangat menyakiti istrinya.Ia menyesal telah menyakiti hati wanita yang sangat ia cintai itu, tapi egonya menghalangi ia untuk mengakui kesalahannya.Aldin seorang CEO dari RPP Group, ia menjadi pewaris perusahaan sang kakek karena ayahnya mempunyai perusahaan sendiri yang ia bangun dengan kerja keras sendiri yang dibantu oleh sahabatnya.Jam sudah menunjukkan pukul tuju
“Kita buat kesepakatan baru.” Aldin mengeluarkan selembar kertas dan pulpen. Ia menuliskan beberapa poin di surat kesepakatan itu.“Kamu nulis apa, banyak banget.” Sisil mencondongkan wajahnya ke depan melihat apa yang ditulis suaminya.Aldin menulis surat kesepakatan itu dengan serius. “Aku cuma menulis empat poin aja, silakan kamu tulis apa yang mau kamu tambahkan, selain dari tugas rumah karena tugas rumah sudah disepakati sebelumnya,” jelas Aldin sambil mengulurkan tangan menyerahkan kertas dan pulpennya pada Sisil.“Apa ini? Kenapa banyak sekali.” Sisil membaca satu persatu poin-poin yang ditulis suaminya. Lalu ia menambahkan dua poin di kertas itu. Setelah selesai menulis dia memberikan kembali pada suaminya.“Yakin cuma nambahin dua aja?” tanya Aldin pada Sisil sambil menatap sang istri dengan serius.Sisil mengan
Sisil masuk ke dalam kamarnya dengan langkah sempoyongan. “Kalau mandi seger lagi kali ya,” gumamnya.Ia segera masuk ke kamar mandi setelah mengambil baju tidurnya terlenih dulu. Lima menit kemudian Sisil sudah selesai mandi dan berpakaian. Saat membuka pintu kamar mandi, kepalanya tiba-tiba terasa berputar.Tangannya berpegangan pada kenop pintu, tapi ia tidak bisa menahan tubuhnya lagi, dan akhirnya terkulai lemas di depan kamar mandi.Tok tok tok“Sil, aku masuk ya!” teriak Aldin dari luar kamar. Aldin terus saja mengetuk pintu sambil berteriak memanggil istrinya. “Apa dia udah tidur?” gumam Aldin sambil membawa susu hangat untuk Sisil.Aldin kembali ke kamarnya karena tidak ada sahutan dari dalam kamar Sisil. Ia merebahkan tubuhnya di kasur empuk itu. Aldin mencoba memejamkan matanya, tapi ia terus saja terbayang-bayang wajah sang istri.
“Udah tengah malam begini, mau makan apa?” gumam Aldin sembari membuka pintu kulkas. “Masak omlet aja lah.” Aldin pun mempersiapkan bahan-bahannya. Setelah semua bahan siap, ia segera memasaknya.“Yang penting kenyang,” ucapnya sambil menuang omletnya di atas piring. Ia pun segera menyantapnya. Tidak butuh waktu lama, omlet itu sudah ludes dilahapnya. Setelah selesai makan ia segera kembali ke kamarnya.Aldin berpapasan dengan Sisil saat kakinya baru selangkah menapaki tangga. Aldin tidak menyapanya begitu pun dengan Sisil. Tapi, Aldin terus memperhatikan istrinya sampai di dapur. Ia terus memantau sang istri dari kejauhan. Khawatir Sisil jatuh pingsan lagi.Setelah Sisil bangun dari duduknya hendak kembali ke kamar, Aldin baru masuk ke kamarnya. “Tidur lagi ah.” Aldin merentangkan otot-ototnya, lalu kembali terlelap karena perutnya sudah kenyang.
“Bos, hari ini aku pulang duluan ya, badanku lagi kurang sehat. Tapi, tenang aja, kerjaanku udah beres semua kok.” Sisil duduk di kursi di depan meja bosnya.“Iya, Sil, kalau udah selesai pulang aja. Tapi, hari ini aku nggak bisa nganter, masih ada sedikit kerjaan.” Gilang menatap istri dari sepupunya sambil tersenyum manis.“Iya, Lang, nggak apa-apa,” sahut Sisil. “Eh, maksudku, Bos,” lanjutnya sambil tertawa pelan.Gilang pun ikut tertawa. “Nggak apa-apa, Sil, kalau lagi berdua gini panggil nama aja! Kalau lagi ada pegawai lain baru panggil Bos, kalau cuma nama, bisa ada fitnah nantinya. Kamu ‘kan tahu sendiri siapa aku,” jelas Gilang sembari tertawa. Sebrengsek-brengseknya dia, nggak mungkin menikung istri saudaranya sendiri.“Bener juga. Mereka pasti berprasangka buruk tentang kita,” kata Sisil sambil tertawa. “Ya
Aldin sampai di rumah mertuanya pada pukul tujuh malam. Dari kantor langsung menyusul sang istri ke rumah ibunya.Aldin mengetuk pintu rumah mertuanya yang sederhana itu sambil mengucapkan salam. Tidak lama kemudian Bu Lastri membukakan pintu untuk menantunya.“Nak Al, ayo masuk dulu! Kamu baru pulang kerja?” tanya Bu Lastri yang melihat menantunya masih menggunakan baju setelan kerja dengan dasi yang sudah mengendur, tapi masih menyangkut di lehernya.“Iya, Bu,” jawab Aldin sambil menyalami mertuanya.“Kamu istirahat dulu aja di kamar Sisil. Dia lagi Ibu suruh beli bahan-bahan untuk membuat kue,” kata Bu Lastri dengan ramah pada menantunya. “Mari Ibu antar ke kamarnya.”Aldin melangkahkan kakinya menuju kamar tidur sang istri, diantar oleh mertuanya.“Ibu tinggal dulu ya, Nak,” kata Bu Lastri dengan ramah.Bu Lastri hendak membuat minuman untuk menant
Aldin segera menutup buku harian Sisil saat ada yang mengetuk pintu. Ia segera mengusap sisa air mata yang membasahi pipinya. Kemudian ia segera membuka pintu.“Nggak usah repot-repot, Bu!” ucap Aldin saat membuka pintu kamar, ibu mertuanya berdiri di depan pintu sambil membawa secangkir teh dengan asap yang masih mengepul.“Nggak apa-apa, Nak,” ucap Bu Lastri sambil tersenyum. “Matamu kenapa merah seperti itu?” tanya wanita yang sudah berumur lebih dari setengah abad.“Aku udah ngantuk, Bu,” jawab Aldin pura-pura menguap. “Aku boleh numpang bersih-bersih?” tanyanya dengan sopan pada sang mertua.“Boleh, Nak. Anggap aja rumah sendiri, walaupun rumah Ibu nggak sebagus rumahmu,” jawab Bu Lastri sambil tersenyum.“Terima kasih, Bu,” jawab Aldin.“Ya udah sana bersih-bersih!
Sisil menjerit saat membuka mata, kaki Aldin membelit kakinya, tubuh mungilnya di peluk dengan erat oleh laki-laki yang hanya menggunakan celana boxer berwarna hitam. Sedangkan tangan sang suami menjadi bantalan kepalanya."Kenapa begini?" Sisil merasa bingung, sejak kapan ia menjadikan tangan Aldin sebagai bantalan kepalanya. "Al, bangun! Kenapa kamu nggak pake baju?" Sisil mendorong wajah suaminya dengan telapak tangan. Ia berusaha melepas pelukan sang suami, tapi laki-laki yang bertelanjang dada itu semakin erat memeluknya.Sisil tidak pantang menyerah, ia berusaha melepas pelukan suaminya. Namun, tubuhnya yang mungil tentu saja kalah dengan tubuh sang suami yang kekar.Sebenarnya Aldin hanya berpura-pura tertidur, ia sudah bangun sejak sang istri berteriak. Namun, ia memanfaatkan kesempatan demi memeluk istri yang sangat ia cintai."Al, bangun! Kamu udah melanggar kesepakatan kita." Sisil mendorong tubuh kekar sang suami dengan kuat, tapi