“Verlyn, apa kau sudah siap? Ingat janjimu hari ini!” teriak Kaze dari luar kamar.
Verlyn membuka kelopak matanya perlahan dan menatap sayu ke arah langit-langit kamarnya yang berwarna ungu lavender. Ia melirik jam di atas nakas sebelah kasur—08.40 AM. Matanya langsung membelalak. “Bagaimana aku bisa bangun setelat ini! Janji temu yang Ayah bilang–jam 9 pagi! Arghh, shibal!” Verlyn bergegas bangun dari kasur, mengambil handuk, dan langsung menuju kamar mandi. Selesai mandi, ia bersiap terburu-buru. Ia mengenakan pakaian yang biasa ia pakai karena tak sempat lagi memilih. Verlyn menyempatkan diri untuk berhias. Salah satu pelayan rumahnya, Sofia, membantunya mengeringkan rambut yang masih basah. “Sudah selesai, Nona! Semoga pertemuannya berjalan lancar!” ujar Sofia dengan senyum. Verlyn menghela napas pelan. Ia berdiri dan bercermin, memeriksa penampilannya hari ini. Kemeja putih, jas, dan celana katun panjang hitam—penampilannya terlihat elegan dan berwibawa. Seperti biasa. Ia berbalik ke arah Sofia yang berdiri di belakangnya. “Sofia, menurutmu pakaianku ini terlalu formal dan... biasa?” Sofia menatap Verlyn dari ujung rambut hingga ujung kaki, lalu menggeleng. “Pakaian Nona sudah sangat cocok. Nona Verlyn pasti jadi yang tercantik di luar sana!” Verlyn kembali menatap pantulan dirinya di cermin, lalu menarik laci kecil untuk mengambil tas hitam. Ia memasukkan ponsel, AirPods, beberapa alat makeup, dan parfum ke dalam tas tersebut, lalu mengenakan high heels pantofel hitam. Ia meraih kalung permata berbentuk hati kecil berwarna ungu muda—hadiah dari Kaze dan Caroline saat ia lulus kuliah—dan memakainya perlahan. Ia menatap dirinya sekali lagi di cermin, namun keraguan muncul di matanya. “Sofia, apa aku lebih baik ganti pakaian saja? Rasanya... terlalu—” Sofia buru-buru menggeleng dan mendorong Verlyn pelan menuju pintu. “Tidak ada waktu lagi, Nona. Ayo!” “Iya, Sofia—iya, sabar,” keluh Verlyn sambil menutup pintu kamarnya. Mereka berdua berjalan menuju lift. Saat berada di dalam lift dan pintu mulai tertutup, Verlyn menggigit bibirnya. ‘Kenapa aku gugup seperti mau bertemu mantan, ya? Padahal belum pernah ketemu sama dia sama sekali...’ Pintu lift terbuka. Verlyn melangkah keluar bersama Sofia. Ia melihat Caroline dan Selvania sedang mengobrol, sementara Delcina bermain dengan Ace di ruang tamu. Belum sempat menyapa, suara Kaze memanggilnya lagi. Verlyn segera melangkah ke pintu. “Verlyn, kamu tidak sarapan dulu?” panggil Caroline. “Aku makan di luar, Ibu! Aku harus berangkat sekarang!” “Bangun telat lagi, tuh,” ledek Ace. “Cih.” Verlyn melirik kesal lalu melangkah cepat keluar. “Aku pergi! Selamat tinggal!” Delcina melambaikan tangan, dan Verlyn membalasnya dengan senyum tipis. Di luar, Kaze sudah menunggu bersama beberapa pria tinggi bersetelan jas dan berkacamata hitam—pengawal yang akan mengantar Verlyn ke perusahaan Vyntie. Kaze menoleh, menghela napas. “Hilangkan kebiasaan bangun telatmu, Verlyn.” “Bukan telat, Ayah. Aku cuma butuh waktu lebih untuk bersiap,” elak Verlyn sambil masuk ke dalam mobil. Kaze hanya menggeleng dan berbincang sebentar dengan salah satu pengawal. Verlyn menurunkan jendela mobil. “Ayah, bukankah hari ini hari libur Ayah?” tanyanya. Kaze menghampiri dan menjawab singkat, “Ada rapat di perusahaan Selfran.” Mesin mobil menyala. Para pengawal sudah siap di posisi mereka—dua mengendarai motor ninja hitam, dua lainnya di mobil belakang. “Kalian kutitipkan Verlyn,” ujar Kaze. “Siap, Tuan Presdir!” jawab para pengawal tegas. Mobil mulai bergerak. Verlyn melambaikan tangan. “Aku pergi, Ayah! Dadah!” Kaze mengangguk, terus memandangi mobil anaknya hingga menghilang dari pandangan. Di dalam mobil, Verlyn menatap pemandangan di luar jendela, pikirannya mulai dipenuhi kemungkinan. “Mahar? Acara pernikahan? Mau anak berapa? Topik apa yang cocok, ya?” gumamnya pelan. “Nona, ada yang mengganggu pikiran?” tanya Pak Rian, sang sopir. Verlyn tersadar dan cepat menggeleng. “Ah, tidak kok, Pak Rian. Aku cuma kepikiran hal enggak penting.” “Kalau Nona butuh bantuan, tinggal bilang.” Verlyn tersenyum tipis dan kembali menatap ke luar. ‘Dia orang seperti apa, ya?’ *** “Ayah, aku akan pergi ke perusahaan sekarang,” ujar Kayn, pria tinggi berambut hitam dengan mata biru navi, sambil melangkah ke pintu. “Ya, jangan lupa janjimu untuk bertemu dengan calon tunanganmu,” jawab Khalix, pria berkacamata yang sedang duduk di sofa sembari menatap layar laptop. Langkah Kayn langsung terhenti. “Maksud Ayah? Tunangan? Sejak kapan aku punya tunangan?” Khalix melepas kacamatanya dan menoleh. “Apa Ayah belum bilang, ya? Baiklah, sekarang Ayah beri tahu.” Ia berdiri dan menghampiri Kayn yang masih berdiri di ambang pintu. “Ingat perjodohanmu dengan anak Presdir Kaze, pemilik perusahaan Kizen?” Kayn mengernyit. “Bukannya dia sudah menolak perjodohan itu? Lalu kenapa—” “Kemarin Ayah dapat kabar bahwa dia sudah menyetujui. Tuan Kaze juga sudah atur janji pertemuan. Hari ini kau akan bertemu dengannya,” potong Khalix cepat. “Kenapa Ayah tidak tanya dulu padaku? Ini enggak adil!” Kayn mulai kesal. Ia teringat janji bertemu Sellina—kekasihnya. ‘Sellina bakal marah kalau aku batalin lagi.’ “Kenapa kau kesal? Kau enggak ada janji dengan siapa pun hari ini, kan?” tanya Khalix tajam. Kayn terdiam sebentar, lalu menggeleng. “Nggak, Ayah...” Khalix menepuk pundaknya. “Ayah enggak pernah ajarkan kamu untuk berbohong, bukan?” “Jika berbohong, berarti orang itu tak pantas jadi pemimpin,” gumam Kayn, mengulang ajaran lama dari ayahnya. Khalix tersenyum puas. “Jadi, kau akan bohong lagi hari ini, Nak?”Setelah memasuki area tengah hutan dengan pohon yang besar dan rindang di malam hari, mereka memutuskan untuk beristirahat terlebih dulu dan membangun 2 tenda besar yang di bawa oleh Wallace di kereta kudanya.Cherryn sudah tertidur lebih dulu di dalam tenda dan Wallace tidur di dalam kereta kuda. Verlyn masih terjaga di luar tenda sambil memandangi langit malam dan menyandarkan tubuhnya di salah satu pohon besar.Verlyn menutup kedua matanya dan menghela napas panjang lalu merasa ada seseorang yang sudah duduk di sebelahnya setelah dia membuka matanya dan menoleh."Kau belum tidur, Kayn?"Kayn menggeleng pelan lalu menoleh ke arah Verlyn. "Kau sendiri belum tidur, Verlyn," balasnya.Verlyn tersenyum tipis lalu kembali menengadah menatap langit malam. "Aku tidak bisa tidur karena memikirkan ...""Masalah di kota?" lanjut Kayn cepat.Verlyn kembali menoleh ke arah Kayn lalu tersenyum. "Kau sudah sangat mengenal diriku, ya?"Kayn ikut tersenyum. "Entah lah. Jika di katakan kalau aku sud
Ace yang sedang menengadah ke langit biru yang sudah sedikit tercampur dengan warna jingga lalu menghela napas panjang."Ayah sama sekali belum menyentuh makanannya dan tidak keluar dari ruang kerjanya sama sekali ..." Ace menggenggam erat besi balkon dengan perasaan kesal. "Jika terus seperti ini ...""Ace ,,," lirih Selvania pelan.Ace membalikkan badannya dan menghadap ke arah Selvania yang tampak sedang gelisah dan khawatir sambil menaruh kedua tangannya di atas dada."Ace, ayah sama sekali belum keluar dari ruang kerjanya dari pagi, dan sekarang hari sudah menjelang sore, bagaimana ini?" tanya Selvania khawatir.Selvania menundukkan kepalanya. "Beliau juga tidak memakan sarapannya, terlebih setelah mendengar kabar lain bahwa Verlyn tidak ada di dalam vila ..." lanjut Selvania lesu.Ace melangkah mendekat ke arah Selvania lalu memeluknya sambil membelai rambutnya yang berwarna kuning sedikit panjang itu."Tenang lah, Nia ,,," ucap Ace lembut.Selvania memejamkan matanya dan mengan
Jersey City, Kediaman Kaze."Ace, apa kita tidak bisa melakukan apapun lagi untuk menghentikkan ibu?" tanya Selvania khawatir.Ace yang sedang duduk di sofa sambil menatap layar ponselnya hanya menghela napas panjang dan menggeleng pelan."Aku tidak tahu lagi, Nia. Aku pikir Ibu akan terus tinggal di rumah ini saat Verlyn tinggal di vila untuk sementara waktu, tapi nyatanya, Ibu yang ingin tinggal terpisah dengan kita dan tiba-tiba ... ukh ,,,"Ace memegangi kepalanya yang terasa semakin pusing daripada hari kemarin. Selvania segera menghampiri Ace dan memberikan teh kepada yang ada di meja kepadanya.Ace menerima teh itu dan meneguknya perlahan lalu memejamkan matanya sambil mengatur napas."Sebaiknya kau istirahat dulu, Ace. Jika kondisimu seperti ini, kita tidak akan bisa membantu ayah di persidangan, nanti," pinta Selvania khawatir."Aku tidak akan bisa istirahat jika sudah memikirkan masalah ayah dan ibu, Nia. Sudah dari semalam aku tidak bisa tidur dengan lelap," balas Ace denga
Hari ke-14 di Desa Fandaria."Sudah siap, Verlyn, Kayn?" tanya Cherryn.Verlyn dan Kayn mengangguk sambil menggendong tas gunung masing-masing dan membawa kantong plastik sedang yang berisi bekal untuk perjalanan mereka ke kota nanti.Mereka melangkah keluar dari rumah secara bergantian dan menuruni tangga perlahan. Para warga sudah berkumpul di depan rumah Cherryn untuk memberikan ucapan terima kasih dan doa untuk Verlyn dan Kayn sebelum pergi dari desa Fandaria.Salah satu anak menarik pelan jaket Verlyn, membuatnya menoleh ke bawah dan melihat Kila yang berada di sana bersama dengan Risa yang terlihat sudah sehat walaupun wajahnya masih terlihat sedikit pucat."Eh, Kila!" Verlyn menoleh ke arah Risa dengan senyuman yang sama. "Ada Risa juga, rupanya. Apa Risa sudah merasa lebih baik, sekarang?" tanya Verlyn.Risa mengangguk pelan sambil tersenyum tipis. "Ini berkat usaha Kak Verlyn dan Kak Kayn, aku sangat berterima kasih!" jawab Risa pelan.Verlyn mengangguk lalu membelai rambut p
"Jadi, kau merasa kalung liontinmu itu menghilang setelah terjatuh ke sungai?" tanya Cherryn setelah Verlyn selesai bercerita.Verlyn mengangguk sambil menurunkan pandangannya. "Aku berpikir begitu karena aku dan yang lain tidak bisa menemukan kalung liontin itu sama sekali di rerumputan di tepi sungai, nek."Verlyn memainkan jari jemarinya. "Aku minta maaf, akibat keteledoranku sendiri kalung liontin uang berharga itu, menghilang ..." lanjut Verlyn dengan perasaan bersalah.Cherryn menyeruput tehnya perlahan dan menghela napas pelan. "Dugaanmu memang benar, Verlyn. Tapi, kalung liontin itu tidak menghilang dan jatuh ke dasar sungai," balas Cherryn.Verlyn dan Kayn kompak terkejut mendengar hal itu dan mendongak bersama ke arah Cherryn yang dengan santainya menaruh cangkir tehnya di atas meja lalu mengambil ikan Silver Fish yang tergeletak di atas meja di depannya.Cherryn membuka sedikit mulut ikan Silver Fish dan memperlihatkannya kepada Verlyn dan Kaun. "Apa kalian melihat ada bend
"Nenek belum tidur, kan?!" tanya Verlyn sambil mengatur napasnya setelah sampai di depan rumah Cherryn."Aku tidak tahu pasti, Nenek biasanya sudah tidur di kamarnya saat kita pulang ..." Kayn melirik ke arah ikan berwarna perak berkilau yang terlihat tenang tanpa air di genggaman kedua tangan Verlyn lalu kembali menatap Verlyn yang menunggu jawaban selanjutnya.Kayn menghela napas pelan. "Sebaiknya kita masuk dulu dan segera beritahukan hal ini kepada nenek," ajak Kayn.Verlyn mengangguk setuju lalu segera menaiki tanggal lebih dulu, di ikuti oleh Kayn di belakangnya. Setelah masuk ke rumah, Verlyn dan Kayn di kagetkan oleh Cherryn yang baru saja keluar dari kamar."Nenek!" kompak Verlyn dan Kayn.Cherryn menoleh dan sedikit terkejut melihat Verlyn dan Kayn yang tampak berantakan dan lusuh di dekat pintu.Cherryn melirik ke arah ikan yang sedang di bawa oleh Verlyn dan menyipitkan kedua matanya lalu berjalan ke arah Verlyn dan Kayn untuk melihat ikan itu lebih dekat lagi."Kalian ,,,