Dua hari setelah menikah, Rafie memutuskan untuk mengubah kebijakan dalam rumah tangganya. Yakni, terkait belajar agama bersama. Saat itu, tidak lagi terbatas pada penghuni rumah saja. Rafie berharap agar karyawan-karyawan yang bekerja di perusahaan Inayah mau belajar agama bersama. Hal itu dilakukan untuk meningkatkan kualitas ukuwah Islamiah para karyawannya. Dan juga, Rafie berupaya membentuk persahabatan yang erat di antara karyawan-karyawan tersebut, agar mereka menjalani kehidupan berdasarkan agama yang kuat dan juga membawa manfaat bagi perusahaan. "Kamu setuju, 'kan, Neng?" tanya Rafie memandang wajah Inayah yang sudah resmi menjadi istrinya. "Iya, aku pasti setuju apa pun keputusan dan kebijakan dari Aa," tandas Inayah menjawab lirih pertanyaan suaminya. "Ya, sudah. Mulai besok, Teh Erni buat pengumuman di kantor yah!" kata Rafie tersenyum memandang wajah Inayah. "Iya, nanti aku sampaikan kepada Teh Erni," jawab Inayah balas tersenyum. Rafie berharap para karyawan yang
Di rumah sakit .... Rafie saat itu sudah berada di ruang rawat inap setelah beberapa jam berada di ruang UGD, Tiara duduk di samping Rafie yang masih dalam keadaan lemah dan tidak berdaya. "Ternyata, Rafie tampan juga. Pantas saja, Inayah mau dijodohkan dengannya," bisik Tiara sambil memandangi wajah Rafie. "Aku tidak boleh memberitahukan Inayah kalau Rafie ada di sini. Aku masih ingin bersama pria tampan ini," imbuhnya. Dalam jiwa dan pikiran Tiara, saat itu mulai tumbuh benih-benih cinta yang tidak pernah hadir sebelumya. Entah apa penyebabnya? Tiara pun sangat sulit untuk menghindari rasa tersebut, hingga pada akhirnya niat jahat pun terukir dalam benaknya. Tiara tidak mau memberitahu Inayah kalau suaminya sedang dirawat di rumah sakit. Semua itu ia lakukan, karena dirinya tidak mau kebersamaannya dengan Rafie menjadi terganggu. Beberapa saat kemudian, Rafie mulai sadar, ia berusaha untuk bangkit. Namun, Tiara segera mencegahnya. "Kamu jangan banyak gerak dulu!" kata Tiara. "
Rafie seakan-akan merasa diperhatikan oleh Tiara sesekali ia menoleh ke arah Tiara. Tiara tertunduk, kala dua bola mata pria idamannya terus terarah kepadanya. Rafie hanya tersenyum, kemudian bangkit dan langsung pamit kepada Tiara dan Farhan. "Ngomong-ngomong sudah sore, aku pulang duluan, yah," kata Rafie lirih. "I-iya, A. Silakan!" sahut Tiara. "Hati-hati, A!" timpal Farhan lirih. Rafie hanya tersenyum sambil mengangguk pelan. Demikianlah, maka Rafie pun langsung mengucapkan salam dan berlalu dari hadapan Tiara dan Farhan. Keesokan harinya .... Rafie sudah kembali bersiap hendak berangkat dari rumah. Hal tersebut, menumbuhkan rasa kecurigaan dalam diri Inayah terhadap sikap Rafie, yang akhir-akhir ini sering keluar rumah. "Sebenarnya Aa mau ke mana? Kok, mendadak sih?" tanya Inayah mulai merasa curiga dengan gelagat Rafie yang terkesan tidak betah berada di rumah. "Aa mau menemui Tiara. Rencananya, hari ini mau bahas masalah baksos dan sekalian menemui pemilik lahan yang ma
Entah kenapa Icha menjadi benci seketika terhadap prilaku Tiara, yang berusaha memanfaatkan kedekatannya dengan Rafie dengan maksud dan tujuan untuk meraih simpati dari Rafie. Sepulang menemani Tiara dan Rafie, Icha langsung memberitahu Inayah tentang kedekatan Tiara yang menurut Icha ada sesuatunya, dan Icha sangat yakin kalau Tiara itu punya perasaan lebih terhadap Rafie bukan hanya dari sekadar persahabatan saja. "Kamu yakin, Cha?" tanya Inayah setelah mendengar laporan dari Icha. Dua bola matanya menatap tajam wajah Icha. Icha merupakan sahabat dekat Inayah sewaktu masih duduk di bangku SMA sama seperti Tiara dan juga Almarhum Rangga, dulu mereka sama-sama satu angkatan. "Masya Allah, Nay! Aku tidak mungkin bohong, aku bicarakan ini semua kepada kamu, karena aku tidak mau melihat kamu terluka," jawab Icha meyakinkan sahabatnya itu. "Terus, A Rafie sekarang ke mana?" tanya Inayah lagi. "Rafie pergi ke kantor cabang, katanya mau menemui Reno." Icha menjawab lirih pertanyaan Ina
Pukul setengah sembilan, Rafie dan Inayah sudah berangkat ke tempat proyek pembangunan pondok pesantren. Sementara Erni, pagi itu sudah berada di kantor baru yang tidak jauh dari kediaman Inayah hanya berjarak beberapa meter saja, karena kantor tersebut berada tepat di depan halaman rumah. Dua puluh menit kemudian ... Inayah dan Rafie sudah berada di lokasi proyek. Tiara pun sudah tiba di lokasi proyek itu bersama Icha dan para donatur lainnya. Salah seorang arsitek didatangkan oleh Tiara untuk merancang bangunan pesantren tersebut, memang terkesan baik dan sangat dermawan sikap Tiara saat itu. Ia mendukung sepenuhnya proses pembangunan pondok pesantren tersebut. Meskipun, pada dasarnya ada kemauan yang tersimpan dalam pikiran Tiara dan niat kuat pula dalam benaknya. "Assalamualaikum, selamat pagi, Pak Ustadz," ucap pria paruh baya dengan mengenakan helm putih dan berkacamata hitam, menyapa lirih Rafie yang saat itu sedang duduk bersama istrinya. Rafie dan Inayah menjawab ucapan
Inayah tersenyum dan menganggukkan kepalanya perlahan ia pun berkata dengan nada rendah. "Aku percaya A. Namun, jika ada rasa cinta dalam diri Aa terhadap Tiara sebaiknya Aa katakan saja! Percayalah ... jika niat Aa baik untuk menikahi Tiara, Inayah ikhlas kok, A!" ujar Inayah mengejutkan. Sejatinya, Inayah tidak merasa benci terhadap Tiara. Dia hanya khawatir Tiara akan berbuat nekat jika tidak berhasil bersanding dengan suaminya. Inayah sudah paham dengan sifat Tiara, ia tidak mau hijrahnya Tiara harus luntur karena merasa sakit hati tidak berhasil menikah dengan Rafie. Rafie tampak kaget dengan kalimat yang diucapkan oleh istrinya itu. Dengan segenap rasa penasaran, Rafie kemudian bertanya, "Maksud kamu apa, Neng?" Inayah hanya diam saja ketika mendengar pertanyaan suaminya. "Tidak sepantasnya kamu bicara seperti itu!" imbuh Rafie masih tetap lembut bertutur kata. Inayah tersenyum dan kembali berkata penuh dengan kebijaksanaan, "Aa tak seharusnya menjawab pertanyaanku sekaran
Kemudian, Icha langsung merapikan hijab. Ia bangkit dan langsung pamit kepada Inayah. Setelah mengucapkan salam, Icha langsung berlalu dari hadapan Inayah. Inayah hanya berdiri menatap mobil putih yang Icha kemudikan, melaju keluar dari halaman rumahnya. Setelah itu, Inayah bergegas masuk ke dalam untuk kembali melanjutkan pekerjaannya. Membuat desain dan merapikan data-data yang sudah dilaporkan oleh Erni. *** Malam harinya selesai Salat Magrib, Inayah dan suaminya langsung makan malam bersama. “Teh Erni pulangnya kapan, Neng?” tanya Rafie menatap wajah Inayah. “Kalau sedang makan tidak boleh berbicara!” ucap Inayah sedikit bergurau. "Oh, iya. Lupa ... maaf Bu Ustadzah," jawab Rafie tersenyum-senyum. Inayah hanya menganggukan kepala kemudian melanjutkan makannya. Selesai makan Inayah mendampingi suaminya yang sedang mengerjakan tugas kantor membantu dirinya. "Neng, bisa buatkan Aa kopi!" bisik Rafie menoleh ke arah Inayah yang duduk di sebelahnya. "Iya, A." Inayah bangkit da
Pagi hari sekitar pukul 03:30, Inayah sudah terbangun dari tidurnya. "Masya Allah!" Inayah tampak kaget setelah sadar kalau suaminya sudah tidak ada di kamar, ia bangkit dan bergegas keluar. Inayah tampak khawatir, mengingat Rafie sedang dalam kondisi tidak sehat, Inayah mencari ke ruang tengah Rafie tidak ada di ruangan tersebut. Kemudian Inayah melangkah ke arah ruang Musala, tersenyumlah ia, ketika mendapati suaminya sedang berdzikir khusyu. "Alhamdulillah ...! Ya Allah, suami hamba sudah sembuh," ucap Inayah penuh rasa syukur. Bukan hanya Inayah dan Rafie saja yang sudah bangun, Fatimah dan Jubaedah pun saat itu sudah terbangun dari tidur mereka. "Neng, mau Teteh buatkan teh manis?" tanya Fatimah mengarah kepada Inayah. "Tidak usah, Teh. Aku mau mandi dulu, tanggung sebentar lagi subuh!" tolak Inayah halus. "Oh ... iya, Neng," kata Fatimah langsung menuju ruang dapur. Inayah pun langsung melangkah menuju kamar mandi dan segera membersihkan diri, bersiap untuk melaksanakan S