เข้าสู่ระบบPameran Nasional Artefak Kekaisaran Timur digelar satu tahun sekali. Biasanya Zhiya tidak terlalu antusias hadir pada event publik seperti ini terlalu banyak keramaian, terlalu banyak kamera, dan terlalu banyak orang yang “melihat sejarah hanya sebagai dekorasi.”
Biasanya ia akan memilih untuk bersembunyi di dalam ruangannya saat pameran berlangsung. Namun hari itu, entah kenapa, ada sesuatu yang mendorongnya untuk berkeliling dan melihat-lihat. Bukan motivasi profesional, bukan checklist riset,tapi seperti sesuatu yang halus menarik kulit belakang tengkuknya. Menuntunnya ke tempat ini. Belum lagi nama yang disebutkan Arga menghantuinya, seperti apa lukisan yang hilang berabad dan tahun lalu? Arga berdiri di sampingnya. Ia tidak banyak bicara, tetapi Zhiya tahu bagaimana tatapan pria itu selalu mempelajari pergeseran mikro ekspresi di wajahnya. Arga selalu peka, dan itu membuat kehadirannya terasa seperti penopang tenang, sekaligus kadang tekanan yang membuat Zhiya merasa seseorang sedang membaca seluruh dirinya. “Aku merasa kamu gelisah,” Arga pelan sambil melihat Zhiya dari samping. “Sejak dua minggu terakhir.” Zhiya tidak menjawab. Ia hanya tersenyum sangat tipis. Jawaban verbal tidak pernah cukup menjelaskan apa yang terjadi dalam dirinya ,karena sesuatu yang berubah itu bukan sesuatu yang bisa ditulis dalam diagnosa medis, bukan gejala psikologi klinis, bukan ilusi halusinasi yang dapat diukur. “Kalau tidak enak badan, kamu ke ruangan aja. Pameran ini aku pastikan berjalan lancar, kok.” Zhiya hanya menggeleng kecil. “Aman.” Lalu ia melengang— Ini sesuatu yang datang dari ruang yang bahkan belum ada nama taksonominya. Mereka melewati barisan artefak, pedang upacara, keramik, seal kuno kerajaan, catatan rekaman tinta di kain sutra. Semua kurasi ini kuat tetapi semua itu masih terasa seperti data museum yang statis. Namun, ketika mereka memasuki ruang inti pameran dunia terasa berhenti bernafas. Lampu-lampu berpendar lembut ke arah satu lukisan besar di tengah ruangan utama. Lukisan itu berdiri sendirian, seperti kerajaan yang berada di tengah gelap dunia. Sebuah kanvas tua dari dinasti Qingzhou yang dikatakan telah hilang ratusan tahun. Potret Raja — Raja Qingzhou ke-17. Zhiya menatapnya. Dan seluruh sistem internal tubuhnya runtuh dalam satu detik sunyi. Bukan sekedar mirip. Bukan sekedar memiliki vibe yang sama. Lukisan yang ia lihat adalah wajah itu. Wajah yang ia lihat setiap malam. Wajah yang muncul dari air gelap ketika ia tertidur. Wajah yang memanggilnya dari Sungai Bayangan. Rambut hitam panjang, sebagian diikat naik, aristokratik, tegas, elegan, dingin. Dan jubah merah wine imperial itu, gelap. Seperti warna darah yang telah melewati ratusan tahun oksidasi masa. Lingga bukan hanya roh yang mengunjungi mimpi. Ia pernah hidup. Ia pernah tercatat sejarah. Tubuh Zhiya sedikit condong maju tanpa ia sadari. Ruangan seolah menarik dirinya mendekat. Lukisan itu seakan bernafas pelan seperti ada denyut roh yang masih tertinggal dalam pigmen warna cat minyak yang sudah menua. “Zhiya?” suara Arga terdengar namun jauh sekali seperti dari ujung terowongan lain. Zhiya tidak bisa memalingkan wajah. Ia tidak bisa mengalihkan pandang barang sedetik. Karena di balik tatapan Raja Lingga yang dilukis tiga abad lalu itu, seolah ada mata yang sadar ia sedang melihat kembali. Seolah roh itu memang masih ada masih bangun dan masih mengenal dirinya. Apa maksud ini semua?“…maka kutukan itu akan berakhir,” potong sang penyihir lembut. “Dan garis leluhurmu akan terbebas untuk selamanya.” Angin berhembus pelan, membawa harum bunga liar yang entah dari mana. Cahaya bulan menurun, menyentuh wajah Zhiya dengan lembut seolah menandai awal dari sesuatu yang besar. Sebelum kabut mulai menelan sosok penyihir itu kembali, ia berkata satu hal terakhir—suara yang lembut tapi menggema jauh ke dalam hati Zhiya. “Ingatlah, Kutukan bisa dimusnahkan dengan cinta yang saling memilih. Tapi, Salah satu dunia dari kalian harus hancur, dan kalian hanya bisa memilih, Dunia mana yang akan kalian korbankan.” Lalu semuanya berubah gelap. Ketika Zhiya membuka mata lagi, ia sudah berada kembali di ruang tengah museum. Udara modern yang dingin menyambutnya, dan lampu keamanan berkelap-kelip di atas. Namun di jendela besar di depannya, bayangan bulan purnama masih tergantung di langit—dan di pantulan kacanya, samar-samar, ia melihat wajah Lingga berdiri di belakangnya. “Ling
“Mulai malam ini,” ucapnya lirih, “aku tidak ingin lagi ada jarak di antara kita.” Zhiya membuka matanya perlahan. Di sana, dalam jarak sedekat itu, ia bisa melihat segala ketulusan yang tak sempat diucapkan. “Itu berarti, aku harus siap dengan semua konsekuensinya, Lingga,” lirih Zhiya. Lingga hanya menjawab dengan genggaman yang lebih erat. Tak ada lagi kata. Yang tersisa hanyalah keheningan yang hangat—seolah dunia di luar kamar itu telah menghilang, menyisakan hanya mereka berdua dan perasaan yang akhirnya jujur. “Saat kau pasrah malam itu, itu berarti kau sudah menerima semua konsekuensinya. Benar kan?” ucap Lingga. Zhiya terdiam. “Kenapa jadi seperti ini?” Tapi seketika, rohnya kembali pada raga aslinya. Zhiya tersentak. Ia langsung mengalihkan pandangannya menuju arloji yang menggantung sempurna. “Sudah pukul 2 pagi,” gumam Zhiya. “Padahal aku merasa baru beberapa menit bertemu dengannya.” Zhiya mulai bangkit dan duduk ditepi ranjangnya dan menatap jendela bal
“Sudah dimulai.” Seluruh tubuh Zhiya bergetar hebat saat mendengar bisikan Lingga yang sangat nyata. Gadis itu tak mampu berkatah sepata kata pun. Ia hanya menatap Lingga dengan ekspresi yang tak bisa dijelaskan. Pria itu kemudian mendekat. Mengarahkan tangannya dan mulai mengangkat tubuh mungil Zhiya. Zhiya tersentak dari lamunannya. Ia refleks mengalungkan tangan dileher Lingga dengan mata terbelalak. “Kita pulang,” lirih Lingga. Jantung Zhiya berdegup cepat begitu mendengar perkataan itu. Perkataan yang seolah membuatnya tidak bisa pergi dari dunia itu. Perkataan yang membuatnya hanyut dan ingin tinggal. Zhiya, mulai terjatuh dan mulai tidak ingin kembali ke dunia asalnya. Begitu tiba di gerbang istana, semua pengawal dan pelayan langsung bersimpuh. “Siapkan baju ganti untuk Zhiya,” ujar Lingga pada beberapa pelayan pribadinya yang ikut bersimpuh di depan gerbang. “Baik, Paduka,” ucap mereka serentak. “M-mereka benar-benar bisa melihatku?” bisik Zhiya. Lingga tak
Zhiya menghela napas berat. “Aku tidak tahu… apakah aku yang memanggilmu, atau kau yang menarikku.” Lingga menatapnya tanpa kedipan. “Tidak ada pemanggilan sepihak untuk roh yang pernah terhubung,” jawab Lingga. “kita saling memanggil.” Zhiya merasakan detak jantungnya sendiri semakin lambat dan stabil. Seperti tubuhnya diselaraskan dengan ritme Sungai Bayangan. Raja Lingga mengangkat tangan, bukan menyentuh tubuh. Tetapi menyentuh lingkar bayangan yang mengelilingi Zhiya — garis tipis antara dua dunia. “Mulai sekarang… setiap kali kau tidur, dinding antar dunia akan terus menipis,” ucap Lingga. “Sungai ini akan menelan batas.” Zhiya menatap dalam, bersuara sangat pelan: “Kalau batasnya hilang… dunia mana yang akan tetap ada?” Lingga menunduk sedikit. Suaranya perlahan berubah menjadi lebih rendah — seperti gema kuil kuno. “Pada akhirnya, hanya dunia yang memilihmu… dan dunia yang kau pilih kembali… yang akan bertahan.” Sungai Bayangan itu terasa bagai ruang
Arga pun semakin khawatir saat melihat keringat dingin mulai membasahi pelipis Zhiya. Pria itu kemudian menyentuh tubuh Zhiya, dan menuntun Zhiya meninggalkan pameran itu. “Kita istirahat dulu,” ucap Arga. Aetheria City tampak seperti kota kaca yang terus menumbuhkan dirinya sendiri. Gedung–gedung menjulang, dipantulkan berlapis oleh permukaan fasad transparan yang memantulkan neon biru, warna yang sama dengan kegelapan air yang selalu menarik Zhiya tiap malam. Ia berjalan pelan bersama Arga, keluar dari museum, sebelum akhirnya memilih duduk sebentar di sebuah kafe mini di pinggir distrik pusat seni kota. Di sana, suasana sunyi. Padahal ramai. Musik elektronik low ambient terdengar samar. Lampu neon biru redup memantul di permukaan meja kaca mereka. Zhiya memandang cangkir kopinya yang dingin seperti permukaan air. “Zhiya…” suara Arga pelan, lembut, sangat hati–hati. “Aku bilang dari awal ada sesuatu yang narik kamu. Aku bisa rasakan. sejak 2 minggu lalu.” Zhiya tidak menja
“Kau mual?”suara Arga terdengar semakin dekat, tapi di telinga Zhiya masih terdengar seperti gelombang yang terdistorsi air. Ia merasakan darahnya mengalir lambat, bukan menurun seperti orang pingsan,tapi seperti cairan di tubuhnya sedang diselaraskan ke frekuensi yang sama dengan lukisan itu.Lukisan itu bukan artefak diam. Ia seperti portal yang ditutup paksa, lalu dibekukan dalam kanvas selama ratusan tahun.Sungai Bayangan tiba-tiba mengembalikan memori dalam benaknya. Bukan dalam mimpi, bukan dalam keadaan hampir tidur. Tapi dalam keadaan sadar berdiri di tengah museum publik.Air hitam itu seperti muncul satu bingkai dalam penglihatan mata fisiknya… langsung mengembalikan di lukisan Lingga. Dan untuk sepersekian detik, Zhiya merasa Lingga memandang tepat ke arah dirinya. Bukan mata pada lukisan, tapi roh yang masih berada di baliknya.Dunia terasa seperti sedang membalik logikanya sendiri. Zhiya memegang lengan bawahnya sendiri, berusaha stabil.Lingga menangkap gerakan itu. Ia