แชร์

Penyatuan Roh

ผู้เขียน: QuinzeeQ
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-11-10 12:34:05

“Ahh, I-ini terlalu dalam,” erang Zhiya sembari mencengkram erat punggung Lingga.

Keduanya kini menyatu tanpa batasan sedikit pun. Tanpa ampun, Lingga terus menggerakkan tubuhnya maju mundur hingga membuat Zhiya mengerang nikmat.

Lingga tersenyum menang saat melihat wajah pasrah Zhiya yang begitu membangkitkan gairahnya.

“Bertahanlah,” bisik Lingga.

“Eungh, cukup, aku tidak tahan lagi.”

Mendengar itu, Lingga mengunci kedua tangan Zhiya. Ia juga mempercepat gerakannya hingga membuat Zhiya mengerang nikmat. Ia bisa merasakan kedutan yang menjepit miliknya. Hingga membuatnya tak tahan dan akhirnya mencapai puncak bersamaan dengan gadis yang ia tindih.

Tubuhnya pun ia rebahkan tepat diatas tubuh Zhiya. Pria itu kemudian mengecup bibir milik Zhiya dengan lembut.

“Aku tidak mungkin hamil kan?” batin Zhiya.

“Memangnya kenapa kalau kau hamil?” tanya Lingga

Zhiya pun membulatkan matanya karena terkejut.

“Kau bisa mendengar apa yang aku katakan?” tanya Zhiya.

“Aku tidak tuli, Zhiya,” ucap Lingga

Zhiya terdiam. “Dia bisa mendengar apa yang aku katakan didalam hati,”

“Aku bahkan tidak tahu itu suara hatimu. Aku kira kau berbicara denganku tadi,” ujar Lingga.

Pria itu kemudian bangkit. Ia kembali mengangkat tubuh Zhiya menuju kolam pemandian miliknya untuk membersihkan diri mereka.

Zhiya bergumam saat melihat kolam pribadi milik Lingga yang begitu indah.

Kolam itu berada di ruang paling dalam dari istana. Tempat yang tidak pernah disentuh pelayan, tempat yang dibuat hanya untuk raja. Airnya jernih seperti kaca, namun memantulkan warna merah keemasan seperti bara yang dipadamkan oleh waktu.

Uap tipis menggantung di permukaan air, seolah api dan air sedang berdamai di satu titik. Lingga turun perlahan ke dalam kolam, masih mendekap tubuh Zhiya, membawanya masuk seperti memandu sesuatu yang rapuh namun sangat berharga. Suhu air hangat menyelimuti tubuh mereka, membuat keduanya merasa seperti roh dan tubuh sedang kembali menemukan bentuknya.

Zhiya menutup mata sejenak.

Ada rasa ringan, sekaligus berat. Karena apa yang terjadi sebelumnya baru saja mengubah garis hidup mereka. Lingga menyibakkan sedikit air ke pundak Zhiya, gerakannya lembut, bukan sebagai raja yang berkuasa, melainkan sebagai pria yang takut kehilangan apa yang baru saja ia dapatkan kembali.

“Tubuhmu semakin nyata,” ucap Lingga lirih sembari mengecup pelan pundak Zhiya yang tak tertutup kain.

Zhiya membuka mata perlahan dan menatap permukaan air. Refleksinya tidak lagi kabur seperti bayangan kabut. Ia mulai melihat dirinya. Lebih jelas, lebih solid, lebih hidup.

“Apa ini berarti, aku semakin dalam menjadi bagian dari duniamu?” tanyanya pelan.

Lingga tidak menjawab dengan kata.

Ia meraih tangan Zhiya di atas permukaan air dan menggenggamnya erat, seolah genggaman itu adalah sumpah yang tidak bisa ditarik kembali.

Di sekitar mereka, lentera batu di tepi kolam menyala satu per satu, seperti roh istana menyadari bahwa api yang padam itu telah kembali menyala.

Keduanya tidak berbicara lebih banyak.

Mereka hanya duduk berdua di dalam air hangat, diam, namun saling terikat oleh sesuatu yang jauh lebih besar dari sentuhan fisik.

“Aku tidak ingin kau pergi,” bisik Lingga.

Zhiya tersentak. Sudah berapa lama sejak ia tertidur dan meninggalkan raga aslinya. Ia menatap mata Lingga dalam. Seolah ingin mengutarakan sesuatu. Tapi tak bisa ia ungkapkan.

Lingga menyentuh dagu Zhiya. Menarik wajah gadis itu dan kembali mencium bibir nya yang sudah menjadi candu baginya. Ini adalah pertemuan ke— tujuh?. Tapi, ia merasa bahwa Zhiya sudah hidup bertahun lamanya disisinya.

“Aku harus kembali, Lingga,” lirih Zhiya.

“Tidak, kumohon,” cegah Lingga.

Zhiya menggeleng. Belum sempat ia membalas perkataan Lingga, tiba-tiba ia tersentak. Ia membuka matanya lebar dan langsung mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan.

“Aku sudah kembali,” gumamnya saat sadar dirinya telah kembali ke kamar miliknya.

Ia kemudian tersadar dengan mimpi nya. Ia kemudian bangkit dan menuju meja rias untuk melihat tubuhnya. Dan benar saja, bekas kemerahan yang ditinggalkan oleh Lingga, terlihat jelas di tubuhnya.

“Ini bukan mimpi. Ini nyata,” gumamnya.

Gadis itu kemudian melirik jarum jam yang sudah menunjukkan pukul 5 pagi. “Aku tertidur selama ini?” batin Zhiya.

Tanpa pikir panjang, ia bangkit menuju kamar mandi dan mulai membersihkan dirinya.

Menjelang pagi, ia kembali seperti biasa. Ia meninggalkan apartemennya dan menuju mobilnya yang sudah terparkir di basement.

“Temui aku saat bulan purnama. Dibalik museum,” ujar suara wanita di daun telinganya.

Zhiya mematung di basement apartemennya. Zhiya kemudian tersadar saat hanya dirinya yang di basement itu.

Ia memastikan dirinya sadar.

Apa sudah sebaiknya dia harus berobat untuk konsultasi? Rasanya, akhir-akhir ini, ia semakin sering berhalusinasi.

“Morning, Zhiyaa!” sapa Arga begitu Zhiya berhenti di parkiran museum— tempat kerjanya.

Ia mengambil nafas sebelum ditegur temannya dari jendela kaca mobil.

“Pagi,” balas Zhiya.

“Kenapa mukamu pucat sekali, Zhiya?” tanyanya.

Zhiya menoleh. “Oh ya? Mungkin hanya sedikit kurang tidur,” jawab Zhiya sembari menepuk pelan pipinya.

“Jaga kondisimu. Besok hari lagi, pameran akan berlangsung. Jangan sampai kau sakit,” ujar Arga.

Zhiya mengangguk pelan. Ia bahkan baru sadar bahwa akan ada pameran dalam waktu dekat. Gadis itu kemudian masuk ke ruangannya dan duduk di meja kerjanya.

Tapi saat sedang fokus bekerja, tiba-tiba sebuah kotak makanan diletakkan di hadapannya. Ia kemudian menoleh dan mendapati Arga sudah berdiri di sampingnya.

“Makanlah. Kau pasti belum memakan apapun,” ucap Arga.

Zhiya tersadar. Ia memang belum memakan apapun dari kemarin.

“Terima kasih.”

Ia tersenyum menatapnya kecil. “Mengenai pameran besok— kamu tahu Raja Lingga, kan? Raja yang hilang di dinasti Qinzhou? Lukisannya sudah hilang bertahun-tahun dan sudah ditemukan. Besok akan dipamerkan. Aku balik ke mejaku, ya. Dimakan, ya!”

Senyuman tipis itu berubah pucat.

Apa katanya— Raja Lingga?

Dimana ia pernah mendengarnya?

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Tawanan Hasrat Raja Lingga   Kehidupan yang mulai tidak normal

    “…maka kutukan itu akan berakhir,” potong sang penyihir lembut. “Dan garis leluhurmu akan terbebas untuk selamanya.” Angin berhembus pelan, membawa harum bunga liar yang entah dari mana. Cahaya bulan menurun, menyentuh wajah Zhiya dengan lembut seolah menandai awal dari sesuatu yang besar. Sebelum kabut mulai menelan sosok penyihir itu kembali, ia berkata satu hal terakhir—suara yang lembut tapi menggema jauh ke dalam hati Zhiya. “Ingatlah, Kutukan bisa dimusnahkan dengan cinta yang saling memilih. Tapi, Salah satu dunia dari kalian harus hancur, dan kalian hanya bisa memilih, Dunia mana yang akan kalian korbankan.” Lalu semuanya berubah gelap. Ketika Zhiya membuka mata lagi, ia sudah berada kembali di ruang tengah museum. Udara modern yang dingin menyambutnya, dan lampu keamanan berkelap-kelip di atas. Namun di jendela besar di depannya, bayangan bulan purnama masih tergantung di langit—dan di pantulan kacanya, samar-samar, ia melihat wajah Lingga berdiri di belakangnya. “Ling

  • Tawanan Hasrat Raja Lingga   Kutukan Dari Garis Leluhur

    “Mulai malam ini,” ucapnya lirih, “aku tidak ingin lagi ada jarak di antara kita.” Zhiya membuka matanya perlahan. Di sana, dalam jarak sedekat itu, ia bisa melihat segala ketulusan yang tak sempat diucapkan. “Itu berarti, aku harus siap dengan semua konsekuensinya, Lingga,” lirih Zhiya. Lingga hanya menjawab dengan genggaman yang lebih erat. Tak ada lagi kata. Yang tersisa hanyalah keheningan yang hangat—seolah dunia di luar kamar itu telah menghilang, menyisakan hanya mereka berdua dan perasaan yang akhirnya jujur. “Saat kau pasrah malam itu, itu berarti kau sudah menerima semua konsekuensinya. Benar kan?” ucap Lingga. Zhiya terdiam. “Kenapa jadi seperti ini?” Tapi seketika, rohnya kembali pada raga aslinya. Zhiya tersentak. Ia langsung mengalihkan pandangannya menuju arloji yang menggantung sempurna. “Sudah pukul 2 pagi,” gumam Zhiya. “Padahal aku merasa baru beberapa menit bertemu dengannya.” Zhiya mulai bangkit dan duduk ditepi ranjangnya dan menatap jendela bal

  • Tawanan Hasrat Raja Lingga   Pikiran yang bercabang

    “Sudah dimulai.” Seluruh tubuh Zhiya bergetar hebat saat mendengar bisikan Lingga yang sangat nyata. Gadis itu tak mampu berkatah sepata kata pun. Ia hanya menatap Lingga dengan ekspresi yang tak bisa dijelaskan. Pria itu kemudian mendekat. Mengarahkan tangannya dan mulai mengangkat tubuh mungil Zhiya. Zhiya tersentak dari lamunannya. Ia refleks mengalungkan tangan dileher Lingga dengan mata terbelalak. “Kita pulang,” lirih Lingga. Jantung Zhiya berdegup cepat begitu mendengar perkataan itu. Perkataan yang seolah membuatnya tidak bisa pergi dari dunia itu. Perkataan yang membuatnya hanyut dan ingin tinggal. Zhiya, mulai terjatuh dan mulai tidak ingin kembali ke dunia asalnya. Begitu tiba di gerbang istana, semua pengawal dan pelayan langsung bersimpuh. “Siapkan baju ganti untuk Zhiya,” ujar Lingga pada beberapa pelayan pribadinya yang ikut bersimpuh di depan gerbang. “Baik, Paduka,” ucap mereka serentak. “M-mereka benar-benar bisa melihatku?” bisik Zhiya. Lingga tak

  • Tawanan Hasrat Raja Lingga   Jalan Masuk yang semakin terbuka

    Zhiya menghela napas berat. “Aku tidak tahu… apakah aku yang memanggilmu, atau kau yang menarikku.” Lingga menatapnya tanpa kedipan. “Tidak ada pemanggilan sepihak untuk roh yang pernah terhubung,” jawab Lingga. “kita saling memanggil.” Zhiya merasakan detak jantungnya sendiri semakin lambat dan stabil. Seperti tubuhnya diselaraskan dengan ritme Sungai Bayangan. Raja Lingga mengangkat tangan, bukan menyentuh tubuh. Tetapi menyentuh lingkar bayangan yang mengelilingi Zhiya — garis tipis antara dua dunia. “Mulai sekarang… setiap kali kau tidur, dinding antar dunia akan terus menipis,” ucap Lingga. “Sungai ini akan menelan batas.” Zhiya menatap dalam, bersuara sangat pelan: “Kalau batasnya hilang… dunia mana yang akan tetap ada?” Lingga menunduk sedikit. Suaranya perlahan berubah menjadi lebih rendah — seperti gema kuil kuno. “Pada akhirnya, hanya dunia yang memilihmu… dan dunia yang kau pilih kembali… yang akan bertahan.” Sungai Bayangan itu terasa bagai ruang

  • Tawanan Hasrat Raja Lingga   Ketertarikan yang nyata

    Arga pun semakin khawatir saat melihat keringat dingin mulai membasahi pelipis Zhiya. Pria itu kemudian menyentuh tubuh Zhiya, dan menuntun Zhiya meninggalkan pameran itu. “Kita istirahat dulu,” ucap Arga. Aetheria City tampak seperti kota kaca yang terus menumbuhkan dirinya sendiri.
Gedung–gedung menjulang, dipantulkan berlapis oleh permukaan fasad transparan yang memantulkan neon biru, warna yang sama dengan kegelapan air yang selalu menarik Zhiya tiap malam. Ia berjalan pelan bersama Arga, keluar dari museum, sebelum akhirnya memilih duduk sebentar di sebuah kafe mini di pinggir distrik pusat seni kota. Di sana, suasana sunyi. Padahal ramai. Musik elektronik low ambient terdengar samar. Lampu neon biru redup memantul di permukaan meja kaca mereka. Zhiya memandang cangkir kopinya yang dingin seperti permukaan air. “Zhiya…” suara Arga pelan, lembut, sangat hati–hati. 
“Aku bilang dari awal ada sesuatu yang narik kamu. Aku bisa rasakan. sejak 2 minggu lalu.” Zhiya tidak menja

  • Tawanan Hasrat Raja Lingga   Suara Air yang memanggil

    “Kau mual?”suara Arga terdengar semakin dekat, tapi di telinga Zhiya masih terdengar seperti gelombang yang terdistorsi air. Ia merasakan darahnya mengalir lambat, bukan menurun seperti orang pingsan,tapi seperti cairan di tubuhnya sedang diselaraskan ke frekuensi yang sama dengan lukisan itu.Lukisan itu bukan artefak diam. Ia seperti portal yang ditutup paksa, lalu dibekukan dalam kanvas selama ratusan tahun.Sungai Bayangan tiba-tiba mengembalikan memori dalam benaknya. Bukan dalam mimpi, bukan dalam keadaan hampir tidur. Tapi dalam keadaan sadar berdiri di tengah museum publik.Air hitam itu seperti muncul satu bingkai dalam penglihatan mata fisiknya… langsung mengembalikan di lukisan Lingga. Dan untuk sepersekian detik, Zhiya merasa Lingga memandang tepat ke arah dirinya. Bukan mata pada lukisan, tapi roh yang masih berada di baliknya.Dunia terasa seperti sedang membalik logikanya sendiri. Zhiya memegang lengan bawahnya sendiri, berusaha stabil.Lingga menangkap gerakan itu. Ia

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status