แชร์

Suara Air yang memanggil

ผู้เขียน: QuinzeeQ
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-11-10 12:41:45

“Kau mual?”

suara Arga terdengar semakin dekat, tapi di telinga Zhiya masih terdengar seperti gelombang yang terdistorsi air. Ia merasakan darahnya mengalir lambat, bukan menurun seperti orang pingsan,tapi seperti cairan di tubuhnya sedang diselaraskan ke frekuensi yang sama dengan lukisan itu.

Lukisan itu bukan artefak diam. Ia seperti portal yang ditutup paksa, lalu dibekukan dalam kanvas selama ratusan tahun.

Sungai Bayangan tiba-tiba mengembalikan memori dalam benaknya. Bukan dalam mimpi, bukan dalam keadaan hampir tidur. Tapi dalam keadaan sadar berdiri di tengah museum publik.

Air hitam itu seperti muncul satu bingkai dalam penglihatan mata fisiknya… langsung mengembalikan di lukisan Lingga. Dan untuk sepersekian detik, Zhiya merasa Lingga memandang tepat ke arah dirinya. Bukan mata pada lukisan, tapi roh yang masih berada di baliknya.

Dunia terasa seperti sedang membalik logikanya sendiri. Zhiya memegang lengan bawahnya sendiri, berusaha stabil.

Lingga menangkap gerakan itu. Ia menggeser posisi sedikit lebih dekat. Tidak menyentuh. Tidak berusaha menyentuh. Tapi seolah melindungi gadis disebelahnya. Ada ketakutan halus di mata Arga, tapi bukan karena lukisan.

Karena Zhiya tampak seperti sedang ditarik ke tempat lain yang tidak bisa dijangkau siapapun.

“Itu…” Zhiya berbisik hampir tanpa suara.

“Apa?” Arga bertanya pelan.

“Itu sama. Tatapan laki-laki yang ada di lukisan ini, sama persis dengan pria yang aku temui setiap malam,” lirih Zhiya.

Arga terdiam. Rasanya kalimat itu tidak perlu dijelaskan lebih panjang. Kita tahu kapan seseorang sedang menyentuh sesuatu yang bukan bisa diukur oleh ilmu rasional modern.

Zhiya mengambil langkah mendekat ke pembatas lukisan. Sangat pelan. Seperti tubuhnya bergerak sendiri.

Ruangan seolah meredam suara manusia. Meskipun ada banyak orang pengunjung yang berlalu-lalang, seolah semuanya menjadi bisu. Dunia hanya menyisakan satu garis realitas.

Zhiya dan mata Raja Lingga dalam lukisan itu.

Dalam waktu yang bersamaan, Zhiya merasakan Sungai Bayangan seperti menyentuh belakang tubuhnya. Bukan fisik. Tapi kehadiran. Seperti air gelap itu berdiri di belakangnya, sangat dekat, sangat tenang, seolah menunggu sesuatu jatuh, lalu menariknya kembali.

“Zhiya,”

Arga memanggil lagi dengan napas pendek , Suara itu lebih tegang dari sebelumnya.

“Kalau kamu tidak ingin disini, kita bisa keluar dulu.”

Zhiya menelan udara yang terasa dingin di tenggorokannya. Ia tidak menjawab ya atau tidak. Karena ia tahu, ia tidak bisa pergi.

Lukisan itu bukan hanya bukti eksistensial bahwa Lingga pernah hidup. Lukisan ini adalah bukti bahwa semua yang ia alami selama ini bukan fenomena psikis personal. Bukan trauma. Bukan halusinasi.

Ini sejarah. Ini realitas. Ini pernah tertulis di dunia nyata. Dan sekarang ia berdiri tepat di hadapannya. Dalam satu tarikan halus di dada, Zhiya merasakan sesuatu yang ia tidak pernah rasakan bahkan pada manusia manapun di dunia nyata. Ia merasa dipanggil pulang. Bukan pulang ke masa lalu. Bukan pulang ke masa depan. Tapi pulang ke takdir yang sudah menunggu sebelum ia pernah ada.

Dan di momen itu, Arga akhirnya tahu ada seseorang yang bukan dirinya… yang sudah lebih dulu memiliki ruang terdalam dalam diri Zhiya. Seseorang yang bahkan waktu pun tidak bisa menghapusnya.

Ketika Zhiya membuka matanya lagi, lukisan itu tidak lagi hanya menjadi lukisan.

Lukisan itu menjadi saksi bahwa jiwa lelaki yang ada di dalamnya masih menunggu. masih sadar. dan masih mengenal namanya.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Tawanan Hasrat Raja Lingga   Kehidupan yang mulai tidak normal

    “…maka kutukan itu akan berakhir,” potong sang penyihir lembut. “Dan garis leluhurmu akan terbebas untuk selamanya.” Angin berhembus pelan, membawa harum bunga liar yang entah dari mana. Cahaya bulan menurun, menyentuh wajah Zhiya dengan lembut seolah menandai awal dari sesuatu yang besar. Sebelum kabut mulai menelan sosok penyihir itu kembali, ia berkata satu hal terakhir—suara yang lembut tapi menggema jauh ke dalam hati Zhiya. “Ingatlah, Kutukan bisa dimusnahkan dengan cinta yang saling memilih. Tapi, Salah satu dunia dari kalian harus hancur, dan kalian hanya bisa memilih, Dunia mana yang akan kalian korbankan.” Lalu semuanya berubah gelap. Ketika Zhiya membuka mata lagi, ia sudah berada kembali di ruang tengah museum. Udara modern yang dingin menyambutnya, dan lampu keamanan berkelap-kelip di atas. Namun di jendela besar di depannya, bayangan bulan purnama masih tergantung di langit—dan di pantulan kacanya, samar-samar, ia melihat wajah Lingga berdiri di belakangnya. “Ling

  • Tawanan Hasrat Raja Lingga   Kutukan Dari Garis Leluhur

    “Mulai malam ini,” ucapnya lirih, “aku tidak ingin lagi ada jarak di antara kita.” Zhiya membuka matanya perlahan. Di sana, dalam jarak sedekat itu, ia bisa melihat segala ketulusan yang tak sempat diucapkan. “Itu berarti, aku harus siap dengan semua konsekuensinya, Lingga,” lirih Zhiya. Lingga hanya menjawab dengan genggaman yang lebih erat. Tak ada lagi kata. Yang tersisa hanyalah keheningan yang hangat—seolah dunia di luar kamar itu telah menghilang, menyisakan hanya mereka berdua dan perasaan yang akhirnya jujur. “Saat kau pasrah malam itu, itu berarti kau sudah menerima semua konsekuensinya. Benar kan?” ucap Lingga. Zhiya terdiam. “Kenapa jadi seperti ini?” Tapi seketika, rohnya kembali pada raga aslinya. Zhiya tersentak. Ia langsung mengalihkan pandangannya menuju arloji yang menggantung sempurna. “Sudah pukul 2 pagi,” gumam Zhiya. “Padahal aku merasa baru beberapa menit bertemu dengannya.” Zhiya mulai bangkit dan duduk ditepi ranjangnya dan menatap jendela bal

  • Tawanan Hasrat Raja Lingga   Pikiran yang bercabang

    “Sudah dimulai.” Seluruh tubuh Zhiya bergetar hebat saat mendengar bisikan Lingga yang sangat nyata. Gadis itu tak mampu berkatah sepata kata pun. Ia hanya menatap Lingga dengan ekspresi yang tak bisa dijelaskan. Pria itu kemudian mendekat. Mengarahkan tangannya dan mulai mengangkat tubuh mungil Zhiya. Zhiya tersentak dari lamunannya. Ia refleks mengalungkan tangan dileher Lingga dengan mata terbelalak. “Kita pulang,” lirih Lingga. Jantung Zhiya berdegup cepat begitu mendengar perkataan itu. Perkataan yang seolah membuatnya tidak bisa pergi dari dunia itu. Perkataan yang membuatnya hanyut dan ingin tinggal. Zhiya, mulai terjatuh dan mulai tidak ingin kembali ke dunia asalnya. Begitu tiba di gerbang istana, semua pengawal dan pelayan langsung bersimpuh. “Siapkan baju ganti untuk Zhiya,” ujar Lingga pada beberapa pelayan pribadinya yang ikut bersimpuh di depan gerbang. “Baik, Paduka,” ucap mereka serentak. “M-mereka benar-benar bisa melihatku?” bisik Zhiya. Lingga tak

  • Tawanan Hasrat Raja Lingga   Jalan Masuk yang semakin terbuka

    Zhiya menghela napas berat. “Aku tidak tahu… apakah aku yang memanggilmu, atau kau yang menarikku.” Lingga menatapnya tanpa kedipan. “Tidak ada pemanggilan sepihak untuk roh yang pernah terhubung,” jawab Lingga. “kita saling memanggil.” Zhiya merasakan detak jantungnya sendiri semakin lambat dan stabil. Seperti tubuhnya diselaraskan dengan ritme Sungai Bayangan. Raja Lingga mengangkat tangan, bukan menyentuh tubuh. Tetapi menyentuh lingkar bayangan yang mengelilingi Zhiya — garis tipis antara dua dunia. “Mulai sekarang… setiap kali kau tidur, dinding antar dunia akan terus menipis,” ucap Lingga. “Sungai ini akan menelan batas.” Zhiya menatap dalam, bersuara sangat pelan: “Kalau batasnya hilang… dunia mana yang akan tetap ada?” Lingga menunduk sedikit. Suaranya perlahan berubah menjadi lebih rendah — seperti gema kuil kuno. “Pada akhirnya, hanya dunia yang memilihmu… dan dunia yang kau pilih kembali… yang akan bertahan.” Sungai Bayangan itu terasa bagai ruang

  • Tawanan Hasrat Raja Lingga   Ketertarikan yang nyata

    Arga pun semakin khawatir saat melihat keringat dingin mulai membasahi pelipis Zhiya. Pria itu kemudian menyentuh tubuh Zhiya, dan menuntun Zhiya meninggalkan pameran itu. “Kita istirahat dulu,” ucap Arga. Aetheria City tampak seperti kota kaca yang terus menumbuhkan dirinya sendiri.
Gedung–gedung menjulang, dipantulkan berlapis oleh permukaan fasad transparan yang memantulkan neon biru, warna yang sama dengan kegelapan air yang selalu menarik Zhiya tiap malam. Ia berjalan pelan bersama Arga, keluar dari museum, sebelum akhirnya memilih duduk sebentar di sebuah kafe mini di pinggir distrik pusat seni kota. Di sana, suasana sunyi. Padahal ramai. Musik elektronik low ambient terdengar samar. Lampu neon biru redup memantul di permukaan meja kaca mereka. Zhiya memandang cangkir kopinya yang dingin seperti permukaan air. “Zhiya…” suara Arga pelan, lembut, sangat hati–hati. 
“Aku bilang dari awal ada sesuatu yang narik kamu. Aku bisa rasakan. sejak 2 minggu lalu.” Zhiya tidak menja

  • Tawanan Hasrat Raja Lingga   Suara Air yang memanggil

    “Kau mual?”suara Arga terdengar semakin dekat, tapi di telinga Zhiya masih terdengar seperti gelombang yang terdistorsi air. Ia merasakan darahnya mengalir lambat, bukan menurun seperti orang pingsan,tapi seperti cairan di tubuhnya sedang diselaraskan ke frekuensi yang sama dengan lukisan itu.Lukisan itu bukan artefak diam. Ia seperti portal yang ditutup paksa, lalu dibekukan dalam kanvas selama ratusan tahun.Sungai Bayangan tiba-tiba mengembalikan memori dalam benaknya. Bukan dalam mimpi, bukan dalam keadaan hampir tidur. Tapi dalam keadaan sadar berdiri di tengah museum publik.Air hitam itu seperti muncul satu bingkai dalam penglihatan mata fisiknya… langsung mengembalikan di lukisan Lingga. Dan untuk sepersekian detik, Zhiya merasa Lingga memandang tepat ke arah dirinya. Bukan mata pada lukisan, tapi roh yang masih berada di baliknya.Dunia terasa seperti sedang membalik logikanya sendiri. Zhiya memegang lengan bawahnya sendiri, berusaha stabil.Lingga menangkap gerakan itu. Ia

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status