Home / Romansa / Tawanan Hasrat Raja Lingga / Melawan kutukan bersama

Share

Melawan kutukan bersama

Author: QuinzeeQ
last update Last Updated: 2025-12-19 12:23:15

Langkah Zhiya menggema di koridor batu sayap utara istana. Semakin ia mendekat, udara semakin berat, seolah Qingzhou sendiri menahan napas. Lentera-lentera di dinding meredup satu per satu, apinya bergetar tidak stabil, bereaksi pada denyut segel yang kian liar.

Di depan Aula Segel, dua pilar kuno menjulang, dipenuhi ukiran sumpah dan darah yang telah mengering berabad-abad lalu. Pintu batu besar tertutup rapat—namun dari baliknya, cahaya merah keunguan merembes keluar melalui celah-celah tipis, berdenyut seirama dengan sesuatu yang hidup.

Zhiya berhenti sejenak. Ia menutup mata, mengatur napas.

Resonansi, teringatnya pada kata-kata di buku. Berdiri sejajar. Tidak sendiri.

Ia mengangkat tangan. Simbol di pergelangan tangannya menyala lembut, berbeda dari cahaya segel di dalam—lebih hangat, lebih tenang. Begitu telapak tangannya menyentuh pintu batu, ukiran di permukaan itu bergetar, lalu perlahan membuka diri dengan bunyi rendah, seperti geraman yang ditahan.

Aula Segel terb
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Tawanan Hasrat Raja Lingga   Kembali Ke Aetheria

    Di Qingzhou, senja belum sempat jatuh ketika Zhiya terhuyung. Kali ini bukan pusing yang bisa ia tahan dengan napas. Tarikannya datang mendadak—kuat, kasar—seperti tangan yang merenggut pergelangan kakinya dari balik kabut. Lututnya menghantam lantai kamar Lingga, suara benturannya kering dan nyata. “Zhiya!” Lingga sudah berlutut di hadapannya. Simbol di pergelangan tangan Zhiya berkilat tak beraturan, denyutnya melonjak liar. Udara di ruangan terasa berat, seolah ruang itu sendiri menolak mempertahankannya lebih lama. “Tubuhku…” Zhiya terengah, jari-jarinya mencengkeram kain jubah Lingga. “Mereka… membawaku ke rumah sakit.” Lingga menegang. Wajahnya mengeras—bukan marah, melainkan sadar. “Mereka menyentuh batas,” katanya pelan. “Tubuhmu memanggil dengan paksa.” Zhiya menggeleng lemah. “Aku belum selesai.” “Kau sudah,” jawab Lingga lembut namun tak memberi ruang bantahan. Ia mengangkat wajah Zhiya agar menatapnya. “Qingzhou aman. Jizhou mundur. Tidak ada lagi yang mengik

  • Tawanan Hasrat Raja Lingga   Tubuh Yang Tak Kunjung Sadar

    Di Aetheria, kepanikan tidak lagi bisa disamarkan sebagai kekhawatiran biasa. Arga duduk di tepi ranjang sejak entah kapan. Jam dinding sudah berpindah beberapa kali, namun Zhiya tetap tak bergerak. Napasnya masih ada—tipis, teratur dengan cara yang membuat jantung Arga justru semakin berdebar. Seperti tubuh yang bertahan hanya karena lupa bagaimana caranya berhenti. “Zhiya…” Ia menggenggam tangan perempuan itu lebih erat. Dingin. Terlalu dingin untuk seseorang yang keningnya panas. Ia berdiri, mondar-mandir di kamar sempit itu, lalu kembali lagi. Ponselnya sudah berada di tangannya sejak tadi, layar menyala dengan nomor darurat yang belum juga ia tekan. Setiap detik berlalu seperti pengkhianatan. “Kenapa kamu belum bangun?” suaranya pecah. “Kamu bilang cuma mimpi. Kamu bilang kamu bisa kembali kapan saja.” Zhiya tidak menjawab. Arga menempelkan telinganya ke dada Zhiya, memastikan detak jantung itu masih ada. Ada. Namun lemah. Seolah jaraknya semakin jauh dari dunia ini.

  • Tawanan Hasrat Raja Lingga   Keputusan Akhir

    Keheningan Aula Putih kembali menegang—namun kali ini, bukan karena sihir atau ancaman perang. Raja Jizhou berdiri perlahan. Tongkat kekuasaannya tidak lagi menjadi penopang wibawa, melainkan beban yang ditariknya dengan susah payah. Matanya tidak tertuju pada Lingga, juga tidak pada para saksi Yongzhou. Pandangannya jatuh pada lantai batu—tempat kebenaran akhirnya menuntut nama. “Cukup,” katanya pelan. Satu kata itu menghentikan segalanya. “Aku tidak datang untuk memperdebatkan ritual,” lanjutnya, suaranya serak. “Atau untuk menukar perjanjian dengan alasan kuno.” Ia mengangkat kepala, menatap lurus ke depan. “Aku datang karena kemarahanku sendiri—dan itu membuatku buta.” Bisik-bisik mereda. Bahkan napas para penjaga terdengar jelas. Raja Jizhou melangkah maju satu langkah. “Putriku, Lusi, bertindak di luar batas. Bukan sebagai tunangan Qingzhou, bukan sebagai alat politik—melainkan sebagai seseorang yang menyalahgunakan darah kerajaannya.” Zhiya merasakan dada sesaknya

  • Tawanan Hasrat Raja Lingga   Kejahatan Yang Terungkap

    Aula Putih dipenuhi cahaya siang yang dingin. Tidak ada musik. Tidak ada dupa. Hanya lantai batu pucat yang memantulkan langkah para tamu—langkah yang terukur, sarat makna. Bendera Qingzhou berdiri di tengah, diapit panji Jizhou dan Yongzhou, disusun sejajar, tak satu pun lebih tinggi. Konfrontasi antar kerajaan dimulai tanpa aba-aba. Raja Jizhou memasuki aula dengan jubah biru tua berbordir emas, wajahnya keras, matanya menyapu ruangan seolah sedang menghitung kemenangan. Di belakangnya, para menteri dan jenderal berdiri kaku. Dari sisi lain, perwakilan Yongzhou duduk tenang—datang sebagai saksi, bukan pihak. Lingga berdiri di pusat aula. Tidak di singgasana. Zhiya berdiri setengah langkah di belakangnya. “Aku menuntut penjelasan terakhir,” suara Raja Jizhou menggema, dingin dan tajam. “Putriku—tunanganmu—dikurung tanpa pengadilan. Aliansi diinjak. Kehormatan Jizhou dipermalukan.” Hening menegang. Beberapa pasang mata beralih ke Zhiya, mengenalinya sebagai inti dari semua d

  • Tawanan Hasrat Raja Lingga   Roh Zhiya Mulai Goyah

    Di Aetheria, waktu berjalan tanpa menunggu siapa pun. Apartemen Zhiya sunyi—terlalu sunyi. Tirai jendela masih tertutup sejak pagi, dan tidak ada balasan dari pesan Arga sejak semalam. Awalnya ia mengira Zhiya hanya kelelahan. Namun ketika siang bergeser ke sore dan telepon tetap tak terangkat, kegelisahan itu berubah menjadi firasat buruk. Arga berdiri di depan pintu apartemen dengan napas tertahan. Ia menekan bel sekali. Tidak ada jawaban. Sekali lagi. Tetap sunyi. “Zhiya…” panggilnya pelan, lalu lebih keras. Ia membuka pintu dengan kunci cadangan yang pernah Zhiya titipkan untuk keadaan darurat. Udara di dalam terasa pengap—bukan panas, melainkan stagnan. Lampu mati. Jam dinding berdetak lambat, terlalu nyaring di tengah keheningan. Arga melangkah masuk, jantungnya berdebar cepat. “Zhiya?” Ia menemukannya di kamar. Zhiya terbaring di ranjang, mata terpejam, wajahnya pucat. Napasnya ada—namun dangkal, seolah tubuhnya hanya mengingat kewajibannya untuk bertahan. Ujung j

  • Tawanan Hasrat Raja Lingga   Pertemuan 3 kerajaan

    Tekanan dari Jizhou tidak berhenti pada surat. Tiga hari kemudian, bendera biru-perak Jizhou terlihat dari menara pengawas barat Qingzhou—berbaris rapi di kejauhan, cukup jauh untuk disebut “kunjungan”, cukup dekat untuk disebut ancaman. Genderang tidak ditabuh, panji perang tidak dikibarkan, namun pesan itu jelas: kami menunggu perintahmu menyerah. Di ruang strategi, para penasihat berkumpul. Peta terbentang di meja batu, batu-batu penanda digeser perlahan. Lingga berdiri di ujung meja, wajahnya tenang, suaranya tegas. “Qingzhou tidak akan memindahkan Putri Lusi,” katanya. “Dan tidak akan menyerahkan siapa pun.” Seorang menteri tua menarik napas berat. “Yang Mulia, Jizhou tidak akan mundur tanpa simbol kemenangan. Mereka menginginkan wajah.” Semua mata beralih—tanpa disadari—ke arah Zhiya yang berdiri sedikit di belakang Lingga. Zhiya melangkah maju sebelum Lingga sempat bicara. “Aku tidak akan menjadi simbol siapa pun,” katanya tenang. “Namun aku bersedia menjadi alasan.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status