Se connecterAula Putih dipenuhi cahaya siang yang dingin. Tidak ada musik. Tidak ada dupa. Hanya lantai batu pucat yang memantulkan langkah para tamu—langkah yang terukur, sarat makna. Bendera Qingzhou berdiri di tengah, diapit panji Jizhou dan Yongzhou, disusun sejajar, tak satu pun lebih tinggi. Konfrontasi antar kerajaan dimulai tanpa aba-aba. Raja Jizhou memasuki aula dengan jubah biru tua berbordir emas, wajahnya keras, matanya menyapu ruangan seolah sedang menghitung kemenangan. Di belakangnya, para menteri dan jenderal berdiri kaku. Dari sisi lain, perwakilan Yongzhou duduk tenang—datang sebagai saksi, bukan pihak. Lingga berdiri di pusat aula. Tidak di singgasana. Zhiya berdiri setengah langkah di belakangnya. “Aku menuntut penjelasan terakhir,” suara Raja Jizhou menggema, dingin dan tajam. “Putriku—tunanganmu—dikurung tanpa pengadilan. Aliansi diinjak. Kehormatan Jizhou dipermalukan.” Hening menegang. Beberapa pasang mata beralih ke Zhiya, mengenalinya sebagai inti dari semua d
Di Aetheria, waktu berjalan tanpa menunggu siapa pun. Apartemen Zhiya sunyi—terlalu sunyi. Tirai jendela masih tertutup sejak pagi, dan tidak ada balasan dari pesan Arga sejak semalam. Awalnya ia mengira Zhiya hanya kelelahan. Namun ketika siang bergeser ke sore dan telepon tetap tak terangkat, kegelisahan itu berubah menjadi firasat buruk. Arga berdiri di depan pintu apartemen dengan napas tertahan. Ia menekan bel sekali. Tidak ada jawaban. Sekali lagi. Tetap sunyi. “Zhiya…” panggilnya pelan, lalu lebih keras. Ia membuka pintu dengan kunci cadangan yang pernah Zhiya titipkan untuk keadaan darurat. Udara di dalam terasa pengap—bukan panas, melainkan stagnan. Lampu mati. Jam dinding berdetak lambat, terlalu nyaring di tengah keheningan. Arga melangkah masuk, jantungnya berdebar cepat. “Zhiya?” Ia menemukannya di kamar. Zhiya terbaring di ranjang, mata terpejam, wajahnya pucat. Napasnya ada—namun dangkal, seolah tubuhnya hanya mengingat kewajibannya untuk bertahan. Ujung j
Tekanan dari Jizhou tidak berhenti pada surat. Tiga hari kemudian, bendera biru-perak Jizhou terlihat dari menara pengawas barat Qingzhou—berbaris rapi di kejauhan, cukup jauh untuk disebut “kunjungan”, cukup dekat untuk disebut ancaman. Genderang tidak ditabuh, panji perang tidak dikibarkan, namun pesan itu jelas: kami menunggu perintahmu menyerah. Di ruang strategi, para penasihat berkumpul. Peta terbentang di meja batu, batu-batu penanda digeser perlahan. Lingga berdiri di ujung meja, wajahnya tenang, suaranya tegas. “Qingzhou tidak akan memindahkan Putri Lusi,” katanya. “Dan tidak akan menyerahkan siapa pun.” Seorang menteri tua menarik napas berat. “Yang Mulia, Jizhou tidak akan mundur tanpa simbol kemenangan. Mereka menginginkan wajah.” Semua mata beralih—tanpa disadari—ke arah Zhiya yang berdiri sedikit di belakang Lingga. Zhiya melangkah maju sebelum Lingga sempat bicara. “Aku tidak akan menjadi simbol siapa pun,” katanya tenang. “Namun aku bersedia menjadi alasan.
Ketenangan pagi itu tidak bertahan lama. Seusai sarapan, suara langkah cepat memecah ritme istana. Seorang pengawal masuk dengan wajah tegang, berlutut di ambang pintu ruang dalam. “Yang Mulia,” katanya, “utusan dari Kerajaan Jizhou telah tiba. Mereka menuntut penjelasan.” Lingga berdiri, ekspresinya langsung berubah—tenang, namun mengeras di sudut-sudutnya. “Tentang apa.” “Putri Lusi,” jawab pengawal itu hati-hati. “Mereka mempertanyakan mengapa ia masih ditempatkan di Istana Dingin.” Zhiya yang berdiri di dekat jendela merasakan hawa ruangan menurun. Nama itu bukan asing. Istana Dingin—tempat yang tidak digunakan untuk menghukum secara resmi, namun cukup untuk membuat seseorang dilupakan. “Mereka meminta audiensi langsung,” lanjut pengawal. “Dan… nada mereka tidak bersahabat.” Lingga mengangguk singkat. “Siapkan Aula Timur. Aku akan menemui mereka.” Pengawal mundur. Lingga berbalik dan mendapati Zhiya menatapnya dengan sorot penuh pertanyaan—bukan tuduhan, melainkan ke
Pagi datang di Qingzhou dengan sunyi yang berbeda. Zhiya membuka mata perlahan—bukan oleh deru kendaraan atau cahaya dingin Aetheria, melainkan oleh sinar pucat yang menembus kisi jendela kayu. Udara terasa lembap dan sejuk, membawa aroma embun, batu, dan daun pinus. Untuk sesaat, ia bingung… lalu kesadaran itu jatuh dengan lembut. Ini Qingzhou. Ia bangkit setengah duduk, selimut tipis melorot dari bahunya. Tubuh rohnya terasa lebih ringan dari malam sebelumnya, meski masih menyisakan letih yang dalam. Yang membuatnya terdiam adalah satu hal sederhana namun menggetarkan—ia masih di sini. Bukan terlempar kembali ke Aetheria. Bukan terbangun dengan napas tersengal di apartemen sunyi. Zhiya menatap tangannya. Simbol di pergelangan tidak menyala, tidak pula memudar—ia stabil, tenang, seolah mengakui keberadaannya di dunia ini lebih lama dari biasanya. Pintu kamar terbuka perlahan. Lingga masuk dengan langkah tenang, membawa baki kecil berisi teh hangat. Saat melihat Zhiya
Malam turun perlahan ketika mereka kembali ke dalam tembok kota. Lentera-lentera menyala di sepanjang jalan, cahayanya memantul di batu basah dan kanal yang tenang. Qingzhou bernafas dalam ritme malam—lebih pelan, lebih intim. Di gerbang istana, Lingga berhenti sejenak. “Ada satu tempat lagi,” katanya. “Jika kau tidak lelah.” Zhiya menggeleng. “Aku ingin melihatnya.” Mereka menyusuri jalur samping menuju taman dalam—bukan taman upacara, melainkan halaman tua yang jarang dilewati. Pohon-pohon pinus berdiri rapat, daunnya berdesir lirih. Di tengahnya, sebuah paviliun kayu kecil menghadap kolam gelap yang memantulkan bintang. “Aku sering ke sini saat keputusan terasa terlalu berat,” ujar Lingga. “Tidak ada saksi. Tidak ada sejarah.” Zhiya duduk di tepi paviliun, menatap air. “Di dunia asalku, aku mencari tempat seperti ini di antara gedung-gedung tinggi. Sepi yang jujur.” Lingga ikut duduk, menjaga jarak yang sama seperti tadi—cukup dekat. “Apa yang paling kau takutkan sekara







