:)
Di tengah kerumunan orang yang hanya bisa terpana menyaksikan aksi Hazel menghajar si pencuri, gadis itu berhasil merebut kembali ponselnya. Wajah pria itu memar, nafasnya terengah-engah. Jelas, dia tak menyangka korbannya justru akan membalikkan keadaan. Hazel bahkan sempat menggenggam kerah bajunya, siap menyeretnya ke kantor polisi. Tapi si pencuri, dengan sisa tenaga yang dimiliki, melepaskan diri dan melesat kabur.Hazel tidak mengejar. Toh, yang ia inginkan sudah kembali. Tapi darahnya masih mendidih. Tangannya mengepal, matanya menyala seperti bara. Hari ini benar-benar bukan harinya untuk macam-macam.Dari dalam mobil hitam yang diparkir tak jauh, Xavier mengamati semuanya dengan senyum puas. 'Ternyata kucing liarku punya cakar yang tajam.'Hazel tidak lemah. Bahkan, ia bisa melindungi dirinya sendiri. Tapi Xavier tahu, kemampuannya masih jauh dari cukup. Dan justru itu yang membuatnya semakin tertarik."Kita pergi sekarang?" Kevin bertanya, suaranya datar.Tapi Xavier tidak m
"Kau membiarkan dia tahu bahwa kamera di apartemennya adalah ulahmu?" Kevin menyeringai, suaranya rendah tapi penuh makna. Sebagai orang yang paling dekat dengan Xavier, ia tahu betul bagaimana pria itu bermain api.Xavier tidak langsung menjawab. Ia duduk dengan santai di kursi kulit mahalnya, satu kaki disilangkan, sementara pandangannya terpaku pada layar iPad di tangannya. Di sana, Hazel tampak tengah mengacak-acak apartemennya sendiri, matanya liar, langkahnya cepat dan penuh emosi. Dua dari empat kamera tersembunyi telah ditemukan dan dicabut dengan amarah yang hampir bisa terasa melalui layar. Namun Xavier hanya tersenyum kecil.Dua lagi masih aman, pikirnya. Termasuk satu yang terpasang tepat di atas tempat tidur Hazel, tempat favoritnya untuk mengamati setiap ekspresi perempuan itu, mulai dari frustasi, kewaspadaan, sampai ketika perempuan itu menggunakan koleksi vibratornya.“Lihat dia...” gumam Xavier, suaranya serak oleh hasrat yang dipendam. "Lihat bagaimana dia marah. Ak
Sepanjang malam, Hazel tidak bisa tidur memikirkan apakah benar yang menyusup ke dalam apartemennya adalah Xavier? Namun kenapa pria itu melakukannya? Apa dia sudah tidak waras lagi sampai masuk di kediaman seseorang tanpa permisi seperti ini?Tiba di pagi hari yang menyambut kesibukan Hazel, ia tetap bekerja sebagaimana mestinya selama Jacob belum bangkit dari ranjang rumah sakit. Dari pagi hingga malam, Hazel disibukkan dengan pertemuan dan juga dokumen yang datang silih berganti, tubuhnya lelah saat ia kembali tiba di apartemen saat pukul tujuh malam.Tapi sekali lagi ia mencium aroma yang tidak asing itu ada di sana, ia melangkah menuju kamarnya dan mendapatkan secarik kertas tergeletak di atas mejanya."Kau tidak akan bisa kemana mana, sayangku."Hazel meremas kertas tersebut sampai tidak berbentuk lagi, ia semakin yakin kalau pelakunya adalah Xavier. Tanpa pikir dua kali, Hazel langsung pergi ke apartemen Xavier malam itu juga dengan perasaan marah.Dan seolah tau kalau Hazel ak
Dua hari, waktu yang Hazel gunakan untuk tidak pulang ke apartemennya. Dan hari ini, ia pulang ke apartemen dengan pandangan waspada. Matanya melihat setiap barang yang ada di kamarnya, ia hafal setiap tempat barang-barang ditempatkan, jadi jika bergeser sedikit saja, ia pasti akan mengetahui hal itu."Apa yang dia cari di sini? Tidak mungkin dia menyusup begitu saja tanpa alasan," gumamnya, suara rendah yang hampir seperti desisan ular. Tasnya ia letakkan di meja dengan gerakan tegas, lalu ia mulai menggeledah. Setiap laci, setiap celah, bahkan ruang tersempit sekalipun tak luput dari pemeriksaannya. Ruang tamu, kamar tidur, hingga sudut yang paling gelap, semuanya ia bolak-balik dengan cermat.Ketika kelelahan mulai menyerang, Hazel menjatuhkan diri di tepi ranjang, tangan menggenggam helai rambutnya yang acak-acakan. "Tidak ada. Tidak ada apa-apa," pikirnya, frustasi.Tapi kemudian, saat matanya nyaris menyerah, sesuatu menangkap perhatiannya, sebuah titik merah kecil, samar, berse
Beberapa waktu telah berlalu sejak kecelakaan yang membuat Jacob terbaring koma. Dalam keadaan seperti itu, Hazel mengambil alih tanggung jawab yang ditinggalkan Jacob, memikul beban pekerjaan yang biasanya mereka tangani bersama. Hari-harinya kini dipenuhi laporan, rapat mendadak, dan kunjungan rutin ke rumah sakit untuk memeriksa keadaan Jacob yang belum menunjukkan tanda-tanda sadar. Sudah satu minggu, dan Luna selalu setia datang untuk menemani Jacob.Dengan tubuh nyaris remuk karena kelelahan, Hazel akhirnya tiba di apartemennya. Ia berdiri mematung di depan pintu, sesuatu menusuk indra penciumannya. Aroma yang asing sekaligus familiar. Parfum pria. Dan bukan sembarang parfum. Itu aroma yang pernah dia kenal. Aromanya tajam, maskulin, meninggalkan jejak samar di udara."Apa... ada orang masuk ke sini?" pikir Hazel, instingnya seketika waspada.Tangannya bergerak cepat menuju sebuah laci tersembunyi di balik dinding dekat pintu masuk. Ia mengeluarkan senjata api yang biasa ia gunak
Apartemen sepi, Xavier sudah pergi. Tanpa menunda kesempatan, Hazel beringsut pergi, meninggalkan kenangan panas yang masih membakar kulitnya. Baju Xavier yang ia kenakan terlalu besar, tapi setidaknya menutupi bekas-bekas nafsu yang tertinggal di tubuhnya.Tapi ada sesuatu yang tak bisa ia tinggalkan.Bagian bawahnya masih basah.Sangat basah.Setiap langkahnya mengingatkannya pada sentuhan Xavier, pada cara jari-jari pria itu menyusup ke dalam, merenggut kepuasan yang tak sempat ia raih.Hazel menggigit bibir, tangan gemetar saat menekan tombol lift. Ia menahan geraman kekesalan, tapi pipinya memerah saat kenangan itu kembali menghantam.Lift turun perlahan.Dan di dalam kegelapan itu, imajinasinya mulai bermain.Bayangan Xavier.Sentuhannya.Tatapannya."Tidak..." Hazel menggeleng, tapi tangannya sudah merayap ke bawah, menyentuh area yang masih berdenyut-denyut."Aku benci kau, Xavier..."Tapi disisi lain pikirannya berkata lain.Hazel merasa tidak nyaman, bagian bawahnya masih ba
Hazel mulai panik, ia tak bisa menghindari Xavier. Pria itu memancingnya, membuatnya tak bisa menahan diri atas tubuhnya sendiri. Darahnya seakan mengalirkan api yang membakar kulitnya, ia menggigit bibirnya, menahan desahan yang memaksa keluar dari bibirnya.Tubuhnya bergetar, ia mencoba untuk melawan tapi ternyata Xavier masih kuat mencengkram tangannya yang tidak terikat. Pria ini terlalu kuat, usaha yang Hazel kerahkan rasanya sia-sia saja."Xavier, apa kau sudah gila?!" pekik Hazel, suaranya bergetar karena marah dan malu."Lebih dari itu," balas Xavier. Alih-alih mendengarkan, ia justru semakin senang membuat Hazel meronta, ia menekan jarinya semakin dalam, menyentuh area titik G-spot Hazel hingga membuat tubuh perempuan itu meliuk menahan sentuh tersebut.Xavier menyeringai, perempuan ini akan patuh padanya, setidaknya untuk malam ini, dan sebelum itu, Xavier sangat suka ketika Hazel melakukan perlawanan."Hentikan, brengsek!""Apa yang harus aku hentikan, hm? Katakan dengan ben
"Masuk!"Dengan satu dorongan kasar, tubuh Hazel terlempar ke dalam kabin mobil mewah yang gelap. Sebelum dia sempat mengatur keseimbangan, Xavier sudah menyusul dengan gerakan gesit, tubuh perkasanya memenuhi ruang sempit hingga Hazel bisa mencium aroma cedarwood dan bahaya yang melekat pada pria itu."Jalan," Xavier memerintahkan dengan suara dingin yang membuat sopir segera menginjak gas.Hazel menggeser posisi, tangan meraih gagang pintu. "Kau gila—"Klik.Suara penguncian sentral menggema. Xavier dengan santai menutup pembatas, memisahkan mereka dari supir. Ruangan tiba-tiba terasa lebih panas, lebih sesak."Apa yang sebenarnya kau inginkan dariku?" Hazel mendesis, suaranya gemetar antara marah dan sesuatu yang lain, sesuatu yang membuat Xavier tersenyum.Dengan gerakan predator, tangan Xavier meraih dagu Hazel. "Kau sudah tahu jawabannya, kau yang aku inginkan." bisiknya, nafasnya menghangatkan kulit Hazel. Jari-jarinya yang kasar menyusuri garis rahang gadis itu, turun ke leher
"Aku tidak butuh bantuanmu!" geram Hazel, suaranya mengiris dingin seketika setelah Neil menghilang dari pandangannya. Tangannya mengepal, kuku-kukunya menancap di telapak tangan sendiri, seolah berusaha menahan amarah yang mendidih.Xavier tak segera merespons. Dengan gerakan lambat, ia menoleh padanya, satu alisnya terangkat sinis, bibirnya menyungging senyum yang membuat Hazel ingin muntah."Kalau begitu," ujarnya, suaranya seperti madu beracun, "aku akan memberitahu mantan kekasihmu bahwa kau benar-benar datang sendirian. Bayangkan betapa senangnya dia menertawakanmu."Hazel menghela nafas kasar, memutuskan untuk mengabaikannya. Malam ini sudah cukup buruk, Neil yang menyebalkan, Xavier yang menjengkelkan, ia tak punya niat untuk kembali ke pesta itu. Langkahnya cepat, meninggalkan Xavier di belakang, tapi pria itu seperti bayangan yang tak bisa ia hindari.Saat Hazel melintasi koridor panjang yang sepi, langkah berat Xavier menyusul dari belakang. Tanpa peringatan, tangan kuat itu