Rumah Dirga tak banyak berubah. Hanya semakin mengingatkannya pada rumah Saga. Rumah tingkat dua, halaman berumput yang luas dan terawat, serta mobil-mobil mewah yang terparkir di garasi tak jauh dari mobil mereka berhenti. Pintu mobil dibuka oleh pengawal, Sesil turun dan udara malam yang menerpa wajahnya sekali lagi memberikan kesegaran. Berbeda dengan udara yang melingkupi lingkungan rumahnya. Mungkin karena banyaknya tanaman-tanaman yang menghiasi teras, atau karena air mancur yang ada di dekat mereka. Uang Dirga melakukan tugasnya dengan sangat baik.
“Bawa ke kamarku!” perintah Dirga pada salah satu pengawal yang kini membawa dua kardus barang Sesil dan satu pengawal yang lain tengah menarik koper kecil Sesil dari bagasi.
Sesil menoleh dan berjalan mendekati kedua pengawal itu. “Bisakah aku mendapatkan kamarku sendiri?”
Dirga menatap Sesil dengan pandangan bertanya.
“Aku hanya butuh waktu.” Sesil menunggu dengan te
“Bagaimana hidupmu?”Sesil menoleh. Berhenti mengamati ruang pribadi yang dipesan Saga dengan pemandangan danau dan udara yang sejuk itu. Di area terbuka tapi sangat pribadi mengingat ia tak melihat meja-meja lain di sekitar mereka. Saga dan Dirga memiliki gaya hidup yang sama. Tak segan-segan menghamburkan uang untuk hal-hal semacam ini.“Baik,” jawaban Sesil singkat dan dingin.Saga menaikkan salah satu alisnya, meragukan serta mencemooh jawaban Sesil dalam seringainya. “Seharusnya hidupmu jauh lebih baik setelah perpisahan yang kauinginkan.”“Aku baik-baik saja, Saga. Dan kalaupun tidak baik, itu semua bukan urusanmu.”“Hmm, baiklah.” Tanggapan Saga santai.Dua pelayan datang dan meletakkan menu untuk mereka. Sesil memilih menu yang ia pikir bisa dihabiskannya secepat mungkin. Namun, nama-nama makanan itu membuat kepalanya pusing dengan bahasa yang membuat lidahnya terpeleset. Be
Sesil tahu seharusnya ia mengabaikan peringatan dibungkus hadiah yang dijanjikan Saga. Dengan cemas ia menggenggam ponsel di tangannya. Berkali-kali menengok ponsel tersebut. Menunggu, ya. Ia tahu hadiah dari Saga bukanlah hal yang bagus. Pria itu sengaja menunda apa pun yang akan diberikan padanya hanya untuk membuatnya gugup.Lalu denting salah satu aplikasi chatnya berbunyi. Ponsel itu hampir meluncur ke lantai karena keterkejutan Sesil. Sesil menyentuh notif yang muncul. Keningnya berkerut.“Video?” lirih Sesil. Dan mulai memutar file tersebut.Mata Sesil membeliak lebar. Tangannya membekap mulutnya. Kata-kata Saga tadi siang berjejalan menghampiri otaknya dengan beruntun.“Kisah kita bahkan belum dimulai, Sesil. Bagaimana kau mengatakan selesai?”“Aku baru saja menghadiri pesta ulang tahun keluarga yang sangat meriah dan ... cukup hangat.”“Kita bersulang. Untuk an
“Kau benar-benar istri yang manis, Sesil.” Jemari Saga menelusuri punggung Sesil yang telanjang denga sentuhan seringan bulu. Berhenti di pinggang dan kembali lagi ke atas. Menyentuh tanda merah yang diberikannya di leher dengan kepuasan tak terkira. “Kau hanya menyerahkan tubuhmu untuk satu orang. Bolehkah aku merasa istimewa?”Sesil bergeming. Ya hanya Sagalah yang menyentuh tubuhnya seintim ini. Hanya Saga yang ia biarkan mengetahui bagian-bagian tersembunyi di tubuhnya. Hal itulah yang membuatnya tak tahan menatap wajah pria itu lebih lama. Hanya akan memperjelas perasaannya sebagai wanita yang jatuh di kaki Saga dengan cara paling menyedihkan.Segera setelah Saga menyelesaikan gairah pada tubuhnya dan memisahkan tubuh mereka. Sementara pria itu masih berbaring telentang di sampingnya, menikmati sisa-sisa kenikmatan sambil mengatur napas, Sesil berbalik memunggungi pria itu. Menarik selimut menutupi tubuhnya yang telanjang. Hanya untuk
“Hanya karena dia suka omelet, kau tidak bisa membuatnya sesuka hatimu, Sesil. Dia punya jadwal makanannya sendiri.” Saga muncul di dapur. Setelah kemarin ia memberi ijin Sesil membuatkan omelet untuk Kei, pagi ini wanita itu bangun lebih awal hanya untuk menyelinap ke dapur dan membuat kokinya kehilangan kuasa.Sesil berhenti mengaduk-aduk telur yang ada di pan. Wajahnya mengerut kecewa saat mengeluarkan protes. “Dia menyukainya.”“Omeletmu kacau, Sesil. Jangan racuni anakku lagi.”“Dia memakannya.”“Dia memang. Tapi jangan menyiksanya lebih jauh lagi.”Sesil mengelak. “Tidak separah itu, Saga!”“Apa kau tahu dia juga ikut kelas memasak pertamanya untuk anak-anak, beberapa hari yang lalu. Dan rasa makanannya tak separah milikmu.”“Ta ....”“Ck ck, menikahimu selama hampir empat tahun, aku tak pernah mengira kau benar-benar kac
“Kau mengatakan dirimu bukan Rega, tapi lihatlah. Kau bersikap seolah ingin menjadi Rega di antara kami. Dan jujur, itu membuatku muak padamu, Sesil,” papar Saga frustrasi. Sesil berhasil menyusulnya di ruang kerja, mengejarnya dengan kata-kata yang semakin membuat hati Saga melonjak. Empat tahun lalu Sesil mengungkit Rega untuk pergi dari rumah ini, apa sekarang wanita itu menggunakan taktik yang sama untuk mendapatkan Kei?Sesil memikirkan kata-kata Saga dalam diam. Apakah ia memang terlihat seperti itu? Ia tahu permusuhan di antara Dirga dan Saga tak akan mereda semudah itu. Bahkan ia tak pernah bermimpi akan bisa meredakan kebencian mereka berdua. Hanya saja, “Dirga mencintaiku dengan tulus.”Saga menggeram. Kedua tangannya mengepal keras dan siap melempar layar komputer di meja kerjanya ke lantai sekarang juga. “Apa sekarang kau berniat mulai bersikap menjijikkan, Sesil?”“Dia juga mencintai adikmu dengan tulus.&rdq
“Kenapa dia belum bangun?!” murka Saga pada dua orang dokter dan dua perawat yang tengah berdiri di depannya. Membuat keempat orang itu semakin menundukkan kepala.“Kami melakukan yang terbaik yang kami bisa.” Salah satu dokter memberanikan diri menjawab.“Jawaban yang bagus, Dok.” Saga meraih pistol di pinggang dan tak bisa menghalangi keinginannya untuk memecahkan kepala dokter sialan itu.“Saga!!” Alec menerjang tubuh Saga ke dinding. Menahan tangan pria itu yang mengacungkan pistol ke arah dokter yang bersuara. “Pergi kalian semua!”Keempat petugas medis itu lari terbirit secepat kaki mereka melangkah.Alec bersyukur Saga dalam kondisi mental yang kurang sehat, sehingga kekuatan tubuh pria itu tak melebihi dirinya. Menahan tangan pria itu dan menjatuhkan pistol dalam genggaman Saga jatuh ke lantai sebelum menendangnya menjauh dari mereka berdua. “Kau benar-benar sudah gila,
“Aku ingin pulang. Kapan aku boleh pulang?” gumam Sesil pagi itu di hari kelima. Memar-memarnya sudah menghilang, sakit di kakinya juga sudah menunjukkan perkembangan yang sangat baik, tapi Saga bersikeras tak membiarkannya pulang ke rumah.“Sampai kakimu benar-benar sembuh,” tegas Saga.“Dokter bilang itu akan sembuh dalam beberapa minggu. Aku tak mau menunggu selama itu dan tinggal di sini, Saga,” rajuk Sesil. “Itu bisa dilakukan di rumah.”Saga akhirnya mengabulkan permohonan Sesil di usaha yang ke delapan. Denga syarat Sesil hanya boleh berbaring di ranjang. Tanpa melakukan apa pun.“Memangnya apa yang bisa kulakukan dengan kakiku yang sakit,” yakin Sesil yang membuat Saga akhirnya mengangguk. Ya, meski itu juga tak akan menghalanginya untuk melakukan sesuatu jika Saga tak ada. Berbaring hanya membuat tulang-tulangnya kaku dan sulit digerakkan. Bahkan ia bisa berdiri dengan tegak di kamar man
Alec hanya diam. Matanya mengamati dari atas ke bawah pada tubuh Saga yang baru keluar dari kamar. Rambut basah, di siang hari seperti ini. “Sepertinya tidak lama lagi aku akan mendapatkan keponakan baru lagi,” gumam Alec. Saga tersenyum simpul. Alec masih belum terbiasa dengan senyum simpul yang tersungging di bibi Saga, tapi ia akan segera terbiasa. “Aku berharap kali ini keponakanku perempuan, Saga. Mungkin sikap pembangkang Sesil bisa menurun sedikit. Kei sangat membosankan dengan sikap penurutnya. Kenapa anak itu tak pernah membuat masalah?” “Apa kauingin mati?!” “Aku hanya mengungkapkan pendapatku.” Saga mengulurkan secarik kertas putih pada Alec. Mengingat tujuannya menyuruh pria itu datang kemari. “Pastikan dia sendiri yang menerima ini.” Alec mengambil kertas itu. Membuka lipatannya dan membacanya dengan kerutan di kedua alisn. Menatap Saga lagi penuh tanya. “Makam Rega?” “Berikan itu padanya.” Alec tercenung. Masih bertanya-tanya meski t