Share

4 Tempat Terakhir Yang Ingin Kududuki

Setelah sekitar 30 menit duduk bersama si raja neraka dengan hening di dalam mobil. Aku merasakan mobil ini berhenti, tapi aku tidak tau ini dimana. Karena sepanjang jalan aku hanya bergelut dengan gelisahku.

Aku memikirkan hutang keluargaku, memikirkan apa yang akan dia lakukan padaku dan bantuan seperti apa yang akan dia berikan. Semua itu hanya bisa kuraba dalam ilusiku.

Tiba-tiba asisten pribadi Pak Harvey, bernama Panji yang tadinya duduk di barisan depan dengan tenang, keluar dari mobil, membukakan pintu untukku, mempersilahkanku turun.

Begitu aku turun dari mobil dan membalikkan punggungku, “jet pribadi?"

Gila, aku baru dadar dan tak percaya, di atas hamparan aspal yang luas di hadapanku, terparkir sebuah jet pribadi milik Adamindo Group. Bukankah ini terlalu membingungkan? Buat apa aku disini?

Kita mau menikah di bali, atau bagaimana? Aku bahkan belum siap, siapa walinya, apa maksud dari semua ini?

Sontak aku melangkah mundur, tapi seorang pramugari datang dan tersenyum padaku, "Nona Prilly." Sapanya.

Aku menatapnya curiga. Aku takut mereka melakukan kekerasan padaku.

“Silahkan!”

Aku menatap pramugari itu sambil perlahan menggelengkan kepalaku dan reflek mundur.

Namun, seolah tak peduli, Panji tetap menggiring ku menuju pesawat yang terparkir di hadapan kami dengan senyumnya .

Aku merasa seperti dikelilingi kawanan harimau ketika melihat ke arah Pak Harvey yang sedang berjalan menuju pesawat lebih dulu.

Sial, aku sempat berpikiran untuk kabur, tapi apa coba yang akan si Raja neraka ini lakukan padaku seandainya aku kabur? Apa dia tidak akan membunuhku?

Aku benar-benar merasa tak punya pilihan, hanya bisa terdiam sambil meraba hal yang akan terjadi setelah ini, sambil berjalan dengan patuh.

Berjalan di bawah terik matahari lapangan lepas landas yang menyilaukan, aku mengusap wajahku kasar. Semua ini seperti mimpi. Aku akan segera naik ke dalam pesawat jet pribadi dengan seorang Harvey Adam, lalu katanya dia akan menikahiku.

Oh ya Tuhan, dia mau menolongku apa menculikku?

***

Sudah sekitar 10 menit setelah lepas landas. Aku masih tidak berani beranjak dari tempatku.

Awalnya aku hanya malas duduk bersama dengan Raja Neraka dan memilih duduk di atas wc duduk dalam toilet saja. Namun setelah pesawat naik, sial… aku baru ingat kalau aku takut ketinggian.

Alhasil, seketika sakit kepala menyerang, jantungku berdegup kencang dan napasku menjadi berat.

Aku tidak tahu harus berbuat apa. Untuk berteriak pun rasanya aku tak sanggup. Ini menakutkan, tubuhku lunglai.

Tak lama, suara pria terdengar dari luar kamar mandi. Ia mengetuk dua kali kemudian berkata, “excuse me. Kamu di dalam?”

Aku pun segera berusaha membuka kunci pintu kamar mandi.

Pak Harvey segera mendorongnya, dia melihatku dan seketika itu, ekspresi bingung di wajahnya muncul. Sedangkan aku hanya bisa menatapnya sambil kesulitan bernapas dan merasakan lemas. Berpegangan erat pada satu dinding disana.

Namun tiba-tiba ia tersenyum konyol, “Ini lelucon? Kenapa kamu masih disini?”

Aku mau menjawab, tapi leherku benar-benar seperti tercekat. Napasku semakin sesak ketika aku semakin berusaha untuk mengatakan sesuatu.

Tak kusangka, Pak Harvey segera meraih kedua tanganku, berjongkok mensejajarkan diri untuk lebih dekat melihat wajah ku, kemudian menggenggam erat kedua tanganku.

Aku yakin dia telah memahami apa yang kualami dan aku merasa sedikit lega.

“Lihat mataku, lihat mataku, Ily!” Aku mendengar instruksinya. Namun entah kenapa rasanya aku begitu sulit untuk menginstruksi seluruh indraku menggunakan otakku.

Untungnya, setelah beberapa kali mencoba, aku akhirnya mendapatkan fokusku kembali. Pak Harvey pun segera menatap mataku, “ayo ikuti aku, tarik napas dalam dari hidung!”

Aku pun mengikuti instruksinya. “Buang perlahan dari mulut!”

“Lakukan lag!” Terang Pak Harvey.

Kami pun mengulanginya hingga tiga kali.

Setelahnya Aku merasa lebih tenang, “sudah lebih baik?”

Aku mengangguk, “saya sulit bernafas tadi. Claustrophobia saya kambuh rupanya, Pak.”

“Kemarilah, ikut dengan saya. Kita pindah ke tempat duduk agar kamu lebih nyaman.” Tiba-tiba Pak Harvey merangkul pundakku, membantuku berdiri lalu memapahku dalam pelukannya. Ini membuatku canggung. Namun tak kusangka, pelukan seorang Raja neraka lumayan memberiku rasa nyaman.

Setelah beberapa saat dalam pelukan Pak Harvey, Aku seakan terbuai. Aku sempat lupa jika yang memelukku saat ini adalah Harvey Adam. Si pengacau hidupku.

Meski begitu tampan, tidak ada satu bagian tubuh Pak Harvey pun yang membuat Aku kagum selama ini, bahkan melihat jambang tipisnya dari jauh saja membuat ku kesal. Namun apa yang terjadi saat ini, kenapa Aku merasa rambut tipis yang tersebar dari pipi hingga leher Pak Harvey terlihat begitu seksi.

Pak Harvey membantuku duduk. Mengambilkanku secangkir teh yang telah tersedia di meja lipat depan kami.

“Apa kamu baik-baik saja?” Tanyanya saat aku menyesap teh dalam cangkir.

“Iya, saya baik-baik saja.” Aku mengusap dahiku dan mengipas wajah dengan tanganku. Sepertinya sekarang kecemasanku bukan soal ketinggian lagi, tapi karena kesetrum pelukannya.

Namun setelah itu aku kembali terkejut. tiba-tiba Pak Harvey duduk menyamping, dengan serius dia membantu memasang sabuk pengaman di perut Ku.

Astaga… kami kembali sedekat ini. Aku malu!

Apa lagi ketika tatapan kami bertemu, hatiku semakin tak karuan. Untungnya dia begitu tenang. Namun tak dipungkiri, aku merasakan sensualitas pria ini lewat bau parfum mahalnya yang sudah ter-evaporasi dengan bau badannya.

Ini membuatku meleleh seperti es krim di bawah terik matahari, hingga aku tidak menyadari jika saat ini Pak Harvey telah selesai membantuku dan beralih memasang sabuk pengamannya sendiri.

“Kenapa tadi tidak langsung kemari setelah naik pesawat?” Pertanyaan Pak Harvey menghentak ku, mengembalikan fokusku.

Seketika aku memasang wajah sinis ku sebagai bentuk pertahanan diri, “karena tempat duduk ini adalah tempat terakhir di dunia yang akan kududuki.” Jawabku ketus.

Namun ekspresinya justru di luar perkiraanku. Pak Harvey mengangguk tenang, “mungkin akan lebih baik kalau kamu tidak ada di dunia ini.”

Sial, ternyata ekspresinya saja yang tenang. Aku lupa kalau dia si Raja Neraka.

Aku pun menoleh ke arahnya, melemparkan senyum sinis padanya dan dia pun balas tersenyum sinis padaku. Benar-benar pria ini sungguh mengesalkan.

“Dan sepertinya, saya adalah orang terakhir yang ingin kamu temui di dunia ini. Bukan begitu?” Imbuhnya.

Tentu saja aku tak mau kalah, masa bodoh jika dia akhirnya melemparku dari pesawat ini, “Benar sekali.” seringaiku sambil tersenyum mengejek, menjawab dengan berani dan penuh percaya diri.

Pak Harvey tertawa sinis lagi, “ok, lalu kenapa kamu tetap disini?”

Mati!

Di tendang keluar jangan-jangan aku sebentar lagi.

“Karena ini adalah ide bagus untuk mendapatkan uang dan membereskan semua masalahku dengan cepat.”

Aku mengatupkan bibirku rapat-rapat setelah menjawab. Takut, tapi aku juga tidak mau menunjukkan rasa takutku.

Sementara Pak Harvey malah tersenyum renyah, sambil mengangguk.

Astaga, apa lagi yang dia pikirkan saat ini?

Namun ternyata, setelah itu semuanya senyap. Hanya tersisa ruang hampa di antara kami. Hening ditemani suara mesin pesawat yang halus.

Dalam hati Aku masih bertanya-tanya, apa yang akan terjadi setelah ini? Tapi aku tidak berani bertanya, takut benar-benar ditendang dan terjun bebas dari pesawat ini.

Dua puluh menit sebelum mendarat, seorang pramugari menghampiri kami. “Permisi Nona, Tuan.”

Pak Harvey menoleh padaku dan berkata, “Ikutlah dengannya. Dia akan membantumu merias diri.”

Hah? Merias diri? Kita benar-benar akan menikah hari ini di Bali?

Ya Tuhan aku harus apa? Mungkinkah aku bisa kabur? Kalau ini di darat aku masih bisa berusaha lompat keluar. Tapi Ini di langit!

Selain itu, cuma ini satu-satunya jalan untuk menyelesaikan masalah keluargaku. Uang untuk menebus rumah Papa dan biaya pengobatan Kak April tidak sedikit. Aku tidak boleh menyerah sekarang. Karena itu aku memutuskan untuk menurut saja.

Ketika aku dibawa ke sebuah ruangan tertutup dalam kabin pesawat, di dalamnya aku melihat sebuah gaun malam warna merah yang indah tergantung di salah satu sudut ruangan.

“Sepertinya ini bukan gaun pengantin?” gumamku.

“Bagaimana Nona?” Tanya Pramugari di depanku.

“Ah, tidak.” Aku tersenyum kaku. Pramugari itu mendengar gumam ku ternyata.

Baju itu bentuknya memang tidak seperti gaun pengantin, lebih seperti gaun pesta biasa untuk menghadiri suatu undangan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status