Home / Rumah Tangga / Terbelahnya Rindu / Bab 1: Harmoni di Pagi Hari

Share

Terbelahnya Rindu
Terbelahnya Rindu
Author: Rizki Adinda

Bab 1: Harmoni di Pagi Hari

Author: Rizki Adinda
last update Last Updated: 2024-10-15 20:52:44

“Sarah, pelan-pelan makannya,” suara lembut Laras menegur putri sulungnya yang tengah menyuap sesendok nasi goreng sambil asyik bercanda dengan adiknya, Naya.

“Mama, aku udah bisa makan sendiri!” seru Naya dengan bangga, menunjukkan sendoknya yang gemetar, berisi potongan kecil telur dadar.

Laras tersenyum lembut sambil mengusap kepala putri kecilnya itu. “Hebat banget Naya! Jadi anak pintar ya.”

Pagi di rumah keluarga kecil ini selalu diiringi suasana hangat, penuh canda dan tawa. Dimas duduk di seberang meja, mengamati Laras dan anak-anak mereka dengan senyum bangga.

Sambil menyesap kopi hitam yang masih mengepul, ia merasa tenang. Pemandangan di hadapannya adalah definisi kebahagiaan yang selama ini ia idamkan: istri yang penuh kasih dan anak-anak yang ceria.

Raka, si bungsu, mengoceh sendiri sambil bermain sendok dan garpu di atas piringnya. Suaranya yang lincah dan celotehnya yang belum jelas memeriahkan meja makan.

Laras tertawa kecil, memperhatikan Raka yang tampak senang memainkan potongan roti panggangnya. Dengan hati-hati, Laras meraih tangan kecilnya, membantunya makan sedikit demi sedikit.

“Raka, makan, jangan cuma mainin rotinya ya, Nak,” ujar Laras dengan suara lembut.

Dimas menatap istrinya penuh kekaguman. Bagi Laras, segala sesuatu tentang anak-anak selalu menjadi prioritas. Ia tak pernah lelah merawat mereka, mendampingi setiap tahapan kecil dalam hidup mereka dengan penuh kasih.

Dimas tahu, Laras tidak pernah mengeluh, bahkan ketika lelah mengurus rumah tangga dan anak-anak. Senyumnya yang tulus selalu muncul, bahkan di saat-saat ia tahu Laras membutuhkan waktu untuk dirinya sendiri.

“Mama, Sarah mau susu,” rengek Sarah, si sulung, sembari menyodorkan gelas kosong.

“Oh, kamu sudah besar, Kak. Ambil sendiri, ya?” ucap Laras sambil tersenyum lebar.

Dimas terkekeh melihat Sarah bangkit dari kursinya, menuju kulkas dengan langkah mantap. "Kita memang punya anak-anak yang mandiri, ya?" komentar Dimas.

Laras mengangguk sambil mengusap pundak Naya yang sedang menyuap sesendok nasi ke mulutnya. “Iya, Mas. Kadang aku masih nggak percaya, mereka tumbuh begitu cepat,” gumamnya dengan nada bangga.

Melihat kedamaian di meja makan pagi itu, hati Laras dipenuhi perasaan syukur. Ada rasa hangat yang mengalir dalam dirinya, perasaan yang menguatkan hatinya setiap hari.

Dimas tersenyum, memandangi Laras dengan tatapan lembut, membuat Laras tersipu tanpa sadar. Hubungan mereka, meski sudah bertahun-tahun, tetap dipenuhi percikan cinta yang seolah tak pernah pudar.

“Masakannya enak, seperti biasa, Bu,” puji Dimas, sambil menyendok potongan telur dari piringnya.

Laras tersipu, merasa senang meski komentar itu sudah berulang kali ia dengar. “Aduh, Mas, bisa aja. Yang penting anak-anak doyan, aku udah senang.”

Dimas melirik ketiga anak mereka yang kini sedang sibuk dengan makanan masing-masing, dan dia meraih tangan Laras di atas meja, menggenggamnya sejenak.

Sentuhan hangat itu membuat Laras merasakan perasaan tenang, rasa cinta yang begitu kuat, yang membuatnya yakin bahwa hidup mereka bersama adalah sesuatu yang tak tergantikan.

“Laras…” Dimas berkata pelan, suaranya terdengar penuh arti, tapi sebelum bisa melanjutkan, terdengar suara rengekan Naya yang menarik perhatian mereka berdua.

“Mama, Raka mau susuku!” teriak Naya, sambil menunjuk Raka yang memegang gelas susu Sarah.

Laras tertawa kecil, melepaskan genggaman Dimas dan beranjak untuk membantu Raka. “Ayo, Raka, kita kasih ini buat Naya dulu, ya. Nanti Mama ambilkan lagi buat kamu.”

Dimas memperhatikan Laras yang melayani anak-anaknya dengan kesabaran dan kelembutan. Baginya, Laras adalah pusat dari keluarga ini. Ia adalah sosok yang menenangkan, membuat rumah ini terasa begitu hangat.

Dimas ingat betapa mereka telah melalui berbagai hal bersama, baik suka maupun duka, dan Laras selalu menjadi tiang yang kokoh.

Di luar, matahari mulai naik, memancarkan sinarnya ke dalam ruangan melalui jendela besar di dapur mereka. Cahaya lembut itu mengenai wajah Laras, membuatnya tampak bersinar dalam balutan piyama pagi yang sederhana.

Laras adalah perempuan yang tidak banyak menuntut. Baginya, kebahagiaan keluarga adalah yang utama, dan Dimas tahu ia adalah lelaki yang beruntung.

Laras kembali duduk setelah memastikan Raka dan Naya tenang dengan gelas susu masing-masing. Dia menatap Dimas dan tersenyum, sebuah senyum kecil yang menenangkan hati.

“Mas,” Laras berbisik sambil melirik ketiga anak mereka yang kini sibuk dengan makanan masing-masing. “Aku kadang merasa, kita benar-benar beruntung punya mereka.”

Dimas mengangguk, tatapannya lembut. “Aku juga, Laras. Setiap hari, aku bersyukur bisa hidup sama kamu dan anak-anak.”

Sejenak mereka tenggelam dalam keheningan, menikmati momen yang terasa sempurna ini. Laras menggenggam tangan Dimas lagi, merasa beruntung memiliki seseorang yang selalu mendukung dan menghargainya.

Di dunia yang terus bergerak cepat, mereka berdua mampu menciptakan ruang kecil di mana cinta dan keluarga menjadi segalanya.

“Mas, ingat nggak waktu dulu kita pertama kali pindah ke sini? Rumah ini masih kosong banget, cuma ada kasur dan meja makan ini,” kenang Laras sambil tertawa kecil, memandangi meja kayu tua yang menjadi saksi perjalanan hidup mereka.

Dimas tertawa, mengangguk. “Ingat banget. Kita nggak punya apa-apa selain impian dan kamu yang selalu berusaha keras. Ternyata kita bisa sampai sejauh ini.”

Mereka tertawa bersama, mengenang masa-masa penuh perjuangan di awal pernikahan mereka. Dimas dan Laras memang memulai semuanya dari nol. Meski kadang hidup terasa berat, mereka saling menguatkan.

Rumah sederhana mereka kini dipenuhi dengan suara anak-anak dan kehangatan keluarga yang mereka bangun dengan susah payah.

“Yah, setidaknya meja makan ini masih setia menemani kita, ya?” canda Dimas sambil mengetuk meja yang telah terlihat sedikit usang namun penuh kenangan.

“Meja ini saksi hidup kita, Mas. Mungkin nanti anak-anak kita akan mengenang meja ini juga,” jawab Laras lembut, tatapannya penuh harapan.

Dimas mengangguk, perasaannya semakin dalam. Ia bersyukur memiliki seorang istri seperti Laras, seorang ibu yang setia dan penuh cinta. Ia berjanji dalam hatinya untuk selalu melindungi dan menjaga keluarganya.

Setelah selesai sarapan, Dimas membantu Laras membersihkan meja sementara anak-anak bermain di ruang tamu. Ketika mereka sedang merapikan piring-piring, Dimas memeluk Laras dari belakang, membuat Laras sedikit terkejut.

“Mas, apa-apaan sih,” gumam Laras sambil tersipu, merasa pipinya merona.

“Aku cuma ingin bilang terima kasih. Kamu telah menjadi istri yang luar biasa dan ibu yang hebat buat anak-anak kita. Aku nggak tahu apa yang bisa kuberikan untuk membalas semua yang sudah kamu lakukan.”

Laras terdiam sejenak, merasakan kehangatan pelukan Dimas. Hatinya bergetar mendengar kata-kata itu. Dia menyadari bahwa segala pengorbanannya selama ini tidak pernah dianggap remeh oleh suaminya. Itu cukup baginya, lebih dari cukup.

“Aku nggak butuh apa-apa, Mas. Cukup kita tetap bersama, sehat, dan bisa melihat anak-anak tumbuh dengan bahagia,” balas Laras pelan.

Dimas mengeratkan pelukannya, lalu menunduk untuk mencium kepala Laras. “Aku janji, aku akan selalu ada untuk kamu dan anak-anak. Selamanya.”

Kata-kata itu menggema di telinga Laras. Bagi mereka, mungkin tidak ada yang bisa lebih berarti selain janji untuk tetap bersama. Janji untuk saling menjaga dan mendampingi, apapun yang terjadi.

Tak lama, suara Naya yang memanggil memecah keheningan. “Mama! Aku mau mandi dulu, boleh kan?”

Laras tertawa kecil, mengusap tangan Dimas sebelum melangkah menghampiri putrinya. “Boleh, sayang. Yuk, Mama temenin ke kamar mandi.”

Dimas memperhatikan mereka dengan perasaan penuh. Laras mengajak Naya ke kamar mandi, sementara Raka mengikuti dari belakang, mengoceh ceria. Dimas duduk di kursi makan, menatap keluarganya yang tampak begitu bahagia.

Sesaat, ia merasa inilah puncak dari segalanya. Seakan dunia di luar tak ada artinya ketika ia bersama keluarga kecilnya.

Pagi itu, dalam kesederhanaan dan kehangatan, mereka menikmati kebersamaan yang mungkin terlihat biasa bagi sebagian orang. Namun, bagi Dimas dan Laras, momen ini adalah sesuatu yang mereka jaga dengan segenap hati.

Momen yang menjadi bukti bahwa cinta bisa hadir dalam bentuk yang paling sederhana, tapi mampu memberikan kebahagiaan yang begitu dalam.

Dimas menatap ke arah jendela, ke luar rumah yang diterangi cahaya matahari pagi. Di sana, ia melihat masa depan mereka yang penuh harapan, meski belum tahu apa yang akan mereka hadapi nanti. Namun, dengan Laras di sisinya, ia merasa siap untuk apa pun.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terbelahnya Rindu   Bab 150: Cinta yang Tak Terduga

    Pagi itu, sinar matahari menerobos masuk melalui tirai putih tipis di ruang tamu rumah baru Laras. Cahaya hangatnya menyentuh dinding-dinding yang dihiasi foto keluarga, menggambarkan momen-momen penuh tawa bersama anak-anaknya.Rumah ini tidak megah, tetapi penuh dengan kehangatan dan rasa aman. Di tengah ruangan, Naya dan Raka bermain, tawa mereka menggema, sementara Sarah duduk di sofa, membaca buku cerita kesukaannya. Suara ceria mereka membawa kehidupan yang sudah lama Laras rindukan.Laras berdiri di depan jendela besar, memandang halaman kecil di luar yang mulai dipenuhi tanaman hijau.Hari ini berbeda, terasa lebih segar, lebih ringan. Rumah itu adalah simbol babak baru dalam hidupnya—sederhana, namun penuh dengan cinta dan harapan. Di saat itulah, pintu depan berderit pelan dan suara langkah yang dikenalnya memasuki ruangan.“Selamat pagi, semuanya!” suara Andi bergema di ruangan, membuat Raka berlari kecil sambil tertawa, mengh

  • Terbelahnya Rindu   Bab 149: Kebebasan Dimas

    Matahari pagi memancar lembut di atas jalanan berdebu yang membentang menuju desa kecil di pinggiran kota. Dimas memandangi pemandangan dari jendela bus yang bergetar pelan.Perjalanan ini bukan sekadar perpindahan tempat, tetapi perjalanan untuk mencari kembali dirinya yang hilang di tengah deru kesalahan dan penyesalan. Tas ransel di pangkuannya terasa berat, bukan karena isinya, melainkan beban emosi yang masih menggantung di dalam hati.Ia menatap keluar jendela, melihat petak-petak sawah yang membentang hijau dan rumah-rumah kayu dengan atap miring.Tempat ini adalah destinasi yang ia pilih untuk memulai lembaran baru, tempat di mana ia pernah menghabiskan waktu bertahun-tahun lalu saat masih menjadi mahasiswa yang penuh semangat.Proyek sosial yang dulu ia cintai, sebuah program pendidikan dan pengembangan masyarakat, kini memanggilnya kembali.Sesampainya di desa, Dimas turun dari bus dan merasakan angin pagi yang segar menyentuh wajahnya.

  • Terbelahnya Rindu   Bab 148: Kehidupan Baru Laras

    Matahari pagi menyinari ruang tamu rumah Laras, menciptakan bayangan indah di dinding berwarna krem yang hangat.Di sudut ruangan, rak buku yang penuh dengan koleksi cerita anak dan novel dewasa milik Laras tampak teratur, menambah kehangatan suasana. Di tengah kesibukan pagi itu, suara tawa anak-anak bergema, membawa semangat baru yang kini menyelimuti rumah mereka.Sarah duduk di meja makan, menyuapi Raka yang cerewet tapi ceria. Naya berlarian dengan boneka kelincinya, sementara Laras mengamati mereka dengan senyum lembut.Pagi yang sibuk seperti ini telah menjadi bagian dari rutinitas baru yang membuatnya merasa lebih hidup. Di balik segala kesulitan yang ia hadapi, kehidupan kini mulai terasa stabil, meski tidak sempurna.“Ma, bisa bantu buka ini?” suara Sarah memecah lamunan Laras. Ia menunjuk tutup botol susu yang sulit dibuka. Laras berjalan mendekat, mengambil botol itu dan membukanya dengan mudah.“Terima kasih, Ma,&rdqu

  • Terbelahnya Rindu   Bab 147: Pertemuan Terakhir dengan Dimas

    Langit sore berwarna oranye lembut, memayungi kafe kecil di sudut kota yang sepi. Hembusan angin sore membawa aroma kopi dan daun basah yang segar.Laras duduk di meja dekat jendela, memandang keluar sambil memainkan cangkir kopinya yang setengah kosong. Jantungnya berdegup dengan ritme yang tenang tapi berat. Hari ini, pertemuan terakhir dengan Dimas terasa seperti babak penutup yang sudah lama dinantikan.Pintu kafe terbuka, dan suara lonceng kecil terdengar menggema. Dimas masuk dengan langkah yang mantap, meski wajahnya menyiratkan kelelahan.Rambutnya lebih pendek daripada terakhir kali mereka bertemu, dan ada garis-garis halus di wajahnya yang membuatnya tampak lebih tua. Mata mereka bertemu sesaat, saling membaca rasa canggung yang perlahan mencair menjadi senyuman kecil.“Hai, Laras,” sapanya, suaranya terdengar serak tapi tulus.“Hai, Dimas,” jawab Laras dengan nada lembut. Dimas duduk di kursi seberangnya, meletakk

  • Terbelahnya Rindu   Bab 146: Sarah yang Menerima Kenyataan

    Hujan gerimis membasahi jendela kamar Sarah, membuat pola-pola acak yang bergerak pelan seiring tetesan air turun.Di kursi dekat jendela, Sarah duduk dengan kepala bersandar pada kaca yang dingin, matanya menerawang ke taman kecil di halaman rumah.Meski langit tampak suram, ada rasa damai yang aneh menyelimuti dirinya. Hari-hari yang penuh dengan kebingungan dan rasa kecewa perlahan berubah menjadi penerimaan yang lembut, seperti gerimis yang menyejukkan setelah badai panjang.Di sudut ruangan, terdengar suara langkah kecil yang mendekat. Naya muncul dengan boneka kelincinya, wajahnya memancarkan senyum polos yang khas. “Kak Sarah, mau main sama aku?” tanyanya dengan mata berbinar, suaranya penuh harapan.Sarah menoleh, menatap adiknya dengan senyum kecil yang mulai muncul di bibirnya. Selama ini, Naya adalah adik kecil yang selalu berusaha mengisi suasana dengan tawa, meski ketegangan di rumah kerap membuat suasana berubah-ubah.Sara

  • Terbelahnya Rindu   Bab 145: Pemulihan Naya

    Sinar matahari pagi menembus jendela kamar Naya, menyebar lembut di atas dinding bercorak bunga-bunga berwarna pastel.Naya terbangun perlahan, matanya yang besar berkedip beberapa kali sebelum melihat sekelilingnya. Di meja belajarnya, sebuah buku gambar terbuka, memperlihatkan coretan-coretan berwarna cerah.Gambar itu menunjukkan dirinya, Sarah, Raka, dan Laras berdiri di bawah pohon besar dengan senyum lebar. Meskipun gambar itu sederhana, ada perasaan hangat yang mengalir dari sana.“Naya, sudah bangun, Sayang?” suara Laras terdengar dari ambang pintu. Ia melangkah masuk, membawa nampan berisi segelas susu hangat dan roti panggang dengan selai stroberi. Wajah Laras tampak lebih cerah, senyum lembut menghiasi bibirnya.Naya mengangguk, bangkit perlahan dari tempat tidur dan tersenyum kecil. “Iya, Ma,” jawabnya, suaranya masih serak oleh sisa-sisa tidur. Laras duduk di tepi tempat tidur, mengusap rambut Naya yang halus dengan se

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status