"Mas, kenapa kamu harus memenuhi semua permintaannya mbak Laras? Kamu tahu, itu menyakitkan bagiku."
"Aku bisa apa, Sayang. Aku juga tidak mau kehilangan Laras apalagi kehilangan Kinara, lima tahun sudah aku di sini sama kamu. Apa salahnya jika aku sekarang hidup serumah bersama Laras juga anak semata wayang kami. Laras belum mau aku sentuh dalam hal r*nj*ng. Jadi, cuma kamu seorang yang akan melayaniku sejauh itu. Dia juga tidak membatasi aku untuk bertemu dengan kamu, Sayang. Bukankah itu kelonggaran yang cukup lapang?""Aku tidak yakin, Mas. Aku tidak percaya. Kalian menikah sudah 10 tahun, mana mungkin mbak Laras menolak kalau kamu ajak, apalagi kalian serumah. Bisa-bisa semakin intens.""Jangan berlebihan cemburunya, aku akan komit pada syarat yang diberikan Laras. Kamu tenang saja.""Gimana aku bisa tenang, Mas. Kamu di sana bukan dalam waktu sehari ataupun dua hari. Namun, lebih dari itu.""Ini konsekuensi aku, Sayang. Kamu juga harus berlapang dada jika yang terjadi seperti ini adanya.'"Aku ikut pindah juga, ngapain di sini sendirian sama aja punya suami tapi terasa janda karena tidak serumah."Ibra mulai tersulut emosi, dia tampak mengusap kasar wajahnya. Resign dari pekerjaan sebagai supervisor bukan hal yang mudah baginya. Apalagi, dia meraih posisi itu bukan dengan cara yang mudah, butuh perjuangan. Namun, dia sadar segala sesuatunya ada konsekuensi yang harus dia ambil."Kamu jangan egois. Sebelumnya aku juga sudah melarang kamu untuk jangan dulu berkata jujur pada Laras. Nyatanya, apa? Kamu kekeuh 'kan? Terima saja jalan yang ada di depan kita."***Ibra akhirnya resign setelah proses pengunduran dirinya berlangsung kurang lebih sebulan. Posisinya sebagai supervisor membuat Ibra tidak bisa mengundurkan diri secara mendadak. Banyak tanggung jawab serta kewajiban yang dia selesai sebelum benar-benar menjadi mantan karyawan. Serah terima jabatan salah satunya. Alasan lainnya, surat pengalaman kerja serta surat klaim Jamsostek."Mas, nanti kalau Jamsostek kamu udah cair, bagi rata antara aku dan mbak Laras, ya!"Sepasang insan kurang menghargai hati orang lain itu sedang mengemas barang-barang yang akan dibawa Ibra terbang ke Padang. Tidak banyak, satu kardus ukuran sedang, koper ukuran besar satu dan ukuran sedang satu."Astaga, Sayang. Belum juga cair uangnya, mengajukan aja aku belum. Lagian, mungkin lebih banyak buat aku, Laras juga Kinara, 'kan kamu tahu sendiri aku hari-hari sama mereka.""Belum juga berangkat, kamu udah pilih kasih ke aku, Mas.""Pilih kasih bagaimana, aku selalu adil sama kamu. Kamu dan Laras, sama-sama ada tabungan khusus dari aku, beda di nominal saja, bukan itu pilih kasih juga tapi sesuai kebutuhan. Sudah ya, Sayang. Hal sepele jangan dipersoalkan, selama ini juga kamu tidak pernah mempermasalahkan kalau aku berlaku lebih dari segi uang pada Laras, sekarang kenapa jadi seperti ini?""Ya, itu dulu, Mas. Jangan sama 'kan dengan sekarang atau kedepannya. Udah ah, kamu nggak bakalan ngerti gimana perasaan aku.""Aku mohon, Sayang. Jadilah, Annisa yang dulu aku kenal. Kamu ity jantungku, setiap kali berdetak, setiap itu juga kamu selalu ada. Jangan pernah risau dan takut. Lagian, sudah waktunya juga Laras meminta waktu lebih banyak padaku. Aku yakin kamu bisa lewati ujian ini."Ibra memeluk Annisa dengan erat, sesekali mendaratkan kasih sayangnya di pipi kanan sang istri siri. Tampak Annisa bukan perlarian semata, akan tetapi Ibra benar jatuh cinta.Ibra menghela napas berat, tingkah Annisa mulai ke kanak-kanak an membuat dia menjadi tidak nyaman. Sebelumnya, ketika semuanya belum terungkap, Annisa atau yang dikenal Laras dengan nama Liana adalah sosok yang mengasikkan.Komunikasi yang nyambung serta hangat, belum lagi sering terlibat kerja keluar kota membuat hubungan semakin intens, apalagi Annisa seorang janda tanpa anak, pernikahan pertama hanya bertahan dua bulan dikarenakan mantan suaminya adalah pecandu berat narkoba juga temperamen, Annisa tidak tahan, cerai adalah keputusannya.***"Kenapa, Nak? Kok suaramu serak gitu?" Liana menelepon ibunya yang berada di kampung, dekat Pekanbaru, Riau, yang berjarak delapan jam dari tempat Laras tinggal. Hatinya tak kuat menahan sesak setelah baru pulang dari mengantar Ibra ke Bandara. Itupun kepulangan Ibra ke Padang sudah diundur dua hari karena Annisa menangis terus-terusan sepanjang malam. Bahkan, dia beralaskan sakit untuk tidak masuk kantor."Mas Ibra, Bu?" sahutnya dengan suara bergetar."Kenapa Ibra? Kalian berantem? Atau ada masalah lain?" Suara Nani terdengar mulai panik di seberang sana.Bukan jawaban yang terdengar, tapi tangisan Liana yang makin keras."Nak, kalau kamu seperti ini, gimana menceritakannya sama ibu. Apa ibu telepon Ibra saja, dia pasti bisa menjelaskan apa yang telah terjadi dengan kalian." Suara Nani mulai meninggi, ada perasaan tak rela mendengar tangis sang putri semata wayang. Apalagi dirinya adalah dalang dibalik semua ini."Ja-jangan, Bu. Jangan, aku takut keadaannya semakin buruk.""Ya kalau jangan, kamu cerita sama ibu, Nak. Jangan bikin ibu panik seperti ini. Ingat! Ibu nyuruh kamu mengejar Ibra supaya kamu bahagia sama dia, merasakan bahagia seperti Laras juga. Lima tahun kalian menikah, baru kali ini kamu menangis, apa Laras sudah tahu?"Annisa terdiam sejenak ..."Kamu dengar ibu bertanya? Apa Laras sudah tahu?""Iya, aku yang memberi tahu."Nani sangat marah setelah mendengar pengakuan sang anak. Padahal, dia sudah mengatakan jangan pernah memberi tahu pada Laras."Aku nggak kuat, Bu. Aku ingin memiliki mas Ibra seutuhnya," protesnya tak terima."Apa bedanya sih, Li. Jadi yang kedua sama jadi yang pertama. Malah enak di posisi kamu. Nomor dua tapi diutamakan, sedangkan Laras, yang pertama tapi dinomorduakan. Sekarang apa? Ini ulah kamu yang ceroboh!""Iya, tapi saya kurang tahu apa isinya, karena privasi."Dua hari lalu, Ibra memang menitipkan surat tersebut pada petugas."Kalau boleh tahu siapa yang menjemputnya, Pak?""Tidak ada, Mbak. Tidak ada yang menjemput.""Begitu, ya. Hmm ... apa bapak menanyakan di mana rumah papa saya?""Tidak, Mbak.""Baik lah, Pak. Terima kasih. Maaf sudah menganggu."Kinara berjalan tak berdaya menuju area parkir.Saat sudah di dalam mobil barulah dia membuka surat yang diberikan pak Mulyono tadi. Dan, setelah dibuka, rupanya ada beberapa tiga lembar kertas.Surat yang berisikan permintaan maaf Ibra karena sudah menyakiti Laras, Kinara, dan Arkana. Panjang lebar dia tuliskan dan di lembar terakhir rupanya ada surat kuasa, dia menyerahkan kuasa pada Arkana untuk menjadi wali nikahnya minggu depan."Maafkan, aku, Pa ...." teriaknya sembari menundukkan kepalanya di stir mobil.Tiba-tiba air mata Kinara lolos deras dari bola matanya yang indah."Gimana, Ki? Apa kata papamu?" desak Laras saat dia baru saja
Terbongkar Setelah 10 Tahun PernikahanBab 43Arkana mengemudikan mobil sportnya dengan kecepatan lumayan kencang. "Bro, gue titip absen ya!" titahnya pada Gio, teman yang bisa dikatakan cukup dekat dengannya. Arkana menghubungi Gio saat mobil yang dikemudi sudah terparkir."Kemana lu? Tumbenan mau cabut di kelasnya bu Rania?""Ada urusan lah pokoknya. Titip, ya!""Iya, kalau bisa. Kalau enggak ya takdir lu terdaftar absen."Setelah menutup sambungan telepon, Arkana menaruh ponsel canggihnya itu ke dalam tas kulit model salempang.Dengan sigap dia berjalan menuju ruang untuk melapor."Pak, bisa kah saya bertemu dengan bapak Ibra?" tanya Arkana tanpa basa-basi saat petugas menanyakan maksud kedatangannya."Tapi antri ya, Dik. Soalnya tadi bapak Ibra sudah ada yang besuk. Kalau boleh tahu adik siapanya?""Kira-kira berapa lama antrinya, Pak? Saya ... saya ... anaknya, Pak." Arkana memang ragu menjawab, entah apa yang membuat dia ragu walaupun beberapa detik kemudian dia tegas menjawab
Laras, Bryan, dan Liana hampir berdiri dengan serentak saat Ibra ingin kembali di bawa ke luar ruang sidang."Jangan berbangga hati kamu, Laras. Ini bukanlah akhir selagi aku masih hidup." Tatapan dendam itulah yang tersirat saat mantan suami ini saling bertatapan."Dan, kamu Bryan. Jangan menjadi manusia sok suci. Kamu tak lebih dari pengkhianat ulung. Jangan terlalu berbangga diri karena mereka memilihmu. Ingat! Suatu saat nanti, jika anak itu butuh aku, jangan harap." Tak hanya pada Laras, Ibra juga mengancam Bryan. Entah apa maksud dari yang diucapkannya itu. "Semoga kamu memanfaatkan waktu untuk bertaubat, Mas!" ucap Liana. Sisi lain, dia juga prihatin dengan kondisi yang menimpa Ibra. Sedikit banyaknya, dengan apa yang terjadi, tentu dia masih bersalah dengan apa yang dia perbuat. Kalau bukan karena dirinya, pasti perjalanan yang ditempuh tidak akan se-runyam dan menyakitkan seperti ini."Ck! Kamu Liana. Jangan pikir saya lupa apa yang kamu perbuat. Apa yang kamu hancurkan, sam
Terbongkar Setelah 10 Tahun PernikahanBab 42"Tenang, Bry. Jangan pikir macam-macam dulu." Bryan kemudian menepis yang ada dalam pikirannya.Setelah menghela napas panjang, Bryan pun melanjutkan langkahnya menuju meja administrasi. Dia memesan kamar VVIP pokoknya demi kenyamanan Kinara. Lagian sejauh ini, uangnya juga tidak seberapa dibanding rezeki yang dia peroleh."Mama!" sentak Laras saat mendapati mertuanya datang ke rumah sakit."Kenapa bisa begini, Ras?" lirih Yati.Yati pun mencium kening Kinara sembari menangis. Untung Kinara masih lelap dalam tidurnya. Pedih juga bagi Yati mendapat kabar dari Bryan. Tadi, saat Laras ke ruangan dr. Rani, Bryan memutuskan untuk memberi kabar pada mamanya."Mama kok bisa tahu?" tanya Laras heran."Bryan yang nelpon. Kenapa kamu tidak kasih tahu mama, Ras?" Mereka berdua agak berjarak berdiri dari ranjang pasien yang ditiduri Kinara. Takut dia terjaga."Panjang ceritanya, Ma. Tapi aku bersyukur kalau Kinara selamat.""Kamu juga tadi kata Bryan
"Iya, boleh, Bu?" tanyanya lagi."Tidak apa, Ras. Periksa aja, demi kamu juga. Jangan sepele 'kan," tukas Bryan. "E-e, iya, Uda," sahut Laras gugup."Bu, kita usg ya!" titah sang dokter setelah memeriksa."Keluarga Kinara! Keluarga Kinara! Keluarga Kinara!" Rasa gugup tadi berubah saat Laras mendengar seruan itu. "Bentar, Dok. Saya seperti mendengar seruan panggilan untuk keluarga Kinara. Kamu dengar nggak, Uda?""Keluarga Kinara ... Keluarga Kinara ....""Iya, Bu. Itu panggilan untuk keluarga Kinara," jawab sang dokter. "Saya lihat anak dulu, Dok. Makasih, Dok." Laras yang sudah beringsut turun dari ranjang pasien dari pertama kali mendengar seruan itu berlari keluar ruangan."Nanti saya dan istri ke sini lagi, Dok. Makasih sebelumnya, Dok.""Baik, Pak."Bryan pun menyusul Laras kemudian."Aku sangat menyayangkan dia menyembunyikan sesuatu," gumam sang dokter sembari menggelengkan kepalanya."Bu ... Bu ... Bu ... tunggu!" seru Laras saat melihat petugas IGD ingin masuk ke dalam."
Terbongkar Setelah 10 Tahun PernikahanBab 41Pintu kamar Kinara akhir terbuka juga saat pak Tony dan pak Budi tidak henti berusaha. Kadang menggunakan tubuhnya, sesekali menggunakan kaki. Puncaknya, saat keduanya menghempaskan tubuh dengan lebih kuat dari sebelumnya. Sampai-sampai lelaki berdua itu hilang kendali dan ikut masuk ke dalam kamar saat pintu kamar terbuka lebar. Napas kedua sopir itu jelas sudah tersengal-sengal, akan tetapi akan gurat puas. Sedangkan Laras berlari sigap bersama Bryan ke dalam kamar. Tak lupa asisten rumah tangga bik Minah dan bik Teti menyusul langkah majikannya dari belakang.Semua pasang mata yang ada di dalam kamar terbelalak bersamaan. Mata mereka tertuju pada obyek yang sama."Kinara ...," pekik Laras saat mendapati anak sulungnya tergeletak. Dia berlari lalu berjongkok, memegang kedua pangkal lengan anaknya. Dia guncang, akan tetapi tidak ada reaksi sama sekali. Ada darah yang membuat hati Laras semakin terasa tersayat. Pergelangan tangan selama