Sambil bersenda gurau mereka menikmati menu serba panggang yang diolah dengan tangan sendiri. Beratapkan langit malam yang cerah dihiasi taburan bintang yang berkelip di sana-sini menambah kesan estetik bagi mereka dalam menghabiskan malam.
"Lezat sekali ayam bakar madumu, Yu. Persis seperti masakan ibumu," puji Helen."Ah, Kak Helen bisa aja. Jauh sekali kalau dibandingkan masakan ibuku," jawab Masayu merendah."Lihat itu, suamimu sangat lahap makan masakanmu." Helen menyenggol tangan Masayu. Gadis itu hanya tersenyum simpul melihat Bian makan dengan begitu lahapnya sampai agak belepotan."Masayu, ambilkan suamimu tisu dan lap mulutnya. Lihat, saking sukanya dia dengan masakanmu makan sampai seperti bayi," kelakar Herlina.Masayu menurut, diambilnya selembar tisu lantas mulai mengelap mulut Bian dengan perlahan. Pria itu sampai berhenti mengunyah dan memilih menatap Masayu yang hanya memandang datar padanya."Kamu ngantuk, Masayu?" tanya Herlina melihat wajah Masayu yang seperti lelah."Nggak, Ma." Masayu menggeleng, lalu membuang tisu di tangannya."Kedinginan mungkin, Ma," sambut Helen.Ia lalu melepas mantelnya, menyisakan baju lengan panjang yang tengah dipakainya. Kemudian menyerahkan mantel itu pada Masayu. Bersamaan dengan Bian yang ternyata ikut berdiri menyodorkan jaketnya untuk dikenakan Masayu.Awalnya Masayu bingung mana yang mau diambilnya. Namun, saat Helen menarik kembali mantelnya, Masayu dengan cepat menahannya."Aku pakai ini aja. Lebih ke cewek soalnya," ujarnya lalu segera mengenakan mantel berbulu tersebut.Bian lalu kembali duduk. Sedangkan Helen dan Herlina saling berpandangan menangkap adanya sinyal ketidakberesan yang terjadi di antara pasangan muda itu.Guna mencairkan suasana yang sedikit kaku, Helen malah membahas sesuatu yang membuat Bian makin merasa dongkol."Masayu, kamu ingat tidak dengan sepupu kami yang namanya Bisma?"Masayu kemudian mencoba mengingat-ingat."Oh, yang itu? ya ya, Masayu ingat. Memangnya kenapa, Kak? Dia tinggal di mana sekarang?" tanyanya setelah berhasil mengingat orang yang dulu kerap mengganggunya ketika dia sedang membantu ibunya bekerja di sini."Di Amrik. Dia sekolah di sana. Kebetulan apartemennya berdekatan dengan kami. Eh, tau nggak? Pas Bisma denger kamu nikah sama Bian, dia langsung frustrasi, loh. Mabuk-mabukan terus selama seminggu." Helen terbahak."Haha ada-ada saja. Dia tampan dan keren, pasti jadi incaran para bule cantik di sana. Nggak ada apa-apanya kalau dibanding Masayu, Kak Helen," sahut Masayu lagi-lagi merendah. Ah, Bisma. Lelaki hangat yang dulu kerap mengirimi surat cinta untuknya. Sayang, Masayu sudah lebih dulu dimiliki Arjuna."Kalau inget dulu itu lucu, ya? Bisma sama Bian saingan buat dapetin kamu. Sampai-sampai orang ini berlomba menggambar wajah kamu. Siapa yang paling mirip itu yang menang, haha. Betul, kan Bian. Eh, Bi. Kamu masih nyimpen gambar itu, nggak?" cerocos Helen sampai-sampai tidak sadar kalau kakinya berulang kali ditendang oleh Bian."Ha??!"Semua yang ada di sana sontak melongo mendengar fakta yang baru saja mereka ketahui. Tak terkecuali Masayu, ia bahkan susah untuk menelan daging yang tengah dikunyahnya.———Menjelang pagi baru lah keluarga besar yang tengah bersuka cita ini bersiap-siap untuk beristirahat. Sebelum turun mereka membereskan semuanya. Masayu jadi yang paling terakhir untuk turun. Kedua tangannya memegang botol.Di pintu rooftop, Bian tiba-tiba menahan langkahnya.Masayu ingin menghindar. Ia lalu bergerak ke sisi kiri, tapi Bian mengikuti. Pindah lagi ke sisi kanan, lagi-lagi pria yang memasukkan satu tangan ke dalam saku celananya itu mengikuti gerak posisinya.Masayu lantas menarik napas karena menahan geram."Kamu berubah!" Bian mengucapkan kalimat itu lagi.Masayu menunduk. Keduanya saling terdiam cukup lama."Obatnya sudah diminum?" tanya Bian."Nanti diminum." Masayu menyahut datar.Bian lalu mengambil alih botol di tangan Masayu. "Biar saya yang bawa." Kemudian membuka jalan untuk Masayu. "Jangan lupa diminum obatnya." Bian mengingatkan sebelum Masayu menghilang di belokan tangga.***Bian yang sudah siap dengan tuxedo hitamnya melirik arloji di pergelangan tangannya. Pukul 17.00, masih ada waktu satu jam untuk bersiap-siap.Pria itu lalu berjalan ke kamar Masayu. Membuka pintunya dan berhasil membuat Masayu terperanjat. Saat itu dia baru saja selesai mandi dan hanya mengenakan handuk putih yang panjangnya hanya separuh paha.Di atas ranjangnya sudah tersedia gaun malam indah yang akan dikenakannya nanti. Serta beberapa kotak yang berjejer berisi perlengkapan make'up."Baru selesai mandi?" tanya Bian terperangah.Masayu mengangguk. Tampak dirinya sedang salah tingkah berusaha menutupi pay*d*ranya yang sedikit menonjol keluar, tapi Bian tak peduli itu."MUA-nya ke mana?""Tadi izin mau beli seblak dulu sambil nunggu Ayu selesai mandi."Bian geleng-geleng kepala mendengarnya. Ia lalu menelepon ajudannya."Rik, panggil MUA-nya kemari dan belikan dia seblak 50 porsi, cepat!!!"Masayu kaget mendengarnya."Tapi, Bang. MUA-nya cuma dua orang.""Suruh dia habiskan semuanya! Salah sendiri kerja tidak profesional!"Setelah menggerutu, Bian lalu keluar kamar. Namun, sebelum benar-benar keluar dia berpesan pada Masayu."Obatnya jangan lupa diminum."Masayu mengangguk. Senyumnya terbit perlahan, seiring rasa hangat yang pelan-pelan menjalar ke hatinya.***Suasana ballroom yang terdapat pada sebuah hotel ternama di tengah kota malam ini cukup meriah. Hotel tersebut milik keluarga Baswara. Sengaja Herlina memilih hotelnya sendiri untuk mengadakan acara anniversary putranya. Selain karena elit, hal itu merupakan suatu kebanggaan tersendiri baginya.Ruangan yang konon disulap dengan memakai konsep 'romantis' itu kini tampak mewah dan modern. Namun, tetap tidak meninggalkan kesan elegan di dalamnya. Diiringi alunan musik yang mengalun pelan makin menambah syahdunya suasana.Tamu undangan dari berbagai kalangan kelas atas tampak berkumpul. Tak ketinggalan artis ternama juga turut hadir dalam acara tersebut.Setidaknya Masayu yang sedang berdiri berdampingan dengan Bian dapat menyaksikan dengan jelas rupa bening para konglomerat yang berjalan wara-wiri di depannya.Sedang asyik-asyiknya mengamati, wajah Masayu seketika memucat saat menangkap sosok yang berdiri di tengah kerumunan para tamu undangan.'Astaga!'Masayu menatap nanar wajah suaminya yang masih terlelap. Wajah tampan itu tidak lagi pucat. Hanya saja perkataan Nenek Rose masih terus terngiang di telinganya. Ia pun menarik napas dan mulai membatin. Sebenarnya peristiwa kelam apa yang pernah dialami pria ini? Saat pikirannya sedang berkecamuk, mendadak ponselnya berbunyi. Dia menatap layar dan melihat deretan nomor baru yang bergerak-gerak. Tanpa merasa ragu, Masayu pun mengangkatnya. "Halo ....""Ayu ... tolong Ayah, Yu. Ayah sekarang ada di sel." Suara sang Ayah terdengar meratap. Masayu tercengang. Namun, itu hanya sesaat. Sebab dia sendiri sudah memperkirakan hal ini bakal terjadi. Cepat atau lambat, polisi pasti akan menemukan Marwan kembali. "Pasti Bian si*lan itu yang udah mengadu ke polisi!" maki ayahnya. Hati Masayu sontak merasa panas. Dia segera menyingkir dari tempat itu dan berdiri di balkon. Kemudian membantah ucapan ayahnya, "Apa maksud Ayah? Jangan sembarangan menuduh. Bang Bian nggak mungkin seperti itu. Dia
Masayu sedang dalam kondisi banjir peluh ketika mobil yang ditumpangi ibu mertuanya memasuki halaman rumah. Dia bergegas meletakkan gagang pel dan berjalan untuk membukakan pintu. Saat ini, tenaganya bahkan telah terkuras habis untuk membuka pintu yang ukurannya bak raksasa tersebut."Masayu??!" Herlina tampak terkejut saat melihat Masayu yang baru saja melebarkan pintu dengan wajah tampak lemah, letih, dan lesu akibat kelelahan."Kamu mengerjakan ini semua?!" tanya Herlina lagi. Masayu mengangguk tak berdaya. "Di mana Nenek?" Herlina melangkah ke dalam. "Nenek lagi di lantai atas, Ma." "Kenapa nggak telepon jasa cleaning service aja? Bisa bengek kamu bersihin rumah ini sendirian, Masayu," tegur Herlina."Nenek melarang, Ma. Katanya ini memang tugas seorang wanita. Nggak apa-apa, Ma, Masayu masih sanggup, kok."Herlina geleng-geleng kepala dan berjalan menuju ke lantai atas. Masayu melanjutkan pekerjaannya. Tidak berapa lama, dari lantai atas terdengar suara perdebatan. Makin l
"Astaga, astaga, astaga ...! Anak muda jaman sekarang kalau bercinta memang tidak tau tempat, ya!" Keduanya sama-sama terperanjat. Bian buru-buru membetulkan resleting celananya yang terlanjur sesak. Sementara Masayu dengan gugup merapikan blusnya yang acak-acakan lalu segera turun dari meja.Di hadapannya kini berdiri seorang nenek-nenek berwajah bule sambil membawa tongkat, tetapi nampak berwibawa. Nenek tersebut terlihat menggelengkan kepalanya berulang kali. "Nenek ...!" Bian berseru. Kemudian dia berkata kepada Masayu yang masih harus memasangkan beberapa kancing blusnya, "Masayu, dia nenekku. Ayo, kenalan dulu ...!" Masayu tersenyum gugup, lalu berjalan mendekati sang nenek. "Bian ... ini siapa? Perempuan mana lagi yang kamu permainkan? Memanganya kamu belum puas nakalnya? Bian ... itu nggak baik, kamu jangan seperti itu, ya ...?" Nenek sangat ketus berbicara seraya melirik sekilas ke arah dada Masayu yang belum sepenuhnya tertutup. "Nek ... saya Masayu, istrinya Bang Bian
"Jangan lupa kalau aku sudah menolong ayahmu. Aku juga membuat jalannya menjadi mulus. Jadi, kalau kamu keberatan melakukannya, anggap saja ini sebagai sebuah imbalan atas apa yang sudah kulakukan," ucap Bian dengan suara hampir berbisik, tetapi terdengar tajam di telinga Masayu. Di tengah kesulitannya dalam bergerak, Masayu sontak menelan ludah. "T-tapi, Bang ... Ayu masih menstruasi ...." Masayu tergagap sembari menggigit bibir bawahnya. Matanya bergerak-gerak memerhatikan raut wajah Bian di atasnya. Dan benar saja, wajah yang tadinya bersemangat itu, sebentar saja telah berubah menjadi kecewa. "Kenapa nggak bilang dari tadi?!" tanya Bian dengan nada kecewa. Setelah itu dia bangkit dari tubuh Masayu. Wanita itu hanya diam saja sembari merapikan pakaiannya yang tampak awut-awutan. "Kira-kira kapan selesainya?" Bian bertanya lagi. "Mungkin dua hari lagi," jawab Masayu. Bian lantas beranjak dari ranjang dan akan keluar kamar. Namun, baru dua langkah, tiba-tiba saja dia kembali l
Sesampainya di halaman rumah, Bian langsung keluar dari mobil dan lagi-lagi menutup pintunya dengan kasar. Masayu yang sabar hanya menghela napas panjang, kemudian turun dengan anggun dari mobil. Namun anehnya, rumah dalam keadaan sepi saat dia masuk. Seolah-olah, kondisi rumah yang sepi memang khusus diciptakan untuk mereka berdua.Masayu lalu pergi ke dapur. Di sana hanya ada Bian yang terlihat sedang minum sembari menatap tajam ke arahnya. Karena takut, Masayu pun membalikkan badannya menuju ke lantai atas. Siapa sangka Bian justru mengejarnya. Masayu yang tersadar seketika itu juga mempercepat langkahnya. Sesaat kemudian, terjadi aksi kejar-kejaran antara keduanya di atas loteng. Masayu berhasil masuk ke kamarnya, tetapi tidak berhasil menutup pintunya lantaran Bian dengan cepat menahannya. Keduanya kini saling mendorong pintu."Abang mau ngapain?" Masayu bertanya dengan panik. Matanya mencari-cari sesuatu agar bisa menahan pintu tersebut. Namun dia tidak mendapatkannya. Ada pun
Bian dengan telaten merawat luka bakar Masayu. Kulitnya yang putih kini tampak memerah, mungkin sebentar lagi akan melepuh. Bian lalu membalut punggung tangan Masayu menggunakan perban. "Masih sakit?" tanyanya.Masayu mengangguk dan menatap wajah Bian. Berharap pria itu mau mengucapkan sepatah kata maaf untuknya. Namun, yang tejadi malah, "Kali ini aku memaafkanmu. Tapi lain kali tidak. Jangan mengerjaiku seperti itu. Aku nggak suka!" tegas Bian sambil sekilas melirik Masayu. Mendapati Masayu tengah menatapnya begitu lama, mau tak mau Bian pun membalas tatapan teduh itu. "Ada apa??" tanya Bian kemudian.Masayu sontak tergeragap dan spontan bertanya, "Abang nggak minta maaf sama Ayu?""Maaf untuk apa??" Masayu memasang raut wajah kecewa. Rupanya, saking terlenanya menikmati wajah tampan di depannya, dia sampai tidak menyimak perkataan Bian. Pada akhirnya, Masayu menilai Bian adalah pria kaku yang tidak mempunyai rasa empati. Perlakuan Bian kepadanya barusan merupakan hal yang wajar