Home / Romansa / Terjebak Cinta Bos Sadis / Bab 5 – Batas yang Mulai Kabur

Share

Bab 5 – Batas yang Mulai Kabur

Author: Rayden Arsha
last update Last Updated: 2025-12-06 10:40:31

Sejak kejadian dengan klien kemarin, suasana di antara aku dan Arseniel berubah. Tidak drastis, tapi cukup untuk membuatku sadar bahwa jarak profesional itu… mulai retak sedikit demi sedikit.

Bukan karena kata-kata manis—dia tidak pernah mengucapkannya.

Bukan karena gestur lembut—dia bukan tipe seperti itu.

Melainkan karena… tatapannya.

Tatapan yang sekarang terasa seperti penjaga bayangan. Selalu ada. Selalu mengawasi. Entah itu hal baik atau buruk, aku belum tahu.

Pagi ini, saat aku baru menata meja kerja, suara pintu ruangannya terbuka. Ia keluar, mengenakan kemeja hitam dengan lengan tergulung, dasi terlepas. Tampak lebih santai dari biasanya, tapi justru itu yang membuatnya terlihat… berbahaya.

“Ingatkan saya meeting jam sembilan tiga puluh,” katanya tanpa menatap.

“Baik, Pak.”

Ia melangkah melewatiku, tapi berhenti setelah dua langkah. “Rania.”

Aku mendongak. “Ya?”

“Rambutmu…” Ia memperhatikan ujung rambutku yang terjatuh ke pipi. “Berantakan.”

Aku terkejut, buru-buru merapikan. “Maaf, Pak.”

Ia tidak menjawab. Tapi seolah menyadari bahwa komentarnya terlalu personal, ia mengalihkan tatapan dan kembali berjalan ke ruangannya. Namun pintu belum tertutup sepenuhnya saat ia bicara lagi.

“Dan jangan meminta maaf terlalu sering,” katanya. “Itu kebiasaan buruk.”

Aku tertegun, tidak tahu harus menjawab apa.

---

Hari berjalan cepat. Aku sibuk menyiapkan laporan bulanan untuk departemen keuangan, dan jujur… angkanya membuat kepalaku berdenyut. Setelah berjam-jam menatap layar, aku bangkit untuk menyerahkan draft pertamanya ke Arseniel.

Aku mengetuk. “Masuk,” katanya.

Ia sedang berdiri di depan kaca besar, memegang tablet dan meninjau data. Ketika aku menyerahkan laporan, ia menatap halaman pertama dengan alis terangkat sedikit.

“Kau teliti,” katanya. “Tapi ada satu angka salah.”

Deg.

Kesalahan.

Lagi.

“A… angka yang mana, Pak?”

Ia mendekat, mengambil pena, lalu menunjuk salah satu kolom sambil berdiri sangat dekat. Terlalu dekat. Napasku langsung membeku.

Saat aku mengikuti arah penanya, bahunya hampir menyentuh bahuku. Ruangan yang luas itu mendadak terasa kecil.

“Lihat?” katanya pelan.

Aku mengangguk, meski jantungku seperti lari maraton. “I-ya. Saya koreksi.”

Ia tidak menjauh. Tidak segera.

Dan aku bisa merasakan tatapannya di sisi wajahku.

“Kenapa tegang?” tanyanya tiba-tiba.

“A-apa?” Aku menatapnya, bingung.

“Kau selalu seperti ini ketika saya berdiri dekat.”

Nada suaranya rendah, bukan menyindir… tapi seperti sedang mengamati sesuatu yang menarik perhatiannya.

“Aku tidak—”

“Rania.”

Ia mengucapkan namaku dengan suara yang begitu lembut tapi tegas, hingga aku tak bisa berbohong.

“Maaf,” akhirnya jawabku. “Saya hanya… mencoba bersikap profesional, Pak.”

Ada jeda. Pendek, tapi cukup untuk menambah tekanan di antara kami.

“Kau tidak perlu takut pada saya,” katanya pelan.

Kalimat itu seharusnya menenangkan.

Tapi justru membuatku semakin sulit bernapas.

Tepat saat ia hendak menjauh, pintu ruangannya diketuk cepat. Aku hampir melompat saking kagetnya. Seorang manajer masuk terburu-buru. “Maaf, Pak Arseniel, kita bermasalah dengan kontrak proyek Wardhana. Ada perubahan mendadak.”

Seketika ekspresi Arseniel berubah. Wajahnya mengeras. Aura dingin kembali menghiasi ruangan.

“Kirim ke saya sekarang.”

“Baik, Pak.”

Manajer itu keluar. Arseniel menatapku singkat. “Rania, ikut saya.”

Aku mengangguk cepat.

---

Kami menuju ruang rapat kecil di sisi kantor. Beberapa dokumen sudah ada di layar. Arseniel berdiri tegap, membaca perubahan kontrak yang kacau.

“Proyek ini sensitif. Jika salah satu poin meleset, investor bisa menarik diri,” ucapnya sambil menggeser layar.

Aku mendekat, ikut melihat.

Dan tiba-tiba, lampu ruangan berkedip. Sekilas—hanya beberapa detik. Tapi cukup membuatku terlonjak kecil.

Tanpa sadar, tanganku refleks memegang lengan jasnya.

Aku langsung menarik tangan. “M-maaf!”

Aku berharap ia marah. Memarahiku. Atau setidaknya memandangku datar seperti biasa.

Tapi tidak.

Justru ia menatap tanganku… seperti sesuatu yang tidak seharusnya, tapi sulit ia lepaskan dari pikirannya.

Perlahan, suaranya keluar. Serak halus.

“Kau mudah terkejut.”

“Maaf… lampunya tiba-tiba—”

“Tidak perlu minta maaf,” potongnya, suara rendah. “Kau melakukan itu karena kaget, bukan ceroboh.”

Aku terdiam.

Di luar, dunia masih berjalan seperti biasa. Lampu kembali stabil. Butir cahaya jatuh di wajahnya, membuat tatapan abu itu terlihat lebih tajam… dan lebih manusia.

Lalu ia menatapku.

Tatapan yang bukan tatapan bos.

Bukan tatapan klien.

Bukan tatapan profesional.

Tatapan seseorang…

yang mulai sulit menjaga jarak.

“Tapi mulai sekarang,” ujarnya pelan, “kalau kau kaget, kau boleh pegangan.”

Tubuhku membeku.

Sekujur darahku mendesir.

“Tidak apa-apa,” tambahnya. “Selama itu kau.”

Aku tidak bisa menjawab. Nafasku kacau.

Ia menutup layar laptop perlahan, lalu berjalan melewatiku. Tepat sebelum keluar, ia berkata tanpa menoleh:

“Hati-hati, Rania. Batas profesional itu tipis. Dan kau… sedang mendekati garisnya.”

Pintu menutup.

Dan aku berdiri di sana—tersadar bahwa bukan hanya aku yang mendekati garis itu.

Dia juga.

Dan itu… jauh lebih berbahaya daripada yang kubayangkan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjebak Cinta Bos Sadis   Bab 21 – Kembali ke Dunia yang Sama

    Pagi itu aku berdiri lebih lama dari biasanya di depan lemari. Setelan kerja tergantung rapi—rok pensil hitam, kemeja putih, blazer abu-abu. Pakaian yang dulu kupakai hampir setiap hari, tapi kini terasa seperti seragam orang lain.Aku menyentuh kainnya perlahan, seolah bertanya pada diriku sendiri: apakah aku benar-benar siap kembali?Di luar kamar, terdengar langkah kaki Arsen. Tidak terburu-buru, tidak ragu. Ia mengetuk pelan.“Kau masih punya waktu,” katanya dari balik pintu.“Aku tahu,” jawabku. “Aku hanya… memastikan.”Aku mengenakan pakaian itu akhirnya. Rambutku kuikat sederhana. Tidak ada riasan berlebihan. Aku ingin terlihat seperti diriku sendiri—versi yang sekarang, bukan bayangan masa lalu.Di meja makan, Arsen sudah menyiapkan kopi. Kami duduk berhadapan, seperti pagi-pagi sebelumnya, tapi rasanya berbeda. Ada kesadaran baru di antara kami, semacam perjanjian tak tertulis.“Jika kau berubah pikiran,” katanya, “kita bisa pulang.”“Aku tidak akan,” kataku cepat, lalu terse

  • Terjebak Cinta Bos Sadis   Bab 20 – Di Antara Pilihan

    Gedung itu tidak tampak istimewa dari luar. Kaca bening, lantai abu-abu, satpam yang berdiri dengan wajah bosan. Tapi langkahku melambat begitu kami masuk. Ada sesuatu di udara—bukan firasat buruk, melainkan kesadaran bahwa aku sedang berjalan ke arah yang tidak bisa kuputar kembali.Arsen berjalan sedikit di depanku. Tidak menggenggam tanganku, tidak memberi isyarat berlebihan. Tapi setiap beberapa langkah, ia menoleh, memastikan aku masih di sana. Dan entah kenapa, itu cukup.Kami naik ke lantai tujuh. Lorongnya sunyi. Pintu-pintu tertutup rapat, seperti menyimpan urusan masing-masing. Di ujung lorong, seorang pria menunggu. Usianya sekitar lima puluh, jasnya rapi, rambutnya mulai memutih di pelipis.“Pak Arsen,” katanya, nadanya netral. Lalu matanya beralih padaku. “Dan ini… Rania.”Ia menyebut namaku seperti menyebut data.Kami masuk ke ruang rapat kecil. Tidak ada jendela. Hanya meja, tiga kursi, dan lampu putih yang terlalu terang. Aku duduk, merapatkan jaketku tanpa sadar.“Aku

  • Terjebak Cinta Bos Sadis   Bab 19 – Yang Mulai Retak

    Aku tidak langsung tidur malam itu. Aku hanya berbaring, menatap langit-langit, mendengarkan suara rumah yang sesekali berderak seperti sedang bernapas. Ada rasa asing yang sulit dijelaskan—bukan takut, bukan sedih, tapi seperti kehilangan pegangan pada sesuatu yang bahkan belum sepenuhnya kupahami.Sekitar tengah malam, aku bangkit dan keluar kamar. Lampu ruang kerja Arsen masih menyala. Ia duduk membelakangi pintu, bahunya sedikit membungkuk, seolah beban di kepalanya terlalu berat untuk ditopang sendirian.“Kau belum tidur,” kataku.Ia menoleh. Wajahnya terlihat lebih pucat di bawah cahaya lampu. “Kau juga.”Aku masuk dan duduk di sofa kecil di sudut ruangan. Kami tidak langsung bicara. Arsen kembali menatap layar laptopnya, tapi aku tahu pikirannya tidak benar-benar di sana.“Apa kau tahu sejak awal?” tanyaku akhirnya.Ia menutup laptop. “Tidak semuanya.”“Tapi cukup banyak,” kataku.“Iya.”Jawaban jujur itu terasa seperti tamparan pelan. Tidak keras, tapi tepat sasaran.“Apa yang

  • Terjebak Cinta Bos Sadis   Bab 18 – Pagi yang Terlalu Sunyi

    Aku terbangun tanpa alarm. Cahaya pagi masuk lembut melalui jendela, membuat kamar terlihat pucat dan bersih. Untuk sesaat, aku berharap semua yang terjadi hanyalah mimpi panjang. Tapi rasa berat di dadaku berkata sebaliknya.Rumah ini terlalu sunyi.Aku bangun dan keluar kamar. Dapur kosong. Tidak ada aroma kopi, tidak ada suara langkah. Jam menunjukkan pukul delapan lewat sedikit. Biasanya Arsen sudah sibuk sejak subuh.Ada secarik kertas di meja.Aku keluar sebentar. Tidak jauh. Sarapan sudah kusiapkan. Jangan buka pintu untuk siapa pun.Tulisannya rapi, tegas, seperti dirinya. Tapi aku menangkap sesuatu di sana—kekhawatiran yang tidak diucapkan.Aku duduk, menatap sarapan yang sudah dingin. Telur, roti, segelas jus. Perhatian kecil yang tidak pernah kuminta, tapi entah kenapa terasa penting.Setelah makan, aku mencoba mengisi waktu. Membaca berita, menulis beberapa baris yang tidak selesai, lalu menyerah. Pikiranku terus kembali pada potongan ingatan itu. Bau obat. Ruang sempit. S

  • Terjebak Cinta Bos Sadis    Bab 17 Hal-Hal yang Tidak Terucap

    Malam datang tanpa permisi. Tidak ada hujan, tidak ada angin kencang—hanya gelap yang turun perlahan, seolah memberi waktu pada siapa pun untuk bersiap. Tapi aku tidak merasa siap. Aku duduk di tepi ranjang, menatap dinding kosong. Bayangan siang tadi masih tertinggal di kepalaku. Ruangan sempit. Bau obat. Tangan terikat. Rasanya seperti kenangan itu bukan milikku, tapi tubuhku mengingatnya dengan sangat baik. Ketukan pelan terdengar di pintu. “Masuk,” kataku. Arsen membuka pintu dan berdiri di ambang. Ia tidak langsung bicara, hanya mengamati wajahku, seperti mencoba memastikan aku benar-benar ada di sini. “Kau mau teh?” tanyanya akhirnya. Aku mengangguk. Kami duduk di ruang tamu. Televisi mati. Lampu tidak terlalu terang. Ada rasa canggung yang aneh—bukan karena kami asing, tapi karena terlalu banyak yang belum selesai. “Aku memikirkan sesuatu,” kataku sambil memegang cangkir. “Kalau ingatanku kembali sepenuhnya… bagaimana kalau aku tidak menyukai diriku yang dulu?”

  • Terjebak Cinta Bos Sadis   Bab 16 – Retakan yang Perlahan Terbuka

    Aku terbangun karena suara pintu yang ditutup pelan. Jam di meja samping tempat tidur menunjukkan pukul lima pagi. Langit masih gelap, tapi ada cahaya samar dari lampu teras yang menembus tirai.Aku tahu itu Arsen.Entah kenapa, aku bangkit dan keluar kamar tanpa berpikir panjang. Langkahku pelan, hampir ragu. Dari arah dapur terdengar suara gelas diletakkan, lalu keheningan lagi.Ia berdiri di sana, bersandar pada meja, menatap layar ponselnya dengan ekspresi serius. Jas sudah dikenakan, rambutnya rapi—versi Arsen yang siap menghadapi dunia.“Kau tidak tidur lagi?” tanyanya saat menyadari kehadiranku.“Aku terbangun.” Aku mendekat, lalu berhenti beberapa langkah darinya. “Kau mau pergi?”“Sebentar.” Ia menyimpan ponsel. “Ada hal yang harus kuurus sebelum semuanya bergerak lebih jauh.”“Kau selalu bicara seperti itu,” kataku pelan. “Seolah semuanya hanya soal strategi.”Arsen menatapku, lalu menghela napas panjang. Untuk sesaat, bahunya terlihat turun—lelah.“Karena kalau aku berhen

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status