LOGINSejak kalimat itu di ruang rapat—“Jangan biarkan siapa pun meremehkanmu. Termasuk saya”—pikiranku tidak pernah benar-benar tenang. Kalimat itu berputar seperti bisikan yang menolak pergi. Bukan hanya karena ia bosku, tapi karena cara dia mengatakannya… seolah ada sesuatu di balik suaranya yang dingin.
Pagi ini aku datang lebih awal, berharap bisa menenangkan diri sebelum dia datang. Tapi sepertinya harapanku terlalu naif. Saat aku baru saja menyalakan komputer, suara pintu ruang kerja terbuka, dan langkahnya terdengar masuk. Aku langsung berdiri. “Selamat pagi, Pak.” “Pagi,” jawabnya singkat. Ia melewati mejaku tanpa menatap, namun geraknya selalu teratur dan penuh kendali. “Ikut saya lima menit lagi. Kita akan bertemu klien penting.” Aku mengangguk, meski jujur saja, lima menit terasa seperti lima detik ketika menyangkut dia. Aku memeriksa ulang map presentasi, mengatur napas, lalu mengetuk pintu ruangannya. “Semua dokumen sudah siap, Pak.” Kali ini ia menatapku. Tatapan itu… seolah menguliti. Dingin, tapi ada sesuatu yang tersembunyi di dalamnya—sebuah rasa yang tak mudah ditebak. “Berikan,” katanya. Aku maju selangkah, mengangkat map itu. Tapi saat ia mengambilnya, jarinya menyentuh pergelangan tanganku. Kontak yang seharusnya biasa saja… tapi tubuhku bereaksi berlebihan. Jantungku melompat. Nafasku tercekat. Dan aku tahu ia merasakannya. Bukan karena ia tersenyum—ia tidak—tapi ada sesuatu yang berubah dalam matanya selama satu detik. Sesuatu yang lebih gelap. “Kau tegang,” katanya. “A-Aku tidak—” “Rania.” Nada suaranya berubah. Lebih rendah, lebih perlahan. “Jangan bohongi saya. Saya tidak suka itu.” Aku menunduk, merasa suara ini terlalu menggerogoti pertahananku. “Maaf, Pak.” Ia menutup map, lalu berjalan menuju pintu tanpa mengalihkan pandangan dariku. “Ikut.” --- Ruang rapat klien berada di lantai 50. Pemandangannya memukau—kota Ardan terlihat kecil dari ketinggian ini. Tapi aku hampir tidak bisa fokus. Aku sibuk memastikan catatan siap, laptop menyala, dan semuanya berada di tempatnya. Klien, seorang pria paruh baya dengan sikap ramah, menyambut Arseniel dengan senyum. Tapi tatapannya berubah kagum ketika melihatku. “Sekretaris baru Anda?” tanya pria itu. “Iya,” jawab Arseniel singkat. “Rania.” Klien menatapku dari ujung rambut hingga ujung kaki dengan cara yang tidak membuatku nyaman. “Cantik. Muda. Anda punya selera yang bagus, Tuan Dirgantara.” Aku membeku. Arseniel menoleh ke pria itu perlahan. Sangat perlahan. Tatapan matanya berubah—dingin menyala, seperti badai yang mendadak datang tanpa peringatan. “Dia tidak dipilih berdasarkan penampilan,” katanya tajam. “Ia di sini karena kompetensinya.” Pria itu terkekeh canggung. “Ya, ya, tentu.” Tapi aku tahu itu bukan jawaban yang ia sukai. Ia menatapku lagi, kali ini lebih berani. Aku menunduk cepat, merasa tidak nyaman. Pertemuan dimulai, tapi aku bisa merasakan atmosfer aneh di ruangan itu. Arseniel mempresentasikan data dengan tenang, tapi setiap kali klien itu menatapku terlalu lama, aku merasakan tatapan Arseniel mengikutinya. Seperti mengawasi. Seperti memperingatkan. Pertemuan selesai satu jam kemudian. Pria itu menyalamiku sebelum pergi, terlalu lama, terlalu dekat. Aku menarik tanganku pelan, lalu melangkah mundur. Begitu pintu tertutup, Arseniel berjalan melewatiku tanpa bicara. Namun langkahnya berhenti mendadak. “Rania.” Aku terkejut. “Ya, Pak?” Ia berbalik sedikit, menatapku setengah tubuh. Tatapan itu… bukan tatapan bos. Bukan tatapan yang seharusnya kusambut dengan tenang. “Kau tidak perlu membiarkan orang seperti itu menyentuhmu.” Aku menegang. “Dia klien, Pak. Saya tidak—” “Klien atau bukan,” katanya pelan namun penuh tekanan, “kau berhak menentukan batas.” Aku menatapnya. Untuk pertama kalinya, aku melihat sesuatu di matanya. Bukan kemarahan. Bukan ketegasan. Tapi proteksi. Yang intens, kuat, dan membingungkan. “Mulai sekarang,” suaranya merendah, “kalau ada yang membuatmu tidak nyaman… cukup bilang ke saya.” “Apa tidak apa-apa saya… begitu?” tanyaku ragu. “Kalau itu membuatmu aman,” jawabnya, “itu selalu boleh.” Tubuhku bergetar ringan. Ada ruang hening di antara kami—ruang yang terasa terlalu sempit untuk dua orang. Ruang yang dipenuhi sesuatu yang tidak boleh ada… tapi sudah terlanjur tumbuh. Arseniel memalingkan wajah, suaranya kembali datar, tapi nadanya tidak bisa bohong. “Kita kembali ke lantai 45.” Ia berjalan duluan. Dan saat aku mengikutinya, aku sadar satu hal: Pria itu bukan hanya berbahaya karena kekuasaannya. Tapi karena caranya melihatku. Seolah aku adalah sesuatu… yang tidak seharusnya ia sentuh. Tapi entah kenapa, ingin ia lindungi. Dan itu jauh lebih berbahaya daripada ancaman apa pun.Pagi itu aku berdiri lebih lama dari biasanya di depan lemari. Setelan kerja tergantung rapi—rok pensil hitam, kemeja putih, blazer abu-abu. Pakaian yang dulu kupakai hampir setiap hari, tapi kini terasa seperti seragam orang lain.Aku menyentuh kainnya perlahan, seolah bertanya pada diriku sendiri: apakah aku benar-benar siap kembali?Di luar kamar, terdengar langkah kaki Arsen. Tidak terburu-buru, tidak ragu. Ia mengetuk pelan.“Kau masih punya waktu,” katanya dari balik pintu.“Aku tahu,” jawabku. “Aku hanya… memastikan.”Aku mengenakan pakaian itu akhirnya. Rambutku kuikat sederhana. Tidak ada riasan berlebihan. Aku ingin terlihat seperti diriku sendiri—versi yang sekarang, bukan bayangan masa lalu.Di meja makan, Arsen sudah menyiapkan kopi. Kami duduk berhadapan, seperti pagi-pagi sebelumnya, tapi rasanya berbeda. Ada kesadaran baru di antara kami, semacam perjanjian tak tertulis.“Jika kau berubah pikiran,” katanya, “kita bisa pulang.”“Aku tidak akan,” kataku cepat, lalu terse
Gedung itu tidak tampak istimewa dari luar. Kaca bening, lantai abu-abu, satpam yang berdiri dengan wajah bosan. Tapi langkahku melambat begitu kami masuk. Ada sesuatu di udara—bukan firasat buruk, melainkan kesadaran bahwa aku sedang berjalan ke arah yang tidak bisa kuputar kembali.Arsen berjalan sedikit di depanku. Tidak menggenggam tanganku, tidak memberi isyarat berlebihan. Tapi setiap beberapa langkah, ia menoleh, memastikan aku masih di sana. Dan entah kenapa, itu cukup.Kami naik ke lantai tujuh. Lorongnya sunyi. Pintu-pintu tertutup rapat, seperti menyimpan urusan masing-masing. Di ujung lorong, seorang pria menunggu. Usianya sekitar lima puluh, jasnya rapi, rambutnya mulai memutih di pelipis.“Pak Arsen,” katanya, nadanya netral. Lalu matanya beralih padaku. “Dan ini… Rania.”Ia menyebut namaku seperti menyebut data.Kami masuk ke ruang rapat kecil. Tidak ada jendela. Hanya meja, tiga kursi, dan lampu putih yang terlalu terang. Aku duduk, merapatkan jaketku tanpa sadar.“Aku
Aku tidak langsung tidur malam itu. Aku hanya berbaring, menatap langit-langit, mendengarkan suara rumah yang sesekali berderak seperti sedang bernapas. Ada rasa asing yang sulit dijelaskan—bukan takut, bukan sedih, tapi seperti kehilangan pegangan pada sesuatu yang bahkan belum sepenuhnya kupahami.Sekitar tengah malam, aku bangkit dan keluar kamar. Lampu ruang kerja Arsen masih menyala. Ia duduk membelakangi pintu, bahunya sedikit membungkuk, seolah beban di kepalanya terlalu berat untuk ditopang sendirian.“Kau belum tidur,” kataku.Ia menoleh. Wajahnya terlihat lebih pucat di bawah cahaya lampu. “Kau juga.”Aku masuk dan duduk di sofa kecil di sudut ruangan. Kami tidak langsung bicara. Arsen kembali menatap layar laptopnya, tapi aku tahu pikirannya tidak benar-benar di sana.“Apa kau tahu sejak awal?” tanyaku akhirnya.Ia menutup laptop. “Tidak semuanya.”“Tapi cukup banyak,” kataku.“Iya.”Jawaban jujur itu terasa seperti tamparan pelan. Tidak keras, tapi tepat sasaran.“Apa yang
Aku terbangun tanpa alarm. Cahaya pagi masuk lembut melalui jendela, membuat kamar terlihat pucat dan bersih. Untuk sesaat, aku berharap semua yang terjadi hanyalah mimpi panjang. Tapi rasa berat di dadaku berkata sebaliknya.Rumah ini terlalu sunyi.Aku bangun dan keluar kamar. Dapur kosong. Tidak ada aroma kopi, tidak ada suara langkah. Jam menunjukkan pukul delapan lewat sedikit. Biasanya Arsen sudah sibuk sejak subuh.Ada secarik kertas di meja.Aku keluar sebentar. Tidak jauh. Sarapan sudah kusiapkan. Jangan buka pintu untuk siapa pun.Tulisannya rapi, tegas, seperti dirinya. Tapi aku menangkap sesuatu di sana—kekhawatiran yang tidak diucapkan.Aku duduk, menatap sarapan yang sudah dingin. Telur, roti, segelas jus. Perhatian kecil yang tidak pernah kuminta, tapi entah kenapa terasa penting.Setelah makan, aku mencoba mengisi waktu. Membaca berita, menulis beberapa baris yang tidak selesai, lalu menyerah. Pikiranku terus kembali pada potongan ingatan itu. Bau obat. Ruang sempit. S
Malam datang tanpa permisi. Tidak ada hujan, tidak ada angin kencang—hanya gelap yang turun perlahan, seolah memberi waktu pada siapa pun untuk bersiap. Tapi aku tidak merasa siap. Aku duduk di tepi ranjang, menatap dinding kosong. Bayangan siang tadi masih tertinggal di kepalaku. Ruangan sempit. Bau obat. Tangan terikat. Rasanya seperti kenangan itu bukan milikku, tapi tubuhku mengingatnya dengan sangat baik. Ketukan pelan terdengar di pintu. “Masuk,” kataku. Arsen membuka pintu dan berdiri di ambang. Ia tidak langsung bicara, hanya mengamati wajahku, seperti mencoba memastikan aku benar-benar ada di sini. “Kau mau teh?” tanyanya akhirnya. Aku mengangguk. Kami duduk di ruang tamu. Televisi mati. Lampu tidak terlalu terang. Ada rasa canggung yang aneh—bukan karena kami asing, tapi karena terlalu banyak yang belum selesai. “Aku memikirkan sesuatu,” kataku sambil memegang cangkir. “Kalau ingatanku kembali sepenuhnya… bagaimana kalau aku tidak menyukai diriku yang dulu?”
Aku terbangun karena suara pintu yang ditutup pelan. Jam di meja samping tempat tidur menunjukkan pukul lima pagi. Langit masih gelap, tapi ada cahaya samar dari lampu teras yang menembus tirai.Aku tahu itu Arsen.Entah kenapa, aku bangkit dan keluar kamar tanpa berpikir panjang. Langkahku pelan, hampir ragu. Dari arah dapur terdengar suara gelas diletakkan, lalu keheningan lagi.Ia berdiri di sana, bersandar pada meja, menatap layar ponselnya dengan ekspresi serius. Jas sudah dikenakan, rambutnya rapi—versi Arsen yang siap menghadapi dunia.“Kau tidak tidur lagi?” tanyanya saat menyadari kehadiranku.“Aku terbangun.” Aku mendekat, lalu berhenti beberapa langkah darinya. “Kau mau pergi?”“Sebentar.” Ia menyimpan ponsel. “Ada hal yang harus kuurus sebelum semuanya bergerak lebih jauh.”“Kau selalu bicara seperti itu,” kataku pelan. “Seolah semuanya hanya soal strategi.”Arsen menatapku, lalu menghela napas panjang. Untuk sesaat, bahunya terlihat turun—lelah.“Karena kalau aku berhen







