Yang bisa Sasya lakukan dari tadi hanya berjalan dan mendorong troli. Mereka sedang berada di modern market--sesuai dengan permintaan sang istri. Sasya yang memang seumur hidupnya tidak pernah ke pasar jadi tidak tahu keperluan apa saja yang biasa dibutuhkan untuk masak-memasak di dapur. Beberapa kali mengusulkan jenis makanan, tapi Agaza menolak. Ya, bagaimana tidak menolak jika yang ditawarkan itu makanan cepat saji? Agaza 'kan bukan penikmat makanan tidak sehat itu. Sesekali boleh, tapi bukan diletakkan sebagai persediaan.
Kakinya sudah pegal, tapi sang suami belum juga selesai mencari stok makanan yang dibutuhkan. Akhirnya Sasya duduk, di bawah troli yang sedari tadi didorongnya. Bodo amat dengan tatapan aneh orang kepadanya.
Agaza yang merasa tidak lagi mendengar protes dan keluhan dari sang istri langsung memutar lehernya ke belakang, mencari keberadaan Sasya yang ternyata sudah duduk dengan tidak tahu malunya di lorong market ini. Di antara sayur-mayur segar. Ia terkekeh dan berbalik untuk mendekati Sasya. Berjongkok agar bisa menyejajarkan tingginya dengan sang istri.
"Capek banget, ya?" tanyanya geli. Agaza membalikkan tubuhnya, menyuruh Sasya untuk naik ke atas punggungnya. "Sini, biar saya gendong."
Bukannya menurut, Sasya malah mendorong Agaza dengan tangannya sekuat tenaga. Kalau tidak seimbang bisa nyium lantai pokoknya wajah Agaza. "Lo pikir gue cacat? Masih bisa jalan gue!" ucapnya kesal.
"Ya sudah tunggu di sini, saya mau bayar ini dulu ke kasir."
Agaza membawa troli berisi keperluan mereka, menjauh dari Sasya yang penampilannya persis seperti gembel. Hari ini wanita berusia dua puluh enam tahun itu hanya memakai kaus strip hitam-putih panjang dan celana training warna abu-abu.
Seorang wanita berdiri di depannya, mengambil paprika yang berada di rak atas kepala Sasya sambil matanya menatap dengan terang-terangan ke arah Sasya dengan pandangan menilai. Pengin nyolok matanya kalau tidak ingat ini di tempat umum. Wanita itu memakai dress bunga selutut dengan sepatu heels warna hitam kilat, seperti mau pemotretan bukan mau ke pasar.
"Mbak, kalau duduk-duduk bukan di sini tempatnya. Ini untuk orang belanja," kata wanita itu sok lembut.
"Adik saya yang baru lahir juga tahu kalau ini tempat belanja!" balas Sasya sebal.
Sasya berdiri, menepuk-nepuk celana bagian belakangnya yang kotor. Menyejajarkan tingginya dengan wanita itu, yang tetap saja Sasya kalah tinggi. Bukan karena heels, bukan, tapi memang Sasya punya ukuran tubuh yang mungil.
"Nah itu! Adiknya aja tahu, masa mbak-nya nggak tahu sih fungsi tempat ini."
Wanita itu memilih paprika, memasukkan yang kira-kira punya kualitas bagus, kemudian berlalu begitu saja tanpa mau mendengar balasan lagi dari Sasya. Lagian siapa sih yang mau bicara lama dengan gembel seperti Sasya ini?
"Kenapa cemberut?" tiba-tiba Agaza datang mengagetkannya dengan pertanyaan.
Sasya memukul pundak Agaza, membuat pria itu meringis kesakitan. "Ngagetin! Lama banget sih? Kemana aja?" tanyanya ketus.
Pria itu menarik tangan Sasya, menyelipkan jemarinya di antara jemari tangan Sasya yang ukurannya kecil sekali. Sebelah tangannya mendorong troli belanjaan mereka. Berjalan keluar market dengan langkah pelan. Agaza tuh pengin nikmati waktunya bersama Sasya untuk hari ini.
"Kamu belum jawab pertanyaan saya loh, kenapa cemberut?" tanya Agaza mengulang.
"Tadi gue ketemu orang, nyebelin banget! Songong banget tahu gayanya, ish! Mana sok cantik lagi," cerita Sasya menggebu-gebu. Agaza selalu suka dengan sikap ekspresif istrinya.
Agaza terkekeh. "Cocok berarti," ucapnya kemudian.
Sasya langsung menoleh ke arahnya, berhenti di samping Agaza yang mulai memindahkan belanjaan mereka ke dalam bagasi mobil di parkiran modern market. "Maksudnya cocok gimana?" tanya Sasya curiga.
"Cocok. Sama-sama songong."
Agaza sialan! Umpat Sasya dalam hati.
Sasya memilih berjalan ke bagian depan mobil, masuk dan duduk santai sembari menunggu Agaza yang siap dengan belanjaan mereka yang cukup banyak itu. Matanya berkeliling keluar jendela, mendapati wanita sok cantik itu yang berjalan ke arahnya, meneruskan langkah ke belakang mobil dan ... dan menyapa Agaza dengan pelukan dan kecupan di pipi. Wanita ganjen! Sasya kembali keluar dari mobil, berjalan cepat ke arah bagasi dengan raut wajah jutek.
"Nah, ini istri saya. Namanya Sasya," ujar Agaza tiba-tiba. Pria itu menarik lengan Sasya, menyelipkan tangannya di pinggang ramping sang istri.
Wanita yang sudah Sasya labelin ganjen itu melotot berlebihan. Menatap Sasya dari atas ke bawah penuh penghinaan. Iya, Sasya tahu dia pendek, tapi tidak harus ditatap seperti itu dong!
"Jennifer Geofani," Jennifer mengulurkan tangannya, tersenyum manis saat matanya menatap ke Agaza dan kembali dengan ekspresi malas saat melihat ke arah Sasya.
"Sasya." Ia meraih tangan Jennifer sebentar, lalu melepaskannya kembali dua detik berikutnya.
"Agaza, aku nggak nyangka loh bisa ketemu kamu di sini. Ya ampun, kamu makin tampan ya sekarang? Aku makin kagum deh sama kamu!" ujar wanita itu dengan semangat dan ceria sekali.
Agaza hanya tersenyum singkat, semakin mengeratkan pelukannya di pinggang Sasya.
"Nanti kapan-kapan boleh dong kita lunch atau dinner bareng? Aku mau berdua sih, anggap saja sebagai pertemuan sepasang kekasih lama."
Pemirsa, apa kalian kuat mendengar ucapan demi ucapan wanita genit ini? Sasya saja nyaris muntah mendengarnya. Wanita yang tidak tahu malu, ah tidak tahu diri juga sepertinya.
"Jen, sepertinya saya harus pergi. Istri saya masih harus berbelanja keperluan pribadinya, kami permisi ya," kata Agaza sopan.
"Oh, oke. Lain kali kita harus ngobrol banyak. Oh iya, nanti kapan-kapan aku ke kantor kamu deh!" ucap Jennifer masih dengan tidak tahu malu.
Jennifer berlalu begitu saja meninggalkan mereka, setelah melirik tajam ke arah Sasya. Wanita itu bahkan nyaris mencium Agaza kembali kalau Sasya tidak dengan cepat menghalangi.
Sasya masih memperhatikan langkah Jennifer yang berjalan menjauh, hingga pelukan Agaza di pinggangnya tiba-tiba terlepas. Cowok itu beralih memeluk Sasya, menyandarkan kepala istrinya di dadanya dan mencium kepala Sasya berkali-kali. Mematri dengan jelas wangi rambut Sasya yang selalu disukainya.
"Itu ... siapa?" tanya Sasya.
Agaza tidak langsung menjawab, pria itu membawa istrinya masuk ke dalam mobil. Di mobil, keduanya kembali terdiam. Terlebih Agaza, pria itu sedang menyiapkan kalimat untuk mengatakan siapa perempuan yang barusan bersama mereka tadi.
"Za! Itu tadi siapa?" Sasya mengulang pertanyaannya. Wanita itu kini sudah menyerong menghadap Agaza yang sudah fokus menyetir.
"Itu ...," kembali menggantung kalimatnya, Agaza tidak yakin kalau Sasya bisa dengan tenang menerima ucapannya ini. "Eum, tapi jangan marah, ya?" ia coba memastikan.
Sasya tertawa pelan kemudian mengangguk cepat. Sudah tidak sabar mendapat jawaban dari Agaza atas pertanyaannya. Apa pun itu, pasti penting untuk Agaza. Ah, membayangkan seberapa penting wanita itu membuat Sasya tidak terima. Ada sebagian dalam dirinya yang merasa ... cemburu?
"Mantan saya," ucap Agaza pelan. Pria itu melirik takut-takut ke arah Sasya yang langsung terdiam di tempat duduknya.
Benar saja, setelah mengetahui fakta bahwa perempuan tadi adalah satu-satunya wanita yang pernah berhubungan dengan Agaza-selain dirinya yang sebagai istri-membuat Sasya ingin menangis, meluapkan perasaan menyebalkan yang bersarang dalam hatinya. Sungguh, ia tidak tahu kalau kata 'mantan' yang keluar dari bibir Agaza bisa berdampak besar pada gejolak batinnya.
"Oh." Meski demikian, tapi respon Sasya tidak berlebihan. Lebih tepatnya tidak tahu harus merespon seperti apa.
"Kamu tidak marah?" Agaza menoleh, kebetulan traffic light sedang berwarna merah. "Saya tidak punya urusan lagi dengan dia, kok!"
Sasya balas menatap Agaza. Wanita itu tersenyum kecil dan menggeleng pelan. Lagipula untuk apa ia marah? Agaza berhak berteman dengan siapa saja, dengan mantan sekalipun, yah ... yah, meski sebagian kecil dirinya tidak menyukai hal itu.
"Tenang saja ya, mantan itu hanya sekelumit masalah dari masa lalu, jadi tidak perlu cemburu."
Wajahnya memanas, padahal tidak ada yang salah dari kalimat yang Agaza ucapkan. Reaksi Sasya selalu berlebihan jika sedang
kepanasan, yah pasti karena hal itu. Sensitif sekali, makanya langsung ingin menangis saat mendengar bahwa Jennifer adalah mantan Agaza. Yap, pasti karena hawa udara yang terasa panas, bukan karena cemburu. Bukan.
"Siapa yang cemburu?" tanya Sasya melotot. Tidak terima dengan ucapan suaminya.
"Kamu."
Traffic light sudah berubah warna, Agaza kembali pada tugasnya menyetir mobil mereka. Setidaknya sedikit kekhawatirannya berkurang. Sasya tidak menunjukkan reaksi berlebihan yang bisa memicu pertengkaran. Dalam diam Agaza tersenyum kecil, merasa sedikit di atas awan karena rencananya akan berjalan mudah. Agaza bukannya tidak tahu kalau Sasya itu mudah sekali jatuh hati kalau sudah diberi perhatian lebih. Maka dari itu, Agaza dengan berani mengajukan persyaratan terkait cinta yang akan ia bina di hati Sasya.
|¤|
Dengan setelan kaus dan celana training yang dipakainya ke pasar tadi, kini Sasya sudah berjalan di tengah keramaian mall bersama suaminya. Agaza tidak berniat sekali menawarinya berganti pakaian sebelum ke tempat ramai sesak gengsi itu. Dan Sasya tidak punya cukup keberanian untuk meminta hal itu. Hampir seminggu hidup dengan Agaza, Sasya jadi wanita yang lebih suka menurut.
Sasya akan mengajak Agaza ke toko pakaian lebih dulu sebelum berkeliling lebih lama di tempat itu. Setidaknya ia akan mengganti bajunya dengan pakaian yang lebih bersih dan wangi, bukan pakaian berbau bahan makanan seperti yang digunakannya saat ini.
Berbeda dengan Sasya, kini suaminya sudah memakai jaket denim yang membalut tubuh atletisnya. Pintar banget memang Agaza tuh, bawa persiapan langsung dari rumah.
Setelah memilih baju atasan bermotif batik berlengan pendek, Sasya langsung membayarnya. Mengganti kausnya langsung dengan atasan yang baru dibelinya. Memang, Sasya tuh seperfeksionis itu kalau sudah urusan belanja di mall.
Wanita itu berjalan cepat memasuki toko kosmetik di lantai tiga, meninggalkan Agaza yang masih menggelengkan kepalanya takjub. Ini nanti dia lho yang bayar, tapi dia juga yang ditinggalkan seolah tidak dibutuhkan.
"Gue mau yang ini, ini, dan ini. Ah, lipstiknya bagusan ini deh kayaknya, ya udah gue beli keduanya aja."
Sementara Sasya sibuk dengan pilih-memilih kosmetik yang tidak Agaza ketahui-tidak mau Agaza ketahui juga-pria itu dibiarkan duduk di kursi yang disediakan toko itu sambil memainkan gawainya, membaca berita online yang menjadi trending topik hari ini.
Satu berita sudah dibacanya, dua berita berikutnya, sampai hampir lelah mata Agaza menatap benda pipih itu, tapi sang istri belum juga selesai dengan kesibukannya. Pria itu mendongak, betapa terkejutnya saat melihat wajah Sasya yang sudah berlapis make up. Cantik sih, tapi kok ya berani banget warnanya. Agaza berdiri, berjalan cepat ke arah Sasya, menarik selembar tissue basah dan mengelap wajah Sasya yang baru saja diberi sapuan make up.
"Ngapain sih make up-an segala?" tanya Agaza sambil masih membersihkan wajah Sasya.
Sasya cemberut. Dia memang suka make up, tapi untuk urusan make up yang sangat berani seperti yang dilakukannya saat ini baru pertama kalu dicoba. Ia melihat wajah Jennifer tadi, cantik dengan sapuan make up tebal. Entah apa yang membuatnya jadi berpikiran untuk seperti itu, padahal kalau dipikir lagi tidak ada gunanya sama sekali.
"Jennifer tadi ... cantik, ya? Padahal make up-nya tebal loh." Gerakan tangan Agaza terhenti. Pria itu menatap Sasya dalam, mencoba menggali makna dari ucapan sang istri.
"Ma-maksudnya?" tanya pria itu tidak mengerti. "Eh? Jangan bilang kamu make up seperti ini karena lihat Jen tadi?"
Sasya harus mengangguk atau berusaha menyangkal? Ia takut ketahuan kalau berusaha menyangkal pemikiran Agaza. Oke, mungkin diam adalah cara terbaik. Wanita itu kembali meletakkan jemari besar Agaza yang masih memegang tissue ke wajahnya, menyuruh suaminya kembali melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda.
"Jennifer memang cantik," ujar Agaza tiba-tiba di tengah kegiatannya membersihkan wajah Sasya. Wanita itu menahan gejolak emosi, bisa-bisanya Agaza memuji wanita lain di hadapannya. "Tapi, kamu yang tanpa atau dengan sapuan make up tipis jauh lebih mempesona. Makanya jangan kasih lihat kecantikan kamu yang lebih dengan make up tebal kayak gini. Saya tidak suka."
Wajahnya memanas. Oh sialan, Agaza! Dasar mulut sialan! Bisa-bisanya mengeluarkan kalimat seperti itu di saat posisi tubuh mereka yang sangat dekat seperti ini. Bagaimana jika Agaza melihat rona merah di wajahnya atau ... atau Agaza sadar kalau Sasya sedang tersipu malu. Ah, sialan! Agaza tidak boleh tahu, maka secepat yang ia bisa menjauh dari Agaza. Menggunakan alasan kebelet dan pergi begitu saja sambil menutupi kedua pipinya. Agaza terkekeh pelan di tempatnya, sebelum Sasya punya pemikiran kabur Agaza sudah lebih dulu melihat rona merah di pipi istrinya. Lucu. Agaza suka.
|¤|
"Yang harus kamu tahu, setiap orang itu bisa berubah."|¤|Agaza masih belum mau bicara padanya sejak dua hari lalu, ya sudah dua hari berlalu dan semuanya masih sama. Pria itu mungkin marah pada Sasya karena dengan seenaknya membicarakan hal yang tidak-tidak tentang sahabatnya, tapi Sasya juga kesal karena apa yang dia lihat bukan hal yang diada-adakan, semuanya memang terjadi. Sayangnya Sasya tidak punya bukti.Soal mencari kerja bahkan Sasya tidak melakukannya, alasannya karena tidak berani meminta izin keluar pada Agaza. Bicara saja tidak mau, boro-boro memberi izin. Begitu yang wanita itu pikirkan.Maka selama itu pula Sasya hanya diam di rumah, mencoba beberapa resep masakan dan membagikan hasilnya kepada tetangga. Kalau menurutnya gagal, Sasya akan membuang hasil kerja kerasnya itu ke tong sampah. Jangan harap Sasya akan memakannya, karena semua makanan dimasak dengan matang, dia hanya me
"Coba pikirkan kembali, kira-kira apa yang salah dari dirimu?"|¤|Sasya akui bahwa mencari kerja tanpa relasi memanglah sulit. Kalau dihitung-hitung, sudah hampir dua minggu dirinya berkeliling mencari perusahaan yang membuka lowongan pekerjaan, tapi selama itu pula dirinya tidak mendapatkan hasil yang memuaskan. Namun, hatinya meyakini bahwa dia akan mendapat apa yang dibutuhkannya saat ini, yaitu pekerjaan.Wanita itu masuk ke dalam gedung berwarna pastel di depannya, berdoa semoga ini menjadi rezekinya."Oh iya, Mbak, kebetulan kami sedang mencari office girl di sini, mari saya antar masuk ke dalam." Begitu ujaran satpam ketika Sasya bertanya apakah perusahaan tersebut membuka lowongan pekerjaan atau tidak.Office girl katanya? Memang wajah Sasya dan setelannya terlihat seperti orang yang akan melamar menjadi tukang membuat kopi?
Jarum pendek di jam dinding kamar mereka sudah menunjukkan pukul sebelas ketika keduanya masuk ke dalam kamar. Sasya mengempaskan tubuhnya ke atas ranjang, lelah sekali rasanya setelah menjalani hari ini. Sedangkan Agaza memilih untuk membersihkan tubuhnya, dia memang tidak sempat mandi saat di rumah kedua orang tuanya, sibuk ndusel-ndusel seperti anak kucing pada Sasya.Ketika Agaza keluar dengan pakaian yang sudah lengkap pun, Sasya masih tidak beranjak. Dia masih memejamkan mata meskipun telinga mendengar suara pintu kamar mandi terbuka."Kamu nggak mandi, Sayang?" tanya Agaza seraya meletakkan handuk ke atas sofa di kamar mereka."Taruh handuk di tempat lo ngambil, Za!" peringat Sasya, sudah terlalu hafal dengan kebiasaan buruk sang suami.Agaza menurut. Pria itu kembali berjalan menuju sofa kamar mereka, mengambil handuk yang dilemparkannya, lalu beralih melangkah ke atas
Makan malam sudah tersaji di atas meja makan dengan berbagai macam lauk yang Sekar masak. Semua hasil kerja kera Sekar, ya memang begitu kenyataannya. Mertuanya itu belum bisa percaya dengan kemampuan memasaknya.Agaza datang bersama Sinta, membuat mood Sasya yang sudah anjlok menjadi hancur berantakan. Sungguh, lama-lama dia muak juga dengan tingkah Sinta yang menyebalkan. Perempuan itu seperti tidak tahu malu, sudah jelas Agaza adalah suami orang lain, tapi bisa-bisanya dia masih menggodanya."Eh kalian pergi bareng tadi kesini? Wah, Bunda senang banget loh. Agaza harus sering-sering ngobrol sama Sinta," kata Sekar antusias."Ekhem!" deham Karlex cukup kencang, memperingatkan istrinya.Seolah tidak mendengar teguran itu, Sekar malah membawa Sinta dan Agaza di sisi kanan dan kirinya, menghela keduanya ke meja makan tanpa perduli bahwa kini Sasya sedang memperhatikan mereka. T
"Membiasakan diri memang perlu untuk beberapa hal."|¤|Siklusnya masih sama. Ketika bangun pagi, Agaza akan langsung salat subuh, mandi, sarapan, dan langsung pergi kerja. Meskipun sudah jadi maniak, tapi jika urusan pekerjaan memang tidak bisa ditinggal. Dia akan kembali jadi sosok Agaza yang ambisius dan cuek seolah tidak pernah terjadi apa pun antara dirinya dan sang istri di hari sebelumnya.Di kantor, sudah banyak tugas yang menunggu diselesaikan.Ditambah kenyataan bahwa hari ini sang sekretaris tidak bisa hadir karena anaknya masih sakit. Agaza bukan bos kejam yang akan menahan seorang ibu di tempat pekerjaan sementara anaknya bertarung dengan kematian di rumah.Untungnya Agaza mandiri, dia bisa langsung menerima berkas yang harus dilihatnya. Namun, hal itu ternyata tidak begitu baik untuknya, karena jadi banyak orang yang masuk ke dalam ruanganny
Benar-benar menyebalkan.Sasya menyediakan makanan dan teh di dapur, sedangkan Agaza mengobrol dengan tamu mereka yang Sasya curigai sebagai selingkuhan suaminya itu. Oh, bahkan Agaza menyuruhnya menyiapkan semua ini tanpa merasa bersalah setelah membuatnya kelelahan hampir dua belas jam terakhir.Bukankah Agaza seperti memiliki kepribadian ganda? Mudah sekali berubah!Gerakan tangan Sasya terlampaui cepat saat memindahkan banyak camilan ke dalam wadah yang telah diambilnya, membuat satu gelas minuman lagi dengan rasa tidak rela. Benar-benar tidak rela!Setelah semuanya selesai, wanita itu meletakkan wadah berisi camilan dan gelas-gelas ke atas nampan. Membawa makanan dan minuman dengan langkah kaki cepat menuju ruang tamu.Sampai di sana dia mendapati pemandangan yang menyesakkan dada. Tidak kuat terlalu lama menahan bawaannya karena tangannya lemas, Sasy
Weekend seperti ini seharusnya digunakan sebaik mungkin berjalan-jalan keluar untuk menikmati udara segar setelah satu pekan yang menyesakkan, tapi menurut Agaza di waktu liburnya harus digunakan sebaik mungkin untuk bermesraan bersama istrinya.Sejak tadi pria itu tidak kunjung melepaskan istrinya yang hendak keluar dari dekapannya. Wanita dalam pelukannya sudah mengomel dan mengabsen nama binatang di dalam hatinya, tapi Agaza tak kunjung menuruti ucapannya.Sasya menggigit bahu Agaza berharap pria itu mau melepaskannya, tapi tidak. Harapan memang tidak pernah sesuai kenyataan. Alih-alih kesakitan dan melepaskan pelukannya, pria itu malah semakin erat memeluknya dan tertawa."Gemas banget sih punya istri," gumamnya."Gue nggak bisa napas, Agaza!""Mau dikasih napas buatan?" Agaza mendongak hanya untuk menatap iris kecokelatan milik istrinya dengan raut wajah po
Ini awalnya kan aku yang mau ngerjain, kok malah aku yang dikerjain, sih?|¤|Sasya berusaha mendorong tubuh Agaza yang menghimpitnya. Pria itu menahan tengkuknya agar tidak bergerak terlalu banyak, sementara bibirnya membungkam bibir mungil sang istri yang sedari tadi masih tidak membalas.Jujur saja, Sasya kewalahan menghadapi serangan suaminya. Agaza seperti pria yang sudah ahli dalam melakukan hal ini, itu juga yang sejak tadi malam bersarang di kepalanya. Ia berpikir apakah memang dirinya bukan yang pertama untuk Agaza?"Za!" protes Sasya begitu pergulatan dua benda kenyal tersebut terlepas.Agaza sengaja melepaskan ciumannya saat merasa bahwa Sasya sudah kehabisan napas. Ingin melanjutkan sebelum kegiatannya terhenti karena mendengar langkah kaki mendekat. Agaza buru-buru menjauhkan badan, Sasya melakukan hal yang sama. Keduanya merapikan tampilan, takut
Agaza menggerutu saat Tisya masuk membawa beberapa berkas lagi. Kali ini bukan tandatangan yang dibutuhkan, melainkan koreksian pada berkas perencanaan yang akan dilakukan untuk menjalin kerja sama dengan perusahaan furniture lain. Mungkin menggaet pengusaha-pengusaha kecil atau membangun relasi dengan pihak luar—selain pusat perusahaan mereka. Entahlah, Agaza juga tidak tahu karena belum membacanya.Meskipun mendapat posisi sebagai kepala cabang, Agaza selalu memiliki keinginan bisa membangun relasi diluar dari yang perusahaan pusat bangun. Dia ingin bagian yang dikelolanya bisa mandiri tanpa melupakan bahwa mereka punya perusahaan pusat."Ada lagi yang perlu saya kerjakan, Tisya?" tanyanya.Tisya menggeleng. "Sepertinya sih tidak, Pak. Tapi, nggak tahu kalau tiba-tiba bagian keuangan mengirim laporannya, mengingat ini sudah mendekati tenggat yang Bapak kasih.""Saya ka