Share

Surat Perjanjian

Kenzo tak peduli pada ucapan Brata dan Lidia yang menentang keputusannya. Ia tetap pada pendiriannya—membawa Kenzie ke hadapan mereka. Malam ini, Kenzo datang menjemput Kenzie, dan mengajaknya bertemu Lidia dan Brata.

Selama di perjalanan, Kenzie menanyakan banyak hal, ia sangat gugup. Sedangkan Kenzo, lelaki itu cuek saja, mengabaikan ocehan Kenzie dan memilih fokus pada kemudi.

“Sudah sampai,” ucap Kenzo.

Benar saja, mobil mewah Kenzo sudah tiba di rumah yang bagi Kenzie lebih terlihat seperti istana.

Perlahan tapi pasti, tangan Kenzo menggenggam jemari Kenzie, mereka melangkah bersama, menemui orang tua Kenzo yang auranya begitu menakutkan di mata Kenzie.

“Ma, Pa.” Kenzo mencium punggung tangan orang tuanya, sambil terus menggenggam jemari Kenzie.

“Selamat malam, Om, Tante” sapa Kenzie berusaha ramah. Ia melakukan apa yang Kenzo lakukan, mencium punggung tangan Brata dan Lidia secara bergantian.

“Malam,” balas Brata singkat.

“Selamat malam. Siapa namamu?” Lidia menatap Kenzie dari atas hingga bawah, seolah tengah menilai wanita seperti apa yang menjadi pilihan putranya.

Kenzie tersenyum tipis. Dari sorot mata dan ekspresi saja, Kenzie tahu kalau orang tua Kenzo tak menyukainya. Bahkan, Ibu Kenzo menatapnya seolah dia adalah seorang kriminal.  

“Kenzie, Tante,” jawab Kenzie sopan.

“Nama kampungan!” Gumaman Lidia terdengar jelas oleh Kenzie. Ia menggigit bibir bawahnya, ingin sekali menjawab namun tak mungkin. Kenzie harus menjaga sikap di depan mereka.

Sementara Kenzo, lelaki itu semakin mengeratkan genggamannya. Kenzie tak mengerti mengapa Kenzo bersikap demikian. Padahal, apa yang mereka lakukan malam ini bukanlah sungguhan.

“Silakan duduk, dan makan dengan tenang. Setelah itu, ceritakan tentang dirimu,” pinta Lidia.

Kenzie mengangguk dan menurut saat Kenzo menarik kursi dan mempersilakannya duduk. Ia duduk berdampingan dengan Kenzo, dan berhadapan dengan Brata. Kenzie sadar, sesekali Brata melirik padanya.

Makan malam berlangsung hening, hanya ada suara dentingan sendok dan garpu yang memenuhi ruangan. Kenzie tak bisa berbuat banyak selain menyantap nasi dan lauk pauk di piringnya sampai tandas.

Beberapa menit berlalu. Sesuai permintaan Lidia, usai makan malam, Kenzie menceritakan segala hal tentang dirinya tanpa ada yang ditutup-tutupi. Ia mengatakan dengan gamblang bagaimana kehidupannya pasca kedua orang tuanya meninggal.

“Jadi, kau yatim piatu dan menjadi kepala keluarga?” tanya Brata.

“Iya, Om,” balas Kenzie.

“Aku tahu, semua yang kau katakan itu kebohongan, kau melakukannya demi menarik simpati kami. Iya, kan?” Lidia menimpali. Ia menatap Kenzie sambil tersenyum sinis. “Aku sudah sering bertemu orang-orang sepertimu,” sambungnya.

“Ma!” Kenzo yang sedari tadi diam, angkat bicara. “Cukup menghakimi Kenzie. Dia tidak seperti yang kalian pikirkan!”

Kenzie yang mendengar nada bicara Kenzo naik beberapa oktaf, mengusap lembut lengan lelaki itu. “Tenang, Om, dia orang tuamu, jangan bicara seperti itu,” bisiknya.

Sedangkan Lidia, ia menatap ke arah lain. Sudah jelas, dari segi manapun Rhea seratus kali lebih baik daripada Kenzie.

“Kau sudah buta hingga tidak bisa menilai perempuan seperti apa Kenzie ini! Dia hanya jalang yang memanfaatkan kekayaanmu, sama seperti wanita sebelumnya!” balas Lidia. Ia tetap pada pemikirannya.

Lidia pergi meninggalkan meja makan setelah mengatakan apa yang ingin ia katakan, tak lama kemudian, Brata menyusul. Kenzie menghela napas, ia sudah menduga hal ini akan terjadi, bahkan saat pertama kali bertemu Kenzo.

“Maafkan orang tuaku. Mereka begitu karena tidak mengenalmu,” ucap Kenzo. Entah karena alasan apa, ia merasa harus meminta maaf.

“Tidak apa-apa,” ujar Kenzie.

“Kau tersinggung?”

“Untuk apa? Yang mereka katakan tidak ada satu pun yang benar. Aku bicara apa adanya, bukan untuk menarik simpati mereka.”

Kenzo tersenyum, ia menyelipkan rambut Kenzie ke belakang telinga sambil menatap wajah cantik wanita itu. “Good. Aku tidak menyesal telah memberimu seratus juta,” ungkapnya.

“Beri aku lima ratus juta, sekarang!” pinta Kenzie. Bohong jika ia mengatakan tak tersinggung, hatinya sedikit tercubit mendengar penghinaan orang tua Kenzo. Maka, Kenzie berniat menghibur diri dengan meminta uang pada lelaki itu.

“Akan kuberikan. Hanya saja, kau harus tidur denganku malam ini.” Kenzo mengerlingkan matanya.

“Om-om mesum, aku bukan jalang!”

Kenzie memukul Kenzo sekuat tenaga, merasa kesal setengah mati pada lelaki yang selalu bicara asal tanpa memikirkan dampak dari ucapannya.

“Jangan terlalu buas, aku hanya bercanda.”

“Aku bukan singa!” pekik Kenzie yang sontak membuat Kenzo tertawa.

***

“Mereka tidak suka padaku. Apa tidak sebaiknya kau mencari wanita lain yang sepadan denganmu? Atau menikahlah dengan gadis bernama Rhe…”

“Diam! Atau aku akan menurunkanmu di sini?!” ancam Kenzo. Saat ini, mereka sedang dalam perjalanan menuju rumah Kenzie setelah kejadian tak mengenakkan saat makan malam tadi.

“Mengapa kau mempersulit diri sendiri?! Menikah saja dengan gadis itu, maka masalahnya akan selesai. Kau juga tidak perlu mengeluarkan banyak uang untuk membayarku.” Bukannya menuruti ucapan Kenzo, Kenzie malah memberi saran, saran yang sama sekali tidak ingin Kenzo dengar.   

Kenzo menepikan mobilnya, kemudian menatap tajam pada Kenzie. Kenzie memindai ke segala arah, dan tak mendapati motor atau mobil lain melintas di sana. Suasana yang sepi dan hening membuat Kenzie panik. “Kau tidak serius dengan ancamanmu, kan?”

Kenzo hanya diam seraya tersenyum sinis. Ia mengambil ponselnya untuk bicara dengan seseorang. Kenzie yang masih sangat panik, sibuk melihat ke luar jendela, dan memastikan tidak ada hal mencurigakan di sekelilingnya.

Tak lama setelah panggilan usai, pria berpakaian serba hitam mengetuk jendela, Kenzo menurunkan kacanya dan mengambil map yang dibawa orang itu kemudian memberikannya pada Kenzie.

“Baca dan tanda tangan di sana,” titah Kenzo dingin.

Kenzie mengambil map pemberian Kenzo, dan membaca isinya dengan seksama. Setelah selesai, ia menatap Kenzo dan kertas tersebut bergantian. Setelah kejadian saat makan malam tadi, dan saran yang sempat ia lontarkan, mengapa Kenzo malah melakukan ini? Seolah tidak terpengaruh dan tetap pada keputusannya.

“Jangan menatapku begitu!” ketus Kenzo.

“Tapi, untuk apa ini semua?” Kenzie belum mengerti, untuk apa surat perjanjian itu? Bukannya mereka sudah sepakat untuk melakukan kerjasama? Mengapa harus ada surat perjanjian segala?

“Untuk memastikan kau tidak akan ke mana-mana.”

“Maksudnya?”

“Tanda tangan saja, jangan banyak bicara!”

“Aku akan tanda tangan. Tapi, berjanjilah satu hal, selama pernikahan kita kau tidak akan menyentuhku.”

Kenzo tak langsung menjawab, tatapannya menelisik, mengamati Kenzie secara intens.

“Hei! Apa yang kau lihat? Dasar om-om mesum!” maki Kenzie seraya menutupi bagian dadanya.

“Kecil. Aku sama sekali tidak tertarik.”

“Brengsek!” Kenzie memukul kepala Kenzo cukup keras.

Kenzo tertawa. Tawa yang tanpa sadar membuat Kenzie terpaku. Lagi-lagi, Kenzie terpesona dengan ketampanan Kenzo. Namun, saat mengingat siapa laki-laki di sampingnya, Kenzie menggeleng keras, ia tidak boleh tertarik pada pria seperti Kenzo. Mereka berbeda dari segala sisi.

“Aku tidak akan menyentuhmu, kecuali…”

“Kecuali apa?”

‘Khilaf,' batin Kenzo.” Sudah lah, tanda tangani saja! Kau terlalu berlebihan.”

Kenzie menatap Kenzo sekali lagi. “Kalau kau sampai menyentuhku, aku tidak akan segan-segan melaporkanmu pada polisi!” ancam Kenzie seraya merebut pulpen di tangan Kenzo.

“Terserah kau saja, aku sudah lelah meladeni anak kecil sepertimu!”

“Jangan panggil aku anak kecil!”

“Lantas apa? Siva?!”

“Kau saja yang terlalu tua,” cibir Kenzie seraya membubuhkan tanda tangan di atas materai.

Begitu Kenzie selesai menandatangani, Kenzo mengambil alih kertas tersebut dan melakukan hal serupa, kemudian menatap dalam bola mata Kenzie sambil tersenyum samar. Tanpa Kenzo sadari, gadis kecil di sampingnya sudah merencanakan sesuatu yang besar untuk membalas perlakuan tidak menyenangkan ia juga keluarganya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status