Sarah mempersilahkan keluarga Arya masuk dengan sangat ramah. Ternyata seperti kebanyakan ibu-ibu, Sarah dan Emily bisa langsung akrab.
Bahkan Emily yang tadinya terlihat kurang setuju, tapi begitu melihat cantiknya wajah Gisella, wanita paruh baya itu langsung mengusap-usap punggung Arya — gestur kalau wanita paruh baya itu suka dengan pilihan putranya. Keluarga Arya di bawa ke ruang keluarga. Ketika semua sudah duduk di tempatnya masing-masing, barulah kini terasa suasana yang sedikit suram. "Sebelumnya maaf, saya ingin bertanya pada Arya boleh?" tanya Bintang seraya menatap Arya. Arya mengangguk sopan, "Boleh, silahkan Pak." "Kenapa kamu menerima lamaran Putri saya?" kali ini Bintang menoleh ke arah Gisella. "Putri saya seharusnya menikah minggu depan dengan tunangannya, tapi ternyata calon suaminya malah berselingkuh. Mungkin karena terlalu emosi, dia malah mengambil keputusan impulsif dengan melamar Arya untuk menikah dengannya minggu depan. Arya, kamu sudah tau soal ini?" Arya menatap Gisella sebentar, lantas kembali menatap Bintang dengan senyum simpul, "Saya tahu Pak. Saya juga menerima lamaran Gisella dengan kesadaran penuh kok. Meski saya jauh lebih tua, tapi karena Gisella tidak masalah dengan itu, maka saya juga tidak masalah dengan saya yang menjadi pengantin pengganti." Emily dan Ferdinand yang baru mengetahui hal ini lumayan terkejut. Namun mereka bisa mengendalikan ekspresi dengan baik. Anakku jadi pengantin pengganti? Pikir Emily. Sementara Guntur yang sejak awal tidak suka dengan Arya, kini pemuda itu mencoba mencari-cari kesalahan Arya. "Emang kamu umurnya berapa?" Bintang dan Sarah langsung menoleh ke arah Guntur, memberikan tatapan peringatan. Tapi Guntur seolah menutup mata, dia akan mencari cara agar Arya batal menikah dengan adiknya. Arya balas menatap Guntur — sekali lihat pun Arya tahu, Guntur tidak menyukai dia — tapi pria itu tetap menjawab dengan sopan, "Tahun ini saya berusia tiga puluh tiga tahun." "Ha?! Tua banget!" celetuk Guntur. "Saya aja masih umur dua puluh lima tahun loh. Malas banget di panggil Abang sama orang yang jauh lebih tua." Gibran selaku saudara kembar Guntur langsung menatap tajam kakak laki-laki nya itu. Tanpa aba-aba, Gibran berdiri dan menarik tangan Guntur. "Maaf semuanya, saya izin undur diri." Saat melihat semua orang di sana sudah memberi izin. Gibran langsung menyeret Guntur pergi dari ruang keluarga. Saat si kembar tidak lagi terlihat, Bintang menatap keluarga Arya dengan canggung. Sungguh dia merasa sangat malu dengan kelakuan Guntur. Entah kenapa putra sulungnya itu selalu bersikukuh ingin menikahkan Gisella dan Adi. "Bisa kita lanjutkan?" tanya Ferdinand. Nada suaranya mulai terdengar dingin. Pria paruh baya itu tentu saja marah bila anak satu-satunya di hina, di depan matanya pula. Bintang mengangguk, dan rapat keluarga pagi itu lumayan berlangsung lama. Hingga keputusan di ambil, pernikahan akan tetap di langsungkan, tetapi harinya di ganti. "Jadi, kami menikah di tanggal dua puluh lima nya?" tanya Gisella memastikan. Matanya melirik Arya sejenak, tapi saat tanpa sengaja mata mereka bertatapan, Gadis itu buru-buru menoleh ke arah Ferdinand dan Emily. "Iya, di percepat satu hari. Maaf ya, bukannya apa. Tapi kami tidak mau Arya menikah di hari yang seharusnya kamu menikah dengan laki-laki lain. Anggap saja buang sial," ujar Emily. Dia menyukai Gisella, sangat menyukai gadis itu malah. Meski kelakuan Guntur agak membuat wanita paruh baya itu menahan kesal. Akhirnya kedua belah pihak setuju. Bintang juga memanggil ketua RT dan ketua RW serta beberapa tetangga untuk meresmikan pertunangan antara Gisella dan Arya. Kabar batalnya pertunangan Gisella pun sudah pasti setelah ini akan tersebar. Benar saja, begitu acara pertunangan itu selesai, datang tiga orang yang tidak terduga. Mereka adalah Adi dan kedua orang tuanya. Begitu melihat kedatangan keluarga yang cukup terpandang di kampung sebelah, ketua RT dan RW yang ada di sana lantas saling melirik dengan canggung. Siapa sih yang tidak kenal dengan Wiryo — ayahnya Adi — si petani sukses yang punya puluhan hektare tanah dari kampung sebelah? Bahkan Wiryo punya tanah yang tersebar di kampung-kampung lain. Bintang dan Sarah selaku tuan rumah tetap mempersilahkan keluarga Adi duduk. Mungkin sebaiknya semua masalah di selesaikan saat ini juga. Agar tidak ada masalah lain di kemudian hari. "Bagaimana ini, Bintang? Kalau saja Gisella tidak membatalkan pertunangannya dengan Anakku, harusnya masalah tidak akan jadi sebesar ini." Baru duduk, Wiryo sudah berucap demikian. Yang mana hal itu membuat orang-orang di sana jadi bertanya-tanya. "Gisella yang membatalkan?" "Loh, bukannya tadi katanya Adi yang selingkuh?" "Terus itu maksudnya Pak Wiryo apa?" Bisik-bisik tetangga yang hadir di sana mulai menggaung. Gisella yang geram ingin menimpali ucapan Wiryo, tapi tangannya keburu di tahan oleh Sarah. Wanita paruh baya itu berujar, "Maaf ya Pak Wiryo, saya sangat mengenal Gisella. Dia tidak akan mengambil keputusan besar seperti itu kalau tidak ada pemicunya. Kebetulan Gisella sudah menjelaskan ke kami semua, kalau masalahnya ada pada Nak Adi. Dia berselingkuh, dengan Vera. Bapak tentu tahu kan kalau Vera dan Adi sempat punya hubungan di masa lalu?" Wiryo tampak terkejut — dia tidak di beritahu soal itu — pria paruh baya itu beralih menatap putranya, ada tatapan marah di matanya. Adi sengaja tidak memberitahu ayahnya, karena dia pasti akan kena amukan pria paruh baya itu. Di tambah, orang tua Adi tidak pernah menyukai Vera sejak jaman mereka masih duduk di bangku SMA. "Saya udah bilang ke Sella, kalau saya pasti akan berubah. Saya khilaf, demi Tuhan!" Gisella yang sejak tadi menahan emosi, tapi ketika mendengar pembelaan Adi, gadis itu kembali tersulut emosi. Gisella berdiri dari duduknya, tangannya terangkat dan menunjuk wajah Adi dengan murka, "Selingkuh itu penyakit! Tidak usah bersembunyi di balik kata-kata Khilaf kalau ujung-ujungnya di ulangi lagi. Bang Adi, dengerin ya, aku tidak sudi balikan sama kamu!" "Sella, duduk. Yang sopan kalau bicara," tegur Bintang. Gisella yang di tegur ayahnya lantas menurut. Gadis itu duduk kembali, kali ini dia enggan menatap Adi. Yang ada gadis itu malah menatap Arya dengan tatapan intens. Muka Om Arya lebih enak di pandang dari pada muka Cicak cungkring satu itu. Pikirnya. Adi tidak putus asa begitu saja. Dia merasa kalau dirinya masih bisa di maafkan, dan masih layak mendapat kesempatan kedua. "Sella, Abang pasti akan berubah. Jadi tolong, jangan batalkan pernikahan kita. Abang janji setelah menikah tidak akan mengulangi kesalahan yang sama," ujar pria berkulit Tan tersebut dengan ekspresi wajah nelangsa."Mas minta maaf, ya? Mau jalan-jalan tidak? Mas akan belikan apapun yang Kamu mau, hm?"Gisella tidak menjawab. Gadis itu hanya terus terisak. Entah mengapa dia merasa sangat sedih. Membayangkan wajah Arya yang begitu dingin tadi, membuat air matanya kembali terjatuh.Sedangkan Arya yang melihat Istrinya masih terus menangis hanya bisa menarik napas panjang. "Sayang, udah ya nangisnya? Mas minta maaf. Mas tidak bermaksud memarahi Kamu."Tiba-tiba saja kepala Gisella terangkat dan menoleh ke samping. Di tatapnya wajah Arya dengan ekspresi kesal. "Tidak bermaksud marah, tapi ngebentak?"Arya menelan ludah susah payah. Benar, dia tadi memang sempat meninggikan nada suaranya. "Iya, Mas minta maaf ya? Mas kelepasan tadi.""Terus aja kelepasan. Yang tadi malam juga bilangnya kelepas—"Gisella diam, tidak jadi melanjutkan ucapannya. Ia malah kembali menenggelamkan wajahnya ke bantal. Bukan karena marah, melainkan karena malu b
"Mas!" Gisella berteriak kala dia sudah masuk ke dalam rumah.Langkah kakinya langsung menuju ke dapur. Benar saja, Arya sudah duduk di kursi meja makan, menunggu istrinya kembali. Di atas meja makan juga telah tersaji beberapa jenis makanan yang Gisella yakin baru saja Arya beli dari luar.Gisella berdiri di sebelah Arya. Kedua matanya menatap memelas ke arah Arya yang sedang menatapnya dengan dingin. "Maaf, Aku lupa mau ngabarin. Tadi A-aku ...""Udah ngomongnya? Duduk. Jam makan siang Saya sudah mau habis."Gisella langsung menutup rapat mulutnya. Dia sadar Arya sedang marah. Gisella tahu ini kesalahannya, karena itu dia akan diam sebagai bentuk rasa bersalahnya.Gisella berjalan ke arah kursi yang ada di depan Arya. Dia diam, matanya bergerak ke kanan dan kiri mengikuti pergerakan tangan Arya yang sedang mengambil nasi beserta lauk pauk yang tersaji.Sedangkan dua tangannya saling bertautan di atas pangkuan. Tenggorokannya te
"Kita mau kemana, Mom? Bukannya ini kawasan Apartemen?" tanya Gisella kala dia baru menyadari kemana arah mobil berjalan.Dulu saat dia masih bersekolah, dia sering melintasi area tersebut. Meski dia tidak pernah masuk dalam kawasan nya, tapi Gisella jelas tahu kalau area tersebut untuk kalangan kaum atas.Chloe menoleh ke samping, senyumnya terbit saat melihat wajah bingung sang menantu. Chloe fokus menyetir kembali. "Ada kenalan Mommy yang mau kenalan sama Istrinya Arya. Teman Mommy saat kecil dulu."Rasa cemas Gisella naik drastis. Jika itu teman masa kecil Chloe, berarti orang itu pernah melihat Arya kecil. Hal tersebut semakin membuat Gisella panik.Pasalnya, orang tersebut pasti nantinya akan ikut menilai Gisella.Bagaimana jika kenalan Mommy tidak menyukaiku? Bagaimana jika orang itu punya anak perempuan yang tadinya hendak di jodohkan dengan Mas Arya?Berbagai macam jenis pertanyaan dan prasangka singgah di kepala Gisella
[Kamu di rumah, Sayang?]Gisella membaca satu pesan masuk yang baru saja di kirimkan Chloe. Satu alisnya naik ke atas, ia di buat bertanya-tanya dengan pesan yang ibu mertuanya kirim.Gadis itu lantas menekan tombol icon telepon pada sudut kanan aplikasi Chatting tersebut."Assalamualaikum, Mommy. Iya, Gisella di rumah. Mommy mau ke sini?" tanya Gisella sambil membersihkan meja makan."Waalaikumusallam. Mommy udah di depan, buka pintunya dong. Tolong bantu Mommy bawain beberapa barang," sahut Chloe dari seberang telepon.Gisella menghentikan kegiatannya. Kepalanya menoleh ke arah pintu utama. Buru-buru dia meletakkan kain lap ke tempat semula, dan berlari kecil menuju pintu depan.Cklek!Gisella langsung melihat pemandangan Chloe yang sedang membuka pintu bagasi belakang mobil HR-V miliknya. Lekas Gisella berjalan mendekat. "Mommy bawa apa?" tanya gadis itu.Chloe menatap menantunya sejenak, kemudian kembali fokus mengeluarkan beberapa paperbag. "Ini Mommy beli baju buat kamu dan Arya
"Sayang, kamu berani sendirian di rumah kan?" Arya bertanya demikian karena dia harus tetap berangkat bekerja. Meninggalkan istrinya sendrian di rumah yang masih asing bagi gadis itu membuat Arya jadi kepikiran.Gisella meletakkan tas kecil berisi bekal ke atas meja di hadapan Arya. Mata coklatnya menatap Arya, "Aman aja. Nanti Aku telepon Mommy atau enggak teman-teman SMA ku."Arya meraih tangan istrinya yang masih berdiri di sebelahnya, dan menarik gadis itu agar mendekat. Arya memeluk perut Gisella dengan posisi dirinya masih duduk di kursi meja makan. "Mas yang kepikiran sama kamu. Kamu baru kemarin pindah ke sini. Nanti kalau kamu merasa bosan, datang aja ke kantor Mas ya?"Setelah kejadian semalam, Arya benar-benar mulai menunjukkan satu demi satu sifatnya. Salah satunya adalah sifat manja. Gisella sama sekali tidak memiliki ekspektasi kalau Arya bisa bersikap semanis ini.Tangan Gisella terangkat dan mengusap bahu suamin
Tetesan air dari dedaunan jatuh membasahi permukaan tanah. Udara sejuk subuh hari membuat siapapun enggan bangkit dari pembaringan. Merasa nyaman dalam balutan selimut tebal.Suara kendaraan bergemuruh sesekali di luar. Menandakan beberapa orang telah memulai aktivitas nya masing-masing. Mengais rezeki hanya untuk mendapatkan sesuap nasi.Subuh hari yang tenang. Hari yang cocok untuk memulai hari yang bersemangat.Gisella mengerjapkan mata. Ruangan yang temaram membuatnya harus mengerjapkan mata berulang kali. Saat itu juga ingatan semalam bagai menghantam kepalanya. Tubuhnya menegang, perlahan dia menoleh ke samping. Suaminya, masih berbaring di sebelahnya sambil memeluk satu tangan Gisella.Sial, imut banget — batinnya kala melihat wajah Arya yang tertidur pulas bagaikan bayi beruang yang terlihat begitu menggemaskan.Sangat berbeda dengan semalam. Arya yang mendominasi, mengungkung tubuhnya, menggerakkan pinggul dengan sentak