“Liam. Kamu udah lihat akun anonym yang sedang viral di media sosial? Dia menghina Evi. Menyebar foto seksi sambil melayani pria!”Suara Ardi terdengar terburu-buru di seberang telepon, penuh dengan nada panik.Liam yang baru saja keluar dari ruang perawatan Evi langsung terhenti langkahnya di koridor rumah sakit.Jantungnya seketika berdegup kencang, wajahnya menegang seiring informasi itu merambat masuk ke kepalanya.“Apa?” suaranya serak, namun berisi bara.“Akun anonym yang mengirimnya? Sudah pasti ini ulah Nala, kan? Pagi tadi dia datang ke kampung Evi dan menyebar fitnah, dan sekarang dia menyebar di media sosial! Bajingan!”Tangannya yang memegang ponsel mengepal begitu keras, urat-urat di pergelangannya menonjol.Napas Liam memburu dan matanya menajam ke arah kosong seakan menembus dinding rumah sakit.“Astaga, ulah Nala ternyata.” Ardi terdengar makin cemas. “Sekara
“Makan dulu.”Suara Liam terdengar tegas namun penuh kelembutan saat dia menggandeng tangan Evi menuju kantin rumah sakit.Bau khas antiseptik yang masih melekat di udara koridor rumah sakit akhirnya tergantikan oleh aroma sederhana masakan rumahan yang terhidang di kantin.Meja-meja kayu yang dipenuhi keluarga pasien menambah kesan ramai, tetapi di mata Evi, semuanya tampak buram.Dia berjalan menunduk, pundaknya turun, matanya bengkak karena terlalu lama menangis.Sejak ibunya dilarikan ke rumah sakit, Evi tidak punya waktu apalagi selera untuk makan. Tangisnya kerap pecah di sela-sela doa yang ia panjatkan dalam diam.“Sebenarnya saya belum lapar, Mas,” ucapnya lirih saat Liam menyodorkan nampan berisi seporsi nasi, sayur bening, dan ayam goreng yang ia pilihkan.Liam menatapnya tajam namun penuh pengertian. “Tapi, kamu belum makan, kan? Jangan bohong! Aku tahu kamu.” Nada suaranya setengah memak
Para tetangga yang biasanya sibuk dengan rutinitas mereka, kini terhenti sejenak ketika sebuah mobil mewah berhenti tepat di depan rumah sederhana milik keluarga Evi.Jendela-jendela rumah yang biasanya ramai dengan suara canda kini tertutup rapat, seakan menyembunyikan sesuatu di balik dindingnya.Anak-anak kecil yang sedang bermain di gang sempit berhenti melompat tali, melongo kagum melihat kilauan cat mobil yang begitu asing di lingkungan mereka.Liam turun dari mobil dengan raut wajah penuh keseriusan.Jasnya yang rapi kontras dengan debu jalanan kampung, membuat setiap mata yang melihatnya langsung terarah padanya.Dia berjalan mantap ke depan rumah Evi dan mengetuk pintu kayu tua itu beberapa kali.“Cari siapa, Pak?” suara seorang tetangga, seorang wanita paruh baya dengan daster lusuh dan tatapan penuh rasa ingin tahu, memecah keheningan.Dia pura-pura berjalan melewati rumah Evi, padahal jelas sekali sengaja memperhatikan.Liam menoleh dan matanya yang tajam menatap wanita it
Di sebuah penginapan sederhana di pinggir kota, Nala duduk bersandar di kursi kayu, menatap layar ponselnya dengan senyum puas.Jemarinya menggulir berita yang beredar di grup WhatsApp warga, di mana nama Evi disebut dengan nada hinaan.“Lihatlah,” bisiknya dengan senyum yang melebar. “Semua orang percaya. Secepat itu mereka menelan kebohongan yang kusuapkan.”Dia mengangkat cangkir kopinya dan meneguknya dengan pelan. Matanya berkilat penuh kemenangan.Beberapa pesan baru masuk.“Benar ya, Evi itu kerja begituan di kota?”“Pantas saja bisa tinggal di apartemen.”“Aduh, kasihan ibunya.”Nala tertawa kecil melihatnya. “Manusia selalu mudah percaya pada keburukan ketimbang kebaikan.”Dia lalu menyalakan rokok miliknya dan menghembuskan asapnya dengan puas. Bayangan wajah Evi yang pucat, mata yang mungkin berkaca-kaca, membuat
Suasana kantor sudah lengang ketika Liam akhirnya bisa bernapas lega setelah rapat panjangnya selesai.Jam dinding menunjukkan pukul delapan malam lewat. Semua meja di lantai itu sudah kosong, lampu-lampu sebagian besar dipadamkan, hanya tersisa cahaya dari ruangannya yang menyorot samar.Dengan langkah berat, dia menjatuhkan diri ke kursi kerjanya. Dasi yang sejak siang mencekik dilepaskannya, lalu tangannya meraih ponsel yang sejak pagi nyaris tak disentuh.Ada beberapa pesan masuk—rekan bisnis, notifikasi email, bahkan sekadar spam. Namun, satu hal langsung membuatnya terdiam. Tidak ada kabar dari Evi sejak pagi.Biasanya, gadis itu tidak pernah absen mengirim pesan. Entah sekadar mengingatkan untuk makan, menanyakan apakah rapatnya selesai, atau mengeluh kalau bosan menunggu.Alis Liam mengernyit. “Kenapa sepi sekali?” gumamnya dalam hati.Segera dia menekan nomor Evi. Nada sambung terdengar lama. Sekali, dua kali, tiga
Suasana rumah sakit perlahan mereda setelah perawat keluar dari ruang perawatan Mila. Mesin oksigen masih berdengung pelan, sementara cairan infus menetes dengan ritme lambat.Mila tertidur setelah diberi obat penenang, meski wajahnya masih pucat dan keningnya basah oleh keringat.Evi duduk di kursi dan pandangannya kosong menatap ibunya dari jauh. Air mata terus mengalir tanpa henti. Hatinya sakit, begitu sakit, karena ibunya menolak dirinya. Seakan dunia berubah menjadi asing baginya.Di sisi lain, Selly menatap Mbaknya dengan wajah penuh gelisah. Ia ikut terduduk lalu menggenggam tangan Evi dengan erat.“Mbak, jangan nangis lagi, ya. Aku percaya sama Mbak. Aku tahu Mbak nggak kayak yang mereka bilang.”Kalimat itu membuat Evi akhirnya menoleh. Mata merahnya menatap Selly dengan penuh rasa bersyukur sekaligus getir. “Terima kasih, Selly. Cuma kamu yang masih mau percaya sama aku.”Selly menggeleng dengan cepat. “Aku tahu Mbak orang baik. Aku tumbuh sama Mbak, aku lihat sendiri giman