“Vee? Tuan Belvan memanggilmu.” panggil seseorang dari arah pintu gudang, menghentikan obrolan ringan antara Valerie, Vanya, Dika, dan Jessica seketika.
“Tuan Belvan?” seru Jessica, keningnya langsung berkerut. Tuan Belvan adalah atasan dari atasannya Dika. Bagaimana bisa Valerie, yang bahkan hanya staff biasa, dipanggil langsung olehnya? Sedangkan dirinya yang sudah mendapatkan promosi, bertemu dengan atasannya Dika saja belum pernah.
“Kau kenal Tuan Belvan, Vee?” tanya Jessica, tidak mampu menahan rasa penasarannya.
“Enggak. Aku bahkan baru dengar namanya sekarang. Memangnya dia siapa?” balas Valerie, nada tidak terlalu peduli karena dia memang tidak mengenal siapa si Belvan-Belvan ini.
Jessica menatapnya serius. “Dia itu kepala sekretaris Tuan Zane. Orang yang ngatur semua jalannya perusahaan ini.”
Valerie mendadak merasa jantungnya berhenti berdetak. Bukan karena bangga dipanggil oleh sosok penting. Tapi karena... Belvan adalah tangan kanan Zane.
Dan Zane—adalah si presdir brengsek yang baru saja dia tampar di klub malam.
“Mati aku!” gumamnya pelan sambil menggeleng cepat, seolah bisa mengguncang pikiran buruk yang mulai menjerat kepalanya.
Tentu saja, gerakan itu langsung mengundang perhatian.
“Vee? Kenapa? Ada yang salah?” tanya Jessica, kini lebih terdengar kepo dari sebelumnya.
Valerie ingin menjawab. Ingin berkata sesuatu—apa pun, tapi tenggorokannya mendadak kering.
Dan sebelum ia sempat membuka suara...
“Veee! Cepatlah! Kau sudah ditunggu!!” teriakan dari luar kembali terdengar—lebih tegas.
***
Valerie berjalan cepat, nyaris berlari. Tadi ia diberi waktu lima menit untuk sampai di ruang Tuan Belvan. Dan sekarang, sudah memasuki menit keempat.
Keringat dingin mulai muncul di pelipisnya. Bukan karena lelah… tapi karena takut.
Ia tidak ingin menambah masalah. Tidak dengan datang terlambat, tidak ketika satu-satunya pekerjaan yang ia punya bergantung pada hari ini.
Valerie butuh uang. Dan lebih dari itu—ia butuh pegangan. Sesuatu yang bisa membuat hidupnya tetap berjalan, meski langkahnya terasa bergetar setiap kali nama Zane terlintas di benaknya.
Bagaimanapun caranya, ia harus mempertahankan pekerjaannya.
***
“Tok! Tok! Tok!” Valerie mengetuk pintu tiga kali sebelum akhirnya memberanikan diri membuka ruangan Belvan.
“Apa Tuan memanggil saya?” tanyanya sambil menunduk, berusaha terlihat tenang.
“Bukan Belvan yang memanggilmu. Tapi aku.”
Valerie langsung mengangkat kepala. Detak jantungnya seperti berhenti. Ia mengenal suara itu—terlalu baik.
Itu… suara Zane.
Zane melangkah pelan, membungkuk sedikit, mendekatkan wajahnya ke arah Valerie yang kini tampak pucat.
“Kau terkejut aku bisa ada di sini?” bisiknya tepat di depan wajahnya, senyum dingin menghiasi bibirnya.
“Jangan berharap kau akan tetap bekerja di sini.” ucapnya sambil menatap Valerie seolah ia sudah memenangkan permainan.
Zane menoleh ke Belvan, tapi suaranya jelas ditujukan untuk Valerie.
“Belvan… sejak kapan seorang wanita malam bisa bergabung di perusahaan kita?”
Kalimat itu terasa seperti tamparan kedua bagi Valerie.
Mulutnya ingin menjelaskan. Tapi lidahnya kelu. Sementara Zane tampak puas melihat ekspresi terkejut dan kecewa di wajahnya—seolah balas dendam atas tamparan di klub malam tadi telah resmi dilunasi.
“Zane… maaf. Apa sebenarnya yang terjadi?” tanya Belvan, bingung dengan atmosfer yang mendadak tegang.
“Aku ingin dia dipecat.” jawab Zane ringan, tanpa sedikit pun keraguan. Ia kembali berdiri tegak, matanya tak lepas dari Valerie, yang kini berusaha mengatur napas sambil menahan gemetar.
“Atas dasar apa Anda memecat saya, Tuan?” Valerie memberanikan diri bicara, suara lirihnya menyimpan desperation. Ia tahu betul—pekerjaan ini satu-satunya tumpuan hidupnya, dan keluarganya.
Zane mencibir pelan. “Dasarnya?” ulangnya sinis. “Apa latar belakang pendidikanmu cukup untuk bekerja di sini?”
“Saya lulusan S2, Tuan.” ucap Valerie dengan suara gemetar tapi dimantap-mantapkan.
Zane menatap tajam, wajahnya berubah sejenak. “Sial! Seharusnya aku cek dulu latar belakang pendidikannya!” gumamnya dalam hati, tidak menyangka Valerie ternyata lebih layak dari yang ia kira.
“Kau ini, Zane! Bagaimana bisa kau biarkan istrimu tertidur dengan rambut yang masih basah begini?!” gerutu Clare, sambil mengeringkan rambut panjang menantunya dengan hair dryer.Dengan langkah pelan dan dada berdebar, Zane mendekat. Ada satu pertanyaan yang mengganggu pikirannya: Sudahkah Valerie bicara sesuatu pada Ibu?Namun, melihat Valerie yang tetap diam di hadapan ibunya, Zane pun menyimpulkan bahwa ia belum menceritakan apapun tentang kejadian pagi tadi.“Zane tidak ingin mengganggu tidur Valerie, Bu,” ucapnya lembut, sembari mencuri pandang ke arah sang istri.“Tak mau mengganggu, katanya! Tapi badan menantuku sudah penuh totol-totol begini! Masih bilang tak mengganggu?!” sungut Clare dalam hati, matanya menangkap jelas jejak kepemilikan Zane di tubuh Valerie.Hal itu mengingatkan Clare pada masa lalu—saat Arka juga pernah membuatnya tampil bak siluman berbintik, macam tutul.“Astaga, mulutku gatal sekali ingin membalas perkataanmu, Zane…” desah Clare lirih, menahan gejolak
“Hhuh... Apa boleh aku menonjok wajahmu sekali lagi?” tanya Belvan begitu santai sambil menuangkan jus ke dalam gelasnya.“Jujur saja, Zane... aku masih ingin menghajarmu. Tapi aku tahan. Wajahmu yang sekarang saja masih belum hilang lebamnya,” seloroh Belvan.“Sorry...” ujar Zane pelan.“Katakan itu pada Valerie,” suruh Belvan dengan nada santai.“Aku pasti akan mengatakan itu padanya. Bahkan seumur hidupku kalau perlu, aku akan mengatakannya pagi, siang, dan malam,” jawab Zane sambil melamun memandangi gelas jusnya.“Dia marah padamu?” tanya Belvan berikutnya.“Heem... sudah pasti,” jawab Zane tetap dengan pandangan kosong.“Kau menyerah mendapatkan kata maafnya?” tanya Belvan lagi.Zane menggeleng. “Tidak! Tidak akan pernah,” jawabnya tegas meski dengan tatapan kosong.“Bagus,” seru Belvan, cukup puas dengan jawaban Zane.“Apakah kau tidak marah lagi padaku? Aku sudah berprasangka buruk padamu. Dan juga menjebakmu.,” Zane memberanikan diri bertanya.Rasa bersalahnya pada Valerie saj
“Zane... Valerie mana?” tanya Clare yang sedang sibuk di dapur bersama beberapa pelayan, sebab malam ini akan diadakan pertemuan keluarga seperti yang dijanjikan oleh Arka sebelum akad pernikahan Zane dan Valerie.“Valerie baru saja tidur, Bu,” jawab Zane sambil mengambil sebuah piring dan mengisinya dengan nasi.“Apa kau mau makan, Zane?” tanya Clare yang langsung menghentikan kegiatannya dan menuju meja makan untuk menemani Zane makan siang.Clare tahu kalau Zane dan Valerie belum makan apa pun sejak pagi karena tadi Clare dan Margaret sempat singgah ke kamar Zane dan Valerie. Namun karena tidak ingin mengganggu pengantin baru, Clare membiarkan saja Zane dan Valerie tetap di kamar.Dalam pikiran Clare: nanti kalau sudah capek dan lapar, paling juga akan turun.Dan terbukti...Saat ini Zane sudah keluar dari kamarnya dan langsung menyendok nasi untuk dimakan.“Heem... aku akan makan nanti, Bu. Ini untuk Valerie,” jawab Zane sambil terus mengisi piring tersebut.Zane sadar kalau ibunya
“Lepaskan tanganku!” sentak Valerie sekali lagi sambil menyentak tangannya dengan getar kemarahan yang tertahan.“Urusanku dan dirimu sudah selesai, Zane! Jangan campuri urusanku lagi!” ujar Valerie.Zane mengunci pergelangan tangan Valerie dengan genggaman baja, menariknya hingga tubuh Valerie yang ringkih terhempas ke dadanya. Bau sabun mintnya menusuk, mengingatkannya pada malam ketika aroma yang sama menyesakkan napasnya di antara helai-helai sprei."Sudah kubilang—" suara Zane menggerus telinganya, “aku sangat menyesali perbuatanku padamu!”Zane menatap lekat mata Valerie yang merah dan penuh air mata.Ia menekan pinggang Valerie hingga tubuh Valerie benar-benar menempel padanya dan berkata, “Aku bahkan sudah meminta maaf padamu, Valerie! Aku tahu itu tidak akan pernah cukup untuk membayar semua kesalahanku. Tapi bukan berarti hanya karena kau tidak mau memaafkanku dan juga membenciku, maka kau bisa lepas dari diriku, Valerie!”Valerie mendongak. Matanya yang merah bertemu sorot
“Apa yang kau lakukan, Valerie?!” teriak Zane, melihat tangan Valerie mulai membuka jubah mandinya hingga jatuh ke lantai.Kini, Valerie berdiri polos di hadapan Zane.“Valerie, kau gila!” Zane langsung berjongkok, meraih jubah mandi Valerie, lalu memasangkannya kembali ke tubuh wanita itu.Tentu saja, untuk melakukan itu, Zane harus mempertebal imannya. Menahan “kepala bawah” yang rewel setelah kembali melihat tubuh Valerie bukanlah hal yang mudah.Tenanglah! Ini bukan saatnya! Dia sedang menguji kita! Jadi bekerja samalah! seru Zane dalam hati, menenangkan dirinya.Zane segera merapikan jubah Valerie seperti semula, lalu mengikatnya dengan cepat.Valerie hanya diam, memperhatikan Zane membungkus tubuhnya kembali. Di dalam benaknya, tubuhnya kini terasa kotor, ternoda oleh ulah Zane. Ia ingin mengganti tubuh itu—seandainya bisa.“Huh! Munafik,” cetus Valerie, tepat saat Zane menatap matanya. Di sana, hanya sorotan jijik yang tersisa untuknya.“Aku tidak sebejat yang kau kira, Valerie
“Kalau begitu, mari kita ulang semua ini dari awal, Valerie! Aku berjanji, walau pun aku tidak bisa menjanjikan apa pun soal cinta, aku akan menghormatimu sebagai istriku seumur hidup. Dan aku juga berjanji akan memberikan kehidupan berumah tangga yang indah untukmu. Kau bisa pegang janjiku, Valerie,” tegas Zane, yang masih mengira Valerie benar-benar sudah memaafkannya.Valerie langsung menarik tangannya begitu Zane selesai bicara.“Dengar dan camkan baik-baik, Tuan Zane Hardata. Pertama, tidak ada yang harus diulang dari awal. Hanya untuk sampai ke titik ini—titik saat kau mulai membuka matamu terhadap kebenaran kata-kataku—aku sudah mengorbankan harta yang paling berharga dalam hidupku. Yaitu keperawananku!” Valerie sengaja menekan kata terakhir itu dengan sangat jelas di telinga Zane.“Lalu seenak jidatmu kau ingin kita mengulanginya lagi? Heh! Kau ingin aku berdarah sampai berapa kali, Tuan Zane Hardata?” ujar Valerie dengan sarkasme, lalu tertawa kecil.“TIDAK ADA YANG HARUS DIUL