Share

Gotcha!

Author: Kak Upe
last update Last Updated: 2025-01-28 21:42:26

“Vee? Tuan Belvan memanggilmu.” panggil seseorang dari arah pintu gudang, menghentikan obrolan ringan antara Valerie, Vanya, Dika, dan Jessica seketika.

“Tuan Belvan?” seru Jessica, keningnya langsung berkerut. Tuan Belvan adalah atasan dari atasannya Dika. Bagaimana bisa Valerie, yang bahkan hanya staff biasa, dipanggil langsung olehnya? Sedangkan dirinya yang sudah mendapatkan promosi, bertemu dengan atasannya Dika saja belum pernah.

“Kau kenal Tuan Belvan, Vee?” tanya Jessica, tidak mampu menahan rasa penasarannya.

“Enggak. Aku bahkan baru dengar namanya sekarang. Memangnya dia siapa?” balas Valerie, nada tidak terlalu peduli karena dia memang tidak mengenal siapa si Belvan-Belvan ini.

Jessica menatapnya serius. “Dia itu kepala sekretaris Tuan Zane. Orang yang ngatur semua jalannya perusahaan ini.”

Valerie mendadak merasa jantungnya berhenti berdetak. Bukan karena bangga dipanggil oleh sosok penting. Tapi karena... Belvan adalah tangan kanan Zane.

Dan Zane—adalah si presdir brengsek yang baru saja dia tampar di klub malam.

“Mati aku!” gumamnya pelan sambil menggeleng cepat, seolah bisa mengguncang pikiran buruk yang mulai menjerat kepalanya.

Tentu saja, gerakan itu langsung mengundang perhatian.

“Vee? Kenapa? Ada yang salah?” tanya Jessica, kini lebih terdengar kepo dari sebelumnya.

Valerie ingin menjawab. Ingin berkata sesuatu—apa pun, tapi tenggorokannya mendadak kering.

Dan sebelum ia sempat membuka suara...

“Veee! Cepatlah! Kau sudah ditunggu!!” teriakan dari luar kembali terdengar—lebih tegas.

***

Valerie berjalan cepat, nyaris berlari. Tadi ia diberi waktu lima menit untuk sampai di ruang Tuan Belvan. Dan sekarang, sudah memasuki menit keempat.

Keringat dingin mulai muncul di pelipisnya. Bukan karena lelah… tapi karena takut.

Ia tidak ingin menambah masalah. Tidak dengan datang terlambat, tidak ketika satu-satunya pekerjaan yang ia punya bergantung pada hari ini.

Valerie butuh uang. Dan lebih dari itu—ia butuh pegangan. Sesuatu yang bisa membuat hidupnya tetap berjalan, meski langkahnya terasa bergetar setiap kali nama Zane terlintas di benaknya.

Bagaimanapun caranya, ia harus mempertahankan pekerjaannya.

***

“Tok! Tok! Tok!” Valerie mengetuk pintu tiga kali sebelum akhirnya memberanikan diri membuka ruangan Belvan.

“Apa Tuan memanggil saya?” tanyanya sambil menunduk, berusaha terlihat tenang.

“Bukan Belvan yang memanggilmu. Tapi aku.”

Valerie langsung mengangkat kepala. Detak jantungnya seperti berhenti. Ia mengenal suara itu—terlalu baik.

Itu… suara Zane.

Zane melangkah pelan, membungkuk sedikit, mendekatkan wajahnya ke arah Valerie yang kini tampak pucat.

“Kau terkejut aku bisa ada di sini?” bisiknya tepat di depan wajahnya, senyum dingin menghiasi bibirnya.

“Jangan berharap kau akan tetap bekerja di sini.” ucapnya sambil menatap Valerie seolah ia sudah memenangkan permainan.

Zane menoleh ke Belvan, tapi suaranya jelas ditujukan untuk Valerie.

“Belvan… sejak kapan seorang wanita malam bisa bergabung di perusahaan kita?”

Kalimat itu terasa seperti tamparan kedua bagi Valerie.

Mulutnya ingin menjelaskan. Tapi lidahnya kelu. Sementara Zane tampak puas melihat ekspresi terkejut dan kecewa di wajahnya—seolah balas dendam atas tamparan di klub malam tadi telah resmi dilunasi.

“Zane… maaf. Apa sebenarnya yang terjadi?” tanya Belvan, bingung dengan atmosfer yang mendadak tegang.

“Aku ingin dia dipecat.” jawab Zane ringan, tanpa sedikit pun keraguan. Ia kembali berdiri tegak, matanya tak lepas dari Valerie, yang kini berusaha mengatur napas sambil menahan gemetar.

“Atas dasar apa Anda memecat saya, Tuan?” Valerie memberanikan diri bicara, suara lirihnya menyimpan desperation. Ia tahu betul—pekerjaan ini satu-satunya tumpuan hidupnya, dan keluarganya.

Zane mencibir pelan. “Dasarnya?” ulangnya sinis. “Apa latar belakang pendidikanmu cukup untuk bekerja di sini?”

“Saya lulusan S2, Tuan.” ucap Valerie dengan suara gemetar tapi dimantap-mantapkan.

Zane menatap tajam, wajahnya berubah sejenak. “Sial! Seharusnya aku cek dulu latar belakang pendidikannya!” gumamnya dalam hati, tidak menyangka Valerie ternyata lebih layak dari yang ia kira.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjebak Gairah Sang Cassanova   BAB 198

    "Kau benar-benar tidak ada rasa kasihan, Zane!" seru Belvan dengan wajahnya yang biasanya anteng, namun kali ini terlihat sedikit terganggu. Mereka berdua berjalan menyusuri koridor bawah tanah yang sepi."Kemarin Dimitri kau potong kelingking kirinya karena menyerang Tama," lanjut Belvan, mengingatkan Zane akan tindakannya yang tanpa ampun. "Sekarang kau memotong kedua kelingking Johan." Belvan melirik ke arah Zane, menunggu penjelasan dari sahabatnya itu.Zane tidak langsung menjawab. Dia berhenti sejenak, menatap Belvan dengan serius. "Dimitri menyakiti adikku, jadi pantas dia kehilangan satu kelingkingnya," ujarnya dengan suara tenang namun penuh keyakinan. "Sedangkan Johan... dia hampir saja membahayakan nyawa istri dan anakku. Hanya memotong dua kelingkingnya itu sudah merupakan hukuman teringan yang kuberikan padanya, mengingat jasanya pada perusahaan kita."Matanya berbinar dengan kilatan protektif. "Tapi kau harus ingat, Belvan, tidak ada yang boleh bermain-main dengan nyawa

  • Terjebak Gairah Sang Cassanova   BAB 197

    "Heem.. sudah ku duga," ujar Zane dengan suara yang dalam dan penuh nuansa mengancam, membuat setiap bulu roma berdiri. Suasana di ruang basement yang pengap itu semakin mencekam, dipenuhi oleh aroma ketakutan dan keputusasaan.Johan menelan ludahnya dengan susah payah, tenggorokannya terasa kering bagai pasir."Kalau begitu Johan, sebutkan pada ku, dari jari-jari ini, mana jari yang paling kau butuhkan untuk mendesain?" ujar Zane lagi, sambil dengan gerakan perlahan menyentuh setiap permukaan jari Johan menggunakan ujung pisau lipat Max. Sentuhan logam dingin itu membuat Johan menggigil tak terkendali."Semua, Tuan!! Semua! Aku membutuhkan semuanya!" jawab Johan yang sangat takut Zane akan memotong salah satu jarinya jika dia salah menjawab. Kepanikannya membuatnya menjawab dengan tergesa-gesa."Hahaha.. lihatlah sifat rakus mu itu, Johan," sarkas Zane, senyum tipis yang tidak menyentuh matanya terpancar di wajahnya. "Kau tetap saja menginginkan semuanya. Padahal dalam hidup ini, ter

  • Terjebak Gairah Sang Cassanova   BAB 196

    "Apa kau tahu, bagian tubuh apa dari seorang desainer yang paling berharga?" tanya Zane pada Johan dengan suara rendah dan mendalam, sambil dengan gerakan perlahan merentangkan jari-jari tangan kiri Johan yang sudah terkunci erat. Mata pisau lipat yang dipegangnya berkilat sinar redup lampu basement, menari-nari di antara jemari Johan yang gemetar."Tuaan Zane.... ak-ak-aku mohon maaafkan aku," ucap Johan terbata-bata, air mata mengalir deras tanpa bisa dibendungnya lagi. Rasa takut yang begitu mendalam membuat seluruh tubuhnya menggigil tak terkendali."Ssssstts.... Diam lah dan jangan menangis!!" hardik Zane, masih dalam mode yang membuat siapa pun yang melihatnya bergidik ngeri. Sorot matanya tajam bagai elang yang sedang mengincar mangsanya, penuh dengan intensitas yang mencekam.Belvan, yang berdiri agak jauh, tahu betul ini bukan waktunya untuk ikut campur. Jiwa gelap Zane yang selama ini berhasil dikendalikannya kini sedang keluar dengan bebas. Jai dan Max hanya bisa saling ber

  • Terjebak Gairah Sang Cassanova   BAB 195

    Zane mencium kening Valerie dan mengelus lembut rambut sang istri dengan penuh kasih sayang. "Kau istirahat saja di sini dulu ya, Sayang. Aku masih ada urusan di bawah," ujarnya dengan suara lembut namun tegas.Valerie membuka matanya yang setengah terpejam. "Kau akan kembali ke ballroom?" tanyanya, mengingat bahwa acara di ballroom pasti masih berlangsung dan hanya Belvan yang menanganinya sendirian.Zane hanya tersenyum tipis, sebuah ekspresi yang sudah cukup membuat Valerie memahami bahwa urusannya lebih dari sekadar acara di ballroom. "Obat dari dokter Rini sudah aku siapkan di meja. Tapi kau harus habiskan dulu makanan itu," perintahnya sambil menunjuk ke arah nampan berisi hidangan hangat yang ditempatkan bersamaan dengan obat yang sudah dia pisahkan khusus untuk Valerie."Sampaikan maafku pada Belvan. Karena diriku, dia harus menangani acara sendirian," kata Valerie dengan wajah bersalah."Belvan tidak akan marah, apalagi kalau dia tahu kau sedang mengandung saat ini, Sayang,"

  • Terjebak Gairah Sang Cassanova   BAB 194

    Tama mempercepat langkahnya, berusaha mengejar Anne yang sudah lebih dulu berjalan menuju lift. Dia melihat pintu lift hampir tertutup."Hei... tunggu!" serunya, tangannya melesat maju untuk mencegah pintu itu menutup sempurna.Anne mengerlingkan matanya, sedikit kesal tapi akhirnya membiarkan Tama masuk. Buat apa melarangnya? pikirnya dalam hati dengan sedikit jengkel. Lagipula, ini hotel milik orang tuanya. Dia bisa pergi ke mana saja dia mau."Kau mau ke mana? Apa kau akan kembali ke ballroom?" tanya Tama, mencoba memulai percakapan.Anne sama sekali tidak menjawab. Dia membiarkan pertanyaan itu menggantung di udara, dianggapnya tidak penting untuk ditanggapi.Tama yang awalnya berniat mengantar Anne ke kamarnya, kini merasa sedikit kecewa. Karena Anne mengabaikannya, dia memutuskan untuk kembali ke kamarnya sendiri. Saat tangannya akan menekan tombol lantai kamarnya, Anne sudah lebih dulu menekan sebuah nomor. Mata Tama membelalak sedikit ketika melihat angka yang ditekan Anne ada

  • Terjebak Gairah Sang Cassanova   BAB 193

    "Zaneeeeeee!!!" jerit Valerie yang membuat Zane langsung ngacir keluar kamar mandi dengan cepat, seperti anak kecil yang ketahuan berbuat nakal.Zane keluar dari kamar mandi sambil masih terkekeh-kekeh, wajahnya bersinar dengan keceriaan. Namun, tawa itu segera terhenti ketika dia menyadari bahwa tiga pasang mata—Tama, Anne, dan dokter Rini—sedang menatapnya dengan ekspresi campuran antara heran dan geli. Suasana kamar yang tadinya tegang mendadak berubah menjadi sedikit canggung."Heem..." Zane pura-pura berdehem, mencoba menyembunyikan rasa malunya sambil mengusap belakang lehernya. Merasa tidak perlu memberikan penjelasan apa pun kepada ketiga orang itu, dia memilih untuk berjalan dengan santai ke arah sofa di ruang tamu suite dan duduk dengan elegan, meski jantungnya masih berdebar-debar karena kejadian tadi.Lima menit kemudian, bunyi "Cekleeek..." terdengar dari arah kamar mandi. Pintunya terbuka, dan Valerie muncul dengan wajah yang sulit dibaca. Di tangannya, tergenggam sebuah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status