"Denganmu, aku belajar bahwa cinta adalah bagaimana aku menjaga dan melindungi harga dirimu sebagai seorang ratu di hatiku." - Mateo Ryder -
Pria itu menatap Chloe sebentar kemudian dia menarik tubuhnya agak menjauh dari tubuh Chloe yang sangat menggoda untuk disentuh. “Aku tidak akan mengulanginya lagi.” Mateo meremas-temas rambutnya. Dia tahu, itu adalah janji dan kebohongan terbesar yang pernah ia ucapkan. Chloe berdiri dengan kikuk. Cincin pertunangan di jari manisnya seakan menekan kulitnya dengan kuat. Mateo yang kebingungan dengan hasrat yang ada hanya memaki-maki dalam hati. Dia yang memulai semua itu, dan itu berakhir dengan sangat menyiksanya. Ingin rasanya dia berendam air dingin. “Ehhheeemm, maaf. Ini sudah larut malam. Kalau tidak ada lagi yang ingin kamu sampaikan, aku perlu untuk beristirahat. Mateo menatap wajah Chloe dengan intens, seakan dia tidak pernah puas memandang keindahan kedua bola mata Chloe yang besar. “Bolehkah aku bertemu denganmu besok?” Chloe membelalakkan matanya. ‘Pria ini kenapa sih?’ keluhnya. “Kenapa kamu ingin bertemu denganku?” Mateo hanya terdiam sambil berjalan mengelilin
Sepanjang perjalanan pulang setelah mengantarkan Chloe dan Samuel, Albert terus memikirkan Chloe. “Apakah gadis itu mengetahui perselingkuhanku dengan Audrey?” Albert mengusap wajahnya dengan salah satu tangannya. Ada rasa curiga di hatinya. Dia mencium sesuatu yang tidak beres dari tindak-tanduk Chloe hari ini. Gadis itu seperti merahasiakan sesuatu darinya. “Kalau dia tahu perselingkuhanku dengan Audrey, mampus-lah aku. Jangan sampai karena hal itu, rencana yang telah aku susun selama ini, hancur berantakan.” Dia segera menekan sebuah tombol di samping kemudi mobil. Tombol itu terhubung dengan ponselnya. Nama Adrian berkedap-kedip di layar ponselnya. ‘Hello, Tuan Albert,’ sapa Adrian dari seberang sana. ‘Temui aku di tempat biasa. Kita akan membahas tentang kegagalanmu malam itu saat kita merayakan keberhasilan Mateo di Sky pub and hotel.’ Orang di seberang telepon terdiam sebentar menyadari bahwa nyawanya sedang berada di ujung tanduk. ‘Do you hear me?!!’ bentak Albert de
Chloe menggeliat tak nyaman dalam pelukan Mateo yang hangat. Dia menggigit bibirnya dengan kuat, seakan-akan itu memberikannya keberanian untuk mengutarakan apa yang ada dalam hatinya.Mateo menatapnya dengan penuh kebingungan. Dia tidak mengerti kenapa Chloe bersikap seperti itu. Ada sinar ketakutan yang terlihat dari kedua netranya.“Apakah ada sesuatu yang ingin kau katakan? Apakah aku membuatmu tidak nyaman?”Chloe hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan panik."Apakah kau tak ingin aku melakukan hal itu padanya?” tanya pria itu dengan wajah frustasi.“Aku... Aku tidak tahu,” desah Chloe pelan.“Apa maksudmu dengan ‘aku tidak tahu'?’”Chloe melepas dan menarik kedua lengannya yang tadinya melingkar dengan manis di leher lelaki itu.“Kau bisa memberitahuku, Chloe. Kita harus jujur satu sama lain.”“Aku trauma sejak kejadian malam itu,” gumam Chloe hampir tak terdengar.Chloe menunduk dalam. Terlihat luka di matanya. Rupanya, walaupun tubuhnya menginginkan pria itu, tapi rasa sak
Detektif Rodriguez, Magnus dan Martin segera memasuki kamar inap Ken, setelah mereka mendapat ijin dari polisi yang bertugas saat itu. Sebenarnya, mereka tidak bisa mengunjungi pasien karena sudah bukan jam berkunjung lagi. Namun, karena hal itu adalah masalah yang diprioritaskan oleh kepolisian, pihak rumah sakit mengizinkan mereka untuk mengunjungi pria itu. “Hello, Ken,” sapa Martin pelan ketika dia memasuki kamar inap Ken. Wajah Ken masih terlihat lebam di sana-sini. “Hello.” “Bagaimana kabar kamu?” “Sudah mendingan. Sedikit tidaknya, aku sudah bisa menggerakkan rahang-ku tanpa harus mengalami rasa sakit saat mengunyah makanan.” “Baguslah kalau begitu.” “Emm... Martin, ada yang ingin aku sampaikan kepadamu.” “Tentang apa?” Ken terlihat gelisah. Dia melirik ke arah Magnus dan detektif Rodriguez. Terlihat sekali kalau dia tidak nyaman dengan kehadiran dari mereka berdua. “Tidak apa-apa, Ken. Kamu tidak perlu takut. Mereka berdua juga bekerja dalam menangani kasus ini.” Ken
“Habiskan sarapan-mu! Jangan bermain ponsel melulu, ” tegur Ella sambil memasukkan piring kotor ke dalam mesin pencuci piring. Kedua kayak beradik itu sedang sarapan bersama dan bersiap-siap untuk melakukan kegiatan mereka masing-masing. Rupanya Aurora tidak mendengar ucapan Ella, gadis belia itu terus saja bermain ponsel. Bunyi pesan yang masuk dalam inbox-nya memenuhi ruang tamu itu. “Kamu mau ponsel itu aku sita?” ancam Ella yang sudah kesal melihat adiknya yang bersikap acuh tak acuh terhadap sekitarnya. “Hah? Eeeeee.... Jangan, Kak! Iya, iya. Aku makan sekarang. Sorry.” Aurora langsung memasukkan ponselnya ke dalam kantong tasnya dan bergegas melanjutkan sarapan yang tertunda. Rupanya dia sibuk membalas chatting-an dari William. “Yaudah, aku pergi kerja dulu,” pamit Ella sambil mencium puncak kepala Aurora. Lalu dia menyambar tas kerja dan kunci mobilnya. “Bye! Hati-hati di jalan,” seru Aurora sambil kembali fokus menghabiskan makanannya. “I do!” balas Ella yang sedang te
Chloe memasuki kompleks bangunan besar di depannya. Dan tepat di bagian paling atas gedung besar itu tertulis ‘Kantor Polisi Oslo’. Ia sudah pernah ke sana beberapa kali untuk menemani sahabatnya, Freya. Tapi dia sendiri belum pernah berbuat hal yang sampai menyeretnya ke kantor polisi. Kehidupannya yang teratur membuat Chloe selalu menghindari hal-hal yang bisa merugikan dirinya sendiri. “Aku masih punya waktu tiga puluh menit lagi,” gumam Chloe sambil memperhatikan orang yang berjalan lalu-lalang di hadapannya. Dia tidak ingin menunggu lama di dalam gedung. Lebih baik dia menikmati udara dingin di luar, dari pada menunggu di dalam gedung dengan penuh ketegangan. “Aha, mungkin aku bisa membuat draft untuk undangan pesta Sabtu nanti, sebelum aku masuk dan melapor diri,” gumam Chloe. Dia duduk di bangku yang tersedia di luar gedung. Matahari siang itu sama sekali tidak menampakkan diri. Langit terlihat gelap dan mendung, serta ditutupi oleh awan kelabu tebal. Chloe membuka sebua
Chloe duduk dengan gelisah, dia ingin sekali menjawab pertanyaan itu dengan sejujur-jujurnya. Namun, kalau dia menyeret dan menyebut nama Mateo dalam kasus ini, maka kemungkinan besar, pria itu akan dijebloskan ke dalam penjara. Walaupun kemarin dia sudah mengijinkan pria itu untuk menggunakan dirinya sebagai alibinya, tapi tetap saja dia harus berhati-hati. Apalagi dia telah mengetahui bahwa pria itu adalah seorang mafia yang sedang diincar polisi. “Nona Chloe, apa yang terjadi saat Nona hendak toilet?” “Saat aku hendak ke toilet, aku meminta salah satu dari sahabatku untuk mengantarkan aku.” “Lalu?” “Tapi karena sakit kepala menyerangku, aku memutuskan untuk ke kamar saja dan beristirahat.” “Apakah gadis dalam foto ini yang telah mengantarkan Nona Chloe ke kamar?” Magnus menyodorkan selembar foto kepada Chloe. Terlihat foto dia dan Emma yang sedang memapahnya di sepanjang koridor kamar-kamar hotel. Dalam foto itu menampakkan kalau Chloe seperti tidak sadar dengan situasi di
Beberapa jam yang lalu sebelum Chloe diinterogasi. Hilde merapikan semua peralatan make-up miliknya yang berserakan di atas meja. Dia menyusun semuanya dengan rapi dan sempurna. “Di mana lip balm kesukaanku?” gerutu Hilde sambil mencari-cari di antara tumpukan make-up yang lain. “Aha, itu kan ada dalam saku jaket yang aku pakai waktu malam pesta lajang si Chloe.” Dengan tergesa-gesa, dia mencari lip balm tersebut. Dia merogoh ke dalam kantong jaket jeans dan mengerutkan keningnya ketika jemari-nya menyentuh sebuah benda yang dingin dan keras. “Apa ini?” celetuknya penasaran. Dengan cepat dia menggenggam benda itu dan menariknya keluar. Dia memicingkan matanya untuk melihat benda yang ada dalam genggaman tangannya dengan lebih jelas. “Botol apa ini?” ucapnya sambil berusaha untuk membaca tulisan yang terdapat pada botol kecil itu. “Obat perangsang? Hah? Kenapa obat ini bisa ada dalam kantong jaketku?” Hilde mencoba membuka tutup botol tersebut, tapi karena masih tersegel, dia l