Share

Terjebak Hutang Bos Muda
Terjebak Hutang Bos Muda
Penulis: HasenV

Bab 1. Kesepakatan

"Jadi pacarku!"

"Hah?"

"Atau bayar tiga juta, cash, sekarang!"

Bagai disambar petir, jantung Reva berdetak tak terkendali. Bahunya memanas dengan kaki yang sudah mengakar di tempatnya berdiri.

"Tidak! Aku akan melunasinya!" Masih berusaha bernegosiasi, gadis dengan rambut dikuncir tinggi itu terlihat angkuh. Meski dalam hati kelimpungan sendiri. Bagaimana bisa, ia membayar tiga juta dalam waktu satu detik.

Lingga berdiri dari tempatnya duduk, menatap Reva yang masih kuat dengan pendiriannya. Suara ketukan sepatu Lingga, terdengar memantul di seluruh ruang. Hingga seketika mengikis jarak keduanya.

Embusan napas lelaki itu, mulai menyapu pori-pori kulit wajah. Jarum detik jam seolah berputar perlahan. Hingga kesadaran Reva berangsur kembali.

"Ba--ik, aku mau." Suara itu kentara menyembunyikan ketakutan. Bola mata yang sempat menatap Lingga dengan angkuh, seketika terpejam.

"Sepakat!" Lingga mengulurkan tangan, tersenyum penuh kemenangan.

Reva tak menyambut baik, hanya menatap tangan Lingga dengan wajah penuh kekesalan.

"Mau sampai kapan kamu berdiri di situ?"

Seketika Reva tersadar, gadis tersebut lekas berlalu dengan bibir mengerucut.

Membuka pintu bercat coklat tua yang terbuat dari kayu jati, ia melangkah ke ruang produksi, melewati lorong-lorong yang menyambungkannya ke beberapa bagian.

Hingga langkahnya terhenti pada ruangan dengan pintu kaca.

Suara bising serta lalu lalang karyawan yang sibuk dengan adonan roti di tangan terpampang.

Gadis manis berlesung pipi yang berdiri di ujung ruangan, tersenyum.

"Gimana?" tanya Adisti. Dia sibuk memasukkan terigu, menepuk tangannya di atas apron hitam yang dipakai setelah seragam kerja.

"Tidak diterima lagi," jawab Reva malas. Kedua sahabat itu terlibat saling pandang, kemudian kembali sibuk setelah mendengar dehaman Bu Rahma.

Jam kerja usai tepat pukul setengah delapan malam, para pekerja sibuk mengemasi bagian masing-masing, membereskan tumpahan terigu dan mencuci perkakas yang tadi digunakan.

"Reva, dipanggil Pak Lingga!" teriak salah satu karyawan di bagian kasir. Seketika itu, Reva menghela napas kesal.

"Aku tidak bisa hidup tenang rasanya," keluhnya pada Adisti.

"Udah, bagianmu aku beresin. Kamu cepetan temuin Pak Lingga."

"Terima kasih ya, Dis." Reva mencubit pipi sahabatnya itu dengan gemas. Rasanya enggan, setelah melihat jam dinding yang menunjuk di angka setengah delapan malam.

Meski sudah berlatih untuk bersikap tenang, tetap saja Reva tidak bisa. Mengingat kejadian terakhir saat Lingga hampir menyentuh bibir. Gadis itu lekas menggelengkan kepala, mengusir pikiran kotor yang tiba-tiba terlintas.

Baru saja ia hendak mengetuk pintu, wajah Lingga sudah terpampang nyata. Menatap dengan ekspresi datar.

"Bapak manggil saya?" Reva berusaha tetap terlihat baik-baik saja di tengah hatinya yang mulai waspada.

"Kamu lupa status baru kita?" Tatapan itu terasa dingin.

"Hah?" Masih berusaha memahami maksud Lingga, gadis itu menggaruk rambutnya yang lepek. Seharian tadi, ia menggunakan penutup kepala selama proses produksi.

"Jangan menatapku seperti itu," ucap Lingga kesal.

"Sepertinya, kamu pura-pura lupa. Aku akan mengingatkannya untukmu."

Menggigit bibir, Reva akhirnya berucap.

"Apa yang kamu mau?"

"Masuk ke ruanganku," ucap Lingga. Lelaki itu membuka pintu sedikit lebih lebar, agar Reva lebih leluasa masuk.

Ruangan bersuhu dingin itu tak mampu membuat Reva tenang, perasaannya terus ingin mengelak.

Namun, ia tak memiliki kekuatan apa-apa selain mengikuti.

Mengekori Lingga, Reva tetap berdiri mematung di dekat kursi tamu. Sementara Lingga sudah duduk manis di atas sofa.

"Kamu lebih suka berdiri?" Satu alisnya terangkat, mengisyaratkan pegawainya untuk duduk.

"Ini sudah jam pulang, aku tidak punya banyak waktu." Lebih tepatnya, Reva enggan berlama-lama di dekat lelaki itu.

"Sepertinya, kamu lebih sibuk dari pada aku." Tatapan Lingga seakan menghunus jantung, hanya sedikit gerakan dan lelaki itu kembali mengikis jarak.

Plak!

Satu tamparan mendarat di pipi Lingga, lelaki tersebut berdecak kesal. Sementara Reva dengan sadar mengeluarkan umpatan.

"Sialan! Kamu pikir aku wanita seperti apa?"

Lingga terkekeh, matanya terpejam merasakan rasa asin yang berasal dari sudut bibir.

"Kamu kira, kesepakatan kita sudah selesai?" Lingga mengusap bekas tamparan yang terasa perih.

"Sebagai hukumannya, kamu pulang bersamaku malam ini!" Lingga beranjak, menggenggam tangan Reva dengan kuat. Sementara Reva, berusaha memberontak sekuat tenaga.

"Lepas! Aku tidak mau! Dasar otak mesum!"

"Apa kamu bilang?" Meski sudah merasa kesal tak terkira, nada suara Lingga masih dalam taraf tenang.

"Otak mesum!"

Lingga menatap Reva dengan wajah sinis, kembali mendekat seolah memancing gadis itu untuk memukulnya lagi.

Benar saja, tangan Reva sudah kembali hendak melayangkan tamparan pada Lingga. Sayang, lelaki itu lebih sigap menahan, mencengkeram pergelangan tangan Reva dan mendekatkan wajahnya pada gadis tersebut.

Mata tajam bak pedang itu menatap lekat, sekujur tubuh Reva tiba-tiba mematung tak bisa bergerak. Satu kecupan bibir mendarat dengan lembut.

"Satu tingkah bar-bar, satu kecupan," ucap Lingga tanpa dosa. Bagai tersihir, Reva hanya bisa mematung. Benar-benar syok dengan apa yang barusan terjadi.

"Sial ...." Ucapan itu terhenti, saat wajah Lingga kembali mendekat.

"Maaf, apa yang mau kamu bicarakan?" Reva menghela napas, mengatur irama jantung yang luar biasa kencang.

"Karena statusmu sudah berganti menjadi kekasihku, kamu tahu apa yang harus dilakukan?"

Merasa terlalu membuang waktu, Reva menggeleng.

"Langsung pada intinya," jawabnya singkat.

"Setiap pagi, buatkan aku kopi dan ...."

"Ada Mbak Wati," sela gadis berseragam merah bata itu.

"Jangan membantah!" Lingga mulai terpancing emosi. Seketika membuat Reva terdiam kembali.

"Buatkan aku sarapan, apa saja asal dari tanganmu. Besok ada tamu, bersikaplah selayaknya orang berpacaran pada umumnya. Kamu mengerti?"

Reva hanya mengangguk, meski hatinya mulai gundah dengan aturan yang diajukan Lingga.

"Sekarang silakan pulang."

Percakapan itu terhenti, setelah Reva menyetujui apa yang diperintahkan oleh Lingga.

***

"Reva, dipanggil Pak Lingga," ucap Adisti salah satu teman dekat Reva di ruang produksi. Reva yang sedang sibuk hendak membuat adonan roti, dengan terpaksa menyuruh Tama menggantikan pekerjaannya.

Menghela napas, gadis itu berusaha menetralkan detak jantung yang kian tak terkendali.

"Mau bertemu pacar, kok seperti mau berperang?" gumamnya tak tenang. Berjalan menyusuri lorong panjang, membuat Reva menyapa saat berpapasan dengan beberapa karyawan lain.

Hingga tiba-tiba, bayangan Lingga yang dengan tidak sopan mencuri ciuman pertamanya berkelebat.

Rasa ingin mengumpat, tapi pintu ruangan kerja Lingga sudah terpampang di depan sana.

Tangan itu gemetar karena menahan gejolak emosi yang tiba-tiba muncul, sengaja pagi ini ia tak menepati janji yang sudah disepakati semalam.

Sengaja menyepelekan, membuat Lingga kesal dan melepasnya begitu saja. Meskipun hanya sekedar harapan tanpa kepastian.

"Bapak panggil saya?" Reva memang lupa dengan ucapan Lingga, tentang tamu yang akan datang, masih bersikap formal layaknya atasan dan bawahan.

Lingga terlihat berbicara dengan seseorang sebelum akhirnya beralih menatap ke arahnya.

"Reva?" Lelaki yang semula duduk membelakanginya segera berdiri, sepasang mata itu sama terkejutnya dengan Reva yang mematung di ambang pintu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status