Di ujung sana, pria dengan mata elang masih menatap tajam pada mangsa. Kemanapun si wanita bergerak, ia terus mengikuti secara diam-diam. Rasa rindu, sudah tidak bisa ia tahan. Langkah maju terarah ke depan. Namun, saat melihat wanita yang sangat ia kenal mendekat. Ia menghentikan langkah dan mundur. Sementara itu, "Hai, tidak kusangka kita akan bertemu di sini, bagaimana kabarmu?" sapanya seperti biasanya. Wanita yang juga sama terkejutnya, tersenyum tipis. "Aku baik. Sudah lama tidak saling sapa, kau baik-baik saja kan, Fera?"Fera, wanita dengan potongan rambut sebahu itu mencoba tersenyum. Ia menghela napas menetralkan perasaannya. Bagaimana pun di hadapannya adalah wanita yang masih sangat suaminya cintai. Dia adalah--Eleanora. "Seperti yang kamu lihat. Aku, ah ... Mungkin kamu sudah mendengar rumor, El. Julian ingin bercerai denganku," ucapnya dengan menahan sesak. Sungguh sakit sekali setiap kali ia mengingat kata-kata Julian. Bahkan tatapan pria itu tak sehang
"Kau lelah? Kemarikan Calix, aku merindukan putraku." Aldrich meraih putranya dan menuntun sang istri duduk di sofa. Tadi, salah seorang dari orang suruhannya mengabarkan apa yang terjadi di pusat perbelanjaan. Untuk itu, Aldrich langsung meminta Eleanora ke kantor bersama dengan putra nya. Awalnya Elea menolak karena tak ingin mengganggu tapi Aldrich memaksa karena merindukan Calix."Tidak. Bagaimana mungkin aku lelah, aku tidak berjalan kaki, Rich," ucapnya menatap sayang kedua pria kesayangan. Calix sudah semakin besar, ketampanannya semakin terlihat jelas seperti ayahnya. Aldrich tertawa rendah. Istrinya memang paling pandai menjawab kata-katanya. Tidak lama, pintu diketuk, dan terlihat wanita cantik membawa susu juga teh untuk Elea. "Silakan nyonya." kembali berdiri tegak setelah meletakkan teh dengan hati-hati di hadapan istri bosnya. Terlihat jelas, Elea yang menatap sinis Aldrich, apakah ini alasan sang suami sering sekali lembur? Wanita ini begitu molek dan juga ca
Elea mematung, masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Suaminya, ia pikir tadi sedang khawatir soal pekerjaan. Tapi, di depan matanya---"Rich, kamu ...."Tubuh Aldrich juga sama terkejutnya. Ia dan seseorang yang sedang dalam situasi tidak baik, segera saling menjauh dan menoleh pada sumber suara."El, kamu ... Di sini?" Perlahan Aldrich menjaga jarak, berjalan mendekati sang istri dengan ekspresi seperti biasa. Manis dan hangat.Elea tak menjawab, tapi bisa menangkap reaksi berbeda dari wanita di atas ranjang, senyum kelicikan mulai terlihat di sana. "Jadi, kamu menjenguknya sampai meminta aku pulang, Rich?" tanya nya mendongak, menatap suami nya yang masih tetap memberi senyum tanpa bersalah."Rich, kamu khawatir seperti itu karena dia? Bukankah kamu bilang padaku, kalau dia tidak terlalu penting untukmu, tapi yang aku lihat sangat berbeda."Elea mendesis kesal, dia tidak menyukai Olivia sudah lama, sejak wanita itu datang pertama kali ke mansion dan membuat kegaduhan.Ya, wa
"Sayang, ini sudah hampir dua minggu kamu mendiami ku," keluh Aldrich memeluk istrinya dari belakang.Elea tetap tidak melakukan apapun. Ia tidak marah lagi karena tahu suaminya tidak akan menyakitinya. Hanya saja, ia ingin menggoda Aldrich sebentar.Aldrich menghela napas berat, ia tak tahu jika Elea bisa semarah itu padanya. Ia memang bersalah, kejadian itu memang tak ia perkirakan akan jadi seperti ini. Ia hanya panik karena mengetahui Olivia dalam masalah. Bukan karena ia ada rasa tapi semua murni karena ingin menolong.Aldrich mencium pelan tengkuk sang istri. "Maafkan aku, saat itu, aku hanya khawatir karena mendengar dia dalam masalah. Tidak ada cinta seperti yang kamu maksud sayang," katanya lagi menjelaskan.Menghela napas pelan, Elea berbalik, menatap wajah sang suami yang terlihat sangat lelah. "Ayo, aku akan siapkan air mandi mu, setelah itu kita makan malam bersama, ya.""Kamu masih marah?""Sejujurnya--," Elea sengaja menggantung ucapannya. "Ya, aku masih marah. Kamu ter
"Kau sudah bangun, Rich." Olivia mendekat dan membawa secangkir kopi ke depan Aldrich. Pria itu terlihat sangat kusut juga lelah. "Sudah pagi, ya?" katanya melihat sekeliling, matahari sudah terlihat bersinar. "Hem, kamu sangat lelah ternyata." Olivia duduk di sebelah Aldrich. Ia kembali meminta Aldrich untuk meminum kopi buatannya. Aldrich menyesap kopinya, tenggorokan nya terasa hangat seketika. Ayah Calix itu langsung menepuk jidatnya karena melupakan satu hal. "Ya ampun, aku belum mengabari Elea kalau aku tidak bisa kembali, semalam," katanya meraih ponselnya. Semakin kesal pula dia setelah tahu bahwa ponselnya mati. "Aku tidak bisa meminjamkan ponselku padamu, Rich. Kau tahu, 'kan istrimu tidak menyukaiku." Aldrich mengangguk, jika itu terjadi, bisa menjadi masalah baru untuknya. Dia dan Eleanora baru saja berbaikan, jadi memang apa yang di katakan Olivia benar. "Hem, aku tidak ingin dia kembali marah padaku," jelasnya meraih memakai kemejanya. Semalam saat membantu
Elea memalingkan wajah, tak ingin Aldrich melihatnya menangis juga malas menjelaskan apa yang sudah terjadi sebenarnya.Aldrich mengangkat anaknya, mengecupnya berulang kali, kemudian meletakkan di kereta bayi."Ada apa?" tanya nya halus. "Apa karena semalam aku tak pulang jadi kamu menangis?" Aldrich masih belum mengerti dengan situasi yang ada. Ia membawa wajah tadi agar menghadapnya."Aku sudah jelaskan, semalam hujan deras, aku tidak bisa pulang dan ponselku mati," jelasnya mengira bahwa Elea marah karena terlambat mengabari.Elea berdiri, ia merasa enggan di sentuh, ia yakin bahwa tangan itu pasti sudah menyentuh tubuh wanita lain semalam, ia yakin bahwa kegiatan panas itu begitu melelahkan sampai Rich tidur dengan sangat nyaman."El, ada apa? Kita baru berbaikan dan kamu sudah bersikap dingin lagi pada aku." Aldrich berdiri mendekat dan berdiri di hadapan sang istri. "Kamu tahu jawabannya, Rich. Jangan pura-pura merasa tidak bersalah."Aldrich semakin bingung, dia sudah meminta
Elea berbalik, memegang dada dengan kuat dan menunduk, ia bahkan hampir tersandung tapi dengan mudah menguasai diri. Ada Calix bersamanya, ia harus menjaga keamanan sang anak.Elea berjalan tergesa hingga tak sengaja menabrak seseorang. "Eh, maa ... Kamu?" Si pria juga sama terkejutnya ia sedikit mundur dan mengangkat kedua tangan juga ingin meminta maaf. "Eh, El. Kamu disini?" Julian celingukan kemudian menatap Ela kembali dengan wajah masam."Ya, bersama Hana," tunjuknya pada gadis yang sumringah dengan dua kue bawaannya.Hana mendekat dan menatap Julian juga. Ia tahu, kalau Fera dan Julian sudah tidak bersama, tapi mendapatkan kehadiran Julian di dekat sini, membuatnya berpikir baik. Mungkin saja, kedua temannya sudah berbaikan."Aku senang karena kalian sudah berbaikan, benarkan El?"Elea berpikir yang sama juga, ia berdehem. Pikirannya masih tertuju pada tempat lain, jadi ia merasa kurang fokus. Hana, melihat Calix yang suda tertidur. "Ya ampun, Elea. Si tampan sudah tertidur, a
"Kenapa kamu membawanya, Hana?" sinis Fera memalingkan wajah karena enggan melihat salah satu tamunya. Sedangkan Elea yang tahu dirinya disindir hanya tersenyum kecut."Aku memberitahumu alamatku karena masih menganggap mu teman, Hana."Hana yang disalahkan sejak tadi, hanya menghela napas, kasihan pada Elea tapi juga kasihan pada Hana yang pasti sangat hancur hatinya. Hana tahu secinta apa Fera pada Julian, tapi pria itu memang tak pantas mendapatkan kedua temannya. Elea berhak bahagia, begitupun juga dengan Fera."Sekarang aku sudah tahu, kalau kamu memang sudah bukan temanku lagi," kembali Fera melancarkan kekesalannya. Hana dan Elea saling pandang, karena keduanya belum sempat duduk dan sekarang sudah diusir.Hana yang menjadi dalang tentu merasa bersalah, ia hanya ingin membuat kedua temannya berbaikan kembali, tentang musibah yang Fera hadapi, jelas bukan salah Eleanora.Dengan perasaan bersalahnya, Hana mendekat, duduk di sebelah Fera yang masih memalingkan wajah. Hana tahu ba