Elea memalingkan wajah, tak ingin Aldrich melihatnya menangis juga malas menjelaskan apa yang sudah terjadi sebenarnya.Aldrich mengangkat anaknya, mengecupnya berulang kali, kemudian meletakkan di kereta bayi."Ada apa?" tanya nya halus. "Apa karena semalam aku tak pulang jadi kamu menangis?" Aldrich masih belum mengerti dengan situasi yang ada. Ia membawa wajah tadi agar menghadapnya."Aku sudah jelaskan, semalam hujan deras, aku tidak bisa pulang dan ponselku mati," jelasnya mengira bahwa Elea marah karena terlambat mengabari.Elea berdiri, ia merasa enggan di sentuh, ia yakin bahwa tangan itu pasti sudah menyentuh tubuh wanita lain semalam, ia yakin bahwa kegiatan panas itu begitu melelahkan sampai Rich tidur dengan sangat nyaman."El, ada apa? Kita baru berbaikan dan kamu sudah bersikap dingin lagi pada aku." Aldrich berdiri mendekat dan berdiri di hadapan sang istri. "Kamu tahu jawabannya, Rich. Jangan pura-pura merasa tidak bersalah."Aldrich semakin bingung, dia sudah meminta
Elea berbalik, memegang dada dengan kuat dan menunduk, ia bahkan hampir tersandung tapi dengan mudah menguasai diri. Ada Calix bersamanya, ia harus menjaga keamanan sang anak.Elea berjalan tergesa hingga tak sengaja menabrak seseorang. "Eh, maa ... Kamu?" Si pria juga sama terkejutnya ia sedikit mundur dan mengangkat kedua tangan juga ingin meminta maaf. "Eh, El. Kamu disini?" Julian celingukan kemudian menatap Ela kembali dengan wajah masam."Ya, bersama Hana," tunjuknya pada gadis yang sumringah dengan dua kue bawaannya.Hana mendekat dan menatap Julian juga. Ia tahu, kalau Fera dan Julian sudah tidak bersama, tapi mendapatkan kehadiran Julian di dekat sini, membuatnya berpikir baik. Mungkin saja, kedua temannya sudah berbaikan."Aku senang karena kalian sudah berbaikan, benarkan El?"Elea berpikir yang sama juga, ia berdehem. Pikirannya masih tertuju pada tempat lain, jadi ia merasa kurang fokus. Hana, melihat Calix yang suda tertidur. "Ya ampun, Elea. Si tampan sudah tertidur, a
"Kenapa kamu membawanya, Hana?" sinis Fera memalingkan wajah karena enggan melihat salah satu tamunya. Sedangkan Elea yang tahu dirinya disindir hanya tersenyum kecut."Aku memberitahumu alamatku karena masih menganggap mu teman, Hana."Hana yang disalahkan sejak tadi, hanya menghela napas, kasihan pada Elea tapi juga kasihan pada Hana yang pasti sangat hancur hatinya. Hana tahu secinta apa Fera pada Julian, tapi pria itu memang tak pantas mendapatkan kedua temannya. Elea berhak bahagia, begitupun juga dengan Fera."Sekarang aku sudah tahu, kalau kamu memang sudah bukan temanku lagi," kembali Fera melancarkan kekesalannya. Hana dan Elea saling pandang, karena keduanya belum sempat duduk dan sekarang sudah diusir.Hana yang menjadi dalang tentu merasa bersalah, ia hanya ingin membuat kedua temannya berbaikan kembali, tentang musibah yang Fera hadapi, jelas bukan salah Eleanora.Dengan perasaan bersalahnya, Hana mendekat, duduk di sebelah Fera yang masih memalingkan wajah. Hana tahu ba
Elea baru saja selesai membersihkan diri, setelah membuat Calix tenang dan sekarang tertidur. Anaknya yang malang, entah kenapa dia merasa tidak tenang, tadi. Karena sesampainya di rumah mereka Calix langsung ceria seperti biasa, seolah tadi tak pernah mengeluarkan air mata.Dengan rambut yang masih setengah basah, Elea duduk di meja rias, mengeringkan rambut dan mulai merias wajahnya setipis biasanya. Ia menghela napas pelan, rencana akan kerumah mertua bersama Aldrich gagal. Mendadak suaminya menjadi lebih sibuk dari biasanya. Kemudian ingatkan bagaimana Aldrich dan Olivia yang tertawa bersama di gedung itu kembali menyesakkan hatinya. "Kenapa aku merasa sesak, bukankah Rich sudah mengatakan kalau dia tak memiliki perasaan apapun pada Olivia?"Jadi, malam itu mereka bersama, dengan Aldrich yang tak mengenakan pakaian?"Sesak sekali, ia merasa di khianati padahal yakin kalau Rich setia padanya. Tidak, sebenarnya ia tak tahu, apakah Rich memang benar mencintainya, bukankah mereka me
Sampai di rumah, Eleanora langsung membaringkan Calix di kasur miliknya. Malam ini, ia ingin tidur di samping sang putra, rasa sedih merasa dicurangi membuatnya tak ingin jauh dari Calix.Elea menatap putranya sayang, wajah itu begitu mirip dengan sang suami. Pertemuan tak terduga mereka hingga hadirlah si buah hati.Tanpa diminta, air mata Elea menetes, bayangan bagaimana Aldrich yang tertidur dengan dada telanjang, tertawa bersama Olivia bahkan kue yang dia buat untuk Olivia.Elea menutup mulut karena tangisnya yang ingin keluar, rasa sakit yang ia rasakan jauh lebih besar dibandingkan rasa sakit saat ia di khianati oleh Julian. Sungguh bukan karena ia tak mencintai Julian atau karena Aldrich jauh diatasnya. Sepanjang malam, ibu satu anak itu terus menunggu sang suami pulang, ia terus menatap pintu kamar terbuka dan sesekali terus mencoba menghubungi nomor Aldrich yang tetap saja tidak bisa di hubungi.Ia tak perlu menelpon Jack, karena sudah jelas disana tidak ada Asisten pribadi
Hingga sore hari, Aldrich baru keluar dari ruang kerja. Ia melangkah ke arah dapur, di mama pelayan sudah bersiap untuk memasak makan malam. Juga di jam itu, dia akan mendapatkan Eleanora ikut memasak.Namun, Aldrich tidak melihat istrinya, juga tidak melihat Calix di tempat anaknya biasa bermain."Di mana Eleanora dan Calix, mereka belum turun?" tanya nya menatap ke lantai atas. Sungguh ia merindukan keduanya."Nyonya belum kembali, tuan," jawab salah satu dari mereka dengan takut.Aldrich menoleh, tatapannya berubah karena mengetahui istrinya yang belum kembali sementara hari sudah mulai gelap. Ia meraih ponselnya dan menghubungi nomor Eleanora."Kenapa tidak di angkat?" gerutunya, naik ke lantai atas, masih dengan perasaan was-was. Ia tidak tahu harus mencari kemana karena tidak tahu alamat temannya. Juga, selama ini Aldrich tidak terlalu tahu dengan siapa. Istrinya berteman.Sampai di kamar, Aldrich mengeram marah karena ponsel yang ia hubungi ternyata berada di atas meja rias. De
Aldrich memijat pangkal hidung, ia mengerang marah karena sikap Elea yang toba-tiba saja berubah dan membingungkan untuknya."Cari terus, kalau perlu cari tahu siapa saja teman-temannya!" Aldrich memberikan ponsel dan melirik kembali ke arah Olivia yang tertidur. Ia menghela napas dan mengusap wajah kasar.Ia menelepon Rea--adiknya untuk menemani Olivia. Sempat Aldrich merasa curiga hubungan keduanya yang lama tidak saling bersama. Tetapi, Aldrich masih belum ada waktu untuk mengatakan itu pada keduanya.Keningnya mengerut saat Rea dengan tegas menolak. Rea bahkan mengatakan tak ingin tahu apapun dengan Olivia ke depannya. "Mereka bertengkar?" batin Aldrich kembali menatap Olivia.Karena tidak tahan lagi, Aldrich meminta salah satu pelayan di rumahnya untuk ke rumah sakit. Tidak ada cara lain karena ia tidak tahu teman Olivia selain Rea.Beberapa menit menunggu, pelayan wanita datang dengan beberapa makanan, ia masuk dan mengangguk saat Aldrich memintanya untuk menjaga Olivia hingga b
Siang hari Aldrich baru terbangun. Pria satu anak itu, terlihat lebih segar dan lebih bercahaya. Apalagi, dengan rambut basah yang masih meneteskan air di pundak kokohnya. Aldrich melangkah mendekati Eleanora dan Calix yang duduk di sofa bermain.CupSatu kecupan di pipi Elea dapatkan. Wajah ibu Calix terlihat merona dalam sekejap. Calix yang melihat interaksi keduanya lantas tertawa memperlihatkan dua gigi yang baru muncul."Calix kamu juga ingin papa cium?" Aldrich mendekat dan mencium pipi gembul sang putra berkali-kali hingga menimbulkan tawa lucu yang menggemaskan.Elea memperhatikan kedua orang tersayangnya. Bahagia sekali rasanya melihat hal ini. Apalagi, Aldrich yang belakang sangat jarang berada di rumah.Aldrich duduk di sebelah Elea. Membiarkan dada bidang yang masih terbuka bebas. Ia tidak peduli apakah Elea akan tergoda atau tidak, hari ini dia memang ingin memamerkan bentuk indah tubuhnya."Rich, pakai bajumu!" pinta Elea memalingkan wajah sudah mulai gelisah.Aldrich t