Share

Bab 5. Si Pelor (Nempel Molor)

Baru hari pertama menyandang istri seorang Althaf Pramoedya, aku hampir saja mau beli sianida ke toko kimia karena saking kesalnya. Sempat kukira, menikah dengan Bos sendiri minimal ada manis-manisnya-lah kayak iklan air mineral eh, tapi ternyata sama sekali 'nol' besar.

Jauh ... sangat jauh dari ekspektasi. Tak kuduga selain licik Pak Al juga pendendam. Baru saja waktu menunjukan jam tiga subuh, tiba-tiba dia sudah membangunkanku dari lena untuk siap-siap mandi dan packing karena kami akan pergi ke bandara.

Katanya tepat jam lima, kami  akan naik pesawat menuju Yogya demi menemui Neneknya yang tak bisa menghadiri pernikahan karena sakit.

Anehnya, Pak Al bilang kami akan menyusul datang pada Bu Ana yang sudah lebih dulu berangkat tadi malam. Lagi, lelaki itu memutuskan tanpa diskusi denganku sama sekali.

Aku jadi curiga sepertinya lelaki itu sengaja tak memberi-tahuku karena mungkin masih kesal akibat perutnya aku tendang.

Dasar Kabayan! Selalu saja bikin kesal.

"Sudah manyunnya? Harusnya kamu bersyukur saya bangunin jam tiga, kalau enggak kita terlambat!" omel Pak Al di dalam mobil. Saat ini kami masih berada di jalan tol menuju bandara.

"Hah, bersyukur? Kalau Pak Al bilang sejak semalam, kita gak akan serepot ini, kan aku jadi gak enak sama keluarga kita," balasku sebal.

"Loh, kamu harusnya lebih gak enak sama saya, mana ada suami yang ngelipet baju istrinya? Itu namanya ngerjain! Apalagi perut saya masih sakit, karena perlakuan kamu semalam."

"Loh, loh, loh, ini nih yang namanya playing victim. Lagian, siapa juga yang suruh ikutan ngelipet? Dih! Bukannya Pak Al yang ngerjain aku? Mana ada suami yang menyembunyikan hal sepenting ini dari istrinya?" tandasku berapi-api.

Sumpah, aku tidak perduli lagi jika ucapanku jadi tidak resmi. Entah sejak kapan aku menggunakan panggilan 'aku' menjadi 'saya' pada si Bos pendendam ini, ah, biarinlah! Biar dia tahu rasa.

"Istri?" Dahi Pak Al berkerut.

"Ya, ada yang salah?" sinisku masih dengan mode kesal.

"Enggak, gak ada yang salah," jawabnya kalem.

"Ih, apa sih maksudnya? Aneh!"

Pak Al tidak menjawab, hanya kulihat raut wajahnya yang sebelumnya terlihat sebal tiba-tiba berubah lebih cerah. Lalu, diam-diam tersenyum tipis ke arah jendela.

Mengherankan. Apa dia kemasukan syetan jalan tol? Kok tiba-tiba berhenti berdebat? Aneh.

Ah, entahlah! Aku tak mengerti.

Setelah itu, suasana di mobil pun menjadi hening, karena kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku memilih membuang muka ke arah kanan dan Pak Al ke arah kiri. Sampai akhirnya Pak Al, memajukan tubuhnya untuk berbicara dengan Pak Maman.

"Pak, kita akan sampai berapa menit lagi? Saya takut ketinggalan 'flight' dan harus cari lagi penerbangan selanjutnya, karena sebelum ke Nenek saya harus bertemu klien," tanya Pak Al. Wajah tenangnya sedikit menekuk.

"Oh, sepuluh menit lagi Den, semoga enggak telat ya Den."

"Iya, Pak, semoga," jawab Pak Al singkat.

"Jadi, Pak Al masih ada janji sama klien di sana?" selaku kaget. Kukira di Jogja hanya ada agenda keluarga.

"Iya, sebentar. Tapi, ini klien penting. Tenang, kita ketemu di hotel kok, jadi kamu bisa beristirahat," ujarnya sekilas melihatku.

Dia kembali menyandarkan badannya ke jok mobil, sambil sesekali melihat ponsel seperti memastikan waktu.

Aku tahu lelaki di sampingku ini bukan sedang mengkhawatirkan tiketnya yang akan hangus, tapi dia cemas jika kami tak datang tepat waktu. Siapa pun tahu, dia itu super disiplin dan super sibuk.

Hah!

Kalau begini, aku jadi merasa bersalah. Bagaimana pun juga harus kuakui, karena keleletanku dia terlambat sekarang, terlepas dari kesalahannya yang lain.

"Pak!" panggilku pelan pada pria tampan yang sedang menatap keluar jendela tersebut.

Pak Al langsung menolehkan kepala, tapi aku memilih menunduk karena tak mampu memandangnya. Sungguh, aku menyesal telah berpikir buruk dan mengomelinya tadi. Benar kata Emak, suami-istri itu harus saling mengalah.

"Iya, Fey?" tanyanya.

"Anu Pak ... aku mau minta maaf," ucapku ragu.

"Minta maaf untuk apa?"

"Tadi dan semalam, maaf jika aku menendang perut Pak Al dan aku gak tahu kalau Pak Al ada rapat seharusnya Pak Al bilang kalau ...."

"Fey!" Dia memotong ucapanku.

"Iya, Pak."

"Tenang saja, kamu sudah saya maafkan sebelum kamu minta maaf. Lagi pula saya juga salah gak kasih tahu kamu alasan kita gak bareng sama ibu, maaf ya?"

Refleks aku mendongakkan kepala ketika mendengar penyesalannya. Wow! Apa aku aku enggak salah dengar? Dia meminta maaf?

Aku menatapnya yang tengah menatapku. Tak terelakkan, kami pun akhirnya bertukar pandang. Saat itu, entah kenapa hatiku langsung bergetar hebat. Seolah ada aliran listrik berkekuatan tinggi yang menyetrum tubuh ini.

Tak bisa kupungkiri, bola matanya yang berwarna coklat jernih itu telah membius seluruh fokus inderaku agar tak beralih.

Tanpa sadar, kami terpaku satu satu sama lain. Sampai akhirnya suara deheman Pak Maman menghancurkan moment langka ini.

"Eheum! Maaf, Den, Non. Sudah sampai bandara," ucap Pak Maman sembari mengulum senyum menggoda kami yang langsung gelagapan.

Salah tingkah.

(***)

Aku tidak boleh jatuh cinta pada Pak Al!

Itu perjanjian rahasiaku dengan Bu Ana tanpa sepengetahuan Pak Al. Awalnya kukira Bu Ana bercanda mengajukan syarat itu, tapi ternyata Ratu di keluarga Pramoedya itu serius. Dia akan melunasi hutang keluargaku apabila mengikuti kesepakatannya.

Kata Bu Ana, jika aku benar-benar menikah dengan Pak Al itu sama saja dengan mempersulit status Pak Al sebagai anak dari istri kedua almarhum Pak Pram. Sebab katanya, jika ada di antara kami saling jatuh cinta, Pak Al kemungkinan akan kehilangan statusnya sebagai pewaris di keluarga Pramoedya dan itu tidak boleh terjadi.

Bu Ana bilang, demi mempertahankan posisinya, Pak Al harus menikah dengan anak kolega almarhum Pak Pram lagi.

"Al itu anak sahabat ibu yang juga istri kedua almarhum suamiku Fey. Dulu, Pram ingin sekali punya anak laki-laki sementara rahimku sudah diangkat.

Jadi, atas persetujuan kami bertiga, ibu relakan Pram menikahi Rosma diam-diam dan akhirnya mereka melahirkan Althaf. Sayang, Rosma meninggal saat melahirkan. Kasian Al sejak kecil hidupnya selalu berada dalam kesusahan. Dia tak pernah mendapat pengakuan Fey, kecuali dari Neneknya di Jogja yaitu ibuku."

Begitu penuturan Bu Ana sambil menangis ketika menceritakan masa lalu Pak Al.

Mendengar rahasia besar itu tentu saja aku kaget sekaligus merasa iba pada Pak Al. Sekarang aku paham, kenapa Pak Al mau menikahiku demi menjaga pernikahan Mbak Kristi. Seharusnya aku bisa mengendus kejanggalan itu, lelaki itu hanya terbiasa berkorban.

Namun, nasi telah menjadi bubur, kini aku sudah terjebak di dalam pusaran kesepakatan yang sebenarnya aku pun ragu.

Apakah aku bisa tidak jatuh cinta dengannya?

Aku memandang sendu pada Pak Al yang sedang berbicara dengan pramugari di sampingku. Tak kusangka lelaki yang kuanggap licik, sombong dan angkuh ini ternyata punya sisi lain yang membuatku kagum.

Aku harus jujur, semenjak kejadian di mobil, jantungku seakan tak henti berdebar kencang. Entah ini karena ada rasa lain ataukah karena aku mau naik pesawat pertama kali.

Ah, entahlah! Aku bingung.

"Fey, kamu masih belum memakai seatbelt? Ayo, pasang dulu yang benar! Nanti bahaya."

Aku tersentak kaget saat kusadari tiba-tiba ada sepasang tangan telah berada di pinggangku. Lelaki itu dengan cekatan memasangkan seatbelt yang aku diamkan karena sibuk melamun.

Tadinya aku mau protes karena dia telah menyentuhku tanpa ijin, tapi lagi-lagi lidahku merasa kelu kala kulihat dia terlihat tulus.

"Maaf, aku hanya membantu, tadi pramugari bilang semua harus pakai untuk standar keselamatan," ujar Pak Al sambil tersenyum.

Manisnya.

(***)

Oh Tuhan! Bagaimana ini? Hatiku benar-benar merasa tak tenang. Mau duduk salah, memejamkan mata pun salah sampai mau kentut pun tidak bisa.

Apa ini yang dinamakan pannic attack? Ah, masa sih? Mana mungkin aku senorak ini, hanya karena baru pertama kali naik pesawat?

Perasaan tadi hatiku baik-baik saja, tapi anehnya semakin mendekati waktu take off badanku langsung meriang dan dahiku berkeringat. Saking paniknya, aku sampai berkali-kali mengecek keberadaan pintu keluar juga bagian-bagian pesawat.

Langsung terbayang di benakku. Bagaimana kalau di antara penumpang ini ada pembajak? Atau bagaimana jika tiba-tiba terjadi masalah dan aku harus melompat ke laut? Atau ....

"Fey!"

"Hah?" Aku berteriak kaget, saat Pak Al menegurku yang sedang sibuk mengendalikan diri.

"Tenang, kok kamu kaget gitu? Pucat lagi, kamu gak apa-apa, 'kan?"

Lelaki itu menatapku lekat seperti mengamati kondisi istrinya, sedang aku hanya diam menyembunyikan tanganku yang gemetar sendiri.

"Jangan bilang, ini kali pertama kamu naik pesawat, benar begitu?" tanyanya cemas.

Aku melihat Pak Al dengan tatapan memelas. "Pak, apa mungkin kita turun saja? Kita pakai kereta api saja yuk, biarin kalau pantat tepos juga," rengekku dengan wajah yang mungkin terlihat menyedihkan.

Aku tidak perduli dia menganggapku norak atau apa, yang jelas aku takut. Apalagi kalau pesawat kan enggak punya rest area, mana mungkin tiba-tiba berhenti di udara kalau mau mengisi bensin. Semakin deg-degan-lah hatiku ini.

Bukannya prihatin, si pria tampan malah tertawa lebar.

"Hahahaha ... Fey, Fey, naik pesawat itu enak kok, kayak digigit semut sebentar saja kok nyelekitnya ke sananya nyaman," ucapnya tidak berpri-keistrian.

Aku memberengut. "Bohong! Mana mungkin kayak digigit semut, itu naik pesawat atau imunisasi," rutukku kesal. Dia kira aku anak kecil bisa dibohongi kayak demikian.

"Hahaha ... dasar aneh!" Pak Al tertawa lagi mendengar ucapanku. Padahal aku lagi enggak melucu. "Terus, kamu mau apa?" tanyanya setelah tawanya berhenti.

"Anu ... aku mau ..."

"Para penumpang yang terhormat, selamat datang di penerbangan Keris Air MD-90 dengan tujuan Jogja bla-bla-bla ...."

Belum sempat aku mengungkapkan keinginanku, suara annoucement pramugari membuat mataku sontak terbelalak. Entah apa lagi yang dibicarakan si pramugari karena aku sudah parno lebih dulu.

Terlambat! Pesawat ini mau take off dan aku harus ada di sini? Aku tidak mau, aku takut! Bagaimana kalau pesawat ini jatuh ke laut? Bsgaimana kalau tiba-tiba ada yang menembak? Bagaimana kalau aku tidak bisa bertemu Emak lagi? Padahal tadi aku cuman bertemu sebentar belum sempat cipika-cipiki.

Bagaimana? Bagaimana?

Di tengah kepanikanku, tiba-tiba kurasakan ada tangan yang merengkuh kepala ini dan membawanya sampai menyentuh dada bidang seseorang. Hangat menyentuh tubuh kala dia memelukku dari samping seakan ingin mengalirkan rasa nyaman.

Mungkinkah Pak Al sengaja melakukan ini? Ingin rasanya aku berontak karena terkejut atas perlakuannya, tapi aku malah membeku.

"Tenang Fey, tenang! Semua akan baik-baik saja. Lebih baik kamu beristirahat sekarang, saya akan menjagamu, pasti kamu lelah, 'kan?" ujar Pak Al seraya mengelus puncak kepalaku berulang kali.

Tak ayal perbuatannya membuat jiwaku yang asalnya gelisah perlahan menjadi tenang dan nyaman. Bagaikan sihir, elusannya yang terus menerus di kepalaku membuat mataku perlahan terasa berat dan aku pun tertidur.

(***)

"Fey! Fey! Hey, bangun! Kita sudah sampai! Hey!"

Mataku terbuka perlahan kala seseorang menepuk pipiku pelan. Walau masih setengah sadar, aku coba mencerna keadaan.

Di mana aku? Apa aku di khayangan? Tapi, kok rasanya aku mendengar degupan jantung. Suara jantungku atau siapa, ya?

"Fey, ayo, bangun! Sudah tidurnya!"

Eh? Itu kan suara Pak Al?

Refleks aku membuka mata dengan lebar dan langsung mendongakkan kepala.

Sudah kuduga, Pak Al sedang memandangku dengan kesal karena aku baru sadar kalau sejak tadi aku tertidur di dadanya. Baru saja aku mencoba mengembalikan fungsi otak ini, Pak Al sudah mendahuluiku berbicara.

"Fey, jelaskan ini apa?" Dia tiba-tiba menunjuk ke bajunya yang terdapat noda gumpalan berbentuk bulat.

Astaga naga Indosiar! Ya ampun! Itu kan ilerku yang ada di bajunya, kok bisa?

Dan aku pun hanya nyengir.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status