Share

Part 5

Kali ini, Salma tidak bisa lagi membendung buliran yang sudah memenuhi pelupuk matanya. Di atas gelaran sajadah, ia menumpahkan buliran mata yang tersimpan selama beberapa waktu. Kenapa sikap mas Rofiq tidak lagi seperti sebelum menikah? Apa itu memang sifat aslinya? Atau karena ada kesalahan yang Salma lakukan, tetapi suaminya tidak memberitahu?

Salma hanya bisa menerka-nerka tentang itu. Ia pun belum berani menanyakan langsung pada Sang suami. Karena Rofiq nampak masih kesal melihat dirinya.

Setengah jam Salma menenangkan diri di dalam kamar, terdengar suara ketukan dari balik pintu kamarnya. Sambil mengusap mata dan pipi yang masih basah, Salma berjalan gontai menuju pintu untuk segera membukanya.

“Mbok Marni,” serunya pelan.

“Sudah jam setengah enam, Non, waktunya menyiapkan sarapan buat Den Rofiq. Saya atau Non Salma yang mau menyiapkan?” tanya mbok Marni memastikan. Pesan Salma sebelum subuh tadi, membuat ia harus meminta ijin dulu.

Salma tidak langsung menjawab. Ada jeda beberapa detik untuk memutuskan. “Ya, udah, Mbok. Biar saya yang siapkan.”

Meski luka hatinya masih terasa goresannya, Salma memutuskan untuk tetap melayani keperluan Rofiq. Ia hanya ingin menjalankan tugas sebagai seorang istri. Lagipula, ini adalah hari pertama Salma benar-benar melayani Sang suami.

“Mas Rofiq biasa sarapan apa, Mbok?” tanya Salma di tengah-tengah perjalanan menuju dapur. Pandangannya mengarah ke kamar tamu yang dihuni Rofiq. Masih nampak tertutup rapat.

“Apa ajah Den Rofiq suka, Non. Asal cocok.”

Kebetulan, suaminya tipe orang yang tidak memilih-milih makanan. Ini akan membuatnya lebih mudah melayaninya. “Mas Rofiq masih di kamar, Mbok?” Salma memastikan keberadaan Sang suami.

“Masih, Non. Beliau akan keluar kamar jika waktu sarapan sudah siap.”

Salma terdiam. Ia merasa malu dengan mbok Marni. Pasti, wanita bersahaja itu merasa aneh dengan dirinya. Iya, aneh. Status pengantin baru, namun terpisah ruang dan waktu. Tidak di dalam satu kamar, tidak pula bersama setiap waktu. Sangat berbeda dengan pengantin baru pada umumnya. Kebanyakan dari mereka, justru seperti dua kertas yang disatukan dengan lem. Selalu melekat kemana-mana.

Tepat pukul 06.00 pagi, Rofiq keluar dari kamarnya. Kebiasaan yang tidak pernah luput setiap hari di hari kerja. Kemeja putih dengan dasi berwarna biru bergaris miring, membuat tampilan pria berusia 26 tahun itu nampak rupawan.

“Pagi, Mbok,” sapanya pada mbok Marni yang tengah melintas. Ia lalu duduk di kursi, dan akan memulai sarapan paginya.

“Pagi juga, Den.” Mbok Marni pun tersenyum menyambutnya.

Dengan santai, Rofiq menyuapkan Nasih goreng dengan lauk telur ceplok di atasnya. Namun, satu suapan membuatnya mendadak berhenti mengunyah. Ekspresi wajahnya penuh keheranan.

“Mbok, ini masakan siapa?” tanyanya penasaran.

“Itu—,”

“Itu masakanku, Mas.” Salma keluar dari dapur tiba-tiba. “Aku pengin masak buat suami—,”

“Besok, kamu jangan lagi masakin aku, ya. Lidahku sudah biasa makan masakannya mbok Marni.” Rofiq memotong kalimat Salma tiba-tiba, lalu beranjak dari duduknya.

Dan lagi, untuk ke sekian kalinya kalimat Rofiq menusuk hati Salma. Luka itu menjadi semakin dalam, menciptakan embun di mata yang lalu menetes tanpa bisa ditahan. Ia lalu berjalan cepat menghampiri Sang suami yang sudah sampai di halaman rumah.

“Mas Rofiq,” seru Salma dengan langkah cepat.

Rofiq menoleh sekejap, lalu kembali fokus pada ponsel yang dipegangnya. “Ada apa?” jawabnya, tanpa menatap lawan bicaranya.

“Kenapa kamu bersikap begitu ke aku, Mas? Aku salah apa? Bisa tolong kasih tahu aku, supaya aku bisa memperbaiki salahku. Dan, kamu gak akan lagi bersikap gak jelas seperti itu.” Tanpa basa basi lagi, Salma menjelaskan tujuan pembicaraannya.

“Bukan salah kamu, Salma. Tapi, salah aku yang menikahimu.” Rofiq hanya bisa menjawab pertanyaan yang dilontarkan istrinya itu di dalam hati. Ia tidak berani mengucapkan di depan mata, karena rasa tak tega.

Selama ini, Rofiq menikahi Salma hanyalah karena rasa terpaksa. Agar hubungannya dengan istri dari kakak kandungnya itu tidak kentara. Setidaknya, dengan status Rofiq yang memiliki istri, tentu akan membuatnya lebih mudah berdekatan terus dengan Lintang—kakak iparnya itu, tanpa ada yang merasa curiga.

Sayangnya, pernikahan palsunya itu begitu diterima hangat oleh Salma. Dia bahkan meminta haknya untuk diperhatikan oleh suaminya, hanya karena statusnya adalah istri. Membuat Rofiq harus berfikir matang dalam bersikap.

“Aku mau berangkat kerja. Jadi, tolong jangan ganggu aku dulu!” Rofiq lalu masuk ke dalam mobil, tanpa memberi jawaban apapun pada Salma.

“Tapi, Mas—,”

Protes dari Salma tidak digubris. Rofiq langsung memundurkan mobilnya, lalu menancap gas menuju arah jalan ke kantornya. (*)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status