Share

Part 8

“Mas, boleh tanya sesuatu?” Salma membuka obrolan setelah selesai makan malam. Posisinya masih duduk di ruang makan. Begitu pula dengan Rofiq—suaminya.

“Iya, Dik. Ngomong ajah,” ujar Rofiq mempersilakan.

“Kenapa kamu menunjukkan kamarku yang di atas, sedangkan kamar yang kamu pake tidur di kamar itu?” Wajah Salma menunjuk ke arah kamar tamu yang ditempati Rofiq. “Kenapa kita gak sekamar, Mas?” lanjutnya lagi bertanya.

Cukup lama Rofiq terdiam setelah pertanyaan Salma terlontar. Fikirannya mulai berkelana, mencari cara untuk bisa memberikan alasan akurat pada wanita yang mulai memasuki daerah pribadinya. Dia istrinya. Namun, Rofiq tidak menginginkan hal itu. Dia tidak ingin menjalani kehidupan rumah tangga layaknya orang lain. Jika bukan karena Lintang, Rofiq tidak akan pernah menjalani pernikahan palsunya itu.

Namun, biar bagaimanapun dirinya tetap harus bisa berlakon sesuai rencana. Sesuai drama yang sudah direncanakan dengan Lintang sebelumnya. Setidaknya, Salma tidak curiga dengan rahasia terselubung di dalam pernikahannya.

“Iya, Dik. Mas belum bersiap ajah membereskan barang-barang ke kamar atas. Karena tadinya, mas akan pindah setelah kita menikah saja.” Dengan rasa terpaksa, Rofiq menyunggingkan senyum manis, seraya memberikan alasan logis.

“Oh.” Senyum Salma pun tak kalah merekah, menyambut alasan yang sudah ia tebak sebelumnya. Tentu membuat hatinya merasa lega.

“Kalo gitu ... yuk, Mas, kita beresin barang-barang kamu, terus kita bawa ke kamar atas.” Dengan antusias, Salma menggenggam tangan Rofiq dengan berseru manja.

Rofiq hanya tersenyum tipis, seraya melepaskan genggaman Salma perlahan, sambil berucap, “Besok saja, ya, Dik. Jangan sekarang. Sudah malam.”

“Oh, iya, Mas. Gak papa. Besok aku bisa sama mbok Marni.”

“Oh, iya, Dik, besok mas ada meeting pagi. Jadi, harus berangkat lebih pagi dari biasanya. Sepertinya, mas harus tidur sekarang, supaya bisa bangun pagi. Kamu gak papa, kan, tidur sendiri?”

Mendengar penuturan suaminya, dalam hati Salma sebenarnya kecewa. Setelah malam pertama yang dinanti kemarin tertunda, kini di malam kedua pun, Sang suami masih tidak bisa ia dekati. Tapi, mau bagaimana lagi. Tidak mungkin Salma memaksa Rofiq menuruti keinginannya untuk memenuhi haknya yang belum terlaksana.

“Berarti, mas Rofiq tidur di kamar itu lagi?” tanya Salma memastikan.

“Iya, Dik. Karena mas gak bisa tidur kalo ada orang di sebelah mas.” Rofiq lalu bersiap untuk beranjak menuju kamarnya. “Maaf, ya, Dik. Belum bisa menemani tidurmu,” lanjutnya lagi dengan nada menyesal. Rofiq kemudian berlalu setelah berpamitan pada Salma.

Hal mengecewakan kembali Salma dapatkan. Malam kedua yang ia harapkan sore tadi, harus terlewat kembali seorang diri. Entah apa yang ia rasakan saat ini. Sedih, sudah pasti. Kecewa, tentu sangat. Tapi, jika alasan Sang suami karena lelah, Salma pun tidak bisa menyalahkan begitu saja. Dia juga punya hak menolak, jika itu berpengaruh pada kesehatan atau pekerjaannya.

Tanpa sadar, buliran mata menetes dari ujung netranya. Dihapusnya segera pipinya yang basah itu, lalu memaksa tubuh untuk segera beranjak dari duduknya. Dengan berat hati, Salma mengayunkan kaki, melanjutkan langkah menuju kamar, agar secepatnya bisa merebahkan tubuh lesunya ke atas kasur.

Buliran bening dari matanya, terus menetes menemani langkah gontainya menaiki tangga. Berkali-kali dihapus pun, tetesan baru tidak juga berhenti. Sejujurnya, Salma begitu sedih dengan yang dialami kini. Pernikahan yang tidak pernah disangka sebelumnya, yang tentunya adalah impian Salma sejak lama, ternyata seperti ini kelanjutan kisahnya.

Mudah-mudahan, ini hanya sementara. Ini hanya jalan yang harus ia lalui, untuk segera sampai dengan jalan kebahagiaan. Salma masih berfikir positif dengan yang tengah dijalaninya. Ia masih berharap, suaminya akan memberikan kebahagiaan yang dijanjikan sebelumnya.

Sesampainya di kamar, Salma segera menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur. Lalu memejamkan mata, untuk segera melewatkan malam ini tanpa rasa sedih lagi. Sayangnya, tidak semudah itu. Fikiran Salma masih belum berlalu dari Rofiq. Membuat harapan bahagianya semakin menggelora. Namun, karena itulah buliran bening dari matanya kembali menetes dengan derasnya. Karena semua itu masih dalam angan-angan saja, membuat Salma semakin menaruh harapan pada Sang suami.

***

“Mbok, mas Rofiq belum sarapan?” Pandangan Salma terpaku pada pintu kamar Rofiq yang masih tertutup rapat. Lalu, beralih ke arah meja makan yang sudah tersaji roti tawar beserta selainya. Mengira, jika Rofiq belum sarapan pagi.

“Sudah berangkat, Non,” sahut mbok Marni pendek.

Lagi-lagi, Salma kembali menelan rasa kecewa. Sang suami ternyata sudah lebih dulu berangkat. Padahal, ia ingin dipamiti layaknya seorang istri umumnya. Menyalami tangan dan mencium punggung tangan suaminya. Lalu, meninggalkan kecupan di dahi dan bibirnya. Pasti sangat romantis. Ah, entahlah. Semua itu masih menjadi angan-angan semata. Mungkin salahnya juga, karena Salma turun dari kamar lebih telat dari kemarin.

Pada akhirnya, Salma yang harus menenangkan hatinya sendiri, mendinginkan fikirannya sendiri. Sudah cukup kesedihan semalam ia rasakan. Hanya akan menambah siksaan dalam batinnya saja jika terus difikirkan.

Demi menepis semua kedundahan yang masih sedikit melanda, Salma menyibukkan diri dengan berbagai aktifitas. Salah satunya adalah menemani mbok Marni memasak, dan meminta diajari juga darinya. Karena Salma ingat, Rofiq pernah memintanya untuk tidak menyiapkan makanan untukny lagi, karena lidahnya sudah terbiasa makan masakannya mbok Marni. Cukup menyanyat kalimat itu. Namun, Salma terima dengan lapang dada. Ia lah yang harus belajar menerima permintaan Sang suami secara perlahan. (*)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status