Share

Part 4

Tidak ingin sangkaan buruk itu membayanginya terus menerus, Salma memutuskan untuk tidak akan lagi bertanya pada mbok Marni. Lebih baik, ia tanyakan langsung pada Rofiq—suaminya, agar lebih jelas.

“Ya, sudah, Mbok. Saya ke kamar itu dulu. Untuk makan mas Rofiq, biar saya yang masak ajah, ya, Mbok?”

“Iya, Non,” jawab mbok Marni pendek, seraya melempar senyum pada Salma yang sudah melangkah menuju kamar suaminya.

Sesampainya di kamar, Salma segera menyiapkan pakaian untuk dikenakan Sang suami. Ia membuka lemari, dan mengambil satu kaos dalaman putih dan kemeja biru beserta celana kerja berwarna hitam. Juga mengambil kaos santai dan celana sebatas lutut, karena barangkali suaminya masih ingin santai di rumah. Waktu menuju jam kerja masih ada dua jam lagi.

“Siap juga,” gumam Salma lirih, setelah meletakan semua yang sudah dipersiapkan.

Tak lama setelah itu, terdengar suara adzan yang begitu merdu dari masjid di area komplek. Salma mulai berencana untuk mengajak Rofiq sholat berjamaah dengan dirinya. Ia lalu duduk di tepi ranjang demi menunggu Rofiq selesai mandi. Status istri yang baru Salma sandang, membuatnya merasa leluasa melakukan apapun untuk Sang suami.

“Kamu, kok, di situ?” tanya Rofiq setelah keluar dari kamar mandi. Ia baru menyadari keberadaan Salma di ranjangnya.

Salma tersentak dengan Rofiq yang tiba-tiba bersuara. Ia terkejut karena pandangannya fokus ke arah layar ponsel di tangannya. Dengan senyum merekah, Salma menjawab, “Eh, Mas. Udah selesai mandi? Oh, iya, udah adzan shubuh. Kita sholat jamaah, yuk!” ajaknya semangat.

Rofiq yang masih berdiri di depan pintu kamar mandi, hanya mendengus kesal. Ia lalu berjalan melangkah menuju lemari berisi pakaiannya, tanpa menjawab ajakan Salma. “Kenapa kamu gak sholat sendiri, sih?” tanyanya dengan nada sedikit kesal.

“Kita, kan, sudah suami istri, Mas. Pahalanya besar, loh, kalo rajin jamaah bareng.”

Penjelasan wanita yang sebenarnya tidak ia cintai itu justru memancing emosi di hatinya. Ia semakin kesal saat mendengar kata “Suami Istri” menyeruak dari bibir Salma. Jika bukan karena rasa terpaksa, Rofiq tidak akan mau menikahi Salma.

“Mas, ini bajunya udah aku siapin, kok.”

Rofiq menoleh ke arah Salma yang masih melekatkan pantatnya di tepi ranjang. Lalu, pandangannya beralih ke pakaian yang nampak ditata melebar di atas kasur. Lagi-lagi, Rofiq mendengus kesal. Aktifitasnya yang tengah mencari pakaian keinginannya harus terhenti sejenak. Ia merasa, urusan pribadinya mulai terusik.

“Itu bukan bajuku. Tapi, baju mas Rafi,” jawab Rofiq dengan nada datar.

“Wah, iya kah, Mas? Aduh, aku salah ambil, dong. Maaf, ya,” sahut Salma dengan nada menyesal. Ia lalu menghampiri Sang suami yang nampak sudah mendapatkan pakaian yang akan dipakainya. “Baju mas Rafi, kenapa di sini, Mas? Memangnya, dia pernah menginap di sini?” tanya Salma yang mulai ingin tahu aktifitas biasa di rumah ini.

“Kamu bisa tolong keluar dulu dari kamar ini, gak?” Rofiq menatap lekat wajah Salma. Daripada ia mulai menunjukkan rasa emosinya pada wanita yang terpaksa ia nikahi, lebih baik mengusirnya secara halus.

Salma terkejut. Ia bahkan masih berdiri mematung di hadapan Rofiq. Tentu saja membuat pria bertubuh tinggi tegap itu semakin kesal. Bukan tanpa alasan Salma belum menuruti titah Sang suami. Ia hanya merasa sangat terkejut dengan nada datar ucapan Rofiq padanya. Itu bukan kalimat normal yang ditujukan untuk seorang istri dari suami. Terlebih lagi, kondisinya adalah masih pengantin baru.

“Kenapa masih di sini?” protes Rofiq.

“Iya, Mas, maaf.” Salma mulai mengayunkan langkahnya. Namun, mendadak terhenti. “Tapi, kita mau sholat berjamaah, kan, Mas?” Salma kembali mengajak untuk kedua kalinya.

“Kita sholat sendiri-sendiri. Aku benar-benar capek.”

“Tapi, Mas—?”

“Kamu susah dibilangin, ya. Aku bilang, kamu sholat sendiri ajah dulu.” Intonasi nada Rofiq semakin meninggi. Pancaran di wajahnya pun begitu nampak kekesalannya.

Dan, lagi. Untuk ke sekian kalinya nada ucapan Rofiq begitu menusuk hati Salma. Ia hanya bisa menahan gejolak dalam hati yang terasa begitu menyakitkan. ‘Apa salahku? Kenapa tiba-tiba mas Rofiq begitu marah padaku? Jika memang ini kesalahanku, tolong tunjukkan lah letaknya. Supaya aku bisa memperbaikinya.’ Salma hanya bisa berucap dalam hati. Tanpa terasa, satu tetes embun dari netranya jatuh membasahi tangannya.

Dengan langkah gontai, Salma kembali menuju kamarnya untuk melaksanakan sholat shubuh sendiri, sesuai dengan titah Sang suami. Dalam hati, Salma merasa hatinya begitu hancur di hari pertama pernikahan. Sangat tidak menyangka jika hal ini akan dialami Salma di hari yang harusnya ia masih merasakan kebahagiaan. (*)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status