"Ha ha ha, dia pikir karena punya kuasa dia bisa berbuat seperti ini padaku? Samudra, tunggu saja, kamu akan bertekuk lutut padaku," ujar Melisa.Wanita yang berprofesi sebagai model itu tampak tersenyum bengis. Tatapannya menerawang ke depan sembari terus tertawa seolah-olah apa yang dilakukan sesuatu yang sangat membahagiakan. "Sam-sam, kamu mau main-main sama aku?" Kekeh Melisa sembari memainkan kukunya yang dicat merah. Saat ini, wanita itu berada di atas angin karena merasa telah menang melawan Samudra. Dia merasa Samudra pasti akan memohon-mohon padanya. Namun satu hal yang tidak pernah dia sadari bahwa media tetap akan berpihak pada siapapun yang mampu membayar mahal. Ya, itulah realistas sekarang."Melisa! Apa yang sudah kamu lakukan? Di luar sana banyak media yang berkumpul menantimu keluar!" Tiba-tiba manager Melisa datang dengan tatapan panik.Melisa menurunkan kakinya yang semula nangkring di atas meja. Lalu berdiri sembari menatap sang manager dengan tatapan aneh. "Mer
Samudra segera menghubungi orang-orangnya tanpa menghentikan laju kendaraan yang ia kemudikan. Tak lupa juga menghubungi satpam rumah untuk tidak membukakan pagar bagi siapapun yang ingin masuk. Dia benar-benar tak Sudi bertemu dengan wanita yanh telah berani main-main dengannya.Melisa sendiri memilih untuk tidak mengejar Samudra dan menunggu di depan pagar. Dia berpikir bahwa Samudra tidak mungkin tidak pulang. Dengan santai dia kembali masuk mobil dan menunggu sembari menikmati musik kesayangannya. Selang 10 menit, gerombolan pria berpakaian serba hitam datang mengepung mobil merah yang terparkir di samping pagar rumah Samudra. Mereka memaksa Melisa pergi dari sana hingga terlibat percekcokan. Karena wanita itu memaksa untuk tetap menunggu Samudra, akhirnya para pria gagah itu menyeret Melisa keluar dari mobil dan membawanya pergi. Salah seorang mengendarai mobil Melisa dan mengikuti rombongan menuju tempat yang sudah ditentukan. Samudra tersenyum miring menyaksikan hal itu. Kem
Tiara berjalan santai bersama dengan Putri sambungnya sembari terus mengobrol. Sebenarnya mencari siomay hanya alasan Kiara saja untuk menghindari suaminya. Dia hanya masih belum siap terlalu dekat lagi dengan pria itu. Selain karena takut hatinya jatuh ke dalam pesona pria itu dia juga masih belum benar-benar siap untuk memutuskan menjalani kehidupan rumah tangga seperti impiannya dulu. "Mama, itu penjual siomay-nya!" Pekik Cantika kegirangan. Kiara menggenggam tangan mungil Cantika agar berjalan di sampingnya dan aman dari pengendara di jalan raya. Keduanya berjalan santai di trotoar sembari sesekali bergurau sehingga tidak terasa capek. "Iya, ayo kita ke sana!" Kiara tersenyum melihat putri sambungnya begitu bahagia.Setelah sampai di tempat yang dituju, Kiara langsung pesan pada penjual. Sedangkan Cantika mencari tempat duduk tanpa diminta. Gadis kecil itu seolah paham bahwa mamanya akan makan di tempat."Mama, sini!" Cantika melambaikan tangan saat Kiara sudah selesai memesan.
"Dokter, tolong istri saya!" teriak Samudra sembari berlari membawa sang istri memasuki ruang UGD. Sementara Cantika ikut berlari di belakang papanya dengan air mata terus berderai. "Baringkan di sini, Pak!" Seorang perawat menunjukkan sebuah brankar yang sudah tersedia di ruang UGD. "Tolong tunggu di luar, Pak!""Istri saya sedang hamil, Sus! Tolong selamatkan mereka," mohon Samudra dengan mata berkaca-kaca. "Kami akan berusaha, Pak. Bantu dengan do'a, ya." Perawat dengan sabar meminta Samudra untuk keluar. Meskipun enggan meninggalkan istrinya sendiri di dalam tapi pria itu tetap menurut. Ia menggandeng tangan mungil Cantika dan berjalan keluar ruangan. "Papa, Mama sama dedek bayi nggak papa, kan?" Cantika menatap sang papa penuh harap. Ada gurat kesedihan bercampur takut di wajah gadis kecil itu. Samudra meraih tubuh Cantika dan mendudukkan di atas pangkuannya. Memeluk erat tubuh sang buah hati dengan perasaan berkecamuk. Ayah dan anak itu terdiam dengan pikiran masing-masing
Kiara duduk termenung menghadap jendela. Tubuhnya tidak bergerak seperti payung bahkan saat di ruangan itu ada percakapan antara mama mertua dengan suaminya. Sesekali terdengar celoteh riang Cantika. Tatapan mata Kiara tampak kosong. Wajahnya masih sedikit pucat dengan bibir memutih. Tubuhnya juga kurus karena saat hamil susah makan. "Apa tidak sebaiknya kita kabari orang tua Kiara, Sam?" Melinda menatap sang menantu dengan tatapan iba. "Kita butuh persetujuan Kiara, Ma. Aku khawatir Ayah kaget mendengar kabar ini. Beliau baru saja sembuh," jawab Samudra bijak.Pria itu sangat ingin memeluk sang istri dan memberikan motivasi padanya. Namun ia khawatir wanita yang menjadi istrinya itu menolak dan membuat suasana hatinya makin kacau. Melinda duduk di samping Kiara lalu menatap ke arah yang sama dengan menantu tercintanya itu meski sorot matanya tampak berbeda. "Allah tidak membebani hamba-Nya di luar batas kemampuan. Apa yang diberikan pada kita semua itu milik-Nya dan Dia berhak m
Samudra berjalan ke lemari lalu mengambil sesuatu dari sana. Setelahnya dia menunjukkan dua buku berwarna merah dan hijau yang dikeluarkan oleh KUA setempat. "Pernikahan kita sudah resmi, Kiara. Pernikahan kita sudah tercatat di KUA," ujar Samudra.Tiara menatap suaminya dengan tatapan penuh tanya. Kapan pria itu mengurus buku nikah di KUA? Kenapa jadinya tidak tahu? Lalu tanda tangan siapa yang tertera di dalam buku nikah tersebut kalau dirinya saja tidak merasa menandatanganinya? "Itu buku nikah palsu, kan? Tidak sulit bagimu untuk membuatnya." Cara memasang wajah datar. Setelah kehilangan bayinya Tiara sudah bertekad untuk lepas dari keluarga Tri Anggoro. Dia akan bekerja keras setelah ini untuk mengembalikan uang yang digunakan untuk membiayai pengobatan ayahnya. Mungkin membutuhkan waktu yang cukup lama tapi dia tetap harus berusaha. Baginya bertahan dengan lelaki yang tidak bisa tegas terhadap wanita lain hanya akan membuatnya semakin terluka. "Kamu bisa mengeceknya kalau t
Samudra memilih diam. Niat hati menginap di kantor untuk menenangkan diri, justru kedatangan Vino membuatnya semakin emosi. Mendadak pria berhidung mancung itu teringat kembali kata-kata sang istri. "Tidak, aku tidak akan bercerai apapun alasannya. Kiara, tak bisakah kamu merasakan cintaku yang begitu besar padamu? Apa dendam sudah menutupi kelembutan hatimu, Sayang?" desah Samudra. Beruntung dia gerak cepat mengurus buku nikah saat Kiara di rumah sakit kemarin. Dia sudah memprediksi sebelumnya kalau Kiara akan minta pisah setelah bayi yang dikandung tiada. Untuk itu Samudra segera mengurus buku nikah mereka berbekal surat bukti kalau mereka sudah menikah siri. Terkait tanda tangan Kiara, sebenernya Samudra memintanya di rumah sakit saat kondisi Kiara setengah sadar sehingga dia tidak menolaknya. Bahkan wanita yang sudah membuatnya jatuh cinta sedalam ini tak menanyakan perihal tanda tangan tersebut. Terlebih saat itu bersamaan dengan tanda tangan berkas rumah sakit untuk melalui t
Samudra langsung bangkit dari duduknya lalu menyambar kunci mobil yang tergeletak di atas meja kerjanya. Tak lupa tas dan jas yang terlampir di kursi turut ia bawa. Dengan langkah cepat lelaki beranak satu itu berjalan keluar meninggalkan Vino sendirian. Sadar ada sesuatu yang tidak beres, Vino segera mengikuti langkah Samudra. Lelaki yang sudah berteman sejak sekolah dengan Samudra itu khawatir terjadi sesuatu di jalan jika membiarkan sahabatnya menyetir sendiri dalam keadaan panik seperti itu. "Biar aku saja yang nyetir, Bro!" Vino mengambil alih kunci yang ada di tangan Samudra. Samudra hanya menurut karena tak punya lagi energi untuk membantah. Lagi pula ia juga nggak yakin bisa selamat sampai tujuan jika menyetir dalam kondisi panik seperti itu. Kalaupun dirinya selamat, bisa jadi mencelakai pengendara lain akibat cara menyetirnya yang brutal.Samudra memutari badan mobil lalu duduk di samping kursi kemudi. Tatapannya lurus ke depan. Sesekali menarik nafas panjang lalu menghem
"Kak Dam, kenapa baru muncul sekarang. Bukankah dulu kamu sudah berjanji untuk selalu ada untukku jika aku mengalami kesulitan?" Entah mengapa dada Kiara merebak. Di saat seperti itu, pintu ruangannya terbuka. Buru-buru Kiara mengusap pipinya yang basah. Mengingat setiap momen masa kecilnya membuat wanita itu tak bisa menahan haru. Setelah beratus purnama terpisah, kini mereka dipertemukan lagi dengan kondisi Kiara yang sudah memiliki suami. "Sayang, mau makan siang ke luar atau pesan antar saja?" Samudra masuk dengan senyum mengembang di bibirnya. Kiara yang menatapnya dengan tatapan kosong karena sedang memikirkan temn masa kecilnya terkesiap mendengar suara suaminya. Seketika dia mengucapkan istighfar dalam hati berkali-kali karena telah memikirkan lelaki lain. "Kayaknya makan di kantor aja deh, Mas. Pesan antar aja ya? Soalnya habis jam makan siang ada meeting lagi." Kiara menutup laptopnya lalu berjalan menuju ke sofa sambil meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja. Lal
Wanita itu segera berkutat dengan deretan angka yang membuat pusing kepala bagi yang tidak memahaminya. Namun Kiara sepertinya sangat menikmati pekerjaan sebagai CFO ini hingga tak terasa jarum jam sudah menunjukkan pukul 08.50. Liana kembali masuk."Sudah waktunya meeting, Bu."Kiara mendongak lalu merentangkan kedua tangannya yang mulai pegal. "Ah, iya. Ayo!"Kiara berjalan mendahului Liana. Saat memasuki lift, ternyata di dalam lift ada seseorang yang menatapnya dengan tatapan intens.Kiara menggeser tubuhnya hingga mepet ke dinding lift, sementara Liana berada di belakangnya. Pria yang sudah beberapa kali bertemu dengan Kiara itu memilih diam dan hanya melirik sekilas padanya. Pun dengan Kiara, dia hanya mengangguk hormat sebagai sapaan.Tak butuh waktu lama lift berhenti di lantai 13. Di lantai inilah ruang meeting dan aula berada. Kiara keluar lebih dulu diikuti oleh asistennya. Tak berselang lama lelaki dengan penampilan bak eksekutif muda itu juga keluar. Dia berusaha untuk me
"Ada apa ini?" Tiba-tiba sosok pria datang menghampiri mereka.Salah seorang pimpinan polisi menunjukkan surat perintah penangkapan. "Kami mendapat laporan penyekapan anak-anak di bawah umur di sini. Tolong kerjasamanya untuk tidak menghambat tugas kami." Pria bertubuh tegap dengan penampilan serba hitam itu sedikit menyunggingkan senyumnya. Pembawaannya sangat tenang meski ia tahu anak buahnya telah ditangkap dan anak-anak yang disekap ikut dibawa. Alih-alih panik karena rahasianya terbongkar, pria itu justru terlihat sangat santai. "Tidak ada penyekapan di sini. Mungkin anda salah info," ujarnya santai."Semua bukti-bukti sudah ada. Anda lebih baik ikut kami sekalian." Tanpa diduga, pria itu langsung naik ke mobil polisi tanpa membantah. Tentu saja hal itu menimbulkan tanda tanya bagi anak buahnya. Sedangkan para polisi tampak senang karena penangkapan tidak terlalu mendapatkan perlawanan. Terlebih mereka langsung mendapatkan pimpinannya tanpa drama yang berarti. Tanpa mereka tah
Sementara di rumah penyekapan terjadi kehebohan yang luar biasa. Setelah pamit mengantar Cantika, Kipli tak kunjung kembali. Salah seorang dari empat orang rekannya yang sedang santai setelah bosan bermain kartu akhirnya menyadari jika Kipli sudah terlalu lama ke belakang. Awalnya mereka bersikap masa bodoh, tapi setelah sekitar satu jam tidak kunjung kembali, mereka merasa ada yang janggal. "Hei, Anto! Coba Lo susul Kipli, cuma nganter boker aja sampai menahun. Jangan-jangan dimakan binatang buas lagi mereka!" ucap salah satu dari empat penjaga itu asal. Anto yang sejak tadi sudah mulai gelisah karena Kipli tak kunjung kembali seperti mendapat angin segar. Dadanya membuncah bahagia karena akhirnya dia memiliki kesempatan juga untuk kabur dari sana. Walau bagaimanapun, dia sama dengan Kipli. Menerima tawaran pekerjaan ini karena terdesak kebutuhan ekonomi. Ditambah lagi bayarannya cukup tinggi. Lama kelamaan Anto merasa ada yang salah dari profesinya ini. Dia merasa kasihan setiap
"Anggap saja gue sudah tidak punya utang Budi apapun lagi sama Lo!" jawabnya santai. Andai Samudra bukan lelaki yang tegas, dia pasti sudah menghambur ke pelukan pria berambut gondrong itu. Namun karena dia adalah pria dan tidak ingin menunjukkan kelemahannya, dia hanya tersenyum dengan tatapan yang menyiratkan rasa terima kasih yang teramat dalam.Setelah selesai memberi instruksi pada Jack, Samudra memilih untuk kembali ke kamar rawat putrinya. Dia ingin mendengar sendiri dari mulut putrinya bagaimana dia bisa mendadak tergeletak di pinggir jalan, tempat di mana dia ditemukan. Dengan sangat hati-hati lelaki bergelar ayah itu membuka pintu. Tatapannya langsung tertuju pada tiga wanita beda generasi yang sangat ia cintai. Hatinya merebak. Lalu tiba-tiba hatinya gerimis. Samudra melangkah masuk sembari mengusap sudut matanya diam-diam. Hampir saja pria ini frustasi saat sang buah hati tak kunjung ditemukan kemarin. Kini, melihat orang-orang yang dia cintai telah berkumpul membuat hat
"Ada apa?" tanya Kiara terus mendesak mereka. "Tidak apa-apa, Nyonya. Tuan sedang mengantar Nona kecil untuk tes laboratorium," ujar salah satu pria yang semuanya memiliki postur dan tinggi tubuh hampir serupa. "Apa yang terjadi? Apa sangat parah sampai harus di tes laboratorium?" Kiara tak bisa menyembunyikan kepanikannya. Sebelum bertemu langsung dengan putrinya, wanita yang dulu sempat menjadi seorang guru itu tidak bisa tenang. Pikirannya terus dihantui dengan hal-hal yang buruk mengenai buah hatinya. Meski Cantika bukan putri kandung bagi Kiara tapi dia sudah menganggap anak itu seperti anak kandungnya sendiri. Bahkan rasa cintanya pada sang anak melebihi cintanya pada diri sendiri. Suara langkah kaki yang mendekat membuat kepala Kiara spontan menoleh padanya. Di sana, di ujung lorong ia melihat Samudra mendorong kursi roda yang di atasnya duduk seorang gadis kecil dengan kepala menyandar ke belakang. Menunggu mereka sampai ke hadapan rasanya terlalu lama bagi Kiara sehingga
Cantika terus berlari dengan kaki kecilnya menyusuri hutan rimba yang cukup sepi. Meski dalam hati ketakutan dan ingin menangis tapi gadis kecil itu lebih takut lagi kalau kembali di rumah penyekapan. Nafasnya sudah mulai memburu padahal baru setengah jalan sebelum bertemu dengan jalan raya. "Apa Mama cantik takut." Melangkahkan kakinya yang kecil gadis itu terus meneriakkan nama papa dan mamanya sambil berderai air mata. Sementara di pelabuhan speed boat yang mengejar kapal yang diduga membawa Cantika sudah semakin dekat. Anak buah Samudra sebagian sudah melompat ke atas kapal dan baku hantam tak terelakkan. Cek yang memimpin pasukan memerintahkan anak buahnya untuk menggeledah kapal tersebut. Sementara dirinya melawan orang-orang yang masih tersisa. "Bagaimana?" tanya Jack ketika sudah bisa melumpuhkan musuh."Tidak ada, Bos. Nona muda tidak ada di manapun!' sahur salah satu anak buahnya yang sudah mencari ke semua penjuru kapal. "Tapi ... saya menemukan ini, Bos!" lanjutnya sera
"Lo lihat wajah polos anak-anak itu? Bayangkan kalau salah satu diantara mereka adalah anak kita. Apa Lo nggak merasa kasihan? Hari ini kita menculik anak orang lain, bagaimana kalau suatu saat anak kita yang jadi korbannya?" bisik pria yang sudah mulai sadar akan perbuatannya itu. Sedangkan pria bernama Anto yang sejak tadi berusaha untuk tetap terjaga karena kantuk yang menyerang mulai goyah dengan ucapan temannya. Dia juga memiliki anak-anak seusia mereka. Bahkan anaknya kembar dan baru kelas 2 SD. Demi mereka dia rela melakoni pekerjaan haram ini. Namun tak pernah terpikir dalam benaknya suatu ketika anak yang di perjuangkan hidupnya akan bernasib sama dengan anak-anak ini.Tatapan Anto jatuh pada Cantika yang tampak lemas. Gadis kecil itu terus merengek dan tidak mau makan sehingga kehilangan banyak tenaga. Mendadak rasa kasihan menyusup ke dalam relung jiwanya. Wajah Cantika berubah seperti wajah anaknya yang tengah menangis minta tolong. Entah karena efek kantuk yang menggelay
"Mas, coba lacak lewat GPS. Tadi pagi Cantik memakai jam tangan yang sudah dipasang GPS," usul Kiara. Samudra sendiri baru sadar jika dia telah menasang alat pelacak di jam tangan dan sepatu Cantika. Karena kalut dia sampai lupa hal sepenting ini. Seketika harapannya terbit. Dengan alat pelacak itu, dia bisa menemukan posisi sang buah hati saat ini. Lelaki itu segera menyalakan smartwatch yang dipakainya. Ia membuka aplikasi untuk melacak keberadaan putrinya. Kedua alis lelaki bergelar ayah itu tertaut ketika melihat titik ordinat keberadaan putrinya. "Aku ikut, Mas!" Kiara tak bisa berdiam diri menunggu kabar sementara putri kesayangannya dalam bahaya."Sayang, kamu tunggu di rumah. Misi penyelamatan ini cukup berbahaya, Sayang." Samudra berusaha membujuk sang istri yang tetap kekeh ingin ikut. Pria yang masih memakai jas lengkap itu menatap mata sendu wanita yang ia cintai dengan tatapan yang meyakinkan. Dia tak ingin keselamatan Kiara terancam. Di saat Cantika, putri semata way