Share

Terjebak Trauma Sang Duda
Terjebak Trauma Sang Duda
Penulis: Paus Hijau

01. Daftar Kelam

JanganAyah tidak boleh memerkosa Kaneena!

Saat itu, Kenedi melucuti seluruh helai di tubuhku hingga tercabik-cabik tanpa belas kasihan. Di sorotnya pun tak lepas dari kekejian. Jika benci dan dendam padanya adalah dosa paling besar, jangan pernah tunjukkan aku surga keabadian.

Ketika uang mudah sekali kudapat hanya dengan berlenggak-lenggok atau berpose layaknya wanita tercantik di dunia, tapi Tuhan memberi hidup ini kecacatan keluarga.

"Kapan tua bangka itu mati?" celetukku sebelum dipukul oleh Willis yang baru saja menurunkan sandal rumahan, pengganti stiletto karena tungkai ini nyaris tergelincir. Aku memicing sengit. "Sakit! Jika bahuku memar karena pukulanmu, pemotretan berbaju seksi, kau yang akan menggantikannya!"

Memasuki lorong-lorong sempit untuk sekadar mencari tua bangka sialan itu, membuat darahku naik hingga ubun-ubun. Tidak adakah hal lain yang pria itu lakukan selain meminta uang, berjudi, mabuk-mabukan, dan bermain dengan para jalang? Andai ia tak mengancam akan mengganggu Kian—adik laki-lakiku—rasanya tungkai ini lebih baik diluruskan, menyimpan energi untuk aktivitas yang menghasilkan uang.

Entah berapa panjang lorong dan berapa lama tungkai ini melangkah, tapi kami yang berbalut penyamaran seolah sudi menghirup aroma pekat dari tanah basah. Ancaman pria itu membuatku memutar ulang masa lalu perihal betapa hebat ia menampar dan mencaci ibu sebelum melenggang dengan para jalang. Belum lagi bibir berbisanya yang mengataiku anak haram.

Aku dan Willis terkesiap, bahkan pria itu tak sempat melajukan protesnya ketika tungkai kami tanpa sadar telah tiba di ujung lorong. Ada rumah dua lantai yang berdiri kukuh dengan pelataran tak terurus. Seperti pradugaku, tua bangka itu telah menunggu di teras rumah dan baru saja membanting pintu pagar. Tanpa basa-basi, aku mengambil beberapa gepok uang dari ransel Willis, kemudian melemparnya ke arah Kenedi. "Buatlah ATM! Jangan merepotkan orang lain demi kesenangan sialanmu itu!"

Pria itu terkekeh, khas usia senjanya. Ketika ia hendak menyentuh pipiku, tangan ini menepisnya kasar.

Kenedi berdecih. "Anak durhaka. Tidak takut masuk neraka?" Ia beralih pada bergepok-gepok uang yang kuberi, menghitungnya bagaikan saudagar kaya. "Berapa ini?"

"One hundred million ." Aku membalas singkat sebelum menyilangkan lengan di dada. Muak.

"Thank you, Kaneen. Aku sangat mencintai kalian." Ia memelukku erat, membiarkan aroma alkohol mengaliri hidung kami.

Netraku berputar malas. Muak.

Pria itu berdehem, sekilas melirik Willis yang tampak kaku karena permusuhanku dengan Kenedi. Ia saksi bisu betapa hebat Kaneena terluka dan membenci. "Aku sengaja tidak membuat ATM." Kenedi terkekeh jenaka. "Bukankah Kaneena adalah artis papan atas? Dengan cara seperti apa lagi ayah miskinnya dapat bertemu selain dengan cara seperti ini?"

Mendengar ucapannya, bibir ini tersungging miris. Sudah tahu miskin, tapi masih saja membuat masalah. "Kau mengganggu waktu istirahatku!" Netraku berputar malas. Gigi ini beradu. Telunjukku pun melampiaskan emosi ke arah wajahnya setelah mengingat Kian. "Aku telah memberimu uang, tapi ingat, jangan usik Kian yang harus fokus kuliah!"

Pria itu manggut-manggut, seolah paham.

"Jika tidak, tahu sendiri akibatnya!" Tak segan, aku mengancam. Refleksku menepis usapan Willis pada bahu ini. Pria itu seolah menyadari betapa hebat emosionalku beradu. "Jika uang yang kau inginkan, aku tak peduli." Telunjukku masih mengacung ke arahnya. "Namun, jangan pernah usik hidup kami! Penderitaan ibu di masa lalu, lebih dari cukup." Aku menggeram marah.

Kenedi tampak tak peduli dengan ucapanku. Bahkan, ia seolah mengira bahwa luka jiwa ini adalah lelucon yang tak pantas dianggap nyata. Namun, tidak tahukah pria sialan itu jika tamparan dan pukulannya pada fisik ibu membuatku cacat mental? Belum lagi .... Aku menggeleng, berusaha mengatur napas dan melupakan masa kelam yang hingga detik ini tak bertuan.

Kaneena—artis papan atas—adalah kerusakan berbalut kulit emas.

Aku berbalik ketika siluet menyakitkan masa lalu mencabik-cabik raga letih ini hingga terasa makin tak berdaya. Rasa gengsi pun berharap kucuran air mata pada pipiku tak tampak di sorot Willis karena minimnya pencahayaan.

"Kaneen ...."

Tungkaiku yang telah melangkah keluar teras refleks terhenti karena Kenedi memanggil.

"Aku ingin jujur bahwa kau tumbuh dengan baik. Kau cantik dan cerdas. Terima kasih untuk itu."

Aku terkekeh jenaka, tak sudi menyorotnya. "Apakah kau berpikir aku akan cacat jika hidup tanpa seorang ayah? Lebih baik tidak memilikinya daripada kami terluka!" Rampung menguraikan kalimat, aku menepis cekalan Willis pada pergelangan tangan ini. Tak akan kubiarkan pria itu merasakan betapa hebat Kaneena bergetar karena luka akibat cacatnya keluarga.

"Apakah kau akan kemari lagi?" Kenedi berdehem, seolah memecah liur di tenggorokannya.

"Mungkin nanti, jika kau mati!" geramku sebelum berlalu.

***

Apakah menjadi artis itu enakSepertinya, sempurna sekali menjadi Kaneena Azzura.

Aku tersenyum sinis setelah membaca komentar para pemuja musiman, kemudian meredupkan cahaya pada layar ponsel. "Sangat sempurna," gumanku.

"Apa yang ayah katakan padamu?"

Lamunanku tersentak, kemudian menoleh ke arah Kian sebelum menyelami sorotnya. Tercetak binar di netra adikku. Ego ini tahu ia merindukan Kenedi, berharap pertemuan aku dan sang ayah tadi malam akan berbuah manis. Namun, bukankah lukanya pun tak kalah perih? Seharusnya, ia tak memerlukan klarifikasi perihal apa yang terjadi denganku dan tua bangka sialan itu. "Biasa. Ia hanya menginginkan uang." Netra buramku berkedip cepat, kemudian memberinya senyuman termanis. "Jangan memikirkan apa pun selain kuliahmu. Bagaimanapun caranya, aku akan memberimu yang terbaik."

Kian beranjak. Sesak ini merasakan usapan lembut pria itu pada pundak. Aku berkesimpulan bahwa Kaneena tidak sesantai Kian dalam menghadapi keberengsekan Kenedi di masa lampau meskipun kami memiliki pertalian darah yang amat kental.

"Pak Rayen merekomendasikanku untuk mengikuti beasiswa ke Amerika." Ia melepas napas yang absrak kumaknai. "Pria itu bersedia membantuku mengurus segalanya. Pak Rayen mengatakan, aku berpotensi."

Netraku membola, menguapkan senang dan takjub, sangat penuh binar. "Kau serius?" Bibir ini bergetar, menguarkan tanda tanya. Kian memang patut diberi penghargaan karena ia selalu membuatku bangga. "Bagaimana bisa?"

Kian mengedikkan bahu. "Ia Dosen Pembimbing Akademikku yang baru. Pak Rayen mengatakan bahwa aku benar-benar berpotensi." Adik kebanggaanku itu menjelaskan dengan ekspresi santai, mempertampan wajahnya. "Bahasa Inggris-ku pun tidak terlalu buruk. Bagaimana?"

Senyumku mengembang lagi ketika Kian menaik-naikkan alisnya. "Apa pun itu, aku setuju. Silakan ke Amerika, raih mimpimu, dan hidup bahagia." Netra ini berkedip haru ketika Kian menarik raga kami agar berdekapan. Rasa bangga hingga semangatku makin hebat karena Kaneena adalah wanita cerdas yang sayangnya hanya lulusan Sekolah Dasar. Andai Tuhan tidak memberi kesempurnaan raga, ia tidak akan kaya raya. Jadi, harapanku hanya terletak pada Kian.

Kulepas pelukannya karena Kian tiba-tiba gelisah.

"Bagaimana dengan ibu jika aku—"

Aku menggeleng kuat. "Aku yang akan mengurus ibu. Kau hanya perlu belajar, belajar, dan membanggakan kami." Kuusap rambut legamnya. "Ingin ponsel keluaran terbaru? Ingin mobil?" Demi Tuhan, aku ingin sekali memberinya penghargaan.

"I don't need them!" Kian memutar mata malas. "Privilage yang aku ambil darimu hanya di bidang pendidikan. Selebihnya, biarkan aku berusaha sendiri, Kaneen." Pria itu mengedipkan sebelah matanya, menyebabkan dada ini makin menjerit bangga.

"Drama di pagi hari menjelang siang yang amat mengharukan."

Kami menoleh ke sumber suara, menemukan Willis yang melangkah terseok karena membawa banyak perlengkapan pemotretanku. "Sekarang?" Dahi ini berkerut, tidak tega meninggalkan Kian yang baru tiba dari Jogja.

"Tahun depan jika kau ingin jatuh miskin."

***

"Kondisi ibu memburuk."

"Serahkan saja kepada Tuhan. Jika itu milikmu, akan tetap menjadi milikmu." Itu yang Willis ucapkan sekeluarnya aku dari ruang dokter ketika menemukan wajah lesu ini. "Jangan sedih begitu. Aura cantikmu hilang."

Aku berdecih. "Aku? Sedih?" Tawa ini menggema, berusaha merampas praduganya dengan sebelah alis yang meninggi. "Tidak ada kesedihan di kamus Kaneena."

"Gengsimu setinggi langit." Willis mendengus, berusaha merangkul pundakku, bagaikan teman yang seolah mampu memberi ketenangan.

"Pukul berapa talkshow di Stasiun Televisi Garuda dimulai?" Aku berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Tiga sore. Jadi, kau masih memiliki waktu tiga jam untuk istirahat." Willis melirik arloji pada pergelangan tangannya. "Aku akan bertemu dengan Anggara—"

Alisku bertaut, kembali mengingat Anggara. "Aku yang akan berkencan dengan Anggara sebelum talkshow

sore ini. Jika urusanmu dengannya tidak terlalu penting ...."

Willis mengedikkan bahu, penyebab ucapanku menggantung. "Hanya obrolan sederhana. Silakan jika kalian—"

"Bola," gumamku ketika benda bulat tiba-tiba menggelinding di ujung kaki ini. Menyorot arahnya berasal, aku tak menemukan siapa pun. "Duluan saja, Will." Aku meraih benda itu cepat.

Sibuk dengan ponselnya, pria itu berlalu setelah mengangguk. Namun, ia kembali menoleh ke arahku.

Aku mengembuskan napas frustrasi. "Jangan khawatir. Rumah sakit ini hanya berisi orang sakit. Tidak ada yang peduli dengan kehidupan orang lain."

Mendengar ucapanku, Willis mengangguk sebelum benar-benar berlalu.

Aku kembali fokus pada ujung lorong. Mungkin bola ini milik balita yang dirawat, anak dari pasien, atau salah satu penjenguk orang sakit. Egoku tak berpikir akan mengembalikannya. Namun, bagaimana jika sang empunya merupakan orang yang serba kekurangan?

Napas ini berembus lelah setibanya di sana. Tidak ada siapa pun hingga aku memutuskan meletakkan bola tersebut di bangku panjang yang berada di depan salah satu ruang rawat inap. Namun, benda yang sama nyaris menyentuh ujung kakiku lagi. Ketika rasa penasaran ini mendongak, ada bayangan balita berusia tiga tahunan yang digandong oleh pria matang berkemeja merah hati.

"Bola adek." Balita laki-laki itu mengacungkan lengan, seolah meminta sesuatu yang berada pada kedua genggamanku. Ucapannya membuat penasaran ini mengangguk paham.

Tanpa pikir panjang, aku mengembalikan bolanya. Sorot ini beralih pada pria yang sedari tadi hanya beku. Ketika bibirku tersungging pun, ia masih dingin tanpa kata hingga dengusan hati ini terurai menjadi senyuman miris. Dilihat dari penampilan, mereka tampak seperti orang kaya. Jika tahu demikian, aku pun tak sudi mengembalikan bola milik sang putra. Belum lagi perilaku pria itu yang menurutku tidak sesuai. Bukan mendambakan ucapan terima kasih. Namun, setidaknya, jangan terlalu dingin pada seseorang yang berusaha berbuat baik.

KaneenaKaneenaItu Kaneena!

Mendengar pekikan yang amat familier, aku terpejam geram sebelum berlari sekencang mungkin tanpa menoleh ke sumber suara.

Kaneena, apa yang kau lakukan di rumah sakit ini?! Apakah kau menderita penyakit serius?! Apakah kau mengunjungi keluarga yang sakit?! Pertanyaan sialan itu menggema di lorong-lorong rumah sakit sebelum raga ini tenggelam dalam lift.

Hal yang amat tidak kusukai ketika menjadi artis, yaitu tidak seluruh insan memahami makna dari privasi. Aku pun tipikal seseorang yang amat tertutup perihal masalah pribadi karena entah sedari kapan Kaneena benci dipandang dan dianggap menyedihkan.

"Kaneena, fotomu di rumah sakit baru saja muncul di peringkat teratas pencarian internet." Willis mendengus dari seberang telepon. "Berita lainnya, kau diisukan melakukan aborsi karena ke rumah sakit dengan pakaian agak mengembang pada bagian perut. Pria berkemeja merah hati itu pun mereka pikir kekasihmu."

Aku mematikan telepon, kemudian menggigit bibir kuat sebelum memekik kesal. "Sialan!"

***

Permasalahan hidup tak hentinya membuat sakit kepala. Lelah ini membutuhkan Anggara untuk berbagi, tapi ia sulit dihubungi sehingga aku memutuskan untuk menemuinya. Namun, beberapa kali menekan sandi apartemen pria itu, hasilnya nihil. Pintu tak kunjung terbuka dan Anggara pun seolah enggan menampilkan batang hidungnya. Berulang kali menelepon, tapi nirbalasan.

Kelopak mata ini menyatu. "Pria itu mengganti sandi apartemennya?" Bibirku bergumam dalam kelamnya netra sebelum mengingat sesuatu. Ketika berusaha menekan digit angka lagi—tanggal lahir idolanya—pintu membuka. "Dasar budak cinta. Memiliki kekasih artis, tapi sandi apartemenmu adalah tanggal lahir artis lain." Aku mendumal karena kesal.

Kutemukan ruangan yang tampak redup, bagaikan tak berpenghuni. Belum lagi botol-botol soda yang berantakan di meja tamu, penyebab napas ini terembus lelah. Ketika hendak membuka pintu kamar, dadaku berdesir karena celah kecil memberi pertunjukan. Nyanyian sakit seolah menghantam dada ini bahwa insan adalah pengkhianat nomor satu yang tak berperi.

Aku berusaha tenang dan tak peduli. Namun, genangan di kelopak ini menjadi bukti bahwa Anggara sangat keterlaluan. Ia mengkhianati komitmen kami yang sebentar lagi ke jenjang pernikahan.

Tanpa sadar, pipiku basah. Namun, karena penasaran siapa yang tengah membuat madu bersamanya, aku membuka pintu kamar makin lebar. Wanita itu Victoria—artis blasteran—salah satu pemain sinetron yang diproduseri oleh Anggara.

Bibirku tersenyum miris. Kisah kami berakhir. "Sialan!" Aku menggeram marah, penuh kekecewaan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status