Beranda / Romansa / Terjebak Trauma Sang Duda / 02. Hilang & Menemukan

Share

02. Hilang & Menemukan

Penulis: Paus Hijau
last update Terakhir Diperbarui: 2022-11-14 22:54:12

Aku pernah mengharapkan kematian Kenedi karena pria itu telah melukai kami. Ia menyiksa ibu, belum lagi Kaneena kecil—jiwa murni—yang tak seharusnya berada di lingkaran kekerasan rumah tangga. Namun, sejauh apa pun harap insan, aku tak pernah berpikir bahwa ia akan mati secepat ini.

Kenedi ditemukan membusuk di bangunan dua lantai—tempat yang aku dan Willis kunjungi beberapa waktu lalu. Setelah diautopsi, pihak rumah sakit mengatakan bahwa pria itu keracunan sianida. Ia bunuh diri. Terkejut, pasti. Namun, aku berpikir realistis. Daripada Kenedi menumpuk dosa di dunia, lebih baik Tuhan segera mencabut nyawanya.

Telapak tangan bergetarku mengusap bahu Kian yang naik turun karena isak tangis. Aku tahu saat itu ia masih terlalu dini untuk memahami kekerasan yang Kenedi lakukan pada ibu. Mungkin hal tersebut yang menjadi alasan hingga Kian amat terpuruk karena kepergian.

"Maaf." Berulang kali Kian mengucapkan maaf pada Kenedi sebelum beranjak, memelukku erat.

Kusesap feromon Kian. Kuusap pula rambutnya sebelum mendaratkan kecupan pada dahi pria itu. Andai ia tahu bahwa Kenedi adalah manusia terkeparat di hidup kami, mungkin Kian sama sepertiku—tak bersimpati meskipun Kenedi telah mati.

"Ayah sudah tenang di sana." Aku berucap demikian agar Kian tenang. Tak ingin munafik—meskipun hidupku tidak termasuk ke jajaran orang-orang suci—tapi aku berani bertaruh bahwa Kenedi akan menerima siksaan yang setimpal.

Adikku melepas peluknya, kemudian menyorot netra ini dalam. Ia seolah menuntut penjelasan yang kusembunyikan. "Beritahu aku banyak hal yang menjadi rahasiamu."

Aku menggeleng, kemudian tersenyum lembut ke arahnya. Kuperhatikan rambut Kian yang beterbangan akibat angin. Dari garis wajah, ia tampan. Namun, mengapa aku sesak ketika menyadari bahwa ketampanan Kian berasal dari Kenedi—pria yang kusumpahi mati?

"Kaneena ...." Ia memanggilku lembut.

Aku masih bisu. Hanya sorot ini yang makin pekat. Kenedi adalah durjana. Ia seorang pendusta, pelaku kekerasan, pemain wanita, pemabuk, dan ... penghancur mental Kaneena. Satu hal yang amat kubenci dan hingga detik ini tak pernah termaafkan adalah, pria itu pernah berupaya menjualku layaknya pelacur. "Yang aku tahu, ia pemabuk." Ragaku berbalik, menggenggam pergelangan tangan Kian, berusaha menyembunyikan luka yang terpancar di wajah ini. Ia pernah memerkosaku, Ki, putri kandungnya.

***

"Yaps, bagus, Kaneen! Posemu sangat natural."

Siapa yang mengatakan aku baik-baik saja setelah Kenedi ditemukan tewas bunuh diri? Banyak sekali paradoks yang menghantui rasa ini, kemudian memecah buihnya menjadi percikan luka. Namun, insan lain belum tentu tahu.

"Sedikit mendongak, Sayang!" Fotografer yang berusaha mengambil rupaku amat lihai dengan kameranya.

Melirik sekilas dengan wajah mendongak, aku menemukan Willis yang menyilangkan lengan di dada.

Kaki jenjang ini bersilang ke sana kemari, menampilkan aura seksi yang demi Tuhan masih dapat dimaafkan daripada model-model majalah dewasa.

"Kibaskan rambut panjangmu, Kaneen!"

Perlahan, aku menyentuh tengkuk, kemudian menyibak surai penuh goda, membiarkan kilatan kamera menerpa kulit. Ini hidupku, mata pencaharianku, meskipun tak sepenuhnya memberi Kaneena kebahagiaan.

Willis berlari ke arahku dengan bathrobe putih di lengan ketika pemotretan telah usai. Benda itu ia sampirkan pada tubuh seksi ini—berbalut lingerie yang tak terlalu transparan—kemudian memberi satu cup Teh Thailand. "Kerja bagus, Kaneena." Pria itu bertepuk tangan di depan wajahku, mampu menghibur sebelum mendapat decakan lidah ini.

"Jika tidak bagus, bagaimana mungkin aku dapat menggajimu?" ucapku sebelum berlalu, meluruskan tubuh di kursi santai sembari mengalirkan cairan pelepas dahaga. Mengingat sesuatu, aku mengacungkan telapak tangan setelah meletakkan cup di meja.

Seolah paham, Willis memberiku kacamata hitam.

Aku bersandar santai di kursi, merasakan silau yang perlahan menusuk kulit.

Hidup ini melelahkan, tapi akan lebih melelahkan jika kau hanya duduk manis dan menerima penderitaan. Setidaknya, berusaha bangkit untuk meraih kesuksesan dan menghapus bayangan luka terkesan lebih masuk akal.

Dulu, ketika aku berusia empat belas tahun, Kenedi menjual Kaneena kecil ke pria hidung belang. Namun, Tuhan memberi jalan hingga gadis sepolos usianya dapat melarikan diri.

Dulu aku masih duduk di kelas empat Sekolah Dasar. Sepulangnya dari les tambahan, betapa terkejutnya jiwa murni ini ketika menemukan ibu dipukuli oleh Kenedi yang tak berperi. Setelahnya, ia membuat madu dengan seorang jalang di hadapan kami.

Kenedi merampas seluruh harta ibu, kemudian pergi begitu saja. Sekali kembali, ia nyaris menjual sang putri. Gagal, tapi keparat itu berhasil merenggut harga diriku. Kaneena yang masih dini meminta ibu menceraikannya hingga kami memisahkan diri. Tak ada saudara yang memayungi karena terkadang, keluarga tak lebih baik daripada orang asing. Lantas, apakah aku masih berdosa jika membenci Kenedi?!

"Kaneena!"

Aku tersentak sebelum mengedipkan mata berkali-kali. Ingat, Kaneena tak akan menangis di depan orang lain. Jika pun aku menangis, hal tersebut menandakan bahwa perih ini tak tertahankan lagi.

Penuh keterkejutan, aku menemukan Kian. "Kian, bukankah kau telah kembali ...." Ucapanku menggantung, menyelisik pria di sisi kirinya. Wajah itu amat familier, tapi di mana aku pernah bertemu dengannya? "Mengapa menemuiku di lokasi pemotretan? Tidak bisa nanti saja?"

Kian berdecak kesal. Ia membenahi bathrobe-ku yang sempat menampilkan vulgar.

"Aku sedang ada urusan di Jakarta. Ketika menelepon Willis, kebetulan lokasi ini dekat dengan kami." Kian tersenyum, beralih pada pria di sampingnya. "Pak, perkenalkan, ini Kaneena, kakak perempuan saya."

Aku berkedip bingung, kemudian mengacungkan telapak tangan ketika Kian menyenggol bahu ini. "Saya Kaneena. Kaneena Azzura, kakak dari Kian Azzura."

Pria itu berdehem sebelum membalas uluran tanganku. "Saya Dosen Pembimbing Akademik Kian."

Memutar memori lampau, aku mengangguk semringah. "Bapak yang merekomendasikan Kian untuk mengikuti beasiswa ke Amerika?!" Aku kembali menarik tangannya akibat refleks sebelum tersentak karena pria itu melepas cekalan ini kasar. "Ah, maaf, saya terlampau senang. Jadi—"

"Kian, saya masih memiliki urusan yang lebih penting dari ini. Sebaiknya, kita segera pergi dari sini." Pria itu berucap sangat ketus dengan wajah santai.

Mataku membola setelah mendengar untaian kalimat angkuhnya. Berbeda dengan Kian yang menggaruk tengkuk, aku memilih menyilangkan lengan di dada. Rasa kesal ini menggunung setelah menyadari bahwa ia adalah pria yang mengenakan kemeja merah hati, penggendong balita tiga tahunan di lorong rumah sakit.

Tanpa kata, Kian dan pria sialan itu meninggalkanku.

"Permisi!"

Sesuai harapku, mereka menoleh ke arahku.

"Pak Rayen—"

"Untuk usiamu, cukup panggil aku dengan sebutan, 'Baeck'." Ucapannya amat dingin, mampu membekukan seluruh sarafku hingga membentuk gumpalan gondok.

"Ah, ya, apa pun itu." Aku membalas dengan nada kesal. "Bukankah kau pria berkemeja merah hati yang kutemui di rumah sakit?" Stilettoku mendekatinya. Setelah beralih dari Kian yang menautkan alis bingung, Baeck masih tampak santai.

"Ah, benar." Ia manggut-manggut. "Bukankah kau artis papan atas tak tahu diri yang membiarkan kepopulerannya mengusik ketenteraman orang lain ketika di rumah sakit?" Pria itu berbalik setelah melempar sarkas, mendahului Kian yang melepas napas frustrasi.

Memperhatikan punggung Baeck, darahku naik hingga ubun-ubun. "Jika aku adalah artis tak tahu diri, kau adalah pria tak tahu terima kasih!"

Seolah tak mendengarku, pria itu melangkah makin jauh. Sungguh, aku tidak percaya bahwa dosen yang merekomendasikan Kian untuk mendapatkan beasiswa adalah Baeck. Aku pikir ia malaikat, tapi tak lebih baik dari setan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Terjebak Trauma Sang Duda   31. Detik Terakhir

    Terkadang, karena terlampau banyak menderita, kau akan terlihat biasa-biasa saja, bahkan ketika mengambil keputusan mengenai hal paling fatal dalam hidup.Setelah dinyatakan positif hamil, malam-malam panjang selalu kutemani bersama renungan dan kesendirian. Bahkan, tak sedikit waktu berlalu tanpa air mata dan jerit tangis. Namun, dari sekian banyak pilihan yang dapat hidup ini pilih, yaitu aku akan tetap melakukan aborsi atau ibu akan mati, dan Kian kehilangan mimpi.Aku percaya bahwa kematian ada di tangan Tuhan. Namun, apakah Ia pernah memberitahu insan kapan ibuku akan berpulang? Dan sebagai anak, apa yang dapat aku lakukan selain mempertahankan hidup dan memperjuangkan kesembuhannya? Ya, meskipun harus terjebak dalam pernikahan yang mengharamkan kehadiran buah hati.Seorang Baeck Rayen, benar-benar menghancurkan kodratku sebagai wanita yang berpeluang besar menjadi sempurna.Kacamata hitam di rambut ini kuturunkan setibanya di bandara negara yang melegalkan aborsi. Semoga, aku ta

  • Terjebak Trauma Sang Duda   30. Si Jabang Bayi

    Ayah dari janin di perutku jelas Baeck Rayen. Aku bersuami dan wajar mengandung jauh beberapa bulan setelah pernikahan kami. Namun, tidak semudah itu!Aku meraih ponsel karena Kian menelepon, kemudian menarik napas, berusaha menghilangkan parau."Kaneena!"Benda pipih itu kujauhkan dari telinga karena berdenging akibat panggilan lantang Kian. "Ada apa?""Kakakku sedang sakit? Suaramu sengau.""Hanya demam. Ada apa? Kau tidak tahu kalau panggilan lintas negara itu mahal?" Jemariku meremas ujung bantal, menahan isak tangis."Aku bingung harus memanggilnya 'pak', atau 'mas'. Yang jelas, suamimu itu uangnya sangat banyak."Kekehanku menggema. "Lantas? Kau mengganggu waktu istirahatku, Kian. Aku sedang—""Kaneen, ia baru saja membelikan aku BMW!""Apa?!" Netraku membola bercampur bingung, menerka apakah Kian sedang tidak membual."Jadi istri yang baik, ya, karena sebenarnya Pak Rayen itu memang sangat baik. Tapi jika macam-macam .... Ya, minimal seperti ingkar janji, bisa habis riwayatmu."

  • Terjebak Trauma Sang Duda   29. Kehamilan Kaneena

    Aku menikmati setiap detik pergerakan lift yang melaju turun, menuju lantai satu perpustakaan kota. Beberapa menit lalu bertemu Baeck, semangat yang tadinya membara tiba-tiba menciut entah karena apa. Setibanya di lobi, netra ini menemukan jingga yang menandakan bahwa sebentar lagi malam akan meninggi.Ponselku berdering."Hallo, Mbak .... Mbak Kaneen, di mana?""Ada apa, Dalen?" tanyaku penuh kekhawatiran karena takut terjadi sesuatu padanya. "Dalen baik-baik saja, 'kan?""Baik-baik saja, Mbak. Justru, Dalen yang mengkhawatirkan Mbak Kaneen." Gadis itu terdengar mengembuskan napasnya. "Tadi tubuh Mbak Kaneen panas. Dalen takut terjadi apa-apa sama Mbak, apalagi Mbak tidak pulang-pulang."Bibir ini refleks mengembang. "Aku ada urusan di perpustakaan kota. Biasa, mencari bacaan." Aku memperhatikan jam di pergelangan tangan yang menunjukkan pukul setengah enam. "Bi Asih masih di sana, 'kan, Dalen?""Masih, Mbak. Pulangnya hati-hati, ya, Mbak ....""Ya, sudah, aku tutup, ya ...." Aku men

  • Terjebak Trauma Sang Duda   28. Mulai Ada Rasa

    Meskipun tak lagi mengajar, rupanya Baeck Rayen adalah owner dari beberapa outlet makanan dan minuman ternama di Jakarta. Dalena pun memberitahu bahwa pria itu memiliki saham di perusahaan pertambangan yang ada di Riau. Pantas saja ia kaya tujuh turunan.Napas ini berembus karena mengingat sesuatu.Kapan hatiku berlabuh pada kebahagiaan yang hakiki? Tentu saja setelah dipeluk oleh Tuhan. Karena hingga detik ini, aku tak tahu sampai kapan pernikahan di atas kertas kami berakhir, atau setidaknya disudahi dengan tujuan yang lebih manusiawi.Senyuman mirisku mengembang sebelum semilir angin mengempas rambut tergerai ini sehingga menempel di bibir. Aku terkesiap dan tanpa sengaja menyentuh bahu Dalena."Tangan Mbak Kaneen panas." Itu yang pertama kali keluar dari bibirnya sebelum mendongak, menyorot wajahku dengan senyuman.Memperhatikan tubuh lemah wanita itu, aku tersenyum, kemudian turun ke perut buncitnya. Usia kandungan Dalena enam bulan, pertanda bahwa tiga bulan lagi, wanita itu aka

  • Terjebak Trauma Sang Duda   27. Sebenarnya, Kenapa?

    Pelajaran yang dapat diambil dari sebuah kegilaan duniawi adalah betapa beruntungnya kita karena masih hidup hingga detik ini. Namun, dari miliaran masalah yang pernah dialami, kemudian dibandingkan dengan apa yang insan dapat dan miliki, apakah kita bahagia?Jika dihitung, mungkin nyaris dua puluh empat kali aku melirik jam dinding. Namun, mereka belum menampakkan batang hidung sama sekali meskipun kini nyaris tengah malam. Ketika menghubungi Bi Asih, wanita itu mengatakan bahwa Azillo masih di sana dan saat ini telah terlelap damai. Berakhir, aku yang minta maaf karena tidak ingin bocah itu pulang sebelum Baeck datang.Ponselku tiba-tiba berdering, menampilkan nama Willis. Layaknya cinderella yang baru saja menemukan kembali sepatu kacanya, aku menggeser tombol hijau."Kaneena, apa kabar? Lama tidak berkomunikasi. Kau tahu, semenjak nenekku meninggal, aku benar-benar sibuk."Suara khas Willis adalah satu-satunya alunan yang amat telinga ini rindukan. Namun, integritasku tak mampu me

  • Terjebak Trauma Sang Duda   26. Bibit Rasa

    Pernahkah kau merasa kerdil karena tak lagi memiliki harga diri akibat dari sebuah transaksi? Pria itu membeli nyaris sembilan puluh persen dari hidup ini dan aku mendapatkan imbalan berupa pelunasan atas tuntutan duniawi. Entah sampai kapan seluruh kegilaan tak lagi kami lakukan, tapi aku tak pernah berani membayangkan sebuah akhir yang bahagia. Karena, luka seseorang terletak pada sejauh mana ia berekspektasi. "Kaneen ...." Panggilan itu adalah panggilan yang sama seperti tempo hari. Namun, entah mengapa aku merasakan warna suara yang berbeda. Kali ini lebih berat, parau, dan mungkin ... memabukkan, penyebab bibirku lebih memilih memperhatikan wajahnya dibandingkan menjawab. "Aku menginginkan satu hal darimu." Pria itu membenahi anak rambutku yang menempel pada dahi karena keringat. "Aku tidak suka basa-basi," sarkasku. "Katakan apa pun itu atau kesempatanmu akan gugur." Entah ancaman macam apa yang baru saja kulayangkan, tapi helaan napas Baeck cukup memberitahu bahwa pria itu

  • Terjebak Trauma Sang Duda   25. Pertengkaran Dini

    "Apa pun yang Dalena ingin, tolong beritahu mas atau Kaneen. Mas akan berusaha untuk mendapatkannya, oke?" Suara lembut Baeck membuatku menyorot ke arah mereka.Dalena mengangguk dengan kelopak menyatu ketika Baeck menariknya ke dekapan. Wajah wanita itu masih pucat. Namun, hati ini jauh lebih lega dibandingkan tadi karena ia tak lagi sesenggukan."Siapa yang membelikan keinginan Dalen sebelum ada mas?" Pria itu membenahi rambut Dalena yang menutupi dahi."Mang Aji," balas Dalen, masih dengan kelopak menyatu.Mendengar percakapan mereka, wajah ini menunduk sebelum menyelisik keduanya dengan sorot nanar.Si jahat pernah menjadi baik. Wanita itu percaya bahwa Tuhan akan memberi cahaya untuk setiap langkahnya yang terasa amat gulita. Namun, Ia memberi penerangan dengan cara merenggut sesuatu yang si jahat anggap sebagai cahaya paling terang setelah ia melahirkan.Ya, setelah tragedi keji—yang menyebabkan benci ini tak pernah surut meskipun Kenedi telah mati—Kaneena remaja hamil dan baru

  • Terjebak Trauma Sang Duda   24. Dalena & Sedikit Masa Lalu Kaneena

    Tadi pagi, aku dan Dalena sempat berbincang agak dalam sebelum menyimpulkan banyak hal.Pertama, Dalena mengerti bahwa Baeck tidak akan mampu menerimanya karena pria itu hanya mencintai Inggit. Hubungan yang sempat terjalin pun hanya buah dari rasa suka biasa karena kerap bersama.Kedua, ia tidak tahu bahwa pernikahan kami pun hanya bermodalkan kebutuhan. Oleh karena itu, Dalena berpikir bahwa kami saling mencintai dan ia tak ingin merusak apa pun yang telah terbangun hingga detik ini.Ketiga, yang Dalena ketahui dariku adalah, Kaneena seorang pengasuh bayaran Azillo sebelum akhirnya terjebak cinta lokasi.Keempat, wanita itu terlahir dari keluarga kaya yang sangat open minded sehingga tidak pernah menuntut Baeck atas kecelakaan beberapa waktu lalu.Kelima, ia berusia jauh di bawah kami.Dan poin terakhir yang membuatku benar-benar sakit kepala. Jika dibanding usia Baeck yang jauh lebih tua, dapat dikatakan bahwa pria itu telah menodai anak di bawah umur. Namun, entah mengapa, Dalena

  • Terjebak Trauma Sang Duda   23. Menjemput Dalena

    "Dalena pernah bekerja freelance, sebagai asisten risetku."Bibir ini masih bungkam, sama sekali tak berniat memotong cerita Baeck di sepanjang perjalanan kami menuju rumah Dalena. Hanya satu pertanyaan yang terlontar dari bibirku perihal, "Bagaimana bisa?", tapi mungkin ia akan menjelaskannya panjang lebar."Karena satu dan lain hal, aku bekerja sama dengan Nikolas sehingga bajingan itu menjebak kami."Fokusku yang sedari tadi jatuh pada kaca mobil berembun, refleks beralih pada wajah Baeck. Ia tampak jauh lebih segar dibandingkan tadi malam, tapi guratnya tetap menyiratkan kesal setelah mengucapkan nama "Nikolas"."Temanmu yang kita temui di Singapura?" Sebelah alisku terangkat.Baeck mengangguk. "Kami memang sempat mengungkapkan perasaan satu sama lain," ia menarik napas, "tapi aku memutuskan untuk tidak egois karena Dalena terlalu suci untuk masuk ke kehidupan seorang Baeck Rayen yang sesungguhnya."Ya, aku telah mendengar seluruh alasan pria itu untuk tidak memilih Dalena."Kau c

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status