"Ngomong-ngomong. Apa kakakmu jarang pulang?" Celia bertanya setelah Rei menghabiskan sup makan malamnya.
Jalan dari kaki bukit menuju rumah ini cukup dekat. Letaknya tepat di pinggir jalan utama distrik. Lantai bangunannya dibuat lebih tinggi, jadi mereka bisa melihat keramaian jalan dari teras rumah.
"Begitulah, kadang ia sampai tidak pulang berbulan-bulan jika sedang ada tugas ekspedisi."
Rei cukup terkejut, serentetan pertanyaan jadi muncul di kepalanya, terlebih soal bagaimana kesendirian Violet di tengah ramainya kota seperti ini.
"Mendengar ceritamu, mengingatkanku pada dua orang tuaku."
"Ah? Orang tuamu memang seperti apa?"
"Mereka hanya pekerja keras yang lebih mencintai pekerjaan daripada keluarganya."
Rei dan Violet yang mendengar itu jadi ikut merasakan.
"Itu pasti cukup sulit,"
"Tidak, aku sudah terbiasa dengan hal itu. Ngomong-ngomong, bagaimana dengan orang tuamu Violet-san? Apa dia berada di suatu tempat?"
Violet mengangguk, "Ayah dan ibuku pejabat istana. Karena peran mereka yang cukup besar, mereka diberi tempat tinggal khusus untuk mempermudah pekerjaan mereka."
"Begitu ya, tampaknya situasimu sama sepertinya, Celia," Rei mencibir.
"Tidak kok, ada alasan lain kenapa semua ini bisa terjadi," ujar Violet. Ia mulai beranjak dan membereskan sisa makanan. Rei juga berdiri ikut membantu.
"Alasan? Alasan apa?" tanya Rei.
Violet menghentikan gerakan, ia menatap ke arah Rei dan tersenyum, kemudian menjawab dengan ekspresi yang tak bisa ditebak "Eh, tidak. Lupakan saja."
"Oh, biar aku saja yang bawa. Aku akan mencucinya lebih dulu, kalian bisa menunggu sambil minum jus anggur yang sudah aku siapkan di poci tembikar."
Violet kemudian pergi meninggalkan rasa cemas dari Rei dan Celia.
"Gadis yang malang," komentar Celia.
"Tidakkah kau merasa itu menyinggung dirimu sendiri?"
"Apaan, sih! Situasinya jelas berbeda!"
"Benarkah? Kenapa aku tidak sadar?"
"Hei, Rei. Apa kau berpikir dia ini orang yang mudah berteman?" Celia bertanya serius.
Rei bungkam, 'Benar sekali. Violet itu lebih terlihat seperti sosok yang tidak mudah menerima seseorang. Berbeda dengan Celia yang mudah berbaur, meski sangat sensitif terhadapku yang aku pun tidak tau alasannya.' pikirnya.
"Benarkan? Kupikir aku akan mencoba berteman dengannya," kata Celia menjawab pikiran Rei.
"Teman, ya?" Rei menegak jus anggurnya kemudian menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi sambil menatap ke atas, lalu sadar kalau jus yang baru saja diminumnya itu adalah ramuan penyembuh yang Violet sediakan.
"Kau teringat dengan rumah?" tanya Celia.
"Memangnya kau tidak?"
"..."
"Kau masih ingatkan saat kau membentakku saat itu? Sejujurnya, saat itu aku ingin segera meminta maaf. Kau pasti berpikir aku ini orang yang begitu buruk," Rei membuka pembahasan canggung.
"Apa sih kamu ini?! Kan sudah kubilang aku itu sudah memaafkanmu, jadi tidak perlu dibahas ulang!" nadanya kesal, tapi kalau saja wajah Celia terlihat, mungkin lebih mirip seperti kepiting rebus sekarang.
"Tidak, bukan itu maksudku. Aku hanya ingin bilang, aku sama sekali tidak punya pengalaman soal menyukai seseorang. Dulu banyak yang menembakku, tapi aku terlalu bingung untuk menanggapinya. Sampai akhirnya aku bertemu dengan Kogami, Hayato dan juga kau Celia. Meski kalian menyebalkan, kalian mengajariku banyak hal, maaf kalau aku mengecewakan kalian jika ternyata aku adalah pribadi yang tidak sesuai dengan yang kalian pikirkan."
Celia tertegun mendengar itu.
"Benarkan, Celia? Dan setelah aku sadar bahwa aku tidak bisa kembali," Rei menggantungkan kalimatnya "aku cukup menyesal."
"B-b-b-b-b-bodoh! Tentu saja tidak seperti itu!"
"Tidak seperti itu bagaimana? Lagipula, b-mu itu kebanyakan," Rei malah berkomentar yang tidak perlu.
"Diam kau! Lagipula, memang artinya berteman menurutmu itu apa? Kau berbicara seolah menjadi teman itu menuntut sesuatu yang menguntungkan. Padahal faktanya, teman itu adalah untuk saling mengisi kekosongan satu sama lain. Jadi, berhentilah berpikir seolah kau itu tidak bisa menggapai dan digapai siapapun!"
Rei terdiam, kalimat itu menggema berat di kepalanya, "Apakah itu seperti kau dan aku, Celia-chan?"
"Ha? Haaah?"
"Kau bilang saling melengkapi kan? Itu membuatku berpikir kalau teman itu memberikan perasaan nyaman satu sama lain, apa pun masalah yang kau hadapi, teman selalu bisa memberikan perasaan itu. Kau pemarah, kecerdasanmu aktif, dan dirimu begitu disukai banyak orang. Tidak denganku yang hiperaktif tapi orang banyak menganggapku aneh, tak tau malu dan lebih suka membuat masalah. Perilaku ini bertolak belakang, tapi aku tidak pernah merasa itu sebuah masalah ketika kita berdua dihadapkan pada kompetisi yang sama. Sebaliknya, aku malah merasa ada sesuatu yang kurang ketika bagian itu perlahan semakin terkikis," jelas Rei. Celia langsung terdiam.
"Bodoh! Kenapa sih, kamu kok begitu polos?!" cibir Celia dengan suara tersendat.
Rei melebarkan sudut bibirnya, merasa sukses menghibur Celia.
Dia benar tentang dirinya. Lancar sekali ia mengatakan kalimat yang terdengar begitu memalukan, pikir Celia. Ia jadi tersenyum.
Tepat di saat itu, Violet datang dengan tubuh yang hanya dibalut handuk.
"Kalian terlihat sangat dekat ya," komentarnya mendengar perihal tadi.
"Maaf membuatmu menunggu lama, aku tadi mandi dan sekalian menyiapkan air untukmu mandi juga," butiran air memang terlihat mengalir di kulit putihnya yang bersih.
"Violet, gambar apa yang ada di lenganmu itu?" tanya Celia melihat sebuah tato berwarna biru muda dengan gambar wanita bersayap yang tengah meringkuk memeluk lututnya sendiri.
Sejenak Rei dan Celia merasakan perubahan mood Violet, ia terdiam sejenak, kemudian tersenyum seolah dipaksakan, "Bukan apa-apa. Oh, aku akan ganti pakaian sekaligus menyiapkan tempat tidur untukmu. Silahkan mandi dulu, Rei-kun," selepas berbicara itu, Violet pergi, meninggalkan Rei dan Celia yang menyimpan sederet pertanyaan.
"Baiklah, sepertinya aku memang harus mandi," Rei bergumam mengusir pikiran-pikirannya yang berkeliaran.
"Pakailah, itu baju lama ayahku," beres mandi, Violet memberikan sebuah piyama yukata berwarna putih yang persis sekali saat ia tinggal di Osaka.
"Apa benar tidak apa-apa?" Rei memastikan.
"Tidak perlu repot-repot Violet, ia biasa tidur di atas jerami sebelumnya," Celia berkata ketus
"Oi! kau pikir aku ini hewan ternak?!"
"Benarkah? Syukurlah kalau begitu. Akan repot jika Rei-kun adalah orang yang terbiasa hidup mewah."
"Dan kau juga jangan asal percaya!" Rei melipat tangannya di dada sambil mendengus kesal. Membuat Violet dan Celia tertawa kecil.
Selepas itu, Rei masuk ke kamar yang telah di sediakan. Berbaring dengan menggunakan kedua tangannya sebagai bantal leher, menatap ke langit-langit sambil berpikir.
"Untung saja orang yang kita selamatkan itu Violet," ucap Celia bersyukur.
"Kau benar, aku tidak tau harus tidur di mana tanpa uang dan bekal, di dunia antah berantah ini."
Saat mereka dalam perjalanan menuju rumah Violet, Rei bilang padanya kalau dia amnesia. Kalau mengarang identitas, Rei takut keputusan itu malah membawa masalah ke depannya, jadi hanya itu alasan dengan resiko terendah. Untungnya, Violet dengan senang hati menerimanya untuk menginap.
"Kau kan bisa tidur di tumpukan jerami," Celia menimpali.
"Kau ini suka sekali mengejekku ya," balas Rei mulai menguap dan menarik selimutnya untuk menutupi tubuh.
"Aku sangat ngantuk, Oyasuminasaii Celia-chan."
Berbagi raga seperti ini, mereka memang tidak berbagi rasa sakit, tapi Celia masih bisa merasa lapar, kenyang, haus, dan juga mengantuk. Seperti sekarang ini di saat mereka mulai terlelap dalam tidur.
"Oyasumi, Rei-kun."
Beberapa jam berlalu, rembulan mulai tampak bersinar biru, menembus jendela kamar Rei dan menciptakan bayangan tubuh ramping yang berada di kamar itu.
Lone Angel adalah sebutan nama untuk gadis yang mempunyai lukisan biru di lengan kanannya bagian atas. Sosok itu hilang dari pantauan bulan, menundukan diri di balik dinding pembatas. Giginya yang semula ramping dan tersusun rapih tumbuh meruncing di empat tempat. Aromanya diendus. Memberi perasaan tak karuan yang terus melanda hati. Pikirannya seolah kalap, tak bisa lagi dihentikan. Diendus lagi leher pria itu, menjilatinya sedikit, kemudian menancapkan taringnya yang terasah tajam.
Enhem Vinyel "Enhem, kau memang cerdas!" "Yahuu! Malam ini kita akan bermantap-mantap!" "Aku pastikan elf jalang itu tidak akan bisa tidur!" "Jangan lupa soal pria yang membawanya lari! Kita harus memberinya pelajaran!" Tiga orang yang ikut menemani Enhem untuk menyelinap sahut-menyahut seolah ini hari terbaik mereka. Mereka menamakannya sebagai rencana balas dendam. Obrolan yang dibicarakan sudah bukan tentang kemanusiaan lagi. Enhem terdiam, ia hanya perlu membuat para durjana ini mengikuti arahannya kemudian ia jadikan sebagai umpan. Enhem bukan teman mereka, mereka hanya tiga orang menyedihkan yang kebetulan ia temui saat tengah mencari kebenaran tentang roh cantik penunggu bukit beberapa hari yang lalu. Ia melihat mereka selalu mengintai gadis elf yang kebetulan sering lewat, yang ke
"Rei-kun, kau tau? Aku tidak pernah merasa secemburu ini. Aku selalu ingin ada seseorang yang bisa menyatu dengan tubuhku, tapi aku tidak pernah bisa mendapatkannya. Semakin lama, aku semakin ragu kalau dua jiwa bisa menyatu dalam satu raga, sampai akhirnya kau hadir sebagai penyelamat dan menunjukkan padaku bahwa dirimu itu istimewa. Kau tau Rei-kun? hatiku berdegup kencang setiap kali aku mencium aromamu." Violet menjilat bibirnya untuk membersihkan sisa darah. Rei lemas, tak kuasa mencegah Violet untuk merenggut kendali bibirnya saat ini, Celia sepertinya tak punya tenaga barang mencegah dengan kata-kata. Apa ciuman ini artinya dia akan mengambil jiwaku? Rei terpejam pasrah, sesaat sebelum semua itu menyatu, pintu kamar dibuka secara paksa. "Cukup sampai di situ! Sang Penyendiri!" Violet menghentikan gerakannya, ia bangkit dan berbalik menghadap pada mereka yang mengganggu. Tiga o
Ternyata, apa yang terjadi lebih mengejutkan dari pada yang dipikirkan Enhem. "Enhem Vinyel? Terdengar seperti tentara Nazi!" Rei berkomentar ceplos. "Ayolah! Selain sok hebat, ternyata kau juga sok tau banget ya!" cibir Celia ketus. "Eh? Memangnya cara bicaraku seperti terlihat sok begitu?" "Tentu saja, apa-apaan kemarin itu kau bertindak seperti pahlawan wanita! Kalau aku tau akhirnya kau akan hidup kembali, aku tidak akan menangisimu!" "Heee? Celia menangisiku? Xixi, aku cukup tersanjung." "Bodoh! Dasar Rei bodoh! Kau pikir bagaimana perasaanmu saat kehilangan satu-satunya orang yang kau miliki di dunia ini?!" "Hehe, maaf-maaf. Tapi aku sangat senang begitu tau kau sangat mengkhawatirkanku." "Hmmphh! Mau bagaimama lagi, kan? Itu berarti aku masih punya sisi kemanusiaan!" Enhem hanya tersenyum melihat perbincang
"Malam itu, Tanoa dan ayah bertengkar setelah dia mengomentari kebiasaannya yang sulit bergaul. Tanoa marah, dia pergi ke hutan di belakang mansion seorang diri. Saat itu, Aamon dan Gossen sedang ada urusan diplomat, jadi hanya aku yang tersisa untuk menghiburnya. Aku begitu bodoh, hanya menatapnya sedih dari jendela tanpa melakukan apapun. Barulah saat itu aku melihat bulan purnama tiba-tiba bercahaya biru. Aku segera berlari keluar kamar dan mengejarnya ke hutan. Dari jauh, aku melihat sosoknya. Mereka berdua tampak bercengkrama kemudian bergandengan tangan menuju hutan lebih dalam. Aku kehilangan jejak Tanoa, melirik kesana-kemari tanpa menemukan apapun. Aku berteriak memanggil, tanpa sadar air mataku jatuh. Sampai akhirnya, bulan itu redup dan bersinar seperti biasa, aku menemukan tubuh Tanoa tergeletak tak berdaya dengan wajah sepucat kertas. Saat itu, Gossen datang mencariku. Dia sudah tiba dari urusan diplomatnya
Beruntung, Enhem dengan pendengarannya yang tajam segera tiba. Ia memadamkan api itu bersama Celia sementara Nonoa tampak begitu panik sambil memeluk tubuh saudari kembarnya. "Apa yang sebenarnya terjadi, Nonoa-sama, Celia-sama?" Enhem tanpa ragu bertanya. Tapi Nonoa masih panik, ia menggeleng kalau ia juga terkejut dengan apa yang telah terjadi. Rei terdiam, Celia tau dia pasti merasa bersalah, "Bukan apa-apa Enhem-san, yang barusan itu hanya kecelakaan kecil," jelasnya. Enhem yang mulai mengerti situasinya tidak lagi bertanya lebih jauh, ia segera menutup jendela dan memperbaiki posisi tirai. Ada Lucia dan juga Reina yang kebetulan lewat hendak mandi, mereka jadi turut membantu membersihkan serpihan dan bekas minyak yang tumpah. "Celia, tolong dekati Nonoa, aku ingin meminta maaf padanya," pinta Rei. Celia pun melakukannya. "Nonoa-san. Maaf, aku hanya bermaksud untuk membantumu," suara Rei yang terdengar tulus itu sepertinya me
Sarapan pagi bersama telah selesai, "Terima kasih atas makanannya!" Mereka pun bubar. Gossen dan Aamon akan menghadiri rapat penting, sementara para maid harus sibuk mengurus semua pekerjaan rumah. Tersisa Nonoa yang masih duduk menyesapi teh hijaunya. "Nonoa-san?" Nonoa menatap ke arah Celia. "Nonoa-san, maafkan aku soal semalam," suara Rei terdengar sendu. Nonoa menggeleng dengan tersenyum "Tidak perlu dipikirkan Rei-kun. Maaf membuatmu jadi kepikiran." "Nonoa-san, saat kami dalam perjalanan kemari, kami melihat ada sebuah desa kecil di dekat kediaman Paxley, mau kah kau menemani kami untuk pergi melihat-lihat?" tanya Rei menawarkan. Nonoa tertegun mendengarnya. "Apa kau sedang ada rencana?" Nonoa langsung menggeleng, "Eh, tidak ada kok. Baiklah, aku akan pergi bersama kalian," sahutnya dengan wajah yang tampak lebih cerah sekara
Nonoa terdiam sejenak menatap wajah Celia, kemudian menghela nafas panjang, lalu menatap ke kejauhan, "Ah, itu lain masalah. Setelah aku bercerita panjang tadi, mungkin kalian akan berpikir kalau kalian itu adalah teman Tanoa yang selama ini hilang dari ingatan kami, kan?" Nonoa kemudian menatap mata Celia, "Seperti yang dibicarakan Enhem kemarin malam. Aku ingin memintamu untuk menemui Sang Penyendiri, dia satu-satunya orang yang bisa menyelamatkan Tanoa dari situasi ini." "Celia-chan, tolong maafkan keegoisanku ini. Aku harap kau bisa mengerti." "Jadi yang terjadi malam itu memang sudah kau rencanakan ya, hebat sekali Nonoa-san ini," Rei tertawa memuji. Sementara Celia masih tenggelam dalam pikirannya. "Celia-chan?" "Celia?" Celia buru-buru mengusir pikirannya, "Maaf aku terlalu banyak berpikir. Tapi, seperti yang aku bilang pada Enhem, aku akan dengan senang hati
"Kenapa, Celia-chan? Apa kau tidak mau?" tanya Nonoa yang melihat Celia masih memikirkan jawabannya. "Hufftt ... Apa kau tidak ingat kalau Rei bisa melihat apa yang aku lihat?" "Kurasa itu tidak masalah selagi tubuhnya tidak bersama kita." "Hee? Tidak, tidak, tidak! Pemandangan itu hal yang dilarang untuk Rei. Hei, Rei! Katakan sesuatu, bukannya malah diam saja!" Rei malah bersiul pura-pura tak dengar. "Rei-kun!" Nonoa tertawa kecil, "Baiklah kalau Celia-chan merasa tidak enak. Aku akan mandi lebih dulu ya!" "Heee ... Kenapa tidak jadi, Nonoa-san?" "Kutimpuk kepalamu, Rei!" "Sayang sekali, Celia." "Bodoh! Dasar Rei bodoh!" Belum selesai keterkejutan itu datang dari Nonoa, para maid datang menawarkan hal yang sama, "Celia-sama, Celia-sama! Ayo kita mandi bareng-bareng berlima?"