"Siap-"BUGH ...!Tubuh Alexander terhempas ke lantai. Sebuah dorongan tiba-tiba dari Ella memotong kalimatnya, tanpa peringatan atau tanpa ragu.Ia meringis, punggungnya mencium lantai dingin. Entah apa yang dipikirkan wanita itu, tapi semoga tulang ekornya baik-baik saja.Ella melangkah cepat, membuka pintu dan langsung menutupnya kembali, meninggalkan Alexander yang masih terkapar di belakang. Tatapan matanya segera tertumbuk pada Teresa yang berdiri di ambang pintu. "Kenapa kamu ke sini?""Oh, aku ingin mengembalikan ini." Teresa menunjukkan sebuah paper bag. "Sepatu Ballet kita tertukar.""Astaga aku tidak sadar.""Diriku juga. Aku baru tahu pagi ini.""Kita akan bertemu di kampus, kenapa harus repot-repot ke sini?""Sama sekali tidak repot. Apartemenku juga di sini, lebih tepatnya di sana." Teresa menunjuk ke arah pintu unit yang berada di dekat kamar Ella. "Ja ... jadi kamu tinggal di sini juga?" Ella terbelalak, masih sulit percaya. Rupanya mereka bertetangga, hanya dipisahka
Wajah Ella memerah padam. Dengan tangan gemetar, ia merobek semua foto tersebut tanpa ragu. Matanya melihat pria di hadapannya dengan cara paling buruk yang pernah dirinya berikan kepada orang lain. "Aku punya banyak salinan fotonya, Nona," kata Alexander enteng."KENAPA KAU MELAKUKAN INI? SEBENARNYA APA SALAHKU?" "Entahlah, mungkin memang sudah takdirmu.""Lalu apa yang akan kau lakukan dengan foto-foto ini, hah?""Tergantung pada dirimu. Jika kamu melakukan apa yang kuinginkan maka, aku tidak akan mengusik fo-"PLAK ...!Tamparan Ella memotong ucapan Alexander. "Kenapa aku harus menuruti? Kita bahkan tak pernah punya hubungan sejak awal. Jadi, berhenti ganggu hidupku!"Alexander mendesis, mengusap pipinya yang memerah. "Aku tak mengganggu. Hanya berusaha mendapatkan apa yang kuinginkan.""Jadi maksudmu, kau ingin diriku, begitu?""Ya.""Bagaimana dengan pertunangannya? Bahkan pernikahannya?""Tetap akan dilakukan.""Lalu kenapa kau kemari? Kau ingin aku memuaskanmu lagi? Menjadi s
"Syukurlah, kukira kamu sudah melupakan aku," ucap Chloe dengan nada lega. "Malam itu aku dan yang lain bersenang-senang di club, jadi kurasa kamu akan menikmati jika ikut. Di sana juga ada banyak anak kelas balet dari kampus lain. Kamu pasti akan senang memiliki teman banyak di negara asing ini.""Oh sayang sekali aku melewati itu. Aku senang jika bisa punya banyak teman selama di sini," balas Ella, tersenyum tipis."Aku yakin mereka juga akan senang berteman denganmu.""De ... denganku?" Ella menunduk sejenak. "Aku rasa aku bukan orang yang pantas disebut baik, Chloe."Chloe mengernyit bingung. "Benarkah? Memangnya apa yang sudah kamu lakukan sampai menganggap dirimu sendiri sebagai orang jahat?"Sekujur tubuhnya menegang. Bukan hanya karena takut, tapi karena rasa bersalah yang menyesakkan dada, melampaui segala ketakutan yang pernah ia kenal. Ella sadar, bara itu dirinya sendiri yang menyalakan. Dan kini, panasnya berubah menjadi rasa asing yang menggerogoti nurani.Pengkhianatan,
Hari di mana matahari memancarkan cahayanya dari ufuk timur telah tiba. Kicauan burung-burung di hutan mulai terdengar di telinga Ella, membuatnya membuka kedua mata secara perlahan. Aneh, sebab suara itu tidak setiap hari terdengar di mansion. Mungkin, hari ini burung-burung itu sedang bahagia.Berbanding terbalik dengan suasana hatinya.Bukan kebahagiaan yang menyambutnya, melainkan ringisan lirih yang pertama kali lolos dari mulut Ella. Tidak hanya nyeri di satu bagian saja, namun, di seluruh tubuhnya. Depan maupun belakang. Borgol menjadi hal pertama yang menyapa pandangannya pagi ini. Lebih tepatnya, tangan kanannya yang kini terperangkap oleh benda dingin itu, entah sejak kapan. Padahal seingatnya, meski Alexander bermain kasar sepanjang malam, pria itu tak sekalipun memborgol dirinya.Dengan tangan kirinya yang masih bebas, Ella mencoba membuka borgol tersebut. Ia tahu usahanya sia-sia, tapi wanita itu tetap lakukan. Mungkin sebagai bentuk perlawanan terakhir terhadap semua ya
Tangannya mendorong pintu kamar perlahan. Suara engsel berderit ringan mengiringi langkah masuknya. Di dalam, Ella sudah duduk di sofa dengan tenang, seolah memang telah menunggunya sejak lama. "Lingerie itu terlihat sangat pas di tubuhmu," pujinya seraya melangkah mendekat. Ia berjongkok di hadapannya, mata tajamnya menangkap setiap detil wajah Ella. Jemarinya terulur, menyelipkan helaian rambut di pelipis Ella ke belakang telinga. Wajah wanita itu kini terlihat lebih terang, lebih nyata, dan terlalu sempurna untuk dunia yang penuh tipu daya. "Apa kamu bertemu tamuku tadi? Sempat berbicara sebentar misalnya?" "Tidak." "Apa sudah melihat wajahnya?" tanyanya lagi, sambil tangannya turun perlahan, menyusuri sisi luar paha Ella yang terbuka, lalu mengelusnya dengan lembut. Wanita itu menggeleng. "Tidak begitu jelas. Memang dia siapa?" "Pembuat masalah, kamu tidak perlu tahu. Lupakan saja." Alexander mendekatkan wajahnya ke leher Ella, tidak untuk mencium, hanya sekadar menghi
Ketegangan menggurat wajah Alexander. Rahangnya mengatup, nyaris bergetar oleh kemarahan yang tak lagi bisa dibendung. "Kenapa bajingan itu belum sampai juga?" "Tuan Francesco belum kunjung membalas pesanku, Sir," jawab Lionello."Dasar idiot sialan!" Alexander bangun dari duduknya. "Apa benar ini tempatnya?""Benar. Diriku sudah mengecek lokasinya dengan tepat. Asisten Tuan Fransesco menempatkan Casino ini sebagai tempat pertemuan.""Mereka yang menentukan dan sekarang tidak ada sehelai rambut pun yang terlihat!"Dari sekian banyak orang yang berada dalam ruangan, tidak ada yang berani menyela atau menenangkan bos besarnya itu. "Sir, Mr. Ben baru mengabari bahwa Tuan Francesco beserta bawahannya datang ke mansion," ucap Lionello akhirnya.Mendengar kabar tersebut, Alexander langsung berbalik, melangkah keluar dari casino tanpa sepatah kata pun. Orang-orang di belakangnya buru-buru mengikutinya, memahami bahwa badai tengah bergerak.Mobil melesat di jalanan malam, dipacu kencang ses